Masukan nama pengguna
Aku masih ingat pertama kali bertemu perempuan itu, dia berjalan di jalan penuh salju di dekat kampusku di Budapest. Saat itu aku belum mengenalnya. Aku menikmati coklat panas. Aku sibuk dengan laptop dan buku-buku yang menumpuk. Aku tidak terlalu memperhatikan dia. Sampai dia menegurku.
“Hai, kamu Satria?”
“Iya. Kamu siapa?”
“Aku. Meera, teman SMA kamu. Kamu lupa?”
Itulah kelemanahku, aku sering lupa terhadap orang yang telah aku kenal. Aku menatap lekat mata Meera. Aku mengingat-ingat siapa Meera. Aku berusaha keras di kepalaku untuk mengingatnya walaupun wajahku tersenyum. Aku mempersilakannya untuk duduk di sampingku.
“Kamu lupa ya?” tanya penasaran Meera.
“Iya, maaf. Lagi pula SMA itu delapan tahun lalu,”
“Tidak apa-apa, kamu kuliah di sini?”
“Iya, aku ambil doktor di Hungaria. Kamu sendiri?”
“Aku ada acara sebentar di Hungaria,”
Salju semakin lebat. Akhirnya kita pergi ke dalam kampus. Kami bercerita masa-masa SMA. Jujur saat itu aku lupa. Aku tetap mendengarkan Meera bercerita panjang. Saat itu aku masih memegang coklat panas lalu meminumnya.
“Kamu masih aja suka minum coklat walau udah tua kayak gini?”
Aku tersedak. Aku terkejut dengan ucapan Meera.
“Tentu, aku sangat menyukainya. Bagaimana kamu tahu aku suka coklat sejak lama?”
“Kamu lupa? Aku teman Anggi. Anggi cerita banyak tentangmu dulu waktu SMA,”
Anggi adalah teman dekat perempuanku di SMA dulu. Aku dan Anggi tidak berpacaran namun satu SMA menggira kami berpacaran. Aku sangat menghidari perpacaran karena tidak sesuai dengan prinsip hidup dan agamaku. Meera mulai mengingatkan aku tentang Anggi.
“Kenapa kamu nggak pacaran sama Anggi dulu?” tanya Meera.
“Karena tidak sesuai dengan prinsip hidupku,”
Siang itu salju berhenti turun. Kami akhirnya berpisah. Meera kembali ke hotel tempat dia menginap dan aku kembali ke apartemen. Aku membawa laptop dan buku-buku ke apartemen. Dalam perjalanan pulang itu, aku kembali mengingat peristiwa yang tak bisa dilupakan di SMA, yaitu berdebat dengan Anggi. Perempuan berkulit putih, tinggi, wajahnya cantik, dan hidungnya yang panjang.
***
“Kalau kamu cinta sama aku, kenapa nggak mau jadi pacaranku?” marah Anggi.
Kalimat itu dilontarkan Anggi setelah upacara Hari Senin di halaman sekolah. Aku sangat terkejut. Ramput panjangnya seakan-akan ikut memarahiku. Mata Anggi berbinar. Ia menunggu jawabanku. Jujur saja, Anggi adalah salah satu artis ternama di SMA. Semua guru dan murid pasti mengenalnya karena kecantikannya. Aku juga sering diledek tidak bersukur ditaksir oleh Anggi.
Semua teman-teman saat itu menjauh dariku dan Anggi. Semua murid SMA menonton kami seperti menonton pertunjukan lenong. Sorak-sorak juga terdengar. Pendukung Anggi juga menyemangati agar kami jadian saat itu.
Dengan kesadaran penuh aku menarik napas. Aku menatap Anggi. Seluruh penonton sangat antusias menyimak dan menjadi saksi saat itu. Aku keluaran napas berlahan. Aku mencoba menenagkan Anggi. Aku menoleh ke ruang guru. Di sana juga banyak guru menatap aksi kami. Saat itu aku baru sadar jika aku dan Anggi tengah menjadi pusat perhatian satu sekolah. Kami berada di tengah halaman sekolah. Hanya kami berdua.
“Anggi, dengarkan aku baik-baik,” aku ucapkan dengan berlahan.
Anggi menangguk dengan meneteskan air mata. Aku panik, tapi mencoba untuk tenang. Aku melihat guru BP berjalan mendekat.
“Sekarang bukan waktu yang tepat Anggi, lagi pula kit aini masih sekolah. Aku juga masih punya cita-cita untuk menjadi professor. Anggi dengarkan baik-baik. Aku ini tidak ingin berpacaran denganmu itu karena cinta,”
“Apa maksudmu?” Anggi bingung.
Satu sekolah mencoba mendengarkan percakapan kami. Guru BP yang jaraknya sudah dekat, berhenti untuk mendengarkan perkataanku selanjutnya.
“Anggi, kamu itu cantik, cerdas, dan pintar. Jangan sia-siakan masa mudamu ini. Pacaran itu cuma menunda sakit hati,”
Anggi menangis. Aku jadi baingung.
“Kalau gitu? Kenapa kamu baik banget sama aku. Mama aku aja minta kamu jagain aku,” tangis tersedu-sedu Anggi.
“Mama kamu itu cuma minta jagain kamu sebatas teman saja. Lagi pula laki-laki yang benar mencintai perempuan itu yang meratukannya. Kamu itu berharga, kamu itu ratu. Tak semua orang berhak menyentuh dan memandang dirimu. Itu yang aku lakukan kepadamu Anggi. Kamu begitu berhagra hingga diriku ini tidak berhak menyentuh dirimu,”
Teman-teman yang menonton itu terenyuh dan tersenyum. Semua penonton di situ termasuk para guru bertepuk tangan. Guru BP datang lalu merangkul kami berdua. Kami diajak ke ruang BP. Aku menunduk malu sedangkan Anggi masih saja menangis tersedu-sedu.
***
Malam Budapest sangat dingin. Aku menonton televisi sambil menikmati coklat panas. Aku masih terbayak kenangan bersama Anggi. Sudah lama aku tidak bertemu dengan Anggi. Rambut panjangnya masih terbayang. Raut wajah cantiknya juga masih terkenang. Aku dan Anggi sudah tidak berkabar semenjak kelulusan di sekolah. Aku kuliah di ITB dan Anggi di Australia. Aku sengaja tak berkabar dengan Anggi agar aku fokus meraih cita-cita.
Aku menyeruput coklat panas. Aku mengambil jurnal di samping sofa. Aku membacanya hingga aku tertidur. Pagi menyambutku. Setelah salat subuh, aku merapikan tas. Kali ini aku diundang oleh Kedutaan Besar Indonesia yang ada di Hungaria. Aku diminta untuk menjadi guru tamu dibidang kepennulisan dan jurnalistik. Aku menaiki bus dari apartemen ke kantor Kedutaan. Di bus aku membaca dan menyiapkan materi untuk acara. Lima belas menit berlalu, aku sampai di kantor kedutaan.
Aku disambut oleh banyak orang di sana. Aku duduk sebentar dan berbincang bersama orang-orang di sana. Aku melepaskan baju musim saljuku karena di kantor kedutaan hangat. Aku bersama seseorang pemandu masuk ke dalam auditorium di kantor itu. Di sana banyak mahasiswa Indonesia yang berkuliah di Hungaria dan sekitarnya. Mereka sangat berantusias mengikuti acara itu.
Aku menjelaskan dasar-dasar menulis sebuah cerita dan berita. Aku juga membagikan sebuah buku panduan praktis untuk menulis cerita. Aku menjelaskan sebisaku dan semampuku. Semua tampak baik-baik saja. Sesi perkenalan, materi, hingga tanya jawab telah usai. Aku menutup acara itu dengan sebuah tugas membuat cerita pendek. Aku meminta mereka menghubungiku melaui e-mail untuk mengirimkan cerita pendek yang mereka buat.
Aku kembali ke ruang diplomat. Di Lorong kantor aku melihat cermin. Aku merenungi diriku yang berjambang tipis. Aku tersenyum melihat diriku sekarang. Aku memasuki ruang diplomat. Aku meyakini diriku sekarang adalah hasil prilaku yang aku lakukan dimasa lalu. Aku kembali menikmati coklat panas. Salju lebat terlihat dari jendela di ruangan itu. Aku menatap jendela itu degan tatapan kosong.
“Semua ini adalah karunia Tuhanku,” lirihku sambil menyeruput coklat panas.
Pemandu acara tadi menemuiku. Kami mengobrol cukup lama. Aku pamit untuk pulang ke apartemen. Aku keluar dari ruangan itu. Aku membawa tasku. Aku berjalan meyusuri Lorong. Semua baik-baik saja hingga aku berdiri kaku di ruang tunggu menatap seseorang perempuan.
“Satria?” ucap perempuan itu sambil membawa sebuah dokumen.
“Anggi?” mataku terbelalak manatapanya.
Kemustahilan ini seperti mimpi. Aku menatap Anggi dengan versi terbaiknya. Ia berpakaian musim dingin. Rambutnya masih terurai panjang. Ia mendekatiku. Aku mematung sejenak.
“Apa kabar?” tanya Anggi sangat bahagia.
“Ya, aku baik. Aku harap kamu juga baik,”
“Tentu, sekarang kamu benar-benar akan menjadi professor,”
“Ya, aku pasti akan menunaikan cita-citaku,”
“Kamu masih suka coklat panas?”
“Tentu,”
“Mamaku menunggumu,”
“Oh ya? Salam untuk mamamu,”
“Aku juga menunggumu,”