Masukan nama pengguna
Aku berangkat dari Kyoto ke Tokyo menggunakan Taksi. Bunga-bunga sakura berguguran. Suasana seperti ini sudahku rasakan bertahun-tahun sejak aku pergi dari Bandung ke Kyoto untuk berkuliah. Di Jepang aku dibiayai oleh pemerintah Jepang. Aku juga perempuan yang selalu mengenakan hijab di Kyoto.
Kali ini aku ada janji dengan seseorang laki-laki dari Jakarta. Ia adalah anak dari teman mamaku. Aku berhenti di sebuah hotel untuk istirahat. Aku meletakan tas di kamar hotel lalu pergi ke pasar. Di pasar aku tenang-tenang saja hingga aku merasa diikuti oleh tiga laki-laki jepang. Sejujurnya aku panik, tapi aku mencoba tetap berada dikeramaian. Di ujung jalan ada seorang laki-laki mengajakku masuk ke restoran. Tanpa piker panjang, aku masuk ke restoran itu.
Napasku tersegal-sengal. Aku duduk di restoran itu. Lelaki itu memberikanku teh hangat. Ia sangat ramah. Ia tersenyum melihatku meminum teh hangat. Aku sangat berterima kasih kepadanya.
“Indonesia?” ucap lelaki itu.
“Ya. Kamu orang Indonesia juga?” tanya balikku sambil meletakan cangkir teh hangat itu.
“Tentu, aku baru saja sampai di sini untuk bisnis.”
“Terima kasih telah menyelamatkanku tadi.”
“Tentu, kenapa kamu berkeliaran sendiri di Tokyo?”
“Sebenarnya hanya untuk membeli makanan dan jalan-jalan saja.”
Ponsel laki-laki itu berdering. Ia menjauh lalu menggangkat ponselnya. Ia berbicara serius. Aku kembali menikmati teh hangat tadi sampai habis. Aku juga mengecek ponselku. Laki-laki tadi menghampiriku. Aku menutup ponselku.
“Lebih aku antar pulang kamu.”
“tidak usah, aku bisa pulang sendiri.”
“Kamu yakin?”
Aku ragu dengan jawabanku sendiri. Aku berdiri dan akhirnya ia mengantarkan aku pulang ke hotel. Walau kami berjalan kaki ke hotel, kami berbicara banyak tentang ilmu perbisnisan restoran. Aku sampai di depan hotel. Ia pergi dengan melambaikan tangannya. Aku juga melambaikan tangan kepadanya. Ia berjalan menjauh. Aku masuk ke hotel.
Siang itu adalah siang yang tak terduga. Aku berbaring di atas kasur. Aku bersyukur dengan daangnya seorang pahlawan. Dari situ aku baru sadar, aku belum berkenalan dengannya. Aku tidak tahu namanya dan ia tak tahu namaku.
Aku menepuk kening. Aku beranjak dari kasurku. Aku berdiri di balkon hotel menatap jalan. Aku tersenyum dan berterima kasih kepada Tuhan. Mungkin ia adalah malaikat yang dikirimkan Tuhan kepadaku.
Gemerlapnya malam Tokyo sangat indah. Aku menatap Tokyo dari balkon hotel. Aku duduk sambil memuji kepada Tuhan Semesta Alam. Aku juga merangkai memori kesendirianku di Jepang. Tiga tahun hidup sendiri di Jepang. Aku juga ditemani oleh komunitas muslim di Kyoto yang berasal dari berbagai negara. Aku menatap lekat Tokyo Tower. Di tempat itu kenangan indah terukir. Waktu itu aku bersama teman-temanku berlibur. Menikmati salju, makanan, dan wisata-wisata lainnya. Gunung Fuji juga tak luput dari kenanganku. Kini aku berada di semester akhir. Siap berpulang ke Indonesia.
Dalam kesendirianku malam itu, aku terus saja merangkai kennangan indah dalam kesendirian dan bersama teman-teman. Mulai dari sendiri di apartemen, bersama-sama belajar di kelas, berlibur, beribadah, mengaji, hingga pernah menjadi staf magang di kedutaan besar Indoensia di Jepang.
Malam itu akhirnya aku kembali ke kamar lalu tidur. Aku mempersiapkan energiku untuk bertemu seorang laki-laki utusan mama. Entah dia akan memberikan titipan dari mama atau ada kabar dari mama. Aku memejamkan mata setelah berdoa.
Pagi menyambutku. Aku bersiap-siap menuju ke sebuah restoran mewah di Tokyo. Aku kembali menaiki taksi. Aku turun dari taksi. Aku duduk di pojok restoran. Dari kejauhan datang seorang laki-laki menghampiriku. Aku yakin ia utusan mama.
“Selamat pagi,” tegur laki-laki itu.
“Pagi.”
Ia duduk di hadapanku setelah memesan menu. Ia mengeluarkan sebuah kertas dari saku kemejanya.
“Sebelumnya, namaku Kevin.”
“Oh ya, aku Kirana. Ada titipan mamaku?”
“Iya. Dia menitipkan kertas ini.”
Kevin memberikan kertas itu kepadaku. Aku membuka lipatan kertas itu. Aku terkejut setelah melihat kertas itu. Tak ada tulisan, gambar, atau semacamnya Hanya kertas putih yang dilipat.
“Kok kosong?” tanyaku kebingungan.
“Kurang tau.”
Saat itu aku bingung. Kevin juga ikut bingung. Pesanan kami datang. Kami memakan sambil berbincang-bincang sedikit. Pagi itu aku sangat kelaparan, aku makan dengan lahap hingga habis. Aku akhirnya menunggu Kevin makan sambil aku tanya keberadaannya di Jepang.
“Kamu kenal mamaku?”
“Nggak.”
“Lah kok bisa mamaku titipin kertas ini ke kamu?”
Kevin tersedak. Ia minum air putih di sampingnya. Aku terkejut melihat Kevin tersedak. Dari jauh ada seseorang laki-laki berlari menghampiri kami. Ia memakai jas coklat. Ia adalah seseorang yang menyelamatkan aku di pasar. Aku berdiri. Aku dan lelaki itu saling tatap.
“Kamu?” ucap laki-laki itu.
Aku tak mengerti apa yang terjadi saat itu. Aku sangat bingung. Kevin berdiri. Laki-laki itu ikut duduk di samping Kevin. Aku dan Kevin kembali duduk.
“Maaf, perkenalkan aku Ezra. Kamu Kirana?” ucap lelaki itu tersengal-sengal.
“Ya, aku Kirana. Sebenarnya ada apa ini?”
“Sebelumnya maaf, aku harus bertemu sama investor Jepang, jadi aku minta Kevin ke sini buat nyampaiin titipan mamamu, tapi titipan itu ternyata masih ada disaku celanaku,”
“Oh seperti itu, tapi kita pernah bertemu bukan?”
“Tentu, aku yang menghantarkan kamu ke hotel,”
“Dan kamu sudah mengenalku sebelumnya?”
“Tentu.”
Jawaban itu membuatku terkejut. Aku memikirkan apakah ini sebuah jepakan atau apa. Sampai saat itu aku belum mengerti apa maksud mama dan Ezra ini. Di saat itu Kevin pamit untuk pulang. Aku panik dengan urusan pembayaran, tapi Ezra mengatakan akan menanggung semua pembayaran di restoran itu. Ezra memberikan kertas kepadaku. Aku membuka tekukan demi tekukan.
Aku lebih terkejut lagi, isinya sama-sama kosong. Aku mulai kesal dengan semua ini. Aku memperlihatkan isi kertas itu kepada Ezra. Saat itu juga Ezra terkejut.
“Apa maksud semua ini? Mama benar-benar menitipkan kertas kosong?”
“Saya tidak tahu, mamamu memang menitipkan kertas itu.”
“Maaf, aku nggak ada waktu untuk main-mian dan terima kasih kemarin sudah melindungiku,”
Aku berdiri kesal. Aku ingin meninggalkan Ezra sendiri di situ.
“Jangan pergi, mungkin aku bisa mejelaskannya.”
Aku kembali duduk.
“Sebenarnya, aku sudah megenalmu jauh sebelum kamu pergi ke Jepang. Aku mengenalmu saat kita berada di SMA. Aku pindah saat kelas satu SMA. Mungkin kamu lupa dengan nama Ezra, tapi kamu pasti akan mengingat nama Ucup. Aku pindah dari SMA itu karena masalah mental yangku hadapi. Perundungan tiada henti, akhirnya aku memutuskan pindah. Dalam pindahku aku menemukan susana yang sangat mendukung.
Akhirnya aku berkuliah di Universitas Indonesia. Di sana aku ambil sastra Inggris. Aku bertemu mamamu. Aku juga menceritakan kebaikanmu ingin berbagi bekal makanan kepadaku saat itu. Aku mengenalmu adalah anak yang sangat baik. Aku juga menekuni bisnis diberbagai bidang hingga ke Jepang,”
“MasyaAllah, kamu Ucup? Kok beda banget?”
“Alhamdulillah, sebenarnya mamamu minta kamu untuk pulang setelah selesai semua urusan di Jepang.”
“Pasti aku akan pulang, tapi sebenarnya kamu pindah ke mana?”
“Ke pesantren, di sana aku mengulang dari kelas satu.”
“Oh ya? Kenapa juga kamu masih ingat waktu SMA itu?”
“Karena kebaikanmu itu berharga. Aku juga sudah melihat dirimu dalam versi terbaikmu sekarang,”
“Jadi?” aku penasaran.
“Aku cinta kamu,” lirih Ezra.
“Secepat ini?” aku terkejut.
“Bila cinta dari mata, maka selamanya kita tak bisa mencintai Tuhan. Bila cinta dari harta, maka ia tak akan membawa kebahagiaan. Bila cinta dari kecantikan, maka ia tak akan selamanya ada, tapi jika cinta dari sesuatu yang bernilai baik, dari kejujuran, kepercayaan, iman, dan islam, insyaallah akan abadi selamanya,”
“Aku tidak ingin pacaran,”
“Ini adalah tunangan.”
“Ya, aku terima.”