Masukan nama pengguna
Di balik bening binar matanya, bintang di langit malam telah menemukan seorang pesaing, biarpun langit kota tak sejernih langit di kampung halaman kita. Pulang padanya setiap malam dengan peluh yang menetes dari tengkuk hitamku, adalah cukup alasan bagiku merapal rasa syukur ini seperti mantra.
“Apa yang akan pertama kali akan kamu beli, saat kita keluar dari kemiskinan ini?” ucapnya di balik temaram lampu toko, di teras beralaskan kardus minyak goreng BILOMI.
Aku cuma menggeleng tak menjawab, pertanyaannya terlampau sulit.
Pipi tirusnya menempel di pahaku, naik turun mengikuti ritme udara yang mengembus memompa paru-paru. Malam-malam lapar itu datang lagi, saatnya para penghuni teras toko saling mengadu jerit usus yang memohon untuk diisi. Tetapi ususnya begitu damai tanpa suara, tertidur seperti ular.
Bertahun-tahun hingga akhirnya aku menyerah pada nasib yang diundi. Jauh dari keluargaku, jauh dari keluarganya, jauh dari bayangan sepasang kekasih yang punya banyak sekali mau. Harusnya cinta saja cukup Dik! Seperti yang sering kujanjikan padanya.
“Kamu bagaimana? Apa yang akan kamu beli jika uangmu banyak?” Kugenggam tulang berlapis kulit itu sambil berandai-andai, berpegangan agar tak lupa daratan. Berselimutkan sarung bolong, yang dulu pernah jumawa di masjid kampung kita.
“Kita ini tidak sedang berandai-andai Mas, kita sedang merajut harapan. Cuma harapan yang dimiliki orang-orang merdeka.” Bola mata itu berkilat-kilat, tinjunya mengepal meraih udara.
“Kita tak pernah merdeka,” bisikku padanya. “Orang lapar takkan pernah merasakan kemerdekaan.”
Ia menggeleng. “Disitulah kamu salah! Orang merdeka, lupa akan kelaparannya.”
Aku terkekeh. Istriku sedang melucu.
Harapan mungkin memang bahan bakarnya orang-orang emperan seperti kita, tetapi ia lekas menguap lagi, ketika Pol PP serentak menyerbu, memaksa kita lari terbirit-birit.
Angin dingin menyusupi celah di baju kita, tetapi ia tak bergeming, tergolek kaku seperti boneka toko. Aku merapatkan tubuhku di sebelah tulang kerasnya, yang menyembul layaknya pedang, beralas kardus yang nyaris rata dengan lantai. Binar matanya berpendar seperti anala, mengobati kelelahan ragaku hari ini, sehabis bertarung dengan kejamnya nilai tukar sampah daur ulang.
Alisnya kini mengernyit, berpikir keras menemukan jawaban pertanyaan sulitku. Tak apa Dik! Mimpi adalah tempat kita mengadukan keinginan yang paling sulit kita raih.
“Aku akan beli obat masuk angin!” celetuknya tiba-tiba.
“Dari berjuta pilihan kekayaan, kamu memilih beli obat masuk angin?” Kubelai rambut tipisnya, membaca isi kepala perempuanku yang dahayu, menerka-nerka kadar kewarasannya.
“Supaya kita tidak masuk angin lagi ketika menahan lapar!” jawabnya sambil tergelak. Bahu tipis itu bergoyang-goyang, matanya menyipit.
Candamu sungguh getir, Sayang!
"Kenapa kamu tidak pilih membeli makanan?” tanyaku, hendak menganulir jawabannya.
Ia terdiam, menatap langit kelam di kejauhan yang membalas pandangan kita dengan kemuraman. “Beli obat masuk angin dulu, sebelum kelaparan lagi. Lebih baik mencegah, daripada mengobati.” bisiknya, menyindir nasib yang terlampau sering mencandai kita.
Ia berguling, menatap bola mataku meyakinkan bahwa jawaban itu adalah kejujurannya yang paling dalam. Lalu kembali bergelung menarik kain sarungku sampai dagu. Dari dulu aku selalu mengaguminya, semangatnya meletup seperti ancala berapi, menentang nasib buruk yang selalu menemukan tempat sembunyi kita. Sayangnya, semangatmu saja tidak cukup Dik!
“Aku takut…,” bisikku. Kemiskinan ini membuatku jadi penakut, takut ini, takut itu. Takut dikejar-kejar Pol PP, takut besok tak ada sampah untuk diais, takut ia menyerah mengikuti langkahku berjalan. Aku dan ketakutan yang berbeda setiap harinya. Berbeda dengannya, yang berjalan menantang dunia, terseok mendampingi langkahku menarik gerobak pulung kita., menggerus sampah, menghalau debu-debu jalanan.
“Ah…jangan takut Mas!” ucapnya membelai dagu kasarku. “Bersedih itu bikin kamu capek dan putus asa, hidup terlalu singkat untuk membuat kita menyerah.”
Sesuatu di binar matamu memancing otot senyum di bibirku melengkung. “Kenapa kamu memilih pergi denganku? Kenapa tidak menikah saja dengan juragan tebu di kampung kita?”
“Tak ada yang memaksaku pergi, selain rasa cinta. Aku pergi, kemana cinta membawaku melangkah.” Ia menyeringai, tak hirau akan lambung kita yang menggelepar. Kamu dan senyum getirmu itu!
Ia kemudian berdiri mematutkan wajah di sepotong cermin, meraba setiap lekuk permukaan kulit yang mengeriput. Sebilah cermin, satu-satunya benda berkilau yang masih kita miliki, yang membuat matamu membulat terang, tertawa kegirangan, lantas memelukku lebih erat lagi.
“Seberapa kuat kita bisa mengobrol malam ini?” Matanya mengerjap, berteriak mengalahkan bunyi kendaraan yang berlalu lalang menghalau kantuk.
“Mau mengobrol sampai subuh, seperti awal kita ke kota dulu?” Sampai lupa kalau perut kita sedang lapar? bisikku dalam hati, tak tega menyuarakannya kencang-kencang.
Ia diam tersipu, senyum itu lama-lama membunuhku. Cekungan di pipinya yang dulu tembam, kini melekuk seperti teluk, menghanyutkan cintaku lebih dalam lagi. Seharusnya cinta saja cukup Dik!
Ratusan hari yang kita jalani, beraneka pergulatan yang kita gempur bersama demi merayu nasib baik dan sesuap nasi yang mengisi rengekan usus-usus kita. Bersama langkah sesama pejuang sampah daur ulang, ia tetap bergerak bersamaku, mendulang rupiah dari sisa-sisa kehidupan mereka yang lebih beruntung.
Kutunggu rasa lelahnya datang, kutunggu kapan mulutnya mengeluh. Ia menerima saat aku datang membawa keluh kesah itu pulang, menggantikan uang dan makanan yang harusnya tersaji. Jika hari ini tak serupiah pun bisa kutukar, ia akan menyiapkan kardus untuk bermalam panjang. Seperti tiang pancang, rasa sayangnya menghilangkan desir lapar di lambungku yang meronta-ronta. Ia minta diyakinkan, cinta saja seharusnya cukup.
Malam silih berganti, kadang dapat nasi, kadang tidak terbeli sama sekali. Ia ikut kemana kehidupan menyetir nasib keuanganku, sibuk membakar semangatku dengan keyakinan dan do’a, agar kita lekas keluar dari kelaparan ini. Ia bilang, do'a punya rahasia membuat kita jadi manusia yang bersahaja. Ia rela berjam-jam menunggu kantuk, saling memeluk, tanpa saling menyalahkan.
“Dik…kamu makan saja! Mas sudah kenyang,” ucapku sambil menyuapinya suatu malam.
Tetapi tubuhnya tak bergeming, mungkin ia tahu aku sedang berbohong. Ia hanya menggeleng dan tersenyum, tak banyak bicara. Ketika aku belai pipinya yang dingin, bibir itu bergetar dan mengelabu.
Suatu malam, saat kita bergelut dengan kerasnya hari dan gempuran kenyataan, nasib terlampau biadab untuk aku dan dirinya taklukkan, mereka menang lagi hari ini. Akhir bulan, malam-malam panjang obrolan kami pun berakhir. Ia tak lagi memeluk dan menjawab pertanyaanku dengan jenaka. Persis saat aku percaya, kita bisa saling menguatkan.
Ia mungkin bisa melawan rasa lapar di perutnya, tetapi tak bisa melawan takdir kedukaannya. Kekasihku berpamitan, keracunan makanan basi menyebarkan racun di dalam darah, mematikan semua sistem di tubuhnya yang mengejang. Meski kenyang, makanan itu membunuh pergulatannya menjalani kehidupan.
"Jika aku harus pergi duluan Mas, kamu jangan menyerah pada kehidupan!" Napasnya tersengal, menahan kesadaranku di udara. "Ini cuma kematian, cintaku lebih hebat dari itu!" Tangannya mengepal dengan tubuh mengejang, berusaha mengangkat tinjunya ke udara.
Malam dingin tanpa lalu lintas yang berlalu lalang, wajah cantiknya memucat, tetapi binar bola mata itu berpendar bak bohlam yang berkilat-kilat.
Kemiskinan tak akan merenggut rasa cintamu dariku Dik! Seharusnya itu cukup.