Cerpen
Disukai
11
Dilihat
15,545
Cikgu Cleo
Drama

Ia memulai paginya dengan langkah lebar-lebar, membelah sepetak lahan depan rumahku sambil bersiul. Ya, bersiul sungguhan! Mengeluarkan tiruan bunyi suling dengan mulutnya yang dimonyongkan. Saat dipikirnya tak ada yang memerhatikan, lantas tubuhnya akan bergerak dengan kepala diangguk-anggukkan, macam hiasan boneka anjing di dashboard mobil. Earphone yang sembunyi di lubang telinganya, adalah pengalih konsentrasi.

Rok selutut renda-renda, vest rajutan, serta sepatu Docmart model Mary Jane, membalut tubuh tinggi kurusnya dengan penuh rasa percaya diri. Ia bersiap untuk memulai aktifitasnya, sebelum pukul 08.00.

Perempuan itu sudah mencuri perhatianku sejak pertama kali pindah kemari. Namun, aku tak pernah berani menyapanya. Hanya memandang dari jauh sambil memicingkan mata, pura-pura memandikan Ali Topan yang diparkir di halaman depan. Ia berjalan lewat lapangan, beberapa kali tertangkap sedang mengerling padaku, lalu pura-pura tak melihat, atau memang betulan tak peduli akan kehadiranku di sini.

Hari ini, Ali Topan libur mandi. Ia menginap di bengkel si Memet, karena radang businya sedang kambuh, karatnya keropos dan nyaris tak tertolong meski dibelikan organ yang baru. Kata Ibu, Ali Topan memang sudah harus pensiun sebagai alat transportasi. “Sebaiknya dikilo saja kalau memang bagian-bagian tubuhnya masih laku buat dipreteli? Biar dia punya manfaat buat hidup kita.”

Gini-gini, Ali Topan yang bandel ini, adalah satu dari sedikit warisan ayahku yang ditinggalkannya khusus untuk anak lelaki satu-satunya. Menjual, apalagi sampai membongkarnya sebongkah demi sebongkah, akan mencederai martabat ayahku selaku ketua gank motor di kota ini, pada jamannya.

Dua hal pagi ini yang bikin aku semaput. Pertama, kelakuan motor kesayangan yang susah untuk di-starter. Yang kedua, perempuan antik itu lagi yang wara-wiri depan rumah, sambil melenggang dengan gaya ajaibnya, mengganggu konsentrasiku bekerja.

***

“Ya ampuun, ini Biemme, ya?”

Aku mengernyitkan dahi, menatap sumber suara yang sedang berdiri di pagar halaman. Heh? Dia?

“Iya BMC,” anggukku. “Ngerti motor?”

Scrambler,”ralatnya memerhatikan Ali Topan dengan saksama. “Ngerti dikit-dikit sih. Kenapa dia?”

“Susah di-starter.”

Pagi ini ia memakai celana selutut yang dipadankan dengan halter warna hitam. Kalau kamu pernah nonton Peaky Blinders, tampilannya kali ini menyerupai Thomas Shelby dalam kemasan yang feminin. Sepatu kulit warna merah oxblood andalannya, diselipkan di celah pagar agar ia bisa mendongak dan menjulurkan lehernya dengan leluasa.

“Berapa CC?”

Dahiku mengernyit lagi. “Lima puluh.”

Ia manggut-manggut. “Kemarin-kemarin motornya nggak dicuci, mogok ya?”

Aku batuk, tersedak ludah sendiri. “Kok, tau?”

“Biasanya mandiin motornya jam setengah tujuh. Kemarin, sepi-sepi aja tuh,” ucapnya tanpa ekspresi. “Saya Cleotha. Panggil aja, Cleo!” Ia memanjangkan tangannya dari balik pagar.

“Maaf, kotor.” Aku meringis, menengadahkan tanganku yang hitam-hitam dilumuri oli. “Kleo?”

“C-L-E-O-T-H-A,” ejanya.

Aku cuma manggut-manggut, menunduk memandangi kostumku sendiri, celana pendek dan kaos buntung.

 “Ikut komunitas motor antik, ya?”

Aku menggeleng, merasa tak enak melihatnya cuma berdiri berbasa-basi di balik pagar, memerhatikan Ali Topan didandani. “Mau masuk dulu?”

“Saya harus berangkat ngajar.”

Jawabannya membuat leherku berputar 180 derajat. “ Kamu… guru?”

Ia mengangguk, tersenyum lebar memamerkan deretan giginya yang putih besar-besar.

“Ngajar di mana?”

“Di Harapan Widya, sekolah buat penyandang disabilitas.” 

“Ngajar apa?”

“Seni musik.”

“Oh, pantas,” bisikku pelan. Tak yakin tertangkap telinganya.

Perempuan itu cuma nyengir. “Sesuai tampilan, ya?”

“Hehe… packaging-nya sih cocok buat jadi musisi.”

“Wah, kamu judgmental sekali!” protesnya. Ia kembali menyeringai. “Kalo gitu, biar saya tebak kerjaan kamu.” Ia lalu memicingkan mata.

Merasa canggung diperhatikan sedemikian rupa, aku membetulkan celana pendekku yang cuma “diamankan” karet kolor.

“Jualan lampu ya, Mas?”

“Kok lampu?”

“Itu kalo nyuci motor, dari seberang lapangan keliatan gitu, bercahaya,” seringainya.

Damn!

Aku menggaruk tengkuk sambil menahan tawa. “Saya kerja di rumah.”

“Ibu saya juga kerja di rumah. Ngepel, nyapu, masak kadang-kadang,” potongnya.

“Bukan kerja yang begitu.” Tak bisa menahan otot-otot senyum yang refleks berkedut, aku menghampirinya. “Kerjaanku copywriting.”  

Ia manggut-manggut tampak berpikir. “Tapi nggak cocok, ah.”

“Kenapa?”

“Kalo penulis, biasanya tahu apa yang harus diomongin. Dari tadi kamu jawabnya pakai cengengesan melulu.”

Aku meringis. Strikes two!

“Saya cabut dulu kalo gitu. Kasian anak-anak mau resital jam pelajaran pertama.” Ia melambaikan tangan dan kembali berjalan dalam langkah lebar, kali ini tidak disertai dengan menandak-nandak seperti biasanya.

Membuatku terhipnotis oleh roknya yang mengayun, langkahnya yang cepat, dan senyum di bibir yang terang menyaingi cahaya pagi.

***

Salahkan saja si Ali Topan karena membuatku datang terlambat. Ketika hari yang dinanti-nanti akhirnya tiba juga. Semesta mengirmku datang ke gedung tinggi berlantai 3 itu.

Institut Harapan Widya, butuh seseorang untuk mengisi website sekolahan mereka, dan mempromosikan prestasi-prestasi yang sudah anak didik mereka raih. Sebagai bentuk usaha, menggaet calon peserta didik baru di tahun ajaran ini. Aku yang ahli dalam mengemas segala bentuk promosi inilah, yang didaulat berangkat ke sana.

Dengan kemeja biru tua rapi, kaos Panic at the Disco hitam di dalam, dan sepatu kanvas putih, aku berjalan menyusuri lorong yang tampak membingungkan. Lorong-lorong panjang dan jalur jalan untuk murid berkursi roda, memutar mengitari beberapa ruang belajar. Sunyi, tak seperti sekolah kebanyakan. Mungkin ruangan-ruangan belajar mereka dilapisi matras kedap udara. Setelah berjalan, dan menengok kanan-kiri, aku makin bingung. Bukannya, ruang kepsek biasanya mudah ditemukan, ya?

“Mau cari siapa, Om?” Seorang bocah perempuan mendorong kursi rodanya mendekati. Alisnya mengerut.

Kamu tau Matilda? Kalau ada bentuk versi Asia-nya, mungkin anak ini pantas buat ikutan casting. Rambut lurus terurai sebahu, pita merah besar bertengger di kepala, dan kerut dahi yang berlipat penasaran.

“Kamu tahu ruang Mr. Darma?” tanyaku sambil mengekorinya yang mulai menggerakkan rodanya dengan piawai.

Ia memejamkan mata berkonsentrasi, mengingat-ingat siapa Mr. Darma yang kumaksud. Lalu menunjuk ke satu arah. “Kayanya di sana. Mau aku antar?”

“Wah, nggak usah, Dek!” Aku mengamati gadis kecil berseragam itu penasaran, ia berkeliaran sendirian di lorong sepi. “Kamu kok nggak masuk kelas?”

“Lagi dihukum sama Miss Cleo.”

Alisku terangkat, sambil mengerjap tak kuasa menahan senyum. “Kenapa?”

“Nggak bikin PR,” jawabnya cepat.

“Kok bisa?”

“Kok bisa nggak bikin PR? Atau kok bisa dihukum?”

“Bedanya apa?”

“Kalo pertanyaannya kenapa nggak bikin PR, itu karena aku sibuk mengerjakan tugas matematika. Kalo pertanyaannya kenapa nggak bikin PR seni musik harus dihukum, cuma Miss Cleo yang bisa jawab. Tuh, orangnya!” Ia mengedikkan dagunya sambil memberengut.

Aku memutar leher ke arah yang ia tunjuk. Seorang perempuan dengan kemeja putih dan rok renda-renda, memicingkan matanya padaku. Tangannya menyilang di dada.

“Ngapain kamu?”

Aku menyeringai, merespon ekspresi dinginnya.

Ya, perempuan manis di hadapanku ini, sudah resmi jadi kekasihku sejak sebulan lalu. Entah apa yang dilihatnya dariku, tapi ia rela untuk jadi penumpang motor tuaku setiap sore, menunggu untuk dijemput dan pulang sama-sama. Kadang dengan relanya, ia ikut mendorong motor mogokku, sampai di rumahnya.

“Katanya aku lagi dihukum?” Matilda kecil di kursi roda, yang malah menjawab.

“Miss nggak nanya sama kamu Mel, tapi Om ini. Ngapain ke sini?” Telunjuknya menunjuk dadaku.

Aku mencari kalimat yang tepat untuk menjelaskan, tapi bel nyaring sudah berbunyi. Membuat kami terhimpit oleh serbuan gerombolan anak-anak yang hendak berpindah kelas.

“Miss, aku udah boleh masuk?”

Cleo tak bisa menyembunyikan senyum kecil di bibirnya. “Ya, udah sana. Ingat ya Mel, besok-besok tugasnya kamu kerjakan. PR mata pelajaran lain, jangan dijadikan alasan untuk menyepelekan tugas dari saya,” ancamnya, tetap dengan nada lembut.

Gadis mungil itu mengangguk. Ia menengadah, memanggil dengan telunjuknya agar aku mendekat. “Makasih, Om!” bisiknya.

“Lho? Buat apa?”

“Buat bikin Miss Cleonya jadi jinak.” Ia memutar rodanya lekas-lekas sambil menyeringai.

Perempuan ini memang tak pernah mau untuk kutemui di gedung tempatnya bekerja. Menyaksikan bagaimana ia selalu berupaya keras mentransfer bakat luar biasanya, pada anak-anak yang belajar dengan alat bantu di tubuh mereka.

“Kamu ngapain ke sini, Mas?”

“Mr. Darma mengontakku. Katanya sekolah lagi butuh seseorang buat mempromosikan websitenya.”

Cleo mengangguk-angguk, sambil memilin rok rendanya. “Aneh nggak liat aku di sini?”

“Seneng,” senyumku.

Ia memutar bola matanya, menyisakan sedikit senyum untuk kutangkap sebelum menghilang di balik kelas.

“Lho? Nggak akan nunjukkin ruangannya Mr. Darma?”

Tak ada yang menjawab. Aku kembali kebingungan mencari arah.

***

“Kamu kenal sama anaknya Bu Titi yang nggak laku-laku itu?”

Aku yang sedang mengelap motor kesayanganku, mendongak mendengar nama yang disebut barusan. Sejak tadi Ibu bicara banyak hal, dari mulai ngomongin Memet yang terus-terusan memeras kocekku dengan tagihan bengkelnya, gosip seputaran tukang sayur, sampai berita terakhir yang membuat aku menengok sekilas.

“Çleo? Kenapa memangnya dia?”

“Kamu kenal sama dia? Awas, ya! Katanya dia perempuan nggak bener.”

“Hus! Bu, ah!” sergahku. “Dengar dari mana, sih? Palingan dari tukang sayur. Mas Jarwo aja didengerin!”

“Beneran tahu, ibu-ibu sini kalau cerita nggak pernah meleset. Semua berdasarkan fakta.”

“Nah kan, ibu-ibu komplek aja didengerin.”

“Kamu kenapa sih? Kok belain gosip orang?”

“Lah, Ibu ngapain cerita sama aku?”

Ia menggeleng, mengernyitkan hidungnya. “Kamu punya pacar, ya?”

“Lho, kok jadi aku?”

“Habisnya, tiap pagi-sore sekarang mesti keluar rumah,” selidiknya, mengamati ekspresi wajahku, yang biasanya dengan mudah ia tebak. “Nah, kan!”

“Belum serius, Bu. Doain aja!”

“Namanya siapa? Orang mana?”

“Belum-belum Ibu udah bikin aku takut,” dengkusku. “Udah ah, aku mau kerja lagi. Kalau nggak kerja, nanti nggak punya modal buat menikah.” Aku meninggalkannya sambil melenggang dengan entengnya.

Ponselku bergetar.

“Halo? Mas?”

“Ya?”

“Hari ini nggak usah jemput ya. Saya ada perlu dulu,” putus Cleo tiba-tiba.

“Nggak akan aku anter?”

Ia membuang napas perlahan. “Kayanya nggak. Maaf ya.”

“Kenapa sih? Ada yang salah?”

“Nggak kok. Saya baik-baik aja.” Ia kembali mendesah.   

“Halo? Halo?” Aku bertanya pada suara nut-nut-nut di seberang sana.

***

Cleotha adalah perempuan pertama yang aku ajak bertemu Ibu. Meski ia belum sepakat, aku merencanakan hari ini sebagai hari besar untuk mempertemukan mereka, dua orang istimewa di hidupku.

Meski usia hubungan kita baru seumur kangkung muda, Cleo sanggup memahamkan aku akan arti konsistensi. Meski cinta tak melulu soal rasa, kadang banyak pertimbangan yang bisa dimatematikakan dengan angka; baik-buruk; untung-rugi, meski hubungan ini bukan hubungan transaksional.

“Beneran Ibu nggak ada di rumah?”

“Kenapa sih, kamu nggak mau ketemu ibuku?”

Ia tertunduk, memainkan ujung mary jane-nya menggesek lantai. Lalu mengerjap, jelas ada yang ia gundahkan.

“Kenapa sih? Aku yakin ada sesuatu yang kamu pikirin.”

“Kalau kamu yakin ada sesuatu, kenapa masih memaksakan kehendakmu mengenalkan aku sama Ibu?”

Dahiku refleks mengerut. “Apa sih yang kamu takutkan?”

“Nggak semua alasan bisa dijelaskan dengan mudah, Mas. Saya butuh waktu.”

Aku mendengkus, mencoba melukiskan rasa kesalku dengan satu kibasan tangan. “Kamu nggak bisa egois,” ucapku dingin. “Butuh dua orang untuk bisa memadu hubungan. Jangan hidup dalam kepalamu sendiri.”

Ia menghela napas. “Nggak semua orang bisa paham. Nggak semua orang bisa menerima kondisi kita.”

“Kamu ngomong, seolah-olah kita nggak layak buat bersama. Apa serumit itu buat menjalin hubungan sama kamu?”

“Kita nggak cuma hidup berdua! Ada nama baik keluargamu, ada gunjingan untuk ibuku!”

“Hei, hei… ini ada apa sih? Kok makin jauh bicaranya?” Aku mencoba menenangkannya.

“Sebaiknya aku pulang, Mas,” bisiknya. “Kamu nggak akan paham.”

Aku mencekal lengannya, mencoba menahan agar ia tak pergi. “Kalau begitu, coba pahamkan aku,” bisikku terdengar memelas.

Ia hanya mengerjap. Tak melanjutkan ucapannya.

***  

Ibu menyampirkan handuk kecil di kursi sebelah kasur, setelah mencuci tangannya di wastafel. Tatapan lasernya seolah menembus tengkorak kepalaku, mengirim frekuensi pertentangan.

“Lihat, kan? Jadi begini kalau nggak menurut sama orang tua.” Ia mengayunkan telapak tangannya ke arah kakiku yang terbebat. “Kalau sudah begini, Ibu lagi yang ngurusin kamu.”

Aku diam. Memainkan ujung perban sambil meringis.

Mau tahu? Kenapa semua jadi begini? Kamu boleh tanya sama Cleo, yang kini sudah berada ribuan kilometer jauhnya.

“Kemana perempuan itu? Kalau kamu sudah menderita begini. Masih mau dikejar-kejar?”

“Bu… tolonglah,” mohonku. Tak mau berpanjang lebar berdebat dengannya. Perban dan gips yang membalut tubuhku, tak seberapa sakitnya dibanding hatiku yang carut-marut.

***

“Om, mau ketemu Miss Cleo?”

Aku menundukkan tubuhku, menyamai tinggiku dengannya. Amel yang duduk di kursi roda, datang menghampiri begitu melihat aku dari kejauhan.

“Om mau ketemu Mr. Darma. Tapi, boleh deh kalo Miss Cleonya ada.” Aku terkekeh,

“Emang Om belum tau?”

“Tau apaan?”

“Miss Cleo pindah kerja ke Malaysia. Katanya, main musik lagi di sana.”

AKu melongo. Tapi… semalam HP-nya masih bisa dihubungi. Apa kepindahan ini, yang mebuat Cleo nyaris seperti orang linglung belakangan ini?

“Tapi, Om. Tadi Miss Cleo sempet ke sini kok, nggak lama sebelum Om datang. Katanya mau mengejar taksi ke bandara.”

“Serius, Mel?”

Amel mengangguk-angguk. “Mau Om kejar?”

“Makasih ya, Mel.” Aku menepuk puncak kepalanya, yang kali ini diikat pita biru. Lalu melesat menuju tempat Ali Topan diparkirkan. Aku sedang membutuhkan performamu, Li!

Jalanan menembus Cengkareng diguyur hujan deras. Jalanan rusak yang coba kuhindari, dan rapatnya deras air hujan menutup pandangan dan fokusku melihat jalanan berlubang. Dari arah berlawanan, sebuah truk container tak bisa kuhindari setelah melewati deretan batuan yang hancur tergerus air. Setirku pun oleng. Ali Topan jatuh berguling-guling menyentuh aspal yang basah.

***

Setahun berlalu. Aku masih begini-begini saja, tetap tak ada komunikasi dari dia. Yang aku tahu, Ibu masih selalu mengucap kata benci untuknya.

Belakangan aku baru tahu, kalau Bu Titi bekerja sebagai hostes di sebuah tempat hiburan, pada jamannya dulu. Orang-orang di komplek rumah kami tak pernah setuju dnegan kehadirannya, bahkan sejak ia pindah ke sini. Apapun yang dilakukan Bu Titi dan anak perempuannya, selalu mendapat cemoohan.

“Motor aja kamu urusin!” Ibu cuma numpang lewat depan kamar, tapi sempat-sempatnya ia mengumpat.

“Terus, aku harus ngurusin apa kalau begitu?”

Ia mendelik. Biasanya kalau sudah begini, alamat satu bab buku nasihat cara mendidik sopan santun anak keluar dari mulutnya, ditambah data-data gosip yang ia kumpulkan dari tetangga sebelah.

‘”Perempuan itu sama aja kayak ibunya!”

“Bu!” geramku. “Salah Cleo apa sih sama Ibu? Kok kayanya Ibu benci banget sama dia, padahal sekalipun kalian belum pernah ketemu.”

“Salahnya… salahnya, ya karena dia anak ibunya!”

Aku mengernyit. Kebingungan mencari arah pembicaraannya. “Bu… ada yang mau Ibu omongin sama aku?” Aku menghampirinya, berusaha menurunkan nada bicara.

Ia menggeleng, kelimpungan, tampak merasa bersalah telah sesumbar.

“Ibu ada masalah sama Bu Titi?”

Ia menunduk, mencari tempat untuk sandaran punggungnya.

“Dulu sekali… ayahmu selalu mencari alasan agar pergi dari rumah dengan motornya. Motor kamu itu.” Ibu mengedikkan dagunya kea rah Ali Topan. “Sama kawan-kawannya, pulang malam, jarang sekali ada di rumah.”

“Ibu nggak pernah tanya sama dia, mau kemana, sama siapa, pulang jam berapa.” Napasnya mulai memberat, ada bulir yang menghalangi tenggorokannya untuk menumpahkan kata-kata berikutnya. “Lalu Ibu tahu… kalau ayahmu sering pergi ke Pub itu.”

Aku menaikkan alis lalu terkekeh. “Berarti masa muda Ayah memang betul-betul jadi orang yang pandai bergaul.”

Ibu kembali mendelik. “Jangan bercanda!”

Aku mengatupkan bibirku, menghalangi tawa yang hampir menyembur.

“Sampai akhirnya Ibu tahu, ayah selalu memboncengi perempuan itu pulang bekerja.” Ia terdiam sesaat, menahan emosinya. “Pulang sampai ke rumah, nggak peduli apa yang orang-orang pergunjingkan. Nggak peduli sama kamu… apalagi sama Ibu.”

Senyum seketika sirna dari wajahku. “Siapa dia, Bu?”

“Ya, ibunya Cleo itu,” ungkapnya dengan berat hati. “Ibu nggak mau menuduh yang nggak-nggak, tapi wajar, kan? Kalau seorang istri curiga, suaminya boncengi perempuan setiap malam pulang dari pub.”

 “Ayah selingkuh?” desisku. Darah surut dari wajahku. “Sama Bu Titi?”

Ibu diam, senyum kecut membingkai bibirnya. “Ëntahlah, ayahmu nggak pernah menjelaskan. Hanya, yang Ibu tahu, dia selalu bela mati-matian Titi di depan tetangga-tetangga yang bergunjing.” Ibu mengakhiri kalimatnya dengan mengangkat bahu.

“Kenapa Ibu nggak cerita dari dulu?”

“Sama kamu?”

Aku mengangguk pelan.

“Biar apa? Biar kamu ikutan benci?” Ia menghela napas. “Menyimpan kebencian sekian tahun saja udah bikin Ibu capek.”

“Itu alasan kenapa Ibu membenci Cleo?”

“Ya, apalagi?”

Aku menggeleng, berusaha menghalau pikiran-pikiran buruk yang hinggap di kepala. “Bukan anaknya Ayah, kan Bu?”

Ibu tiba-tiba tertawa keras, dibarengi isak. “Ayahmu sih bilangnya nggak. Bukan anaknya.”

Aku membuang napas lega. “Lantas karena dia anaknya Bu Titi, Ibu tetap ngga suka sama Cleo?”

“Dulu ayahmu… terus nanti kamu, yang nggak pernah pulang gara-gara mereka.”

“Maksud Ibu?”

“Mereka berdua, Titi dan anaknya, seperti dilahirkan untuk bikin Ibu merana.”

“Kok Ibu bilang gitu, sih?”

“Pantas kan? Kalo Ibu bilang, selama ini Titi dan anaknya membuat keluarga kami tidak tenang.”

“Salah Cleo di mana Bu?”

Ibu mendengkus kasar. “Ya, salahnya dia dilahirkan sama orang yang merebut perhatian ayahmu dari Ibu!”

Aku mengerjap, tak berani berucap apa-apa. Bahkan untuk mengambil napas sekalipun. Perasaan bersalah mulai merayapi batinku, pada Ibu, pada Cleo. Tak ada yang pernah menginginkan hal ini terjadi.

Aku berhenti mengelap Ali Topan. Menatap ibuku dari jauh. Binar matanya sudah ranggas sejak bertahun lalu, kini aku tahu siapa yang mencuri cahaya dan menyebar rasa benci di hatinya hingga terus bertumbuh. Suaminya sendiri.

Cleo menjau ribuan kilometer dari tempatku ebrpijak saat ini. Aku berusaha paham akan ketakutannya menemui Ibu. Bagaimana ia ketakutan jika harus mengurai benang-benang masa lalu antara ibunya dan ibuku. Meski semua hanya sebatas prasangka dan gunjingan orang, cinta kami berdua terpasung asumsi-asumsi mereka.

“Bu… Si Ali kita jual aja. Biarinlah laku berapa, aku nggak ambil pusing,” ucapku melenggang, tak meneruskan ritual mandi Ali Topan yang biasanya mencuri waktuku.

“Kalau cuma laku sparepart-nya aja?”

“Biar! Dibongkar sekalipun aku rela.”

Ibu tersenyum untuk pertama kalinya pagi ini, cerah sekali.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (4)