Masukan nama pengguna
Cinta Gawat Darurat
Oleh Safitri
Aku tidak mengerti mengapa cahaya lampu tiba-tiba meredup. Kemudian, pandangan menjadi gelap, telinga menutup dari kebisinga, seperti lelap dalam tidur. Membuka mata dan terkejut, jarum infus menancap di punggung tangan kanan. Seorang dokter menghampiriku. Tampan, kulit putih, pakai kacamata, dan lumayan tinggi.
Dokter itu bertanya, "Bagaimana perasaanmu?"
Aku menjawab, "Hancur, Dok. Suami saya selingkuh."
"Maaf, bukan itu maksud saya. Sekarang, apa yang dirasa sama badan, Sampean?" tanyanya lagi.
"Pusing saya, Dok. Mikirin enggak ketemu jalan keluar." Dokter itu membuka masker. Senyum manis tercetak di bibir yang merah merekah. Hidung mancungnya membuatku ingin main perosotan.
"Daripada suamimu selingkuh, lebih baik ijinkan saja menikah lagi." Perkataan dari Dokter yang membuat, deg! Rasanya jantungku berhenti berdetak sesaat.
"Apa, Dokter?! Kasih ijin buat nikah lagi?" tanyaku heran.
"Iya, dengan begitu dia tidak selingkuh. Akan tetapi, jika sudah kebiasaan, maka suatu saat akan kambuh. Ya setidaknya, dengan mengijinkan ia menikah lagi akan sembuh sesaat." Dokter itu berkata dengan nada serius, seperti dokter psikiater saja.
"Maaf sebelumnya, dokter spesialis apa?" Tidak menjawab, malah mengangkat satu alis dan mengernyit. Aku melirik sebuah simbol logo rumah sakit di pakaian yang dikenakan oleh sang dokter. Tertuliskan RSJD Surakarta.
"Loh, aku ada di IGD rumah sakit jiwa?" pekikku dalam hati. Mataku terbelalak dan dokter itu masih menatapku dengan tatapan heran.
Aku beranikan diri untuk bertanya, "Dok, kenapa saya dibawa ke sini?"
"Tentu karena psikismu bermasalah," jawabnya.
"Ta-tapi saya enggak gila, Dok. Sa-saya masih waras," kataku sambil menggelengkan kepala pelan.
"Memang, orang yang kondisi psikis terganggu pasti bilang bahwa dia tidak apa-apa, tetapi sebenarnya tidak baik-baik saja."
Rasanya hatiku hancur berkeping. Pusing yang kupikir hanya fertigo atau migran ternyata hal yang lain. Aku berharap ini mimpi. Otakku seakan lari berloncatan, membayangkan akan; rambutku yang menggempal tidak pernah keramas, baju lusuh dan sobek, badan kotor dan bau tidak pernah mandi. Berjalan sendiri tanpa arah.
"Enggaaaaak!" teriakku sekuat tenaga. Dokter tampan itu bergegas menutup mulutku dengan satu tangannya. Kami bertemu pandang untuk beberapa waktu yang cukup lama. Bola mata berkeliaran ke kanan dan kiri.
"Ehm, maaf." Dokter itu melepas tangan, dapat tercium aroma harum napas dan tubuhnya. Jarak kami begitu dekat.
"Untung enggak bau mulut, aroma petai atau jengkol gitu. Bisa pingsan lagi kalau begitu," ucapku dalam hati sampai bibirku mengulas senyum.
Dokter itu menjadi salah tingkah. Baru kali ini aku melihat pria tampan salah tingkah, teramat lucu. Sampai seorang perawat menghampiri kami.
"Pak Anonta, ada pasien yang butuh pertolongan anda." Perawat itu mengatakan dengan nada cemas.
"Hah? Pakan Onta? Hahaha." Aku terbahak, sekilas mendengar nama dokter itu. Semua orang yang berada di ruangan menatap ke arahku.
Aku melihat sekeliling, sesaat, lalu menunduk malu. Kutepuk jidatku. "Aduh, pasti semua orang mengira aku sudah gila beneran," sesalku dalam hati.
"Mari kita segera ke sana," kata dokter Anonta pada perawat.
"Tunggu, Dok! Saya ingin bicara empat mata saja sama, Sampean," pintaku. Dokter itu menghentikan langkahnya dan menoleh padaku.
"Maaf Suster, bisa tinggalkan kami? Nanti saya akan segera menyusul," ucap pria tampan yang terlihat sangat berwibawa. Perempuan dengan seragam warna serba putih mengangguk, lalu meninggalkan kami.
"Ada apa?" tanyanya. Aku memberikan kode dengan jemariku agar dokter tampan itu mendekat.
Bisikku, "Tolong bantu saya keluar dari sini! Ada imbalannya nanti. Saya ini tidak gila, percayalah!"
Dokter Anonta menatapku, lalu tersenyum. Jarak kami begitu dekat. "Boleh tahu imbalannya apa?"
Aku berpikir sejenak. "Uang misalnya. Saya sih tidak punya banyak uang. Jangan berpikir bahwa nanti Sampean bisa memeras saya, yang saya bisa kasih hanya sepantasnya imbalan atau hadiah." Sedikit gugup aku mengucapkan karena memang diriku ibu rumah tangga tanpa penghasilan.
"Simpan saja uangmu, saya tidak butuh. Saya hanya menginginkan seorang istri. Jadi, saya minta ceraikan suamimu, lalu menikah dengan saya," tuturnya begitu manis. Ia mengelus pipiku dengan punggung jari telunjuk. Aku tergugu, tak bisa menolak sentuhannya.
"What? Ni-nikah sama ... sadar, Fit. Sadar!" ungkapku dalam hati. Aku menepis jemarinya dan menghela napas dengan kasar. Sepertinya dokter ini hanya mempermainkan. Mungkin dipikirannya bahwa aku ini gila.
Kulihat Anonta tersenyum menyeringai, lalu pergi begitu saja. "Uh sial, kenapa bisa aku dapat situasi begini," gumamku sambil mengacak selimut yang menutupi sebagian tubuhku. Terpikir olehku untuk segera kabur dari rumah sakit.
Pergi ke toilet, selang infus kucabut dengan paksa. Sakit memang, tetapi tetap berusaha untuk tenang. Pakaian khusus pasien aku tanggalkan, buang ke tong sampah. Perlahan membuka pintu, sambil mengamati situasi.
Setelah dirasa aman, aku keluar mengikuti perawat yang mengantar seorang pasien dengan kursi roda. Berlagak menjadi keluarga pasien, berjalan santai mengikutinya.
Ada kesempatan emas melarikan diri. Lorong menuju keluar rumah sakit sepi. Aku mundur alon-alon, mengendap-endap untuk segera kabur. Langkahku terburu-buru setelah jauh dari perawat itu. Akhirnya, bruuukk!
"Aduh, kakiku. Bisa-bisanya pakai acara nyungsep," rutukku. Mata mengerjap menangkap sepasang kaki di hadapan. Mendongak, melihat seorang lelaki paruh baya berdiri menatapku.
"Kok cuma dilihatin? Tolongin dong!" pintaku sambil mengulurkan tangan.
"Jatuh, ya? Sakit? Kasian, hahaha." Pria itu malah meledek.
"Dasar orang gila!" umpatku. Berpikir sejenak dengan kata-kata yang keluar dari mulut.
"Eh, ini 'kan memang rumah sakit jiwa," gumamku.
Kulihat pria itu mendadak berlari, seorang perawat mengejarnya. Aku bangun sendiri, menepuk kedua tangan untuk menghilangkan debu. Terjerembab membuat lutut ngilu dan mungkin lutut yang tertutup celana panjang ini lecet.
Sampai di lobby rumah sakit, aku merogoh kantong celana mengambil ponsel. Memesan taksi online, sambil menunggu celingukan, barangkali ada yang memergoki akan melarikan diri. Tidak butuh waktu lama, taksi yang ku pesan tiba.
Aku pulang dan mengganti pakaian dengan daster, panjang selutut. Tidak lupa menyemprotkan parfum, menyisir rambut dan memakai krim wajah untuk malam hari.
"Ayah ...." Aku menggoda, memeluk dari belakang. Suamiku sedang sibuk dengan laptopnya. Mengerjakan tugas tambahan dari tempat kerja.
"Seharian kamu ke mana?" tanyanya tanpa menatapku.
"Harusnya aku yang tanya, Ayah ke mana saja? Sampai di IGD, tapi Ayah enggak datang." Aku mengelus rambut suami dengan kasih sayang. Yah, walaupun tahu perselingkuhannya, tetapi tetap sayang.
"Kamu kabur kan dari rumah sakit?" Ia mengucapkannya dengan nada datar. Heran, tidak ada rasa cemas sama sekali terhadapku.
"Ayah tahu dari mana?" tanyaku.
"Tadi ditelpon pihak rumah sakit, sempat ke sana, tapi kamu sudah enggak ada." Berarti suamiku sudah tahu semua, baru mau mulai cerita kejadiannya.
"Ayah, masa' aku masuk RSJD. Pasti ada kesalahan."
"Apanya yang salah?" Terkejut, seakan suami setuju bahwa aku ini sudah gila.
"Tanda-tanda kegilaan tahap awal itu; yang pertama malas mandi, kedua malas makan, ketiga suka bengong dan itu semua ada sama kamu!" sambungnya.
Astaga, aku tercengang mendengarnya. Ada rasa dongkol, sedih dan kecewa. Berkecamuk, campur aduk. Orang yang aku kira akan mendukung malah membuat lumpuh semangat hidup.
Aku melepas pelukan. Ingin melangkah ke dapur untuk minum air putih agar merasa sedikit tenang. Langkahku terhenti sejenak saat suami berkata, "Jangan lupa minum vitamin yang kemarin!"
Pikiran tertuju pada botol kecil berisi kapsul yang suami bilang itu vitamin. Otak yang jahat berpikir, apa gara-gara kapsul itu. Kepalaku pusing setelah mengkonsumsinya.
"Sebaiknya besok bawa kapsul ini ke apotek biar tahu khasiatnya apa. Suami enggak boleh tahu hal ini," batinku.
Sampai di kamar Suami berkata, "Cepat minum obatnya!" Mataku terbelalak.
"Su-sudah tadi di dapur." Aku sedikit gugup karena tidak biasa berbohong.
"Bohong! Minum satu lagi, aku mau lihat langsung. Kapsul itu herbal, enggak apa-apa dikonsumsi lebih dari satu," tuturnya.
Pura-pura kuminum vitamin itu, menahannya di mulut. Suamiku mengeluarkan satu botol kecil air kemasan. Aku minum dan tetap berusaha agar kapsul itu tidak lolos masuk ke lambung.
Suamiku tersenyum melihat perintahnya terpenuhi. Bergegas menuju ranjang dan membuang kapsul itu ke bawah ranjang saat suami tidak melihat ke arahku.
Pagi menjelang siang, aku pergi ke apotek. "Maaf, saya mau tanya kapsul ini khasiatnya apa?" Satu botol putih susu tanpa lebel merek, aku berikan.
"Ini kapsul sarang semut, Ibu. Obat ini herbal, biasa dikonsumsi oleh penderita kanker, tumor atau stroke." Aku tidak percaya akan hal ini.
"Ada efek sampingnya enggak, Mbak?"
"Tidak ada, Bu. Ini obat herbal, kalaupun ada efek samping bisa langsung hubungi dokter. Sejauh ini belum ada keluhan, sarang semut masih terbilang aman dikonsumsi untuk suplemen, antioksidan juga antibiotik."
Pergi ke kantor---tempat suami bekerja---adalah tujuanku saat ini. Banyak tanda tanya di kepala, membutuhkan jawaban. Kebetulan di jam istirahat. Di kantin dekat kantor, kami mengobrol sambil makan siang.
"Ayah, kapsul yang semalam dapat dari mana?" Aku menanyakan karena harganya lumayan mahal.
"Ayah sudah janji sama yang ngasih vitamin itu, enggak boleh cerita apapun." Benar dugaanku, kapsul itu dari seseorang. Aneh sekali mendengar jawabannya.
"Ya, tapi kenapa? Apa tujuannya kasih aku kapsul sarang semut? Kenapa lebel mereknya dicopot? Terus kenapa enggak kasih langsung ke aku?"
Suamiku melotot dan bertanya, "Kok kamu tahu itu kapsul sarang semut?"
Aku mendengkus. "Aku tadi cek ke apotek." Mata memicing ke arahnya, mencoba menerka arti gelagatnya.
"Fit!" panggil suami seraya meraih kedua tanganku. Tersentak kaget, apalagi melihat raut mukanya yang tiba-tiba sendu.
"A-ada apa, Mas?" Aku sedikit gugup mendapat perlakuan yang tidak biasa di tempat umum.
Suamiku menggenggam tanganku erat dan berkata, "Maaf selama ini sudah ngecewain, sudah nyakitin perasaan kamu. Mas selingkuh bukan untuk kesenangan semata. Tujuannya untuk dapat uang tambahan dari wanita itu, tetapi enggak sampai melakukan hubungan intim. Kamu tenang saja."
Pernyataan apa ini? Tetap saja hati ini kecewa. Aku mencoba berdamai dari masa lalu, melupakan pengkhianatan suamiku.
"Aku akan bantu kerja, Mas. Enggak perlu selingkuh dengan alasan untuk dapat uang. Itu benar-benar nyakitin," ucapku kepadanya.
"Jangan! Jangan kerja, Fit! Kamu sakit serius. Mas enggak mau kamu kenapa-kenapa," tuturnya.
"Emang aku sakit apa?" tanyaku sambil mengernyit heran.
"Tumor otak," jawabnya.
Seakan tidak percaya dengan kenyataan. Mata mulai berlinang air mata. Suamiku mendekat dan langsung memeluk. Hari berlalu dengan perasaan yang sedih. Namun, sedikit terobati karena sikap suamiku yang hangat. Ia lebih peduli dan perhatian.