Masukan nama pengguna
Fajar telah tiba. Ufuknya bersinar melintang kekuningan. Suara burung tidak lagi terdengar. Mentari sebentar lagi keluar.
Gina sudah menyelesaikan menata meja. Kursi-kursi diletakkan sesuai pemandangan bukit, lereng, air terjun sungai dan berbagai taman. Tengahnya terdapat satu vas bunga violet. Menyesuaikan supaya tidak ada yang terpapar sinar saat menikmati hidangan.
Aku menyiapkan berbagai macam kopi kopian. Mulai dari arabica, robusta, liberica, espresso, americano, latte, cappuccino, cold brew dan tak lupa caramello. Semua varian biji dan bubuk kopi tersimpan rapi. Selesai itu lanjut cek stok barang, mekanik kasir dan mengakhiri persiapan buka kafe tidak lupa aku menyajikan dua cangkir kopi untukku dan adik perempuanmu.
Hot cappuccino kesukaan adikmu dengan creamy serta taburan choco dan caramello ku tidak pernah terganti setiap pagi.
Aku melangkah menuju barista berkuncir kuda itu berdiri. Aku letakan kopi di atas meja kemudian ikut memandang sejuknya air yang bertabrakan dengan bebatuan di tepian sungai.
"Kenapa, Gin?" tanyaku pada Sang Barista. Dia terlihat resah pagi ini.
"Aku kangen Abang, Mbak,” jawabnya dengan suara mencicit.
"Semua merindukannya, Gin,” ucapku seraya mengelus lembut pundak Gina. Aku tahu setegar karang di lautan, hatinya tidak berdusta kalau Ia sedang merindukan Abang tersayangnya.
"Duduk dulu, Gin. Minum dulu kopimu biar sedikit tenang,” tuturku lagi.Tidak lupa aku lukis senyumku supaya dia tidak larut dalam kesedihan.
"Maafkan aku, mbak," ucapnya seraya menyeruput cappuccino.
"Kenapa jadi minta maaf?" tanyaku yang tidak mengerti maksud Ia mengatakan demikian.
"Maafkan aku karena sekarang aku gagal tegar. Aku yang selalu saja mengatakan harus kuat dan mengikhlaskan, tapi nyatanya sekarang aku sendiri yang gagal, mbak,"
Aku paham. Memang sulit untuk kita merelakanmu pergi, meskipun sudah tersimpan rapi tetap saja rasa rindu untukku lebih besar dari setiap kata yang terlontar.
"Gin, sini." Aku pegang kedua bahunya agar menatap mataku.
"Kita semua sama gagalnya. Tapi bukan berarti kita tidak bisa memulai lagi. Mengikhlaskan kepergian itu bukan hal yang mudah. Kamu sendiri yang mengatakan demikian, tapi bukan berarti kita gagal bersabar. Dengar Gina , Abangmu disana tidak ingin melihat kamu ataupun aku terus sedih, aku juga belum bisa seperti itu, oleh karena itu kita harus saling menguatkan agar tidak sama-sama tumbang," aku menatapnya lekat.
Senyumku terus aku tahan walaupun hatiku telah menangis.
Ku tepuk pelan dua kali bahu Gina, yang aku pikir itu bisa mentransfer energi ke dia.
"Matahari semakin naik, sekarang pakai topimu jangan biarkan coffee maker lama menunggu Sang Empu," sembari menunjuk arah coffee maker dengan daguku, tidak lupa tawaku suarakan juga. Memecahkan kesenduan pagi.
***
"Saya mau caramello satu, kak," ucap cewek bertopi bulu tebal untuk menghalau dinginya udara pagi masuk ke telinganya.
"Eh kakak yang semalam ya? baik kak saya buatkan dulu. Silahkan tunggu di sana saja, kak," sapa Gina ramah.
"Kamu masih ingat aja sih." cewek itu terkekeh sembari memperhatikan Gina yang tengah meracik kopi untuknya.
"Aku disini saja, kak. Boleh tidak?" tanyanya.
"Boleh saja, kak," sambil bergerak lincah meracik caramello.
"Soalnya aku sendirian disini."
"Pacarnya kemana, kak?" goda Gina.
Dia tersenyum. "Hehe iya kak, dia naik puncak tadi pagi."
"Kakaknya tidak ikut naik?" sambil menyerahkan caramello yang sudah jadi.
"Tidak, aku mendadak tidak enak badan," jelasnya.
"Tidak apa, kak. Melihat pemandangan dari sini saja tidak akan membosankan, tanya saja sama kakakku, sudah lima bulan disini tapi tidak berkeinginan naik," ucapnya yang kemudian tersenyum kepadaku.
Alisku tertaut. Bingung.
"Kok jadi aku?" ujarku tidak terima.
Gina terkekeh puas kearahku.
"Kalian seru juga ya. Boleh aku gabung disini aja? soalnya aku juga bingung mau kemana," kata cewek bertopi bulu.
"Tentu saja, masuk sini," jawabku menyetujuinya.
Dia sangat senang punya teman disaat kesendirian.
***
"Kenapa caramello? Biasanya kalo cowoknya americano ceweknya tuh latte," tanyanya dengan menyertakan sugesti.
"Karena yang punya cake ini tuh couple coffee-nya americano sama caramello, kak," tutur Gina menjelaskan.
Mereka saling bertukar tanya sejak tadi. Tak butuh waktu lama untuk mengusir kecanggungan. Kedekatannya terjalin dengan cepat. Mungkin karena mereka sama-sama pendaki ya
“Kalau ingin tahu alasan pasti kenapa caramello tanyakan saja sama pemilik cafenya, kak."
Seketika cewek tadi menoleh padaku.
"Kenapa caramello, mbak?" da membeo pertanyaannya.
Aku berpikir sebentar.
"Karena caramello selalu menyimpan rasa gurih di setiap seduhan, bukan hanya soal pahit manisnya kopi saja."
Setelah itu aku memberi jeda, menarik nafas dalam. Membayangkanmu tersenyum menatapku sambil berkata,
"Dan kenapa caramello karena..."
"Kenapa caramello...karena ada cinta dalam seduhannya." Aku tersenyum pada cewek bertopi tidak berbulu lagi. Topinya sudah digantikan dengan topi kafe, karena Ia memaksa ingin membantuku dan Sang Barista pagi tadi.
"Aku boleh tanya sesuatu?" ucapku hati-hati.
Dia mengangguk antusias.
"Kenapa kamu ingin naik gunung itu?" tanyaku menunjukan gunung yang menjulang tinggi di hadapan kami berdua.
"Sebenarnya aku suka naik gunung atau lebih dikenal dengan bukit penantian karena sebuah artikel," jelasnya.
"Artikel?" beoku.
Dia mengangguk lagi dan sesekali meneguk kopinya.
Kami tidak lagi di depan coffee maker ataupun kasir. Aku membawanya tour daerah sini. Melihat indahnya negeri ini dari sudut manapun.
Kafe aku serahkan pada Sang Barista dibantu dua rekan kerja lainnya. Dia juga tidak keberatan aku tinggal. Bahkan barista berkuncir kuda lah yang menyarankan aku membawa cewek paras model ini ke matahari tenggelam.
"Sebuah artikel yang menceritakan pesona bukit penantian ini."
"Aku kira itu hanya sebuah dongeng yang ditulis oleh blogger, tapi setelah aku melihat foto-foto yang disertakan juga ada lokasi tempat dimana bukit penantian itu berada, aku jadi oh ternyata memang ada dan seindah ini," jelasnya.
"Disitu juga menceritakan sebuah rumah kecil berlatarkan luas dengan taman bunga violet di arah matahari tenggelam."
"Dan seorang gadis cantik menanti datangnya seorang pangeran, gadis bermata hazel keturunan bule yang tak suka mendaki gunung. Dia lebih suka melihat pemandangan pegunungan di kaki gunung. Dan anehnya gadis itu memiliki kekasih seorang pendaki hebat, keturunan pribumi tampan bak pangeran."
Samar-samar ku tersenyum mendengar cerita cewek itu. Hatiku terasa hangat. Aku seperti merasakan kehadiranmu. Aku tidak menyangka kau senarsis itu mengatakan dirimu bagaikan pangeran.
"Meskipun gadis itu tidak suka mendaki tapi Ia tidak pernah melarang kekasihnya pergi menyusuri bukit tinggi. Disini aku sedikit tersinggung, sih, ya karena aku dan pacarku sama-sama seorang pendaki, tapi kalau aku tidak ikut naik dia juga tidak boleh naik. Baru kali ini saja aku membiarkannya pergi bersama rekan-rekannya tanpa aku. Ya, bisa dibilang aku egois hehe," Ia terkekeh pada ceritanya sendiri.
Sungguh aku tidak tahu tentang artikel yang kau buat.
"Oh ya aku ingat disitu juga dia menuliskan sejauh mana kakiku menapak jangan khawatir, hatiku akan selalu pulang," gadis tersenyum menatapku.
"Makanya aku sekarang tidak khawatir dia pergi tanpa ku, karena aku yakin dia pulang lagi.”
Dan kamu yang sampai sekarang tidak berkeinginan untuk pulang, Pangerang?