Masukan nama pengguna
"Istanamu siap kau singgahi meski tanpa pangeran."
Begitulah tulisan terakhirmu di kertas biru muda yang kau berikan padaku.
Kini aku turuti perintahmu untuk bersinggah di istana yang kau dongengkan kala itu. Masih di kaki bukit penantian aku menunggu. Menunggu keajaiban datang padamu. Menemuiku di penantian tanpa batas waktu.
Istanamu kini ramai pengunjung. Itu artinya bukan aku saja yang menantikanmu. Banyak yang rindu dengan canda tawamu. Rindu kehangatan yang kau hadirkan di setiap detik waktu. Lihat lah adikmu, perempuan itu pun tidak sudi meninggalkan negri yang kau ciptakan.
Dia datang dengan sejuta harapan. Segudang kenangan dipindahkan karena tidak ingin jauh darimu. Dia barista terhebat di kafe angkasa. Kafe dengan siklus pengunjung rata-rata adalah mereka yang setapak dengan mu, dulu. Penjelajah semesta. Semua bukit dan gunung takluk padanya.
"Karena Kakak telah memesan cupcake choco cheese maka kakak dapat reward dari kami berupa Couple coffe dengan varian americano dan caramillo, terimakasih atas pemesanannya. Nantikan dengan view yang kakak suka, pesanan akan kami antar secepatnya." Barista itu melayani dengan sopan dan senyum. Sangat lihai berbicara. Tanpa ada lidah melintir dan sangat mengesankan.
Oh iya aku lupa memberitahumu kalau di kafe angkasa selalu memberi reward pada pelanggan yang memesan cupcake choco cheese, cake kesukaanku yang selalu kau belikan saat kita datang ke kafe langganan kita dulu.
Kau pesan seporsi cupcake choco cheese kecil supaya aku dengan mudah menikmati kesukaanku. Bahkan kau tidak mencicipi cupcake itu karena kau bilang yang kau suka sudah bisa dinikmati dengan memandang sang putri raja dihadapannya.
Aku tak bisa menyembunyikan rasa bahagia ku kala itu.
Semoga kau juga tidak melupakan caramillo panas yang kau suguhkan dengan dua cangkir berkala jika kau belum minat pulang. Kau selalu memesan lagi yang baru agar aku tak kehilangan rasa manisnya.
"Mbak, sudah mau pergi?" tanya adik perempuanmu.
Aku tersenyum padanya tanpa aku mengatakan sesuatu pun dia paham akan kemana aku hari ini. Hanya dengan melihat gaun yang selalu aku pakai tiap satu bulan sekali untuk mengunjungimu. Gaun putih yang terpaket khusus untukku. Untuk menunggu kedatanganmu.
Ya, hari ini adalah hari dimana kau dinyatakan hilang dengan tanda kabut pekat bukit. Tanggal tujuh belas pukul delapan malam, di pos keamanan kertas biru darimu datang. Disana aku meruntuhkan segala emosi. Air mataku deras tanpa henti. Karena hanya suratmu yang menghampiri.
"Apa perlu aku temani, mbak," tawarnya.
Aku menggeleng, "Tidak perlu, Gin. Aku tidak lama kok hanya meletakkan bunga violet ini ke vas di arah matahari tenggelam," jawabku meyakinkan.
"Jika perlu sesuatu kabari aku, mbak," pintanya
"Tentu."
Aku tidak melepas senyumku di depan Gina.
"Aku titip kafe, ya, Gin," ucapku sambil mengelus lengan Gina lembut. Sebelum akhirnya aku beranjak menuju arah matahari tenggelam di kaki bukit penantian.
"Bisakah sesabar bunga violet yang tak layu dalam dinginnya semesta?"
Sudah ada enam vas bunga violet tergantung indah, itu artinya sudah enam bulan semesta menyembunyikan mu. Entah sampai kapan kamu akan terus bersembunyi. Aku tidak ingin memandang senja sendiri seperti ini.
Air mataku tidak henti runtuh. Isak ku tidak bersuara lagi. Panorama sore yang kau ceritakan kala itu, kian membias sendu. Aku rindu kamu. Sangat merindukanmu.
Kaki ku lunglai. Terpuruk kesedihan tidak berujung. Sekeras aku mengikhlaskan sesakit aku emban.
"Mengapa kau enggan pulang, Pangeran, istana mu membutuhkan," aku terus saja bermonolog sampai senja benar-benar menghilang.
Getaran dari gawaiku membuyarkan lamunan. Notif pesan dari Gina yang mengkhawatirkan keadaanku saat ini.
"Mbak, aku susul kesana, ya?" itu pesan yang tertulis oleh Gina.
Aku berdiri menegakkan tubuhku, lalu sedikit mengibaskan gaun putih yang berdebu akibat duduk di tanah.
"Tidak usah, Gin. Sebentar lagi aku pulang," jawabku pada pesan Gina. Sebelum akhirnya aku meninggalkan deretan bunga violet dan menatap nanar ujung barat, aku tinggalkan senyum untuk orang yang ku yakini kan kembali.
***
"Karena kakak telah memesan cupcake choco cheese maka kakak dapat reward dari kami berupa couple coffe dengan varian americano dan caramillo, terimakasih atas pemesanannya. Nantikan dengan view yang kakak suka, pesanan akan kami antar secepatnya," kalimat itu masih terdengar tegas. Semangat baristanya belum menurun, saat aku kembali dari matahari tenggelam.
Ku dudukkan diriku di meja yang kosong. Jarum jam sudah mengarah pada angka delapan, namun pengunjung kafe semakin berdatangan.
Kebanyakan dari mereka adalah pendaki yang akan naik dini hari. Sebelum menelusuri pohon-pohon rimbun mereka istirahatkan badan tuk singgah sampai pukul dua. Dengan tenda yang sudah berjajar disana.
Perhatianku pada adik perempuanmu. Dia satu-satunya motivasi ku saat ini.
Tanpa peluh Gina mungkin cafe ini tak berkembang pesat. Dan mungkin pula aku belum keluar dari rintihan kesenduan.
"Wah keren ya bisa dapat couple coffe hanya dengan membeli cupcake choco chees," ujar cewek berbalut jaket tebal, seraya tersenyum pada si laki-lakinya.
"Kakaknya baru pertama kesini, ya?" tanya barista itu.
"Terakhir kesini tahun lalu, tapi belum ada kafe ini," jawab pengunjung tadi.
"Hanya ada posko keamanan pendaki di pintu masuk sana," lanjut laki-lakinya sembari menunjuk posko keamanan pendaki yang berjarak hanya tiga puluh kaki.
"Kafe ini berdiri lima bulan yang lalu kak. Masih belia tapi Alhamdulillah sudah banyak yang suka," timpal barista.
Tangannya lihai menyulap buliran kopi menjadi seduhan nikmat para pecintanya.
Aku tersenyum ngilu mendengar kalimat itu. Ya, lima bulan yang lalu aku membangun kafe ini. Karena aku tidak ingin jauh dari mu. Aku bertekad untuk menghuni rumah kecil buatanmu. Rumah yang kau namai istana di kaki bukit penantian.
Sampai kapan aku harus menantikan itu. Melihat kau datang dengan senyum bulan sabitmu itu. Aku tidak tahu, apakah aku sanggup menantimu seperti bunga violet yang setia pada senja. Kau memang padai membuat cerita. Tapi aku tidak menyukai cerita bagian ini. Bab dimana kamu menghilang saat pendakian. Bab aku harus menantimu yang tidak tersiar kabar.
Jangan biarkan aku semakin membenci untuk mendaki. Kau bilang di bukit sana ada sejuta warna yang harus aku lihat bersamamu nanti. Tapi mengapa kau tidak kunjung turun. Untuk menjemput ku ikut serta menaklukan puncak. Melihat indah yang kau katakan itu. Apa kau sangat menikmatinya disana hingga lupa untuk pulang. Apa seindah itu warna di atas sana sampai kau melupakan diriku.
Sungguh ku menantikan dirimu disini. Di kota yang kau janjikan. Negri dongeng yang kau wujudkan. Meski tanpa pangeran?.
Ah kenapa kalimat itu muncul kembali.