Cerpen
Disukai
2
Dilihat
8,932
CANDLE
Romantis

Brak brak brak brak! Suara pintu di gedor dengan keras secara berulang-ulang.

“Buka! Buka pintunya atau saya dobrak!” teriak seseorang dari luar.

Di dalam kamar kos tersebut ada seorang pria yang mengganjal pintu dengan tubuhnya terduduk di lantai sembari melipat kakinya dengan wajah pucat karena ketakutan, peluh di keningnya sedikit demi sedikit mengalir membasahi tubuhnya yang bergetar dengan hebat, ia sangat ketakutan karena orang-orang yang berada diluar kamar karena mereka sudah lama mengintai serta mengincarnya.

Pria yang tadi menggedor pintu berbicara pada rekannya. “Mari kita dobrak saja.”

“Siap Pak!”

“Satu, dua, tiga.”

BRAK! Suara pintu di buka paksa.

Terdengar suara pintu yang di hantam dengan keras oleh orang-orang yang berada diluar, mereka merangseg masuk ke dalam.

Kres… kres… ces. Bunyi batang korek api yang beradu dengan wadahnya.

Korek api itu menyala dan menyinari wajah seorang wanita paruh baya, ia menyalakan lilin yang berada dihadapannya lalu memadamkan korek tadi dan membawa lilin tersebut seorang remaja yang sedang duduk di lantai bambu sambil menggenggam sebatang pensil dan buku catatan.

Remaja tersebut mencoba mengerjakan tugas yang diberikan oleh gurunya di sekolah namun penerangan yang dimilikiya hanya sebuah lampu cempor yang menggantung di dinding dan kini sudah mulai redup karena minyak yang berada di dalamnya sudah mulai habis, wanita tadi duduk di samping remaja tersebut sembari meletakkan lilin di lantai, ia mengelus kepala remaja laki-laki itu dengan lembut serta penuh kasih sayang.

“Nak, belajarlah yang rajin, ibu sudah tidak lagi muda dan ayahmu sudah tak mampu bekerja,” tandas wanita tadi dengan nada parau. “Jika kamu sukses nanti, ingatlah orang-orang yang ada di sekitarmu dan bantu mereka sebisa kamu.”

“Iya Bu,” sahut remaja laki-laki tersebut sembari telungkup mengerjakan tugas sekolahnya.

“Uhuk uhuk uhuk, hoek,” suara seorang pria yang sedang terbaring di sudut ruangan.

Badan pria tersebut sangat kurus, nampak seperti kulit yang membungkus tulang.

“Ibu suapin ayah kamu dulu yah, sekalian minum obat,” tandas wanita tadi beranjak dari duduknya menuju suaminya yang sedang sakit keras.

“Iya Bu.”

Lilin yang menyala sedari tadi kini memendek karena sudah dua jam lamanya menyinari ruangan gelap tersebut, remaja laki-laki tadi menutup buku catatannya dan menyimpannya kembali ke dalam tas, ia mendekati tikar yang sudah terbentang dan merebahkan dirinya disana, menggunakan lengannya sendiri sebagai bantal agar tidurnya lebih nyaman.

Sebelum tertidur, ia berbaring menatapi langit-langit sembari membayangkan bagaimana jika hidupnya lebih baik dan berkecukupan, mungkin ia takkan tinggal di gubuk usang yang memiliki banyak tambalan di setiap sudutnya.

Ia membalikkan tubuhnya, berbaring ke sebelah kanan untuk menghadap orangtuanya yang sedang tertidur tak jauh darinya. “Kalau aku sukses nanti, aku akan buatkan ibu sama ayah rumah yang besar biar gak tinggal disini lagi,” tukas remaja tersebut sebelum akhirnya ia terlelap dalam tidurnya.

Malam berlalu dan suara adzan subuh mulai berkumandang dengan kerasnya, wanita tadi terbangun dari tidurnya dan berjalan menuju gentong air yang berada di dapur, ia mensucikan dirinya dengan berwudhu lalu kemudian melaksanakan shalat subuh, selesai itu ia kembali ke dapur dan menyalakan kayu yang dimasukkannya ke dalam kompor yang terbuat dari campuran tanah liat dan bebatuan.

Ia menaruh wajan di atas kompor seraya memasukkan kacang tanah yang sudah terkelupas dari kulitnya yang dibelinya kemarin hari saat pergi ke pasar, menambahkan garam ke dalam kacang tersebut tanpa minyak goreng karena mereka memang tidak memilikinya, wanita itu terus mengaduk serta membalikkan kancangnya berkali-kali hingga di rasa sudah matang, ia memindahkan kacang tersebut pada sebuah ayakan bambu, ia mengambil panci disampingnya yang berisikan air serta ubi dan menaruhnya di atas kompor.

Wanita tadi membawa ayakan bambu mendekat pada lilin yang semalam digunakan untuk menerangi kegiatan anaknya mengerjakan tugas sekolah, ia menyalakan lilin, kemudian memasukkan kacang-kacang tadi ke dalam kresek plastik kecil dan direkatkan ujungnya menggunakan nyala api dari lilin.

Mentari sudah menampakkan sinarnya dan ayam mulai berkokok dengan nyaring, membangunkan remaja laki-laki yang tertidur.

“Udah bangun nak? Mandi terus sarapan dan berangkat sekolah abis itu,” suruh Ibunya.

Remaja tersebut keluar dari gubuk menuju pompa air manual yang berada di pekarangan belakang, rimbun pohon dan semak belukar menjadi pembatas alami untuknya ketika mandi, sehabis mandi, ia kembali masuk ke dalam gubuk untuk berganti pakaian, pakaian sekolah miliknya nampak menguning karena itu adalah satu-satunya pakaian yang ia miliki, bahkan sepatunya memiliki lubang dibagian bawah dan sedikit menganga karena terlalu sering bergesekan dengan jalanan.

Ia memasukkan kacang yang sudah di kemas ke dalam tas sekolah lalu mengambil ubi yang ada di dalam panci sembari mencium tangan kedua orangtuanya sebelum beranjak pergi ke sekolah, jalan yang harus ia tempuh cukup jauh yaitu sekitar lima kilometer dan ia menempuhnya dengan berjalan kaki karena tidak mempunyai ongkos untuk naik angkutan umum, terkadang ada beberapa temannya yang tanpa sengaja bertemu di jalan dan mengajaknya pergi ke sekolah menggunakan sepeda motor, namun tidak setiap hari.

Setibanya di sekolah, ia masuk ke kelas dan duduk di barisan paling depan agar dapat melihat lebih jelas karena pandangannya terganggu akibat dari terlalu sering membaca dikegelapan, ia mendengarkan apa yang gurunya sedang ajarkan di depan kelas dengan seksama tanpa menghiraukan temannya yang sedang bercanda sembari tertawa di meja paling belakang.

Karena ia datang dari kalangan bawah, tak banyak orang yang ingin berteman dengannya, hanya satu dua orang saja yang mengajaknya berbicara selama jam istirahat berlangsung.

“Lu bawa apaan hari ini Gam?” tanya temannya yang duduk di atas meja.

Agam menyahutinya sembari mengeluarkan ubi serta jualan kacang milik ibunya. “Bawa kacang sama ubi, tapi cuma kacang aja yang aku jual.”

“Gak apa-apa Gam, seribu kan harganya?”

“Iya.”

Temannya membeli sebanyak lima buah dan membantu menawarkan sisa jualan yang dibawa oleh Agam kepada yang lainnya, ia membawa jualan dari Agam keliling kelas agar habis terjual tanpa sisa.

Bel berbunyi dengan nyaring menandakan jika jam istirahat telah usai, namun guru yang seharusnya mengajar pelajaran sejarah sedang berhalangan masuk karena suaminya jatuh sakit.

Ketua kelas bediri dimejanya sembari berbicara dengan lantang. “Hari ini Bu Siska tidak bisa masuk, jadi kita di suruh ke perpustakaan dan mencari artikel yang menyangkut sejarah.”

“Horeee,” sahut murid yang berada di barisan belakang.

Semua murid kelas itu membawa buku catatannya dan berjalan menuju perpustakaan yang berada di lantai dua, mereka mengambil buku dari rak dan membacanya, ada juga yang berkumpul di satu meja dan membahas apa yang terdapat di dalam buku.

Agam beserta teman sebangkunya mengambil buku yang membahas tentang peradaban pada jaman dahulu, ia duduk berdua dan mulai merangkum isi dari buku tersebut.

Ketika Agam sedang menulis, beberapa siswa menghampirinya dan mulai berbicara padanya dengan nada mengejek.

“Baju lu kuning banget, lu cuci pakai jahe?”

“Kagak kebeli pemutih itu dia, sarapan aja sama ubi.”

“Kacang lu masih ada? Gua beli satu ton sini.”

“Liat sepatunya, kusam banget kek mukanya.”

“Lah berlubang juga itu.”

Agam hanya tertunduk tanpa berkata apa-apa, namun teman sebangkunya membelanya.

“Berhenti! Kalian kalau mau menghina orang jangan sampai segitunya!” bela teman sebangkunya dengan berapi-api.

Siswa yang merundung Agam tidak menghiraukan ucapannya dan menarik kaki Agam sambil melepaskan sepatu miliknya dan berlari sambil saling mengoper ke satu sama lainnya, Agam mencoba mengambil kembalii sepatu miliknya, ia berlari kesana kemari namun mereka masih tetap mempermainkannya hingga akhirnya Agam merasa kesal dan meluapkan emosinya.

“Emang kenapa kalau baju aku kuning?! Emang kenapa kalau aku makan ubi?! Emang kenapa kalau aku miskin?!” tanya Agam berteriak pada mereka dengan mata berair dan tertunduk.

Seorang siswa yang sedang tertidur di salah satu meja dengan berbantalkan tas terbangun degan wajah kesal dan menghampiri para perundung tersebut, ia berjalan di belakang perundung yang sedang memegangi sepatu milik Agam.

Bruk! Brak! Perundung tersebut terpental dan menghantam rak buku karena ditendang oleh Siswa yang terbangun tadi.

Siswa tadi berdiri diantara mereka dengan semua mata tertuju padanya karena suara benturan tadi, ia berbicara pada mereka dengan tatapan mata yang tajam. “Sekali lagi gua liat atau denger lu pada gangguin dia, selamat, masa sekolah lu gak akan tenang!”

Setelah memberikan pelajaran sekaligus perigatan, siswa tersebut mengambil berjalan keluar perpustakaan menuju kantin, meninggalkan Agam yang masih berdiri dengan air mata menetes di wajahnya.

Para perundung tadi mengembalikan sepatu milik Agam sambil meminta maaf atas apa yang telah mereka lakukan, Agam kembali duduk bersama teman sebangkunya.

Wajah teman sebangkunya seperti kebingungan dan tak percaya dengan apa yang dilihatnya hingga bertanya pada Agam. “Lu kenal sama kakak kelas tadi?”

“Enggak,” sahut Agam.

“Itu Alpha, dia kelas dua dan katanya sih yang pegang sekolah ini,” tuturnya. “Bukan cuman jago berantem, dia ganteng juga, banyak cewek anak kelas kita yang suka sama dia.”

“Emang iya?”

“Iya, orangtuanya tajir dan punya pengaruh yang cukup besar di kota ini.”

“Tapi kok aku gak pernah lihat dia di sekolah, dan ini baru pertama kali aku lihat dia.”

“Dia jarang masuk dan sekalinya masuk juga paling tidur di UKS atau perpustakaan, tongkrongan dia di warung yang ada di ujung jalan deket tembok pembatas.”

Agam kembali menulis di buku catatannya hingga jam pulang tiba.

Setelah kejadian itu, tak ada lagi siswa yang menggangu atau mengejeknya karena banyak rumor beredar jika Agam adalah bagian dari geng yang di pimpin oleh Alpha.

Hari kelulusan pun tiba, Agam berhasil masuk ke salah satu universitas yang berada di kota Jakarta menggunakan jalur beasiswa, ia berpamitan kepada kedua orangtuanya dengan penuh isak tangis karena tidak tega jika harus meninggalkan ayahnya yang sedang sakit keras bersama ibunya berdua saja.

Agam mencium tangan ibunya dengan air mata yang menetes. “Bu, sehat-sehat yah, Agam pasti akan sukses dan pulang ke rumah sebagai orang yang akan membuat Ibu sama Ayah bangga.”

Ibunya membalasnya dengan mengelus kepala Agam dengan lembut. “Nak, jangan pikirkan Ibu dan Ayah kamu, kamu harus rajin dan giat belajar,” tandasnya menahan tangis. “Kalau kamu kurang uang atau gak bisa makan, kasih tahu ibu dengan menelepon ke nomor pakde, Ibu nanti akan kirimi kamu.”

“Iya Bu,” sahut Agam mengangkat kepalanya dan berjalan menjauh.

Ibunya berdiri di depan rumah sembari melihat anaknya yang kini tumbuh dewasa, setelah Agam pergi, barulah ibunya menangis dan mengobrol bersama suaminya yang terbaring lemah di ranjang.

Agam pergi menuju kota Jakarta dengan uang yang ibunya berikan sebagai ongkos dari hasil meminjam kepada kerabat serta tabungan yang tidak seberapa, ia bertekad dalam hatinya untuk menjadi orang yang sukses dan dapat membanggakan kedua orangtuanya.

Setelah berjam-jam duduk di dalam kereta, ia tiba di stasiun pasar senen dan menaiki ojek menuju kampusnya untuk melakukan regestrasi serta mendapatkan asrama seperti yang sudah diberitahukan sebelumnya, ia memasukkan barang bawaanya ke dalam kamar dan menempatkan bajunya di dalam lemari, baginya sebuah lemari adalah hal mewah yang tidak dapat dimiliki.

Lima bulan pertama setelah kedatangannya, agam masih bisa makan dan hidup dengan layak serta mendapatkan beberapa teman baru, namun uang yang diberikan oleh ibunya sudah habis dan ia harus mencari cara untuk mendapatkan uang tanpa meminta kepada orangtuanya.

Agam menghubungi pamannya yang berada di kampung untuk memberikan kabar bahwa ia baik-baik saja menggunakan handphone milik temannya, dan meminta kepada pamannya untuk pergi ke rumah orangtuanya agar ia bisa berbicara dengan Ibunya, pamannya menuruti permintaannya dan menelepon balik beberapa menit kemudian.

“Halo Nak,” ucap Ibunya menyapa.

“Assalamualaikum Bu,” tandas Agam memberikan salam.

“Waalikumsallam, kamu sehat Nak? gimana kehidupan kamu disana?” tanyanya dengan khawatir. “Sudah makan? Uang yang Ibu kasih kurang?”

“Alhamdulilah aku sehat Bu, kehidupan aku baik-baik aja,” sahut Agam menjawab pertanyaan Ibunya. “Cukup kok Bu, aku menelepon karena kangen sama Ibu, Ibu gak perlu khawatir sama aku, aku bakal nyari kerja biar bisa mandiri dan kirim uang buat ibu.”

“Nak, jangan repot-repot untuk mengirimi ibu uang, pastikan kamu makan tiga kali sehari dan jangan lupa shalat tepat waktu.

“Iya Bu, Bu udah dulu yah, aku ada kegiatan kampus.”

“Ya Nak, jaga kesehatanmu.”

Agam menahan tangisnya karena kehadiran teman sekamarnya yang sedang menunggunya selesai menelepon, setelah menelepon, ia mengembalikan handphone itu kepada pemiliknya.

Temannya keluar kamar karena ada kelas siang, meninggalkan Agam seorang diri yang sedang menahan lapar karena ia makan hanya sekali dalam sehari pada saat petang untuk menghemat uang.

Agam yang sedang berada di dalam kelas, terlihat gusar karena terus berpikir bagaimana caranya menghasilkan uang sampai temannya pun ia abaikan karena terlalu hanyut dalam lamunannya.

“Woy Gam, lu ngapa bengong kek gitu? Ada masalah apa? Sini cerita,” ucap temannya.

“Uang bekal gua udah mulai abis, gua gak mau minta sama orangtua, nyari kerja yang bisa sambil kuliah dimana yah, gua bingung.”

“Masalah duit Gam?” tanya temannya yang lain.

“Iya,” sahut Agam.

“Kalau itu gampang Gam, lu mau yang kerjanya ringan tapi hasilnya lumayan?”

“Boleh tuh, kayak gimana tapi kerjanya?”

“Nganterinn paket Gam, nanti deh balik ngampus gua ajak biar sekalian lu tahu juga cara kerjanya kayak gimana.”

Selesai dengan kegiatan kampusnya, mereka keluar dari ruag kelas dan berjalan di lorong kampus sembari mengobrol.

“Soal kerjaan yang mau lu kasih, boleh gua tahu kerjanya di bidang apa?” tanya Agam kepada temannya yang berjalan disampingnya.

“Kurir Gam, nganter-nganter paket kayak gitu, lu bisa kerja sambil kuliah dan upahnya lumayan gam.”

“Barang kayak ekspedisi gitu?”

“Iya, sekali ngirim lu dapet lima puluh ribu,” sahut temannya. “Kalau ngirimnya banyak, bayaran lu bisa lebih banyak.”

“Enak juga yah, tapi gua gak ada kendaraan buat kesana kemarinya, gimana itu?”

“Santai Gam, mereka ngasih motor kok sebagai alat transportasi.”

“Cuman pas kerja doang apa bisa dibawa pulang?”

“Bisa lu bawa pulang Gam, lu kira mobil gua dapet dari mana?” sahut temannya yang lain.

Mereka mengobrol hingga sampai di tempat parkir dan masuk ke dalam mobil lalu berkendara meninggalkan kampus dan tiba di sebuah perkampungan, semua mata tertuju pada mobil yang ditumpangi oleh Agam dan temannya, mereka keluar dari mobil dan berjalan melewati gang kecil sampai tiba di rumah salah satu kenalan dari temannya.

Agam nampak sangat gelisah dan ketakutan karena dalam rumah tersebut terdapat banyak pria berbadan besar dengan wajah yang garang, temannya menepuk pundaknya sembari berkata padanya.

“Santai Gam, gak usah tegang,” tukas temannya mencoba menenangkannya.

“Ii-iya.”

Agam dan ke empat temannya duduk di satu sofa yang sama, mereka berhadapan dengan seorang pria yang di sinyalir sebagai pemimpin dari kelompok tersebut dengan dua orang berdiri di sudut ruangan.

“Lu mau ngapain kemari? Ngambil barang?” tanya pemimpimnya.

“Gak bang, ini kuda baru bang,” sahut teman Agam sembari menepuk bahunya. “Kenalin diri lu.”

Agam memperkenalkan dirinya sendiri. “Sa-aaya Agam, kira-kira kerjaan apa yang bapak akan berikan kepada saya?” tanya Agam gelagapan.

Pemimpin dari kelompok tersebut tertawa dengan keras. “Hahahahaaa!”

“Udah gua bilang jangan tegang,” bisik temannya pada Agam.

“Modelan kek gini mau jadi kuda? Bawa setengah satu aja pasti ngompol, hahaha.”

“Gak usah khawatir Bang, gua temenin dia kok.”

“Lu yakin?” tanya pemimpinnya.

“Yakin Bang.”

“Yaudah, nanti kalau ada yang pesan, lu gua hubungi, ambil ini hp,” tandas pemimpinnya menyerahkan handphone kepada Agam.

“Ii-iya Pak,” tukas Agam dengan gelagapan menerima handphone tadi.

Setelah selesai dengan urusannya, Agam beserta teman-temannya pergi ke sebuah warung kopi tempat biasa mereka nongkrong, disana mereka kembali lagi berbicara mengenai pekerjaan yang akan Agam jalani.

Agam bertanya pada temannya sembari memegang gelas kopi. “Kok gua dikasih hp, sebenarnya barang apa yang nanti aku antar?”

Temannya menjawab sembari menghisap rokok. “Barang ilegal, sekali ngirim lu dapet lima puluh ribu, dan penerimanya bisa dimana aja, lu gak harus ngasih ke orangnya langsung, yang penting lu jagain sampai orangnya ngambil barangnya.”

“Oke deh kalau gitu,” tukas Agam.

“Beres ini kita mau ke tempat biasa, lu mau ikut?” tanya temannya.

“Gak ah, gua gak biasa ke tempat kayak gitu dan gak pernah juga.”

“Lu setiap kali diajak gak pernah mau, heran gua padahal seru Gam.”

“Kurang sreg aja.”

Agam menolak ajakan mereka bukan karena ia tidak ingin, melainkan merasa sungkan karena terus-terusan di traktir dari makan hingga kebutuhan lainnya, teman-temannya tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut tapi Agam lah yang kerap berpikiran seperti itu, mereka lanjut menikmati kopi sambil berbincang hingga malam tiba dan pulang, Agam diantar ke asramanya sementara ketiga temannya pergi menuju sebuah klub malam.

Keesokan harinya saat Agam tengah tertidur, handphonenya berbunyi terus menerus hingga membuatnya terbangun, Agam melihat layar handphonenya dan mendapati tulisan ‘Nomor Pribadi’, ia mengangkat panggilan tersebut.

“Lu kemari, ada paket yang mesti lu anter,” tukas penelepon di sisi lain.

“Iya Pak.”

Agam segera mencari mana temannya dalam daftar kontak, akan tetapi temannya terlebih dahulu menelponnya.

“Lu udah bangun? Keluar buru, gua dibawah,” suruhnya pada Agam.

“Iya bentar, gua ganti baju dulu,” tukas Agam mematikan telepon.

Setelah menggantu pakaian, Agam turun ke bawah menuju tempat parkir dimana temannya berada.

“Lu kagak bawa mobil?” tanya Agam.

“Kagak, motor butut investaris ini.”

Agam naik ke atas sepeda motor dan berkendara menuju rumah pemimpin geng untuk mengambil paket, setelah mengambil paket mereka lanjut berkendara menuju lokasi penerima.

Mereka tiba di lokasi dan berehenti sejenak sembari melihat arena sekitar, lalu kembali berkendara dan temannya membuang bungkus plastik makanan ringan yang sudah habis, mereka terus berkendara sekitar tiga ratus meter ke dapan dan berhenti disebuah warung untuk membeli rokok.

Mereka turun dari sepeda motor dan berdiri di depan sebuah warung. “Gam beli rokok, ini duitnya,” suruh temannya memberikan uang.

Agam menerima uang tersebut dan membeli sebungkus rokok, mereka duduk di samping warung sembari menghisap rokok.

“Ini kita ngapain?” tanya Agam.

“Nunggu yang ngambil paket,” sahut temannya. “Bentar gua telepon dulu orangnya,” sambungnya menelepon penerima paket.

Agam hanya memperhatikan temannya yang sedang menelepon.

“Halo, di bawah pohon dekat tambal ban, bungkus ciki warna hijau,” tandas temannya.

“Oke Bang, di dekat pos ronda dalem plastik item,” tandas penerima paket.

Tak berapa lama kemudian dua orang pria melintas dihadapan mereka dan memungut bungkus makanan ringan yang sebelumnya dibuang, mereka berkendara menuju pos ronda dan memungut kantung plastik berwarna hitam yang tergeletak di tanah, mereka kembali berkendara menjauh dari lokasi tersebut menuju rumah pemimpin geng.

Temannya menyerahkan plastik tadi kepada pemimpin geng yang sudah menunggu kehadiran mereka, saat plastik tersebut di buka, ada bungkusan kertas koran yang cukup tebal, mereka menyobek kertas tersebut dan mendapati segepok uang yang diikat dengan karet gelang.

Peminpin geng tersebut menghitung jumlah uang untuk memastikan jika tidak kurang sama sekali, setelah menghitung, ia memberikan beberapa lembar uang pecahan seratus ribu kepada Agam dan temannya.

“Bagian lu, nanti gua telepon lagi, motor bawa aja kalau lu mau pake,” tandas pemimpin geng.

“Oke Bang, gua cabut dulu,” pamit temannya.

Mereka beranjak dari kursi lalu berkendara menuju warung kopi, disana temannya memberikan jatah miliknya kepada Agam sebagai bonus untuk tugas pertamanya.

“Ambil Gam, gua masih ada.”

“Gak, aku udah dapat bagian,” tolak Agam.

“Ambil aja, itung-itung sebagai bonus hari pertama lu kerja,” paksa temannya. “Lu udah paham cara kerjanya?” tanyanya.

“Belum.”

“Jadi gini, nanti lu dikasih nomor handphone serta paket oleh si Abang dalam bentuk apapun itu, lu tinggal buang paket itu di lokasi yang udah di tentukan, sehabis itu lu telepon penerima paketnya sambil ngasih tahu dimana tempat lu buang paketnya,” terang temannya. “Kalau udah, penerima paket bakal ngasih tahu dimana dia naro uangnya dan lu harus ngambil itu uang terus dibawa balik dan di kasih ke si Abang, paham?” sambungnya.

“Paham.”

“Beres ngopi nanti anter gua ngambil mobil, lu bawa aja mobilnya.”

“Iya.”

Semenjak itu, Agam mulai melakukan perkerjaannya seorang diri berdasarkan apa yang telah dicontohkan oleh temannya, ia mendapatkan banyak uang dari pekerjaan tersebut dan bisa mengirimi orangtuanya di kampung.

Agam mulai mengikuti gaya hidup teman-temannya, ia sering pergi ke tempat hiburan malam serta mabuk-mabukkan bahkan tak jarang pula ia mengkonsumsi obat-obatan terlarang yang tentu saja tak baik bagi kesehatan.

Sekitar jam dua pagi, Agam keluar dari sebuah tempat hiburan malam dan berdiri di samping pintu masuk sambil menghisap rokoknya, ia melihat seorang wanita yang tak sadarkan diri di bopong oleh kedua temannya, mereka nampak kelelahan untuk membopong temannya, Agam berjalan mendekati mereka.

“Teler dia?” tanya Agam.

“Iya, kebanyakan kayaknya,” sahut wanita yang berada disamping kiri memegangi tangan temannya yang mabuk.

Agam berjongkok di hadapan mereka bertiga, wanita tersebut mengerti dengan apa yang dilakukan olehnya dan menempatkan temannya di punggung Agam.

“Sebelah mana?” tanya Agam.

“Ikutin aku.”

Mereka berjalan menuju tempat parkir dengan Agam menggendong seorang wanita, kedua teman wanita itu membukakan pintu mobil dan Agam membaringkan wanita yang mabuk tadi di kursi belakang.

“Lain kali jangan sampai teler kek gitu,” tukas Agam menghisap rokoknya.

“Baru kali ini dia sampai kayak gitu, habis diputusin pacarnya soalnya,” tukas wanita itu. “Nama kamu siapa?” tanyanya.

“Gua Agam, lu siapa?” sahut agam bertanya balik.

“Aku Ratna,” sahutnya mengajak Agam bersalaman.

Agam tidak menjabat tangannya dan kembali bertanya pada Ratna. “Lu kuat kagak nyetir balik?”

“Aku agak pusing, teman aku yang itu juga udah sempoyongan jalannya,” tandas Ratna menunjuk temannya.

“Yaudah gua setirin, nanti gua balik naik ojek aja.”

Agam masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi kemudi, sementara Ratna duduk di sampingnya dan kedua temannya berada di kursi belakang.

“Daerah mana?” tanya Agam.

“Pondok indah.”

“Jauh juga.”

“Tapi kayaknya ke tempat kos dia aja deh, aku kalau pulang jam segini nanti diomelin.”

“Yaudah, lu kasih unjuk jalannya.”

“Iya.”

Agam mengantar mereka pulang ke tempat kos temannya Ratna, setibanya disana, Agam membantu mengeluarkan temannya yang tak sadarkan diri ke dalam kos dan berjalan kaki mencari ojek untuknya pulang, namuan Ratna langsung berlari mengejarnya.

“Agam!” teriak Ratna pada Agam yang berada seratus meter jauhnya.

Agam menoleh ke belakang. “Apaan?”

“Aku anter pulang aja.”

“Oke,” sahut Agam berjalan kembali menghampiri Ratna.

Mereka berdua berkendara menuju tempat kos Agam, sekarang Agam tak lagi tinggal di asrama karena penghasilannya sudah cukup untuknya menyewa kamar kos.

“Kamu tinggal dimana?” tanya Ratna.

“Gak jauh dari tempat tadi.”

“Pulang jam segini gak dimarahin?”

“Gua ngekos.”

“Enak yah.”

“Enak gimana, buat bayar kos sama makan gua mesti kerja,” tandas Agam. “Lu kerja?” tanyanya.

“Enggak, aku kuliah.”

“Bisnis?” tanya Agam.

“Kedokteran.”

“Orangtua lu kagak ngomel lu keluar malem kek gini?”

“Aku bilang ke mereka kalau mau nginep di tempat teman sambil ngerjain tugas.”

Agam tersenyum kecil sembari mengejeknya. “Tipikal bocah bangor.”

“Biarin!” tukas Ratna cemberut.

“Mampir ke kang pecel lele bentar yah, gua laper, lu mau makan juga?”

“Boleh.”

Mereka mampir ke tempat makan untuk mengisi perut, setelah kenyang, mereka kembali berkendara.

“Lu abis ini mau balik ke kosan temen lu?” tanya Agam.

“Enggak tahu, kayaknya muter-muter dulu deh.”

“Yaudah gua temenin.”

Mereka berkendara bersama mengelilingi kota, dan beberapa kali berhenti dipinggir jalan.

Sejak pertama kali bertemu, mereka bertukar nomor ponsel hingga beberapa bulan kemudian akhirnya mereka menjalin kasih dan tinggal bersama di sebuah apartemen, namun Agam masih menyewa kamar kos karena ia tidak ingin Ratna mengetahui tentang perkerjaannya.

Setiap kali Ratna bertanya tentang pekerjaannya, Agam selalu menjawabnya dengan berbohong, hingga pada suatu ketika, informasi mengenai dirinya dan gengnya terendus oleh pihak berwajib.

Semua orang yang berkaitan dengan geng tersebut ditangkap, tidak terkecuali teman Agam yang mengajaknya bergabung, Agam mencoba untuk melarikan diri dengan cara bersembunyi di kota lain dengan meninggalkan kegiatan kampusnya, bahkan kekasihnya sendiri yaitu Ratna.

Agam menyewa sebuah kamar kos di daerah Bogor, ia mendengar bunyi pedagang bakso yang berjual sembari memukul-mukul mangkuk menggunakan sendok, ia memanggil pedagang tersebut dan memesan satu porsi, namun saat Agam melihat ke arah bawah, ia sadar jika pedagang tersebut menggunakan sepati berwarna hitam, seketika itu juga Agam berlari dengan sekuat tenaga masuk ke dalam kamar kosnya.

Pedagang bakso tersebut meninggalkan dagangannya dan berlari mengejarnya, ia adalah anggota intelejen yang sudah mengawasi gerak-gerik Agam dari seminggu lalu sampai akhirnya melakukan penangkapan.

Agam mengunci pintu kamar dan menggunakan tubuhnya sendiri sebagai pengganjal agar pintu tersebut tidak bisa di buka, namun pihak berwajib sudah mengepungnya dengan berada tepat di depan kamar kosnya.

Brak brak brak brak! Suara pintu di gedor dengan keras secara berulang-ulang.

“Buka! Buka pintunya atau saya dobrak!” teriak seseorang dari luar.

Di dalam kamar kos tersebut ada seorang pria yang mengganjal pintu dengan tubuhnya terduduk di lantai sembari melipat kakinya dengan wajah pucat karena ketakutan, peluh di keningnya sedikit demi sedikit mengalir membasahi tubuhnya yang bergetar dengan hebat, ia sangat ketakutan karena orang-orang yang berada diluar kamar karena mereka sudah lama mengintai serta mengincarnya.

Pria yang tadi menggedor pintu berbicara pada rekannya. “Mari kita dobrak saja.”

“Siap Pak!”

“Satu, dua, tiga.”

BRAK! Suara pintu di buka paksa.

Terdengar suara pintu yang di hantam dengan keras oleh orang-orang yang berada diluar, mereka merangseg masuk ke dalam.

Agam telungku di lantai dengan kedua tangannya di belakang kepala, pedagang bakso tadi memakaikan borgol pada tangannya, agam dipaksa berdiri dan dibawa menuju kantor untuk diintrogasi mengenai keterlibatannya dalam jaringan geng yang pernah ia bergabung.

Setelah menjalani sidang, Agam dijatuhi hukuman penjara selama sepuluh tahun lamanya, ia menjalani hari-harinya di dalam jeruji besi tanpa ada satupun orang yang mengunjungi.

Beberapa tahun berlalu dan Agam sudah bebas dari tahanan karena mendapatkan potongan masa tahanan, ia kembali ke kampung halamannya untuk bertemu dengan orangtuanya, orang-orang yang berada di lingkungan rumahnya tidak mengenalinya karena janggut serta kumis tebak yang tumbuh tidak beraturan menutupi wajahnya.

Agam menyusuri jalan beraspal yang dahulu adalah jalan setapak dipenuhi bebatuan, kini sudah banyak bangunan berdiri disepanjang jalan menuju rumahnya yang dulunya hanya pepohonan.

Rumah milik orangtuanya yang nampak seperti gubuk usunga kini tidak ada lagi, sebuah bangunan megah berdiri di bekas tanah rumahnya, Agam mengetuk pintu rumah tersebut dan mendapati jika orang yang tinggal disana bukanlah kedua orangtuanya, ia bertanya kepada pemilik rumah tersebut mengenai pemilik tanah sebelumnya, pemilik rumah tersebut memberitahukan kepadanya jika pemelik tanah sebelumnya meninggal dunia dan anak semata wayang mereka entah ada dimana karena tidak ada kabar setelah pergi ke kota dan tanah yang mereka tinggali sekarang telah dijual oleh pamannya.

Agam menahan tangisnya dan meminta alamat tempat dimana pamannya tinggal, pemilik rumah memberikan alamatnya dan mengantarkan Agam kesana karena merasa iba melihat tampilannya yang urakan.

Pamannya mengantarkan Agam menuju tempat pemakaman umum dimana kedua orangtuanya disemayamkan, Agam menangis sejadi-jadinya sembari memeluk batu nisan kedua orangtuanya, ayahnya lebih dahulu meninggal dunia dan dua tahun kemudian ibunya menyusul karena stress dan sakit-sakitan.

Setelah meratapi kesedihannya, Agam kembali ke rumah pamannya dan pamannya memberikan uang hasil menjual tanah milik orangtuanya yang masih utuh sama sekali tidak berkurang sepeserpun, mereka duduk di ruang tamu.

“Kamu kemana selama bertahun-tahun lamanya? Paman dan ibu kamu sempat mengunjungi tempat kamu menimba ilmu dan bertanya mengenai kamu namun pihak kampus tidak mengetahui sama sekali keberadaan kamu,” tandas pamannya.

“Saya terjerat kasus yang mengharuskan saya untuk mendekam dibalik jeruji besi sepuluh tahun lamanya,” sahut Agam. “Saya ingin memberitahu Ibu namun hati kecil saya berkata tidak karena itu akan menyakitinya, lebih baik ibu tidak mengetahui hal itu.”

“Ibu kamu terus memikirkanmu siang dan malam tanpa henti, waktu itu, beberapa tahun yang lalu ada seorang wanita yang sedang hamil mendatangi rumahmu dan mengobrol dengan ibumu, ia sempat menginap di rumah kamu selama dua minggu dan datang lagi beberapa kali untuk merawat ibumu, namun beberapa tahun kemudian ia kembali lagi dengan seorang anak kecil ketika ibumu meninggal dunia,” tuturnya. “Dia berpesan pada paman jika suatu saat paman bertemu dengan kamu, tolong hubungi dia di nomor yang diberikannya, namun handphone paman hilang ketika berbelanja di pasar.”

Agam tertunduk sedih dengan air mata mengalir membasahi pipinya, semua ingatan sepuluh tahun lalu terlintas begitu saja dalam benaknya. “Ratna…,” tandasnya dengan pelan.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)