Masukan nama pengguna
Clara bangun lebih awal dari biasanya. Suara Mika yang mengigau pelan di kamar sebelah membangunkannya. Ia melirik jam—pukul 5:12. Udara masih gelap dan dingin. Di dapur, suara panci bersentuhan dengan kompor sudah terdengar samar. Cilla rupanya sudah lebih dulu bangun. Hari itu, rumah hanya diisi oleh mereka—Clara, Cilla, Dani, dan Mika. Ayah mereka, Lukman, lembur sejak pagi karena proyek akhir bulan. Dan Bella, ibu tiri mereka, meninggalkan catatan pendek di meja makan:
"Arisanibu staff, jangan sentuh kulkas. Mama sudah buat puding, nanti sore mau dibawa ke rumah Bu Tati."
Clara membaca catatan itu sambil menggigit bibir. Ia melirik ke kulkas yang terletak di ujung dapur. Tertutup rapat. Tak satu pun dari mereka berniat menyentuhnya.
“Kita nyuci dulu yuk habis masak,” ujar Cilla.
Clara mengangguk. Mereka terbiasa membagi pekerjaan rumah di hari libur seperti ini. Setelah sarapan roti sisa kemarin, mereka mencuci pakaian, mengepel, dan menyapu halaman. Mika yang baru berusia lima tahun ikut menyapu lantai depan rumah sambil bersenandung kecil. Anak itu memang ceria. Tak banyak bicara, tapi selalu berusaha membantu.
Dani, seperti biasa, pergi entah ke mana. Meninggalkan rumah tanpa pamit sejak pukul 8. Clara sempat melihatnya menyelinap ke luar pagar, mengenakan jaket dan membawa botol minum. Tak ada yang bertanya, karena semua sudah tahu, Dani tidak suka diatur.
Hari berjalan tenang. Menjelang sore, Clara dan Cilla mulai menyetrika baju sambil menonton TV. Mika tertidur di sofa. Dani belum kembali. Pukul 19.10, suara derit pintu depan membuat mereka menoleh. Bella datang dengan wajah sedikit lelah, namun membawa kantong plastik penuh oleh-oleh kecil. Clara berdiri, hendak menyambut, tapi langkah Bella langsung mengarah ke dapur.
Dan di sanalah semuanya berubah.
“SIAPA YANG SENTUH PUDING INI?!” Suara Bella menggema seperti dentuman petir. Clara dan Cilla saling menatap. Mereka berdiri perlahan, tubuh kaku.
“APA INI? HANCUR! ADA YANG COLEK TANPA SENDOK?!” Bella berdiri di depan kulkas, pintunya terbuka lebar. Di rak tengah, tempat wadah puding kaca diletakkan, terlihat puding warna ungu itu telah rusak bentuknya. Seperti dicolek pakai tangan—tidak rata, sisi-sisinya berlubang, tak beraturan.
“Clara! Cilla! MIKA! DANIIIII!!! KE SINI SEMUA!”
Anak-anak berkumpul di ruang makan, duduk berjajar seperti tahanan. “Siapa yang sentuh kulkas?! Ngaku sekarang juga!” Suara Bella mengguncang udara. Cilla menelan ludah. “Kami… kami gak buka kulkas, Ma…”
“Ngibul kamu!” bentaknya. Clara menggenggam tangan adiknya. “Sungguh, Ma. Kami bahkan gak pegang kulkas. Tanya Cilla…”
Bella mengalihkan pandang ke Dani. “Kamu?!”
Dani mengangkat tangan seperti bersumpah. “Aku gak makan itu, Ma. Aku dari pagi keluar.”
“Mika?” tanyanya, lebih lembut—sedikit. Tapi Mika menunduk. “Aku… enggak… enggak buka kulkas, Ma…”
“DIAM!!!” teriak Bella. “Kalian semua pembohong! Satu rumah isinya orang munafik semua! Pantas hidup ini gak beres!”
Lalu, tanpa aba-aba, Bella menyambar gayung air dari dapur dan mengguyur kepala Clara dengan keras. Air dingin mengalir dari rambut ke dagu, membuat baju Clara basah. Cilla menjerit kecil, tapi hanya sebentar. Gayung kedua mendarat di atas kepalanya. Lalu Dani. Lalu Mika. Semua basah kuyup.
“Karena satu dari kalian gak ngaku, kalian semua harus tanggung jawab!” teriak Bella, matanya membelalak.Langkah kaki terdengar di luar. Pintu depan dibuka dengan cepat.
“Ada apa ini?” Lukman muncul, masih dengan tas kerjanya.
“Anak-anak ini ngerusak puding yang Mama buat dari pagi! Lihat nih!” seru Bella sambil menunjuk kulkas. “COLEKAN TANGAN!”
Lukman menatap anak-anaknya yang kuyup, gemetar, terdiam. “Sayang… sabar dulu. Mungkin bukan mereka. Kita tanya baik-baik—”
“GAK ADA BAIK-BAIK! AKU MAU MEREKA SUMPAH AL QURAN SEKARANG JUGA!”
Clara memejamkan mata. Badannya menggigil, bukan karena dingin saja, tapi karena takut. Lukman memegang lengan Bella. “Kamu serius?”
“AMBIL AL QURANNYA!” teriaknya histeris. “BIAR SEMUA SUMPAH! BIAR KETAHUAN SIAPA YANG PUNYA JIWA IBLIS DI RUMAH INI!”
Cilla mulai menangis. Dani memalingkan wajah. Mika sudah menggigil di sudut ruangan. Lukman menatap anak-anak itu. “Sudah, sudah… tak usah seperti ini…”
Tapi Bella sudah membawa qur'an kecil dari lemari ruang tamu. Ia meletakkannya di atas meja makan dengan keras. “Satu-satu! Clara dulu! Sumpah kamu gak buka kulkas!”
Clara menatap ayahnya. Tatapannya memohon perlindungan. Tapi Lukman tak berkata apa-apa. Dengan tangan gemetar, Clara menyentuh mushaf itu. “Aku… tidak buka kulkas, Mama…”
“Cilla! Sekarang kamu!”
“Aku juga tidak buka kulkas…”
“Dani!”
“Aku juga, Ma…”
“Mika!”
Anak kecil itu memandang sekeliling dengan mata berkaca-kaca. Tangannya kecil, gemetar saat menyentuh sampul kitab. “Aku… gak buka kulkas…”
Bella mendengus keras. “Mulai sekarang, gak ada yang boleh buka kulkas tanpa izin!”
Ia menunjuk mereka satu-satu. “Dengar baik-baik! Bahkan kalau mau ambil satu butir anggur pun, KALIAN HARUS LAPOR! KALIAN BUKAN PENGHUNI RUMAH INI SEPERTI AKU! KULKAS ITU AKU YANG BELI!”
Tak ada yang menjawab. Sejak malam itu, kulkas menjadi benda suci di rumah itu. Tak bisa disentuh, apalagi dibuka, tanpa restu Bella. Esoknya, ketika Clara hendak mengambil tomat untuk dimasak, ia berdiri beberapa detik di depan pintu kulkas, memandangi benda itu seperti menatap jurang. Kemudian ia melangkah ke kamar Bella, mengetuk pelan.
“Ma… boleh ambil tomat di kulkas?”
Beberapa hari kemudian, Cilla hendak membuat jus jeruk. Tapi ia berhenti di tengah jalan. “Ma… boleh ambil jeruk kulkas gak?”
Setiap hari, kalimat yang sama diucapkan seperti mantra:
“Ma, boleh buka kulkas gak?”
“Ma, aku ambil air putih di kulkas ya?”
“Ma, aku bagi apel ya?”
Dan setiap kali, Bella mengangguk dengan angkuh, seolah berkata: Bagus. Kalian tahu tempat kalian. Clara dan Cilla tahu, puding itu mungkin bukan sengaja dicolek siapa pun. Bisa saja Mika kecil iseng tanpa sadar. Bisa saja Dani. Bisa saja siapa pun. Tapi yang pasti, trauma itu sudah terpatri. Kulkas bukan sekadar tempat menyimpan makanan lagi. Dan setiap kali mereka berdiri di depannya, hati mereka mengulang rasa takut yang sama—malam ketika air mengguyur kepala mereka, ketika qur'an dijadikan alat penghakiman, dan ketika tak ada satu pun orang dewasa yang berdiri melindungi mereka.