Masukan nama pengguna
Pukul dua malam, tulang belulangku terasa remuk sebab kebablasan menonton drama. Aku beranjak dari ranjang dan melangkah menuju balkon, sedikit melakukan peregangan untuk sendi-sendiku yang kaku. Kletak kletok!
Kupejamkan mata seraya membiarkan udara pagi buta yang sejuk-sejuk mistis mengisi paru-paruku. Peralihan musim membuat udara yang masuk kerongga hidung seperti jarum. Menusuk dan bikin nyeri. Semilir angin menggoyangkan beberapa anak rambut dipelipis, lembut namun membuat bulu kuduk ku meremang. Kode dari alam untuk menyudahi aktifitas ku di luar ruangan.
Sepintas cahaya menyilaukan tertangkap kornea mataku sesaat setelah hendak melangkah masuk ke dalam kamar. Terpantul oleh keca jendela yang ada di depanku. Dari pantulan itu sesuatu menarik perhatianku. Badanku berputar dan kembali bertengger dipinggir balkon.
"Astaga!" Kedua tanganku spontan menutup mulut, mendapati sesuatu yang panjang menggantung dibalik jendela kamar yang terbuka di lantai dua. Berayun kesamping—kiri dan kanan. Setahuku, kamar itu milik Andre, putra kedua Pak Tanto. Anak itu bunuh diri? Tapi kenapa? Rasanya tidak mungkin. Andre tipikal pemuda yang punya banyak semangat hidup untuk mati secepat itu.
Kutelusuri setiap sudut bangunan rumah itu, baru ngeh kalau listriknya padam, hanya rumah itu. Aku bahkan baru menyadari kalau lampu jalan yang ada di depan rumah kami juga padam. Atau ada yang sengaja merusaknya—ada banyak pecahan kaca berserakan dibawahnya. Tiba-tiba aku merasa ketakutan, firasatku memerintah untuk abaikan segala hal yang kulihat saat ini. Tapi jiwa detektif ku terlalu tinggi, ada adrenalin yang tak bisa kuabaikan. Aku suka hal-hal berbau kriminalitas dan bercita-cita menjadi detektif suatu hari nanti.
Pintu depannya setengah terbuka dan tampak miring. Rampok? Terlalu hening jika itu perampokan. Komplek perumahan kami memang semi elit tapi jarak sekat tiap rumah tidak terlalu jauh. Karena itu aku bisa melihat kondisi rumah di depan yang menurutku nampak berantakan. Rumah itu punya beranda berhiaskan taman kecil nan subur di sisi kiri dengan banyak tanaman bernilai jual tinggi, tapi mereka semua berserakan hingga ke teras. Mobil SUV putih terparkir di sebelah kanan, dibawah kanopi. Pintunya terbuka. Ada seseorang berbaju cerah entah kuning, biru, atau putih, duduk di kursi supir bersimbah darah. "Ah, sial!" Aku mengutuk ketajaman mataku, memiliki mata jeli juga tidak terlalu baik. Cahaya menyilaukan itu muncul lagi dan mengarahkan pandangan ku ke sudut lain. Sesuatu bergeming menatapku dibalik pilar, sosok hitam yang tertelan kegelapan.
Mataku menyipit untuk memastikan penglihatanku pada satu titik berkilau digenggamannya namun sosok serba hitam itu tiba-tiba bergerak secepat kilat keluar dari pagar .... memburuku!
Aku terperanjat dan kontan kabur dari balkon. Sekilas kulihat dia berhasil memanjati pagar rumahku saat menutup jendela kamar. Aku lari terbirit-birit menuruni anak tangga, bergegas mengunci seluruh akses keluar masuk yang ada di lantai satu. Tetapi pikiranku terlalu kalut untuk mengurutkan semuanya, pintu utama yang seharusnya kuutamakan malah menjadi pilihan terakhir. Langkahku berhenti mendapati ada bayangan yang bergerak dibalik pintu.
Tubuhku seperti tersengat listrik begitu pintu mulai dibukanya pelan-pelan. Ketegangan menyelubungi. Aku menutup mulutku sambil menahan napas dan dengan sisa keberanian yang ada mengangkat satu persatu kakiku untuk berjalan mundur, mencari tempat persembunyian. Dari posisiku sekarang, aku hanya bisa melihat pantulan bayangannya yang mengarah ke kamar orang tuaku. Astaga! Dia tidak boleh masuk ke kamar Papa dan Mama.
Ada adrenalin aneh yang berpacu dalam diriku. Membuatku gemetar dan gugup. Pikiranku kalut mencari cara untuk mengalihkan perhatiannya. Apa yang harus kulakukan?
"Jangan kesana!" Aku berseru.
Derit pintu mengaung. Sosok itu akhirnya menemukanku,
Tcep!
Bruk!
Bahuku melorot lemas.
"Aish!" desahku. Hilang sudah feel-nya. Aku keluar dari persembunyian dengan jengkel, menuruni anak tangga dan sengaja menyentak kaki keras-keras, "Dia jatahku, Papa!" protesku.
Tubuh si"serba hitam" tergeletak di lantai dengan sebilah pedang menancap ditengkoraknya.
"Terlalu lama, udah mau sahur." tukas Papa. Dia menarik samurainya, lalu membersihkannya dengan lap yang telah dibaluri minyak cengkeh.
Mama menyembul dibelakang Papa dalam mode zombi, lingkar mata menghitam dan kantuk masih menggantung di wajahnya. Berjalan terseok melangkahi tubuh tak bernyawa itu sambil mengikat rambutnya dan menguap lebar, "Gwata, ewksekuwsi. Mama maw masak!" titahnya tak jelas
"Bosan makan manusia, mau ayam geprek!"
"Ga ada syukurnya ya kamu. Beresin dulu itu! Bangunin adek kamu juga."
"Ck,Oke!"
Duk duk duk duk!
"Sahurrr .... Sahurrr ...." Duk duk duk!
"Sahurrrrr .... Sahurrr ...." Duk duk duk!
"ASTAGFIRULLAH!! .... RUMAH PAK TANTO .... PAK TANTO MATI .... ADA YANG MATIIII .... !!"