Masukan nama pengguna
Selalu, laki – laki diharapkan jadi tidak lebih cengeng daripada perempuan, padahal tentang perasaan, mereka diciptakan dengan cara yang sama. Hanya saja, masyarakat memaksa mereka untuk lebih kuat, lebih tegar. Jadilah begitu Bapak, tidak pernah tahu bagaimana caranya menyalurkan emosi dengan baik. Sampai ia punya tiga orang anak perempuan yang tiga – tiganya berhati keras, sama keras dengan punyanya, kami jadi lebih sering beradu di rumah. Tentu saja, tentang siapa yang lebih keras kepala.
Bapak bilang, ibunya keras, bapaknya keras. Ia akhirnya pergi dari rumah untuk merantau di usia empat belas tahun. Pergi jauh – jauh dari Sindang Laut mennuju Kota Bandung untuk belajar. Ibunya mendukung, bilang kalau kualitas pendidikannya jelas berbeda. Asal Bapak mampu, Ibunya akan selalu mendukung. Padahal Bapak pergi dengan alasan lain yang tentunya bukan karena kualitas pendidikan yang jomplang antara sebuah Kabupaten dan Kota.
Suatu hari, bapak bilang kalau teman – temannya adalah preman. Jadinya, ia terbiasa dengan kehidupan jalanan dan ia terbiasa mengurusi dirinya sendiri. Bapak menjelaskan dengan detail kalau dia tentunya tak pernah membuat masalah. Sehingga, dilanjutlah setelah ia lulus sekolah menengah, ia masih menetap di Kota Bandung untuk menempuh pendidikan tinggi.
Tapi Bapak masih tidak pernah menangis.
Padahal ia kira, pergi jauh dari rumah akan membiarkannya menangis sendirian saat kehidupan terlalu berat. Kenyataannya, teman – teman lelakinya juga tidak pernah menangis atau sekedar berkeluh kesah.
“Jangan nangis, Sur. Laki – laki mana yang nangis di siang bolong?”
“Laki – mah gak boleh terlalu sentimental, Sur.”
Akhirnya Bapak tetap gagal mencari tempat pelarian sampa ia akhirnya bertemu Ibu. Masalahnya, Ibu sama pahitnya. Ia terlahir di keluarga yang berantakan sampai – sampai harus tinggal di sebuah kamar kos kecil berukuran 3x3 saat bapaknya tinggal di kota yang sama dengan beberapa kamar kosong di rumah yang ukurannya berkali – kali lipat kamar kos kecil itu.
Ibu dan bapak yang penuh luka membesarkan kami bertiga. Sayangnya, tak seperti yang orang – orang katakan, bapak tetap tak bisa mengatur emosi. Ia tetap hening, meledak – ledak, menghilang, pergi. Saat semuanya tenang, Bapak pulang, meledak – ledak lagi, menjadikan semua hal di rumah sebagai samsak pribadinya. Polanya selalu begitu.
Sampai suatu hari, sebilah golok mengkilap diacungkan untuk mengancam Adik yang baru pulang menjelang maghrib. Bapak marah karena ia tidak izin untuk pulang terlambat, dan ia tak peduli apa alasan adik pulang terlambat. Tapi masalahnya, sudah kubilang. Bapak membesarkan tiga orang perempuan yang sama keras dengan dirinya.
Adik tak meminta maaf, Bapak mengayunkan goloknya.
Ibu mendorong Bapak.
Tak lama kulihat, darah bercucuran di lantai. Ku tengok adik, ku lihat juga Ibu. Lantas kutemukan Bapak di lantai, tangannya terbacok goloknya sendiri.
Aku menghambur keluar, mencari pertolongan. Dalam hati kecilku saat mulutku teriak, terbersit kehidupan keluarga kecil kami tanpa bapak. Apa kubiarkan saja dia mati kehabisan darah? Apa kubiarkan saja agar hidupku dan keluargaku dapat tenang meski hanya sebentar? Tapi nuraniku tak sampai untuk membiarkannya.
“Tolong! Tolong pak!” ku panggil pak RT yang sedang berdiri di depan rumahnya, bercengkrama dengan tetangga yang lain sehabis solat Maghrib.
“Kenapa Neng?”
“Bapak!”
Agaknya, tetangga yang lain sudah tahu tempramen Bapak kepada kami keluarganya. Kulihat dari cara mereka berlari ke rumahku dan orang – orang lain yag ikut berhamburan dari rumah mereka untuk memberikan pertologan pertama.
Pak RT berhenti di depan pintu, melihat kucuran darah yang tidak berhenti. Aku yakin dalam hatinya, tak kepikiran kalau yang terluka adalah Bapak sendiri. Bukan Ibu, atau anggota keluarganya yang lain. Ia langsung buru – buru merogoh saku celananya, mengambil ponsel.
Ia menyebutkan alamat rumah kami dengan tergesa – gesa. Kutebak, itu ambulans.
Orang – orang sibuk mengikat tangan bapak untuk menghentikan pendarahannya. Lucunya, golok itu masih tergenggam di tangannya, sehingga orang – orang tahu jelas siapa pelaku yang membuat Bapak terluka. Ambulance bergerak cepat, bapak sudah hampir tak sadarkan diri di dalam mobil. Darah mulai berhenti mengucur. Entah karena nadi yang mengucurkan darahnya sudah berhasil ditahan, atau karena darahnya sudah hampir habis.
Bapak menutup matanya, seolah tak merasakan sakit.
"Kok Bapak malah ngantuk, ya?" katanya janggal.
Dalam hatiku, takut dan bahagia berkecamuk, bercampur tanpa sekat. Kupikir, inilah saatnya. Inilah saatnya Bapak pergi meninggalkan kami. Tapi saat petugas di dalam ambulans mengguncang tubuh bapak dan tak membiarkannya tertidur, nahasnya kami sampai di rumah sakit. Bapak didorong cepat untuk masuk ke dalam IGD, sementara aku, anak sulungnya, berdiri di depan pintu IGD. Pikiranku kosong.
"Tenangin anak Pak Surya yang Sulung, pasti kaget dia."
Aku bukan kaget. Bukan terguncang.
Aku takut pada pikiranku sendiri. Aku takut saat aku terus - terusan berharap Bapak tak kembali ke rumah. Aku takut Bapak selamat dari kejadian yang menimpanya ini. Kusadari bahwa aku sudah gila, saat membayangkan diriku sendiri berdiri di pemakaman Bapak, tapi yang kutakutkan bukan ditinggal pergi Bapak untuk selamanya, tapi aku justru takut tak menangis di pemakamannya.
Aku sedang menunggu di dekat ruang operasi saat dokter melakukan operasi darurat. Lalu dua orang polisi dengan baju dinas mereka datang menemui aku dan ibu. Ibu mengusap air matanya yang hampir mengering, lantas berdiri menghadapi dua orang polisi itu.
Mereka bilang, Bapak bisa di penjara karena kasus kekerasan dalam rumah tangga. Mereka juga menawarkan perlindungan bagi Ibu dan anak – anaknya. Tapi ibu menolak dan memilih untuk memaafkan Bapak.
“Saya tidak mau suami saya jadi Napi, pak. Saya menolak anak – anak saya dikenal sebagai anak Narapidana. Saya tidak sudi menjadi istri dari seorang Narapidana.”
“Kasus kekerasan yang mencederai orang lain sudah masuk ke kasus yang serius. Pertimbangannya bukan hanya reputasi anggota keluarga, tapi kesejahteraan dan keselamatan anggota keluarga, Bu.”
“Bapak masih bisa berubah, Pak.”
Saat mendengar penolakan ibu, kupikir Ibu bodoh dan naif. Kupikir juga Ibu keras kepala hingga aku ingin menyela dan mewakilkannya untuk berbicara. Aku hampir marah dan meledak – ledak, tak kuingat dimana aku berada saat ini. Yang kuingat hanya bahwa inilah satu – satunya cara kami bisa lepas dari jeratan Bapak dan tempramennya. Setidaknya kalau Bapak hidup, bapak harus dipenjara.
Tapi ternyata, ibu belum selesai bicara. Ia menarik napas panjang sambil menyeka air matanya yang kembali turun. Ia setuju untuk berdamai dengan Bapak. Dengan satu syarat, bapak harus pergi ke psikiater dan berobat.
“Saya mau Bapak pergi konsultasi dengan dokter jiwa. Saya pikir yang bermasalah adalah kepalanya, bukan pribadinya. Kalau benar, ini akan jadi kesempatan kedua untuk kami semua.”
Tidak seperti dugaanku.
Esoknya, saat Bapak sudah bangun, tangan kanannya sulit digerakkan, dan tangan kirinya di borgol. Bagaimanapun, ia pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Tapi yang kulihat hari itu, adalah Bapak yang lebih tenang dari biasanya. Polisi mewakili ibu untuk menyampaikan persyaratan yang ibu ajukan pada Bapak untuk berdamai. Bapak hanya manggut – manggut, seolah merenungi perbuatannya.
Aku dan adik menyimak dari sudut kamar, bersiaga siapa tahu suatu kejadian gawat tiba – tiba terjadi. Kukira Bapak akan menolak dan mengamuk lagi. Tapi kenyataannya, Ia menyetujui syarat dari Ibu, lalu mengikuti perawatan dan konsultasi dengan kooperatif.
Sejak berada di kamar perawatan, psikiater datang untuk visit. Dari percakapan yang terlontar dari mulut Bapak, semua perbuatannya terdengar seolah tak penting dan tak besar. Setelah pulang ke rumah, Bapak tak menunjukkan kemajuan. Ia akhirnya dijemput oleh ambulance setelah Ibu mengurungnya di dalam kamar sempit tanpa jendela.
Kondisinya lebih parah daripada yang kami kira. Bapak tidak bisa hanya minum obat dan konsultasi rutin. Ia harus dijauhkan dari orang – orang di sektiarnya saat ini.
Akhirnya bapak pergi. Tidak menghilang, tidak melarikan diri. Tidak juga berpisah dengan ibu karena tempramennya. Bapak sekarang berjalan – jalan di taman, di ikat gelang bertuliskan namanya, dengan sebuah koran yang biasa terkepal di tangannya. Kelihatannya semua orang sekarang jauh lebih bahagia, begitu juga bapak.
Satu hari, kulihat ia di ruang isolasi sedang menangis. Kedua tangannya di ikat ke samping ranjang dan obat penenang sudah aktif masuk ke dalam tubuhnya. Meski begini, rasanya cukup baik. Meski orang – orang, terutama keluarga besar Bapak berkata kalau Bapak masuk rumah sakit jiwa karena menanggung beban hidup yang berat dan kami tidak tahu diuntung karena mengirimnya ke rumah sakit jiwa. Tak masalah.
Setidaknya sekarang Bapak, sudah belajar bagaimana caranya untuk menangis.