Masukan nama pengguna
“Katanya mimpiku 'kan terwujud. Mereka lupa tentang mimpi buruk.
Tentang kata maaf, sayang aku harus pergi.”
Ibu berpulang dua hari yang lalu, mengingkari semua janjinya dan membisu di bawah tanah. Tampaknya ia lupa kalau masih ada sepotong kue coklat paling mahal yang pernah kubeli seumur hidupku, masih bertengger di tengah kulkas. Ia berjanji akan memakannya bersamaku setelah pulang dari Rumah Sakit.
Bapak berdiam diri di teras belakang, dengan sebatang rokok yang tidak disulutnya. Barangkali ia sedang meratap, merasa berat sebab katanya Ibu meninggal karena serangan jantung dan hanya bertahan selama semalam di ICU. Sempat kudengar katanya saat Ibu dikebumikan. “Harusnya Bapak enggak ngerokok. Salah Bapak karena Bapak ngerokok.” Saat ini, setiap asap yang dihembuskannya mungkin menggambarkan sesaknya ibu. Karenanya, ia berhenti menyulut api pada rokoknya.
Di halaman rumah yang sudah disulap menjadi dapur besar, Bibi – bibi dan tetangga yang lain sedang menyiapkan makanan dalam jumlah besar, rantang – rantang dan ember, serta kotak nasi. Tak lupa berselop – selop rokok batangan dan asbak, serta dus – dus air mineral. Aku tak diizinkan untuk membantu menyiapkan makanan tahlilan untuk ibu dengan mataku yang masih sembab setiap keluar dari kamar.
Tadi pagi, aku mencoba untuk mengupas kentang, tapi yang lebih banyak keluar adalah air mata karena kenanganku memasak bersama Ibu. Akhirnya aku kembali ke kamar, membereskan barang – barangku yang berderbu dan mencoba untuk mengalihkan pikiran.
Prosesi yang sama akan terus di lakukan sampai hari ke -7. Selama tujuh hari itupun, bapak tetap tak bicara. Ia membiarkan aku berdiam diri sendiri di kamarku, dan ia tetap dengan kegiatannya di teras belakang. Duduk sambil memegang sebatang rokok yang tak tersulut.
Pada hari ke – 7, kudengar Bapak mengobrol dengan Bibi di teras belakang, sementara aku duduk di mushola rumah yang jaraknya hanya beberapa meter dari tempat mereka.
“Saya pinjam dari Haji Mansur 90 juta.”
“Terus bayarnya gimana?” tanya Bibi pada Bapak.
Aku terkesiap. Untuk apa Bapak pinjam uang sebesar itu pada Haji Mansur yang jelas – jelas tak pernah bisa bersabar setiap kali orang meminjam uang padanya itu? Apa Bapak tak berpikir panjang tentang bagaimana nantinya kalau anak – anak Haji Mansur datang ke rumah bergantian hanya untuk menagih hutang?
“Urusan bayar gampang. Yang penting jalan dulu. Kamu tahu sendiri di sini, Len. Lebih baik gak minta tolong di doakan daripada jadi buah bibir orang – orang sini. Mau mati pun susah Len kalau sudah terikat sama tradisi. Mati macam apa yang menghabiskan uang sebanyak pernikahan?”
Bibi terdiam sambil merenung. “Teh Ai gak punya tabungan kah? Tabungan khusus meninggal misalnya?”
“Itulah Len, kenapa dulu Emak nyimpen banyak uang di bawah kasurnya, sama catetan kebutuhan dan orang – orang yang perlu dikirimin. Karena nyambut orang meninggal itu lebih mahal daripada nyambut orang lahir.” Bapak tak menjawab pertanyaan Bibi, tapi menyiratkan bahwa jawaban dari pertanyaan Bibi adalah jelas tidak. Ibu tak pernah memikirkan bahwa kematiannya sedekat itu. “Kamu juga. Jangan mati kalau gak punya uang.”
Bapak meminjam uang seharga tanah di kampungku untuk prosesi kematian ibu sampai tujuh hariannya. Menjawab kemurungannya dan rasa tidak amannya selama berhari – hari. Juga menjawab kenapa rokoknya tak pernah tersulut meski skak rokok berserakan di karpet tahlilan setiap habis pengajian setiap hari.
Agaknya, Bapak bukan hanya meratapi kepergian Ibu, tapi juga besar biaya yang dikeluarkannya. Awalnya, aku tak menyalahkan Bapak karena ia yang menanggung semuanya. Tapi kenyataannya, aku juga harus memikirkannya sebagai satu – satunya anak yang Ibu tinggalkan bersama Bapak.
Sepuluh hari setelah tujuh harian Ibu, sesuai dugaanku, anak sulung Haji Mansur datang ke rumah, membawa surat pernjanjian piutang dengan tanda tangan Bapak bermaterai di atasnya. “Salma, Bapak ada?”
“Belum pulang. Masih kerja.” Jawabku sambil gelisah.
“Biasanya Bapak pulang jam berapa?”
“Biasanya jam 7 Mang.”
“Yaudah, nanti Mang dari kesini jam 7 yah.”
Anak sulung Haji mansur, Mang Ood, akhirnya pulang setelah menunggu selama sekitar 1 jam. Benar saja, jam setengah tujuh malam, ia kembali ke rumah. Bapak masih belum pulang dan ia menunggu sampai jam 8 malam. Nomor Bapak tak bisa dihubungi. Amarah bergejolak dalam batinku, dan menyalahkan Bapak tentang keputusannnya yang membawaku ke keadaan seperti ini.
Hal itu berlangsung hampir setiap hari, dan Bapak masih tetap sama sulit dihubunginya. Sialnya, aku ada di rumah dan akan tetap berada di rumah dalam waktu yang cukup lama sampai aku menjalani semester ganjil perkuliahan 3 bulan lagi. Suatu hari, akhirnya Bapak pulang saat salah satu anak Haji Mansur ada di rumah.
“Mana bisa uang 90 juta saya bayar dalam waktu 2 minggu? Kuburan istri saya saja masih merah.”
“Itu hak kami yang menagih, kalau kami butuh sekarang, maka kami minta dibayar sekarang. Setidaknya bapak ada itikad untuk membayar atau menyicil dulu sedikit.”
“Saya belum ada uang kalau sekarang, setidaknya tunggu sampai gajian saya bulan depan, saya akan cicil sedikit demi sedikit.”
Kali ini, Anak Haji Mansur yang ke – 3, Mang Jamal. Ia terkenal di Kampung karena punya bisnis jual beli emas dan pabrik peleburan emas. Dari keadaan ekonominya, tak mungkin juga ia sangat kesulitan sampai butuh uang yang dipinjamkan bapaknya pada Bapakku. “Salma sudah lulus SMA?”
Aku ataupun Bapak tak menjawab. “Salma nikah saja sama saya, biar saya lepaskan hutang Bapak pada Bapak saya, dan saya akan tambahkan lagi mahar yang bagus.”
Aku terkesiap, rasanya jantungku berhenti selama beberapa detik. Dalam waktu itu juga, wajah Bapak memerah, ia naik pitam dan berdiri dari tempatnya duduk. “PERGI KAMU! SAYA GAK PEDULI URUSAN SAYA DENGAN BAPAK KAMU, SEKARANG KAMU PERGI DARI RUMAH SAYA DAN JANGAN BERANI – BERANI INJAK RUMAH INI LAGI!!”
Bentakkan Bapak terdengar sampai luar, sampai – sampai tetangga lain yang sedang melintas berhenti, bahkan ada yang keluar dari rumah untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi.
“Saya belum menikah, Pak! Saya juga belum 30 tahun, apa salahnya?”
“PERGI!!”
Semalam itu, Bapak diam tanpa bicara sepatah katapun. Tapi dia diam – diam membongkar koper berkas – berkas, dan mencari – cari dari koper tersebut. Satu – persatu lembaran berkas dibukanya, sampai aku melihat Bapak menimang sebuah Map bersampul tebal di tangannya. Akta rumah.
“Bapak akan jual rumah, Sal.”
Bapak meratap, menatap lembaran akta yang terbubuhi dengan namanya. “Terus nanti kita tinggal dimana, Pak?”
“Tinggal di rumah sepetak pun gak masalah. Yang penting hutang Bapak lunas, dan kita pergi dari tempat ini. Kampung ini berisi orang – orang gak beres. Untuk sebuah kematian pun, gak cukup kita ditinggal dengan rasa duka. Kita harus sampai merana.”
Akhirnya, aku dan Bapak pindah dari kampung itu. Rumah yang sudah kami tempati sejak aku lahir itu terjual bersama kenangannya. Rumah sepetak berukuran kecil yang kami pilih untuk menjadi tempat tinggal di Kota sebelah adalah jawaban dari rasa tenang. Duka memiliki harga untuk dibayar. Tradisi yang dipertahankan dari generasi ke generasi di Kampungku itu cukup untuk membuatku dan Bapak trauma. Bukan hanya karena kematian Ibu, tapi juga tuntutan masyarakat di sekitar kami. “Jangan mati disana kalau tidak punya uang.” Begitulah tradisi lokal disana berbicara. Kematian memiliki harga yang fantastis, sama halnya dengan pernikahan. Lebih baik tak perlu mengadakan tahlilan, kalau tak bisa menyajikan yang layak.
Bapak berhenti merokok, lebih rajin berolahraga dan makan makanan sehat, pun aku yang juga hidup lebih baik daripada sebelumnya untuk menyamai kebiasaan baru Bapak. Sejak saat itu, aku takut mati. Aku takut menyusahkan Bapak dan membuatnya terpuruk sendirian. Bapak juga, meski sudah meninggalkan kampung itu, diam – diam menyiapkan uang di laci lemari kayunya, berupa uang tunai yang diam – diam ia siapkan untuk kematiannya.
“Bapak akan pastikan kamu tidak kesulitan saat Bapak mati.”
Kalimat itu masih terngiang – ngiang di kepalaku. Karena sesudahnya, tangis kami pecah dan menolak untuk berhenti. Dadaku dan Bapak penuh sesak karena duka. Kami tak diberikan waktu untuk merasa kehilangan selama ini. Belum pernah ada tenang setelahnya, dan kami tak pernah benar - benar melepas Ibu dalam kepergiannya. Mungkin ini jalan dari Tuhan bagi kami untuk mati dalam keadaan tenang dan meninggalkan orang – orang terkasih kami dengan keadaan yang sama tenangnya.
Ketika saatnya tiba, dan Bapak benar – benar meninggalkan dunia ini, Aku menemukan diriku dalam ketenangan yang aneh. Semua sudah dipersiapkan. Tidak ada kekacauan, tidak ada kebingungan. Hanya rasa syukur yang mendalam atas warisan kasih sayang dan kebijaksanaan yang ditinggalkan Bapak.
Kubawa separuh uang tunai yang bapak siapkan ke panti asuhan untuk mengadakan pengajian sederhana dan membawa sedikit hadiah untuk anak - anak disana. Separuh sisanya, kugunakan untuk tahlilan di rumah dengan sederhana dan seadanya, seperti keinginanku dan bapak sebelumnya.
Kematian memang memiliki harga yang mahal, tapi harga itu telah dibayar lunas oleh cinta dan kesiapan Bapak saat meninggalkan aku. Sejak saat itu, aku menyisihkan sedikit dari gaji bulananku dan membeli sepetak tanah di kampung untuk tempat berpulangku yang terakhir. Mewariskan ketenangan bagi keturunanku dan keluarganya kelak.