Cerpen
Disukai
0
Dilihat
2,448
Aku Tidak Ingin Ada Langkah Lain Selain Langkah Kita
Drama


Aku terbangun oleh tepukan lembut Angga di pundak. Suara dari kereta yang sedang melaju adalah hal pertama yang membuatku sadar bahwa aku sedang dalam perjalanan menuju Stasiun Lempuyangan. Kulirik Angga yang duduk di sampingku dan tersenyum.

"Siap-siap, Bell. Sebentar lagi sampai," ucapnya.

Sejenak aku terdiam mengumpulkan kesadaran yang belum pulih benar. Kupandangi luar jendela. Gelap. Aku sangga dagu dengan telapak tangan dan bersandar pada dinding bawah jendela itu. Hanya lampu-lampu dari gedung dan rumah-rumah warga yang sekejap melintas menjadi perhatian. Kemudian aku melamun.

Ingatanku terbawa pada pendakian tiga bulan lalu di Gunung Semeru, ketika Aku, Angga, dan teman-temannya yang sebenarnya tidak aku harapkan membersamai kita. Aku sudah bilang padanya bahwa aku hanya ingin melakukan perjalanan itu berdua saja, tetapi Angga rupanya tidak bisa mengabulkannya. Padahal dia sudah berjanji padaku. Sungguh menyebalkan.

Jujur aku cemburu. Tengsin sebenarnya mengakui bahwa yang membuatku cemburu bukanlah perempuan lain, melainkan teman-temannya. Angga kerap kali berbincang bersama mereka di sepanjang perjalanan tanpa benar-benar melibatkan aku. Mungkin karena aku memang bukan perempuan petualang seperti tipenya.

Pertama kali aku mengenal Angga itu di sosial media, Instagram tepatnya. Dia yang mengirim pesan terlebih dahulu padaku dengan mengomentari ceritaku yang menampilkan aku dan sahabatku berfoto di Kawah Gunung Tangkuban Perahu.

Angga sepertinya tertarik pada diriku yang dia pikir adalah tipe perempuan petualang. Padahal waktu ke Gunung Tangkuban Perahu itu aku terpaksa karena harus ikut acara bersama teman-teman kantor. Kami pun berkenalan dan berlanjut ke WhatsApp. Hingga akhirnya dia mengajakku untuk mendaki Gunung Ciremai, gunung tertinggi di Jawa Barat.

"Lebih baik jujur saja daripada ketahuan nantinya," ujar Nadia, sahabatku sekaligus rekan kerjaku di kantor. "Kalau kau tidak jujur dari awal, ke depannya pasti tidak akan baik-baik saja," lanjutnya menasihati.

Aku setuju dengannya. Aku harus jujur. Namun, aku tidak akan mengakui itu di pertemuan pertama, di basecamp Gunung Ciremai via Apuy, ketika aku akan melakukan pendakian pertamaku bersamanya juga teman-temannya. Aku menundanya karena ingin melihat karakternya dahulu. Dan ternyata dia memanglah tipeku; tampan, baik, pekerja keras, dan berjiwa lelaki tangguh.

Sebenarnya aku sempat minder waktu itu. Apalagi ketika mengenal teman-temannya. Mereka punya kelompok kecil dan tergabung di komunitas yang diprakarsai oleh Angga. Jarambah namanya.

Di sepanjang pendakian itu tampak sekali aku kepayahan. Angga memang selalu menemaniku dan menyemangatiku. Tetapi teman-temannya lah yang membuatku risih. Beberapa kali aku mendengar mereka berbisik tentang kondisiku yang seringkali tertinggal dan meminta berhenti untuk beristirahat.

Hingga ketika tiba di puncak gunung, saat menikmati sunrise bersamanya, aku mengungkapkan bahwa sebenarnya aku bukan perempuan yang seperti dia pikirkan. Aku terduduk di batu bersebelahan dengannya. Sejenak dirinya diam dan kemudian berkata sesuatu yang tak kusangka.

"Tidak apa-apa. Aku menyukaimu bukan karena kamu perempuan tangguh seperti Riani Jangkaru atau Medina Kamil. Aku menyukaimu karena karaktermu yang baik. Mungkin ini yang orang-orang sebut cinta tanpa syarat," ucapnya.

Aku tersenyum padanya, tidak menyangka kalau dia akan merespons demikian. Aku senang bahwa aku sudah jujur mengakui keadaanku. Selanjutnya, ketika aku menyandarkan kepala pada bahunya, dia lantas berkata, "Apa kamu mau jadi kekasihku, Bella?"

Senyumku melebar. "Tentu saja," jawabku.

Semenjak itulah aku menjadi kekasihnya.

Pernah aku meminta padanya untuk mendaki berdua saja dengannya, sering malah. Dirinya pun menyanggupi waktu itu. Namun, janji itu tak pernah ditepati. Hingga pendakian berikutnya dan berikutnya pun, teman-temannya selalu menyertai kami. Termasuk pendakian terakhir di Gunung Semeru itu, di mana aku akhirnya berucap putus padanya. Akan tetapi, dia membujukku untuk kembali dan berjanji akan melakukan pendakian berikutnya berdua saja. Aku pun memaafkan.

Sekarang, sepertinya Angga akan menepati janjinya. Kami berdua dari Bandung akan melakukan pendakian ke Gunung Merbabu. Katanya, gunung tersebut adalah gunung tercantik setelah Rinjani. Sungguh aku tidak sabar karenanya.

"Bella, kenapa kau senyum-senyum sendiri?" tepukan lembut Angga menyadarkan aku kembali. Dengan sigap aku menoleh padanya.

"Ah, tidak. Aku teringat sesuatu saja."

"Teringat apa? Aku?" tanyanya menggoda. Aku pun tersipu malu. "Ayo, Siap-siap. Kereta sudah sampai," pintanya kemudian.


****


Kami memilih perjalanan malam agar sampai di stasiun tujuan pagi harinya. Tepatnya subuh. Seseorang dari agen travel akan menunggu di jam yang kami janjikan. Kereta pun berhenti di Stasiun Lempuyangan. Aku berjalan sambil menggendong carrier di depan Angga dengan tasnya sendiri, berduyun-duyun di antara para penumpang lainnya menuju pintu keluar sebelah barat. Ada banyak orang menunggu yang menjajakan jasanya di sana. Kami menolak permintaan mereka di sepanjang koridor itu dan terus melangkah hingga hampir tiba di tempat parkiran di mana sang sopir dari agen travel menunggu.

Alangkah terkejutnya aku ketika tidak hanya sang sopir yang ada di sana, tetapi juga tiga temannya Angga. Mereka; Rosi, Dani, dan Irfan sudah siap dengan segala perlengkapan mereka masing-masing.

Aku menyiku Angga pelan saat berjalan ke sana. Kesal. Tetapi aku sembunyikan begitu sampai di hadapan mereka.

"Hei, kalian ikut juga?" tanyaku dengan melebarkan senyum, bermaksud mencari tahu kecurigaan.

"Ya iya lah, Bell. Kalau tidak, ngapain kami ada di sini."

"Bagaimana kalian tahu, maksudnya, bagaimana kalian bisa sampai di sini lebih dulu?" tanyaku agak kikuk.

"Angga yang kasih tahu kami di IG. Dia, kan, bikin story kemarin. Aku minta ikut. Angga jawab iya. Terus aku ajak dua cecunguk ini," jelas Rosi sambil bercanda pada dua temannya.

"Oh. Begitu." Aku sempat melirik Angga. Dia tahu kesalahannya saat aku tatap, tetapi dia hanya bisa menampilkan senyum, seolah meminta maaf padaku. "Ya sudah, yuk, kita berangkat!" ajakku kemudian.

Di sepanjang perjalanan dari Stasiun Lempuyangan ke basecamp Gunung Merbabu via Wekas, aku merasakan kesal sekaligus gamang. Kesal, karena aku kira aku akan berdua saja mendaki bersama Angga. Gamang, karena aku merasa Angga tidak bisa menjaga perasaanku dan aku tidak bisa berbuat apa-apa, pun pada teman-temannya Angga.

Keinginanku yang sederhana tak bisa Angga kabulkan. Tapi, siapa aku dibandingkan mereka yang sudah masuk ke kehidupan Angga jauh sebelum aku hadir. Tentu saja dia akan mementingkan komunitas kecilnya daripada aku, meskipun aku adalah kekasihnya.

Di dalam mobil, aku sempat melirik Angga yang sedang bercanda tawa bersama Irfan dan Dani yang ada di kursi tengah, padahal dia sedang duduk di kursi paling belakang bersamaku. Entah apa yang aku rasakan ketika melihatnya. Sesak? Aku hanya ingin kalau dirinya menganggap aku ada.

Kami akhirnya sampai di basecamp via Wekas. Angga yang memang merupakan seorang ketua komunitas langsung berinisiatif mengatur rencana pendakian. Kami memutuskan akan naik pukul delapan pagi. Itu berarti masih satu jam lagi. Sebelum itu, kami sarapan dulu di warung dekat pos pendaftaran.

“Hei. Kalian nggak ngajak-ngajak ya!”

Tiba-tiba saja tiga orang teman lainnya datang mengagetkan kami yang sedang menyantap nasi kuning di dalam warung.

“Deden? Ngapain kalian di sini?” sambut Angga yang langsung berdiri dan menjabat tangan mereka satu persatu. Angga menampakkan keheranannya meski sambil tersenyum lebar.

“Mau ikut kalian dong. Sebagai anggota Jarambah, masa nggak ikut!” ucap lelaki jangkung gondrong yang kutahu bernama Deden. Sementara dua lainnya masih berdiri di ambang pintu. Mereka adalah sepasang kekasih, Fitri dan Akbar.

“Kita nyusul kalian pake bus dari kemarin magrib! Untung nggak telat,” ucap Fitri. Perempuan berkerudung itu langsung menurunkan tas carrier-nya dibantu Akbar.

Seketika aku langsung menghentikan aktivitas sarapan, memandangi mereka, mendelik dengan ketus, lalu mengembus napas kesal. Namun, setelahnya tak berkomentar apa pun. Malah langsung tersenyum ketika perempuan berkerudung itu menyapa. Angga yang memperhatikan sepertinya tahu kesalku. Seperti biasanya, seperti sebelumnya, dia memilih abai pada perasaanku.

Suasana warung menjadi riuh oleh canda tawa dan bincang-bincang. Aku memilih keluar dari sana dan mencari sesuatu untuk melenyapkan aral. Ada sebuah pemandangan di belakang rumah makan itu, berupa pemukiman warga, kebun-kebun, dan bukit di seberang sana. Aku duduk di teras rumah orang memandanginya.

Sempat aku melihat ke arah gang menuju warung tadi, berharap Angga datang di baliknya, menemuiku dan mempertanyakan keadaan diriku. Namun, setelah hampir satu jam aku terdiam di sana, dia tak kunjung datang.

“Ke mana saja kamu, Bell? Aku tadi mencari-cari kamu. Ini sudah mau pukul 8 loh. Kamu tidak siap-siap?” Fitri bertanya ketika aku kembali ke Warung. Sementara kekasihku yang kuharapkan datang itu masih berbincang di dalam sana sambil berkemas.

“Lagi cari angin, Fit. Di belakang ada pemandangan bagus. Lumayan buat cuci mata.”

“ Oh. Ya sudah. Yuk kita berkemas. Yang lain sudah siap kayaknya.”

“Ayo.”


****


Tepat pukul delapan pagi ketika kami memulai pendakian. Awalnya kami akan masih menelusuri pemukiman warga, perkebunan, hingga sampai di gerbang hutan. Di sepanjang jalur itu aku dan Angga berjalan paling belakang berdampingan sebagai tim penyapu, berbincang tentang ‘kita’.

Jujur aku senang karena akhirnya bisa berdua dengannya. Tidak ada langkah lain selain langkah kami. Walaupun tidak benar-benar seperti itu, sebab tepat di hadapanku ada sepasang kekasih lain, Akbar dan Fitri yang tengah asyik membicarakan rencana resepsi pernikahan mereka yang akan digelar bulan depan. Sementara di depannya lagi ada Irfan dan Rosi yang juga berjalan berdampingan. Aku tidak tahu mereka sudah jadian atau tidak. Dan yang berjalan paling depan ada Deden berjalan membelakangi Dani, berbincang satu sama lain yang sesekali diselingi canda. Suara dua lelaki itu yang paling lantang hingga terdengar ke belakang.

“Apa kabar pekerjaanmu, Angga? Bagaimana dengan karyawan yang nyuri uang tempo hari itu?” tanyaku di tengah-tengah obrolan. Angga sendiri bekerja di salah satu toko ritel terbesar di Bandung sebagai manajer.

Dia tak lantas menjawab dan memilih diam. Ketika menoleh padanya, aku melihat ada kerut di keningnya. Sepertinya dia tidak ingin membicarakan hal tersebut. Ah, aku lupa kalau dia tipe orang yang memang tidak ingin membicarakan hal-hal terkait pekerjaan saat liburan. Aku terdiam kemudian. Berusaha mencari topik lain untuk dibahas.

Namun, di saat otakku masih berkelana, Tiba-tiba saja Deden datang menghampiri kami.

“Cieee. Kok diem-diem bae, ngobrol dong.” Ucapannya membuatku sedikit terkesiap.

“Hah? Apa?”

“Bukan apa-apa kok,” jawabnya dengan senyum menertawai kami. “Eh, Angga, si Irfan nanya tuh, kita nge-camp di mana? Di puncak atau di pos sebelum puncak?” tanyanya kemudian.

“Di pos sebelum puncak lah. Kalau di Merbabu kan nggak diperbolehkan bikin tenda di puncak,” jawab Angga.

“Oh, begitu. Terus kita summit subuhnya gitu?”

“Iya....”

Obrolan mereka pun berlanjut. Angga yang tadinya jalan berdampingan bersamaku mengalihkan partner pasangannya bersama Deden. Dia tampak antusias dengan arah obrolan yang dimulai lelaki gondrong itu. Sementara aku tersingkir ke belakang.

Paling belakang!

Lama kami menelusuri jalur menanjak, di antara pohon-pohon yang mulai rapat, dan menjejaki akar-akar pohon yang mencuat dari tanah berundak-undak seperti tangga. Napas sudah mulai berat. Beberapa kali aku diam duduk di atas akar itu untuk minum. Sementara Angga menungguiku di atas sana yang agak berjarak. Matanya sesekali melihat teman-temannya yang sudah agak jauh di atas sana.

“Ayo, Bell. Semangat! Sebentar lagi kok,” teriaknya.

Sebenarnya, aku ingin dia turun dan duduk bersamaku, alih-alih mengucapkan kata-kata 'sebentar lagi puncak' itu, yang kutahu hanya sekedar mitos dan sering para pendaki ucapkan untuk menyemangati pendaki lain. Sudah beberapa kali aku mendaki dan mengetahui hal-hal yang hanya pendaki yang tahu dan mengerti.

Aku pun menyudahi sesi istirahatku yang sebentar. Beranjak dan mulai menaiki akar-akar yang berundak itu tanpa bantuan Angga. Bukannya menunggu, dia malah meneruskan langkah naiknya juga.

Aku ingin sekali berkeluh kesah seperti para perempuan lain kepada kekasihnya di situasi seperti ini. “Yang, tungguin dong.” Atau “Kok kamu nggak nungguin aku sih. Aku kan berat bawa tas.” Namun, aku memilih tak mengucapkannya. Aku takut kalau dia mengecapku sebagai perempuan manja. Maka, aku pun meneruskan langkah dengan batin yang mulai hancur. Sungguh sesak dada ini. Selain karena letih dan napas tersengal, juga karena kesal yang hanya bisa kusimpan sendiri.


****


“Kenapa kamu, Bell?” tanya Fitri di sela-sela sesi istirahat kami di pos IV.

“Nggak apa-apa.”

“Kamu diam saja dari tadi, nggak ngomong-ngomong.” Perempuan berkerudung itu kemudian duduk di sampingku, di atas berbatuan.

“Nggak apa-apa kok, Fit. Lagi capek saja,” jawabku sembari menampilkan seulas senyum padanya.

“Oh,” ucapnya. Perempuan itu kemudian membuka bungkuasan yang sedari tadi ada di tangannya. “Nih,” tawarnya menyodorkan biskuit.

Aku mengambilnya kemudian. “Makasih,” ucapku. “Eh, Fit, selamat ya, katanya mau nikah bulan depan.”

“Hahaha, makasih, Bell. Kamu datang, ya. Aku nggak bikin kartu undangan buat kamu ah. Biar hemat.”

“Hahaha. Jahat banget sih.”

“Kamu datang sama Angga, kan? Berarti kartu undangannya hemat dua. Hehehe.”

“Ish. Kamu ya.”

“Eh, kamu sama Angga kapan nyusul? Nggak apa-apa nggak pake kartu undangan juga. Aku sama Akbar pasti datang. Hehehe,” candanya.

Mendengar pertanyaan itu, aku jadi terpikirkan sesuatu. Apa aku dan Angga akan menikah? Apa bisa sejauh itu?

Aku melirik Angga yang sedang beristirahat bersama teman-teman lelakinya. Berbaring di rerumputan bawah semak, meneduh dari sengatan matahari. Kupandangi dirinya. Ah, rasa-rasanya kami masih jauh dari yang namanya melenggang ke pelaminan. Bahkan tak terpikirkan olehku sebelum Fitri bertanya. Padahal sudah dua tahun kami menjalin hubungan.

“Nggak tahu, Fit. Aku dan Angga belum kepikiran sampai sana.”

“Oh.” Tenang saja Fitri bereaksi.

“Kamu kan sudah lama kenal sama Angga. Menurutmu dia seperti apa sih?”

“Siapa? Angga? Hmmm. Dia tuh kayak ... kamu pernah baca novel Bara nggak?” tanya Fitri. Aku menggeleng pelan. “Dia tuh kayak sosok Bara di novel itu. Setia kawan, care orangnya sama teman atau orang lain, apalagi pacar, ya kan?” jawab perempuan berkerudung itu yang diakhiri dengan godaan padaku.

Namun sayang, ucapan terakhirnya itu membuatku mengernyit. Aku merasa jawabannya yang menyebutkan sosok yang bernama Bara itu tidak terlihat di sosok Angga.

“Kalau tidak salah, kamu kenal dia dari kecil, kan?”

“Dari kecil? Hahaha, bukan. Aku kenal dia sejak kuliah. Dia tuh aktif di organisasi kampus. Banyak orang kenal dia, kok. Cuma sering main saja sama aku dan Akbar. Sementara yang lainnya adalah teman-teman di lingkungan rumahnya.”

“Oh.”

“Dia baik orangnya, Bell. Beruntung kamu dapat dia.”

Aku terdiam. Hanya reaksi senyum kecil yang kutampilkan padanya agar tak terlihat bahwa hatiku sebenarnya sedang gamang. Kenapa yang diucapkan Fitri tak sesuai dengan apa yang aku rasakan? Angga di mataku tak se-care itu.

“Bella, Futri, ayo kita berangkat sekarang. Keburu sore,” teriak Deden yang tengah menaikkan tas ke punggungnya.

Kami berdua pun beranjak dari sana dan bergegas.

Ada tanjakan yang dinamakan Jembatan Setan yang katanya adalah tanjakan paling sulit yang akan kami lalui selanjutnya. Aku masih berjalan paling belakang bersama Angga. Tak ada obrolan setelah sesi istirahat tadi. Aku masih terpikirkan ucapan Fitri yang membuatku bertanya-tanya tentang lelaki yang sedang berjalan di hadapanku itu. Apa dia benar-benar serius denganku?

Hingga akhirnya tiba di tanjakan yang dimaksud. Deden yang berada di depan langsung saja memanjat dan ternyata tidak sulit baginya untuk mencapai atas. Berbeda dengan yang lainnya di mana Deden harus mengulurkan tangan untuk membantu mereka naik.

Satu per satu mereka sudah mencapai atas hingga tiba giliranku. Deden sudah tidak lagi mengulurkan tangan untuk membantu teman-temannya karena dia tahu kalau Angga sudah berada di atas. Lelaki gondrong itu berpikir Angga yang akan membantuku naik. Akan tetapi, kekasihku itu malah melanjutkan perjalanan bersama yang lain.

Sungguh aku kecewa. Aku berdiri di bawah sendirian. Melihat kenyataan bahwa Angga tidak ada di atas sana menyambut tanganku. Malah Deden lah yang berdiri canggung melihatku. Dia yang sadar Angga sudah pergi langsung mengulurkan tangannya padaku. Aku pun menyambutnya dan berusaha untuk naik sampai terseok-seok, bahkan pijakan kakiku di tanah berbatu itu terlepas dan hampir jatuh. Beruntung, genggaman tangan Deden sangat kuat.

Setelah tanjakan itu, masih ada tanjakan lain yang mempunyai kemiringan hampir 90 derajat, dan memaksa kami untuk memanjat agak merayap. Di sana sudah tersedia tali yang dapat membantu naik. Meskipun begitu, aku yang berada di urutan paling belakang masih kesusahan untuk merangkak naik. Dan sekali lagi, Angga tidak ada di sana hingga aku harus melakukannya sendirian.

Ada air mata yang terbendung. Aku merasa muak dengan semuanya. Setelah mencapai atas aku berjalan ke balik tebing, dan di baliknya aku langsung menangis tanpa suara sendirian. Aku tak ingin ada orang melihatku saat itu. Akan tetapi, ternyata Fitri menyadari keberadaanku.

“Kenapa kamu, Bella?” Dia langsung menghampiriku. “Kamu nangis kenapa?”

Aku berbaik dari hadapannya. Berusaha untuk menyembunyikan tangisku. “Nggak apa-apa, kok.” Suaraku yang terisak dan serak. Aku yakin Fitri menyadari aku tidak kenapa-napa.

“Kenapa? Kamu capek?”

Mendengar pertanyaan itu, aku langsung berbalik dan memeluk perempuan berkerudung itu, kemudian menangis sejadi-jadinya.

“Iya, Fit, aku capek. Aku capek, Fit.”

Fitri mengusap punggungku sementara aku termehek-mehek di pelukannya.

“Ada apa ini?” Angga datang dari balik tebing menemuiku. “Bell, kamu kenapa?” tanyanya kemudian setelah melihatku menangis.

Perempuan berkerudung itu melepaskan pelukannya seperti akan memberikan asuhannya pada Angga kekasihku. Namun aku tak mau melepaskannya dan terus menangis di pelukan Fitri. Angga kemudian mengusap-usap punggungku. Aku hanya bisa terus menangis tanpa mencurahkan apa yang akun rasakan. Aku masih takut kalau Angga akan menganggapku perempuan manja.


****


Di sebuah area yang sebenarnya tak jauh dari puncak Kenteng Songo, kami mendirikan tenda. Semenjak kejadian tadi siang, malam itu aku mengasingkan diri di dalam. Hanya Fitri menemani, berbaring di sampingku.

Aku benar-benar capek. Selain fisik, juga batinku. Beberapa kali Angga datang pada kami dan mempertanyakan kondisiku. Namun, aku memilih tidak menjawabnya. Pun Fitri yang sepertinya enggan menjawab untuk mewakili.

Di luar terdengar ramai. Karena bukan hanya rombongan kami yang mendirikan tenda di sana. Ada banyak pendaki-pendaki lain. Susana ramai itu membuatku gelisah. Aku ingin cepat tidur. Namun, suara mereka sungguh mengganggu. Semakin aku berusaha terlelap, semakin jelas bahwa aku masih memikirkan Angga. Kegelisahan terus menyelimuti kepalaku.

Hingga keesokan harinya.

Kami sudah berada di puncak semenjak pukul empat subuh. Mereka tidak mau ketinggalan momen sunrise di puncak Gunung Merbabu. Aku yang terpaksa ikut hanya bisa terduduk di samping semak Edelweiss di atas batu, sementara mereka sibuk mempersiapkan kamera video untuk konten di media sosial mereka.

Kemudian Angga menghampiri dan duduk di sampingku.

“Bell. Nggak ikut gabung?”

Aku tak menjawabnya. Aku memilih abai.

Angga masih duduk di sampingku. Hawa dingin dan angin kencang membuat tubuhku menggigil. Lelaki itu menyadarinya dan langsung memelukku dari belakang. Aku tak menyangka itu dilakukan angga padaku. Tubuhnya yang tinggi dapat menutup tubuhku dengan pelukannya. Hangat.

“Angga, kita putus ya?” pintaku.

“Hah? Kenapa?” Tanpa melepaskan pelukannya, dia bertanya.

“Sepertinya aku memang tidak pantas untukmu, Angga.”

“Kata siapa?”

Aku tak menjawabnya. Sejenak terdiam. Dia masih memelukku.

Pikiranku menayangkan siluet-siluet bayangan kejadian, bukan hanya pendakian Merbabu itu, melainkan juga pendakian-pendakian sebelumnya. Di mana Angga sering kali mengabaikanku di kala aku butuh bantuannya. Dia yang sudah berjanji akan melakukan pendakian berdua nyatanya tak pernah terwujud. Aku tidak ingin ada langkah lain selain langkah kami berdua. Tapi hal sederhana itu tak bisa dikabulkannya. Hal itu membuatku bertanya-tanya, apa dia benar-benar serius padaku?

Mungkin, sejak awal aku bukanlah perempuan yang dia inginkan. Tipenya adalah perempuan tangguh seperti Riani Jangkaru atau Medina Kamil, perempuan pembawa acara Jejak Petualang. Selama ini aku hanya menipu diriku sendiri. Meski aku sudah jujur padanya, dan dia bisa menerima itu. Akan tetapi, aku sadar diri bahwa aku bukan perempuan yang dia inginkan.

Pelukan itu, apakah pelukan romantis di mana ada cinta di dalamnya, atau dia hanya sekedar menghangatkan diri pada tubuhku?

“Apa kau benar-benar mencintaiku, Angga?” tanyaku kemudian.

“Tentu saja, Bella.” Pelukannya semakin erat.

“Lantas kenapa seolah kau bersikap tidak peduli padaku?”

“Oh, ya? Apa pernah mengabaikanmu?”

Aku mendengus. “Pernah, Angga. Sering! Kau bahkan tak mengulurkan tangan untukku di tanjakan tadi.”

“Oh. Bukannya ada Deden? Dia menolongmu, kan?”

Sekali lagi aku terdiam. Aku kesal. Dia memang tak peduli padaku.

“Aku ingin putus, Angga. Maaf hubungan kita sampai sini saja,” ucapku seraya berusaha melepaskan pelukannya yang erat. Dia yang tak rela pelukan itu terlepas dari tubuhku berusaha mengelak. Namun, dengan tegas dan kasar aku melempar tangannya dan pelukan itu terlepas juga. Aku beranjak dari sana, berdiri, dan melangkah untuk kembali ke tenda yang tak jauh dari puncak di bawah sana.

“Bell? Bella? Kenapa kamu?”

Angga terkejut dan memanggilku. Dia mengejar langkahku. Namun, teman-temannya memanggilnya. “Angga, ayo, matahari sudah mau terbit. Nanti kehilangan momen!” teriak Deden.

Mendengar itu, langkah Angga terhenti. Dia berbalik dan melihat mereka yang tengah bersiap menyambut sunrise dengan kameranya. Sempat Angga berbalik lagi dan melihatku yang sedang berdiri di ujung area puncak menuju tenda. Namun, lelaki itu memilih kembali kepada teman-temannya.

Aku tak menyangka, benar-benar tidak menyangka. Seketika itu, air mataku mengalir, diiringi matahari yang perlahan muncul dari balik cakrawala. Langit yang membias jingga menjadi saksi bahwa kali ini aku benar-benar akan mengakhiri hubungan dengan lelaki itu. Aku muak.


–selesai–

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)