Cerpen
Disukai
2
Dilihat
15,544
Air Tenang
Drama

Harusnya dana pensiun suamiku dapat membeli rumah kecil dengan halaman luas besar mengelilingi. Rumah impian agar terhindar dari FBI (tetangga julid). Tetapi tidak. Aku berakhir tinggal di komplek perumahan KPR subsidi yang tidak jauh beda dengan barak asrama tentara seperti sebelumnya. Dinding ketemu dinding. Ya, sebelumnya aku dan suami tinggal di barak asrama tentara. Keluargaku cukup ramai untuk menghuni 4 persegi 3×3 meter yang disekat di salah satu sisi. Aku, suami, dan 5 orang putri kami. Jelas agak sedikit bising di pagi hari atau saat mereka semua sudah pulang berkumpul di sore hari. Itulah mengapa aku ingin menghabiskan masa tua tanpa harus diusik drama para tetangga.

Awalnya aku mencoba berpikir positif. Mencari hal yang dapat bisa aku jadikan dasar untuk mensyukuri rumah baru yang tidak jauh berbeda dengan barak asrama. Yaitu letak rumah baru yang jauh dari kota, tepatnya di pinggiran sungai bagian dari desa kecil. Aku berharap setidaknya aku dapat menikmati suasana desa yang menenangkan. Terlebih lagi saat pertama kali aku datang, suguhan hamparan sawah yang berada di sisi timur desa dengan matahari terbit dan purnama di malam hari yang begitu memukau. Langitnya yang terasa cukup dekat dengan mataku ketika aku menengadahkan wajah. Taburan bintang di malam hari seperti berlian seketika membuatku ingin menetap. Duduk sambil menatapi keindahan alam. Masa tua yang begitu sederhana. Setidaknya tidak begitu buruk daripada yang dibayangkan. Toh, aku sudah terbiasa hidup di bawah atap rumah yang dindingnya berbagi dengan dinding tetangga lainnya.

Kenyataannya jauh lebih buruk dari yang pernah aku bayangkan sebelumnya. Aku seperti berada dalam ruang isolasi dengan seribu kamera mikro yang mengawasi dari berbagai sudut. Tingkat keingintahuan warga sekitar yang amat tinggi membuatku sangat risih. Saking amat luangnya waktu mereka, warna pakaian dalamku kemarin dan hari ini tercatat dalam pengamatan mereka.

Kalau dipikir-pikir aku bukan bagian dari keluarga kerajaan Inggris maupun selebritas terkenal. Hanya orang biasa. Istri dari pensiunan tentara pangkat rendahan yang miskin. Namun semenjak aku tinggal di desa ini, semua hal menjadi sorotan. Semua hal bahkan makanan kesukaanku ikan asin menjadi tombak tajam untuk menghunusku. "Asik makan ikan asin aja tiap hari!"celetuk penjaga warung setiap kali anakku membeli. Anakku mengadu malu karena terus diledek. Bukan hanya ikan asin, jumlah cabai atau bahan makanan lainnya juga turut dicampuri. Pengeluaran dan pemasukan suamiku mulai dibukukan mereka. Tidak luput juga aktivitas keluargaku. Apalagi kalau aku telat membayar tagihan air dan token listrik berbunyi lebih awal dari dugaanku. Mereka akan bergumul bising seperti lebah. Lama kelamaan aku amat tidak nyaman. Mau pindah namun sudah terlanjur menghabiskan dana.

...

Biasanya aku kalau uang belanja cukup membeli ikan untuk lauk setiap hari maka aku akan membeli ikan dari penjual ikan keliling. Letak rumahku yang lumayan jauh dari pasar, sekitaran 30 menit. Pagi itu aku menunggu penjual ikan tersebut. Sudah seminggu lebih anak-anak belum makan ikan. Penjual ikan akan berteriak "Ikan!"untuk mengabarkan ibu-ibu kedatangannya. Mawan si penjual ikan memarkirkan kereta yang membawa dus ikan tepat depan rumahku. Aku memilah milih ikan yang mau aku beli.

Lima meter dari tempatku berdiri ada empat orang tetangga yang tidak akur denganku. Mereka yang paling sering mengusik.

"Eh, Mawan lama kali kau disitu! Kami disini mau beli ikan! Ngapain kau lama-lama disitu? Beli juga enggak." Teriak Ida.

Seketika aku menoleh melihat wajah angkuh dari perempuan lansia yang umurnya berbeda hanya beberapa tahun dari umurku. Ida dulunya tetanggaku di barak asrama. Kemudian suaminya menikah lagi. Aku turut simpati dengan atas yang terjadi padanya. Kehidupannya pun tidak jauh berbeda denganku sesama istri tentara. Hanya saja sekarang Ida sudah tinggal terima uang dari anak-anaknya yang bekerja sebagai ASN. Berbeda dengan anak-anakku yang merupakan buruh serabutan.

Mawan membalas teriakan Ida. "Ya Allah bu, bu!! Sopan sedikit kenapa sih bu? Ibu ini kan lagi beli ikan. Banyak-banyak ibu ini kalau beli ikan tau bu! Kok begitu sih? Orang baik-baik dirusuhin."

Mawan menenangkan aku, "Sudahlah bu enggak usah diopen orang-orang itu bu!"

Aku mengangguk. Menyudahi belanjaanku. Mawan bergerak kearah mereka. Dia tidak bisa membelaku lebih sebab dia mencari nafkah. Sedangkan aku sendiri jarang membeli ikan. Seingatku tidak ada permusuhan yang terjadi antara aku dan Ida. Aku tidak mengerti mengapa dia bersikap demikian. Apa salahnya bila mereka menunggu atau langsung saja ikut bergabung? Tubuhku lemas sejadinya.

Belum lagi aku masuk ke rumah, Ida menambahi protesnya dengan bersuara lebih tinggi.

"Iya, banyak-banyak setahun sekali. Terus menghilang karena takut ditagih hutang." Ucap Ida kembali.

Kalimat tambahan Ida membuatku terpaku tanpa geming. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Aku masuk ke rumah dengan tubuh lunglai. Ikan sudah kuletakkan dalam baskom. Memandangi tiga ekor ikan tongkol yang sudah hampir sebulan belum pernah anak-anak makan lagi. Tangisanku pecah sejadi-jadinya. Hanya karena aku jarang membeli ikan dan sesekali berhutang kalau sudah sangat ingin sekali makan ikan, aku harus mendapatkan perlakuan demikian. Bukan hanya Ida, hal serupa juga dilakukan tetangga sebelah rumahku.

Namanya Erna. Aku bersemangat pindah ke desa ini karena ajakan darinya. Namun tidak aku sangka dia adalah musuh. Beberapa bulan setelah keluargaku pindah, rumah belum ada tambahan dapur. Erna dengan maksud merendahkan, mengatakan kalimat yang membuatku semakin bersedih.

"Kalau aku sih enggak mau pindah kalau bapaknya belum bisa buatin dapur! Ish, kayak apa tinggal di rumah situ dapur situ semua!!" Ucap Erna sinis menyindir.

Erna juga istri seorang tentara. Salah satu menantunya juga seorang tentara. Dia semakin mengecilkanku sebab aku punya menantu buruh serabutan. Saat ada dana pencairan seputaran pensiun, Erna meminjam uang padaku untuk membeli token listrik. Jujur aku sangat ingin memberikannya, namun semua uang dipegang kendali suami sehingga dia tidak dapat aku pinjami uang.

Semenjak itu dia sering bergosip dibelakang. Sampai beberapa bulan yang lalu saat almarhum suaminya menjelang sakaratul maut, anak-anaknya membentakku. Mereka membentakku dengan dalih sedang bingung. Padahal aku hanya menyarankan agar almarhum ayah mereka diperiksakan oleh tenaga medis lebih dahulu guna memastikan apakah benar sudah meninggal dunia. Anak-anak muda yang membentak orangtua. Aku akan terima jika aku memang berbuat kesalahan, kejadian itu disaksikan banyak orang. Semua yang berdiri disana tahu kalau kesalahan itu ada pada anak-anaknya.

Setelah almarhum suaminya meninggal, sebagai tetangga aku tetap turut membantu persiapan tahlilan dan sebagainya.

Lagi-lagi Erna bersikap keterlaluan. Aku dan salah satu teman Erna juga temanku (Iyah) dipercayakan mengurus makanan untuk tamu. Dia menyalahkan kami karena makanannya tidak cukup.

"Potongan ayamnya segini? Mana mungkin kita kasih ke anak yatim begini? Udah gitu bahan makanan yang dibeli enggak bisa untuk semua orang yang datang, ini terlalu sedikit!" Kata Iyah terkejut melihat belanjaan yang hanya cukup mengundang 30 orang saja.

"Mungkin cuma ini Yah yang mampunya, kita buat secukupnya aja!" Kataku.

"Enggak bisa kak, ini nanti kalau enggak cukup kita yang dicurigai." Kata Iyah.

Dugaan Iyah benar! Kebanyakan tamu tidak dapat dijamu selayaknya. Saat itu Erna malah marah-marah.

"Nyesal kali aku!!! Kalau aja aku serahkan sama Kak Hajar pasti semuanya cukup." Kata Erna.

Iyah yang mendengar demikian langsung pulang, begitu juga aku.

Belakangan aku mendengar kalau dia kecewa karena anakku yang dia mintai tolong untuk minta air rajah terlambat membawakan. Alasan ini sama sekali tidak masuk akal. Siapa yang dapat tahu pasti orang meninggal kapan? Harap anakku air rajah dapat diminum untuk kesembuhan. Qadarullah, almarhum suaminya pergi lebih dulu.

Tingkah laku Erna makin menjadi-jadi. Semua hal yang berkaitan denganku seolah mengusiknya. Mulai dari pohon yang aku tanam dibelakang tumbuh mendekati atap rumahnya, bunyi token, tamu yang datang dan apapun itu.

...

Desa tempatku menetap ini sangat kompak menurutku. Jika ada orang mengadakan hajat nikahan atau acara lain yang dimeriahkan, maka semua warung akan tutup. Hal ini membuatku sulit berbelanja kebutuhan yang dibutuhkan tiba-tiba. Aku heran mengapa semua warung tutup, apa warga sekampung bisa kenyang hanya dengan sekali makan di tempat hajatan?

Ternyata mayoritas warga adalah keluarga. Pernikahan antar tetangga atau saudara sepupu masih banyak terjadi. Oleh sebab itu penduduknya hanya itu-itu saja, sedikit untuk pendatang dari luar. Jika ada hajatan sudah pasti pesta antar keluarga. Mereka semua rewang. Membawakan beberapa ekor ayam, kelapa, beras dan lain-lain untuk disumbangkan kepada yang mempunyai hajatan. Lalu satu keluarga diboyong makan ke hajatan. Karena keluarga jadi bisa beberapa kali datang untuk makan. Maka tidak perlu memasak lagi.

Nah, Hajar adalah Ratu Rewang. Dimana ada hajatan maka akan ada Hajar yang merewang. Aku pernah sekali ikut rewang, namun semua yang aku lakukan selalu diprotes. Yang memotong tempe kekecilan. Potong wortel kurang tipis. Ini dan itu. Karena itu aku malas untuk datang rewang. Lagian kan rewang ini bantu-bantu, mengapa semuanya harus seperti mengikuti kursus? Aku juga pernah membuka katering makanan. Ibuku seorang penjual nasi yang laris. Masakanku bahkan lebih enak darinya, tapi dia terlalu mengatur.

Hajar mulai memusuhiku sewaktu anak pertamaku menyewa rumah yang sebelumnya Hajar sewa untuk ayahnya. Tentu saja karena mau ditempati maka barang-barang milik Hajar harus dikosongkan. Tetapi dia malah meminta barang-barang miliknya untuk tetap berada di rumah itu di satu kamar. Jelas ini tidak mungkin bisa. Menurutku kesalahan ada pada pemikirannya bukan padaku.

Hal itu berlanjut mengenai saluran air di rumah sewa anakku. Saluran air itu berasal dari meteran PDAM Hajar. Setiap bulan anakku membayar sekian nominal yang sudab ditentukannya. Tetapi tidak dia bayarkan. Tagihan menunggak. Dia berdalih kalau pemakaian terbanyak dimiliki anakku. Ada-ada saja. Anakku hanya tinggal bersama suaminya. Mereka bahkan mencucikan baju mereka diloundry. Mengapa bisa memiliki tagihan yang membludak?

Kejadian itu Hajar buat besar sendiri. Anakku padahal sudah pindah rumah. Bahkan harus membayar tunggakan air tersebut terlebih dahulu.

...

Di deretan depan rumahku ada pengantin baru yang pindah. Istrinya menerima perlakuan KDRT. Beberapa bulan belakangan akrab dengan keluargaku. Bahkan saat bertengkar hebat keluargaku kerap melerai. Suatu hari Sang Istri memergoki suaminya membawa perempuan ke dalam rumah mereka. Padahal Istrinya sedang hamil tua anak pertama. Mereka sudah hampir cerai-ceraian. Tetapi memutuskan untuk kembali bersama. Orangtua si perempuan memutuskan untuk tinggal bersama karena putrinya kerap mendapatkan KDRT. Orangtua si perempuan ini senang bergosip. Sementara aku tidak, hal itu membuat aku dan orangtuanya tidak sefrekuensi. Maka akrablah orangtua si istri tersebut dengan Erna, Hajar, dan Ida. Mereka berempatlah yang mengucilkan aku. Membuat semua pandangan orang buruk melihatku.

Aku terus mencoba untuk mengabaikan mereka. Aku tidak pernah mau bergaul kembali dengan mereka. Aku menjauhi segala hal bertentangan dengan mereka. Diam menjadi usahaku untuk menghentikan momentum bertengkar lebih hebat dari yang sudah aku alami.

Melihatku damai bahagia dengan kerepotan masalah hidupku sendiri tidak membuat mereka cukup berhenti mengusikku. Sebisa mungkin dengan hal sekecil apapun mereka mencemooh.

Desa kecil dengan warga yang sedikit bahkan saling terikat kekeluargaan. Berita sekecil apapun akan menjadi bahan perbincangan. Apalagi aku yang terlalu disorot karena keluargaku miskin. Tidak perlu memiliki segalanya untuk mengambil semua perhatian. Cukup tidak memiliki apapun semua orang ingin mengulas semua hal yang terjadi dalam hidupku.

Keluargaku mulai distempeli orang sombong dan kurang bergaul. Bagaimana mau bergaul dengan mereka jika terus menerus direndahkan? Tidak pula hanya keluargaku yang miskin di desa tersebut. Hampir rata-rata warganya miskin dan buruh serabutan.

Memberi stempel keluargaku "Sok Kaya!" Sebab apa? Hanya karena anak-anakku membeli pakaian yang harganya lebih mahal dari yang biasa mereka beli? Yang mana uangnya harus dikumpulkan dalam jangka waktu yang lama. Menahan semua keinginan lainnya. Apa salahnya orang miskin punya sesuatu yang mereka inginkan?

Mengatakan anak-anakku harus diwaspadai sebab di dalam rumah selalu, takut bergabung dengan teroris. Semakin lama semakin memuakkan. Sepertinya aku tidak bisa lagi berdiam diri di air yang tenang tanpa riak sedikit pun.

...

Bagian belakang rumah belum mampu aku beri atap dan pintu. Maka aktivitas mencuci dan ember pakaian kotor harus diletakkan diluar. Seperti biasa, pagi hari anak-anak mandi dan bersiap berangkat kerja. Tetapi ada hal yang aneh. Semua pakaian dalam berjejer terjemur rapi terutama BH. Sementara semalam tidak ada yang mencuci pakaian karena tidak ada yang membeli sabun. Aku ciumi BH tersebut terrnyata semuanya masih kotor belum dicuci. Sontak aku langsung membakar semua BH tersebut agar menghindari hal yang tidak diinginkan. Aku takut ada yang bermain ilmu hitam. Hal ini menyebar ke seluruh desa. Ternyata ada orang yang memiliki fetish demikian. Aku benar-benar terkejut bukan kepalang. Desa ini sama sekali tidak aman untuk anak-anakku yang semuanya perempuan.

Baru beberapa bulan aku pindah begitu banyak hal yang mengejutkan dari desa ini yang begitu tenang dan damai bagi siapapun yang pertama kali berkunjung. Aku tidak menyangka hal yang biasanya hanya kudengar dari televisi maupun sosial media yang jauh ternyata ada dilingkungan tempatku tinggal.

Beberapa bulan kemudian aku terus bertahan untuk baik-baik saja terus menetap. Kemudian muncul berita ada warga desa yang mencabuli anak kecil diiming-imingi dengan uang jajan. Dilakukan oleh pamannya sendiri.

Makin bertambah keresahanku. Sejujurnya anak-anak pun sudah mengeluh karena harus tinggal jauh dari kota. Biaya subsidi bahan bakar bertambah. Semua pengeluaran bertambah banyak. Aku semakin mempertimbangkan untuk pindah.

Kemiskinan tidak bisa ditutupi. Sering ada beberapa orang di desa yang memberi kami bahan makanan busuk, tidak layak diolah lagi. Mereka begitu merendahkan. Padahal meskipun tidak makan keluargaku tidak pernah memakan sampah. Anak-anak yang belum menikah mulai dipergunjingkan. Diatur-atur hanya dapat menikahi duda sebab tidak punya pilihan. Tidak hanya itu, kucing peliharaan milikku hilang. Kedua kucingku tidak lagi datang menghampiri saat aku memanggil hendak memberinya makan. Aku sangat yakin kedua kucingku dibuang. Semuanya semakin membuatku sesak.

Tidak akan ada hari tua yang damai jika terus bertahan tinggal dilingkungan yang toxic. Kehidupan anak-anak yang ada lama kelamaan berjalan sesuai yang pendapat mereka.

Aku memutuskan untuk pindah. Aku menyakini hijrah adalah keputusan yang tepat. Anak-anak mulai mencari rumah sewa. Tetapi uang untuk membayar langsung dimuka belum cukup dan terus menerus berkurang. Sembari menunggu aku sekeluarga mencoba untuk bertahan.

Malam demi malam aku pikirkan. Mengulang-ulang pertanyaan. Mengapa harus aku yang pindah? Toh, kenyataannya mereka yang terlalu terusik dengan keberadaanku? Aku seharusnya tidak menutup diri terlalu keras. Sibuk mempertimbangkan kenyamanan tetangga yang iri dengki. Aku akan hidup sesuai keinginanku.

...

Aku memulai beraktivitas tanpa menganggap ada warga desa yang super kepo dan terlalu banyak luang hingga semua hal dalam hidupku perlu diurusi. Pertama aku berbelanja tidak lagi di dalam desa. Sebisa mungkin aku usahakan belanja ke Pusat Pasar. Agar mereka tidak perlu tahu apa yang harus aku masak.

Menyalakan musik dengan pengeras suara agar saat mereka menggosip, mereka tidak punya kesempatan untuk sengaja membesarkan suara bermaksud menyindir. Sebisa mungkin menghindari mereka. Seminggu dua minggu, timbul pertanyaan mengapa aku yang jadi ketakutan? Kupikir lagi, meski seakan aku yang ketakutan, menarik diri dari mereka bukan kesalahan. Melainkan hal yang tepat. Aku tidak perlu pindah. Hanya perlu mengabaikan mereka.

Beberapa minggu kemudian anak keduaku dilamar. Pengalaman saat pesta hajatan anak pertama, aku memutuskan untuk katering daripada memanggil orang desa juga keluarga rewang. Apalagi kebiasaan warga desa sekarang, aku tidak mampu menyediakan makanan dengan jumlah tamu yang harus digandakan. Pesta hajatan diadakan di gedung kecil yang disewa. Tidak ada alasan kuat untuk mengadakan di rumah. Akses keluar masuk lorong hanya satu arah. Para tetangga tidak akur denganku maka keputusan itu diambil. Orang yang diundang pula hanya kerabat dekat dan keluarga saja. Meminimalisir pengeluaran. Anak keduaku bukan tipe orang yang suka keramaian begitu pula keluarga besan. Oleh karena itu keputusan untuk mengadakan pesta di gedung atas dasar yang baik.

Setelah beberapa hari pesta usai, kabar tersebar sampai ke telingaku. Warga desa memperbincangkan kalau putriku hamil diluar nikah dan menikah dengan suami orang maka acaranya harus tertutup. Bukan main mendidih darah di kepalaku. Lagi-lagi aku memutuskan untuk menutup kedua telingaku. Membiarkan waktu dan tingkat ingin tahu mereka yang tinggi menjawab.

Tidak lama setelah itu, area sekitar rumahku dan hampir seluruh kampung Air Tenang terendam banjir yang tidak terlalu tinggi, sebetis orang dewasa. Dikhawatirkan jika menetap di rumah akan terjebak saat air naik lebih tinggi. Maka beberapa kepala keluarga memutuskan mengungsi sesuai arahan Pak Datuk.

Posko Dapur Umum sangat cepat didirikan di depan gedung Tamiang Sport Center. Ada beberapa relawan dari Kementrian Sosial yang menyediakan makanan. Anak pertamaku turut membantu membungkus nasi dan membagikannya kepada pengungsi yang lain. Karena kami keluarga besar berjumlah 12 kepala beserta seorang perempuan dengan bayi 8 bulan yang ikut bersama kami. Sehingga warga kampung yang keluarga kecil melirik kami aneh saat melihat nasi yang dibagikan sebanyak 12 bungkus. Apa salah kami? Kalau kami diberi nasi sesuai banyaknya kepala yang ada di KK? Mereka terus menggunjing kami. Korupsi. Selip menyelip bantuan. Tidak adil. Kebanyakan. Padahal hanya nasi.

Lalu beberapa laki-laki dari kampung memberhentikan anak pertamaku di meja posko. Mereka menanyai mengapa menu makanan begini dan begitu. Komplain. Padahal anakku hanya membantu membagikan makanan bukan perihal urusan bagian penentuan menu, itu wewenang Kemensos. Anakku dicecar kata-kata kasar. Hanya karena keluarga kami dapat 12 nasi bungkus perkepala. Kalau mereka mau demikian, buatlah anak banyak-banyak. Ini hanya masalah nasi. Sebab insiden itu, keluargaku distempeli keluarga yang suka cari ribut.

Suka cari ribut???

Menyebalkan!!!

Apa mencari ribut jika fitnah dan cecaran yang ditujukan tidak benar, dan diri menjelaskan untuk membela?

Aku benar-benar tidak tahan lagi mendengar semua sudut pandang mereka. Pemahaman mereka yang sudah keterlaluan. Mungkin ini mengapa stigma "ORANG KAMPUNG" memiliki kesan yang buruk dalam masyarakat. Apa yang mereka pahami harus terterap juga pada orang lain. Sehingga menjadi sepaham. Namun, kan setiap orang punya pemahaman sendiri. Tidak boleh ada unsur pemaksaan. Menjalani hidup dengan bebas. Aku tidak pernah mengusik mereka. Bahkan nama mereka saja aku tidak tahu. Aku hanya berlalu keluar tanpa mau turut campur apapun. Itu pun aku masih dipergunjingkan. Difitnah. Dicecar kata-kata kasar. Semua yang aku lakukan diurusi. Semuanya!

Semakin lama mendengar segala bentuk penghinaan membuat pertahananku hampir saja roboh. Tidak hanya orang dewasa bahkan anak-anak kecil ikut-ikutan. Saat semua orang di desa melihat keluargaku hina, ternyata ada beberapa orang-orang yang melihat kagum keluargaku.

Anak perempuanku diketahui sebagai anak rumahan yang hanya keluar dengan ayah mereka. Diketahui pula kalau keluargaku orang yang baik yang tidak suka ikut campur urusan orang dan bodo amat dengan gosip miring. Anak perempuanku pekerja keras. Aku merasa cukup senang. Seketika menenggelamkan semua kekesalanku yang hampir meledak. Aku bertekad berketetapan melakukan apa yang sudah aku lakukan seperti biasa.

Beberapa bulan kemudian anak ketigaku mendapatkan modal usaha. Anakku menyewa rumah yang dekat di kota karena mau berjualan di rumah pengambilan via delivery. Beberapa anakku memutuskan untuk pindah. Sedangkan aku masih menetap. Rumah semakin sepi. Aku kehilangan teman bicaraku.

Tiga bulan kemudian kami alihkan pemilik rumah. Kami pindah ke rumah dekat kota yang disewa anak-anak. Aku dan suami sering ke ladang yang jauh. Membangun sebuah pondok. Sebulan lebih banyak aku dan suami habiskan berladang. Bahkan sesekali pulang. Kehidupan masa tua yang damai dan jauh dari drama tetangga yang menyebalkan telah aku miliki.

Namun apa yang kurasakan selama tinggal di desa Air Tenang tidak bisa aku hilangkan. Aku tidak menyangka kalau nama desa itu sudah bentuk peringatan untuk orang luar. Harus siap untuk menghadapi apapun yang terjadi pada air tenang yang tidak beriak.

Mungkin hanya untukku desa itu terkesan menyebalkan. Dan mungkin hanya terjadi padaku. Atau mungkin hanya aku yang memang tidak cocok tinggal disana.

Bahkan menjadi diam seperti air yang tenang tetap tidak bisa membuatku nyaman dan terlepas dari penghinaan tetangga serta sorotan keingintahuan yang terlalu berlebihan dari warga desa Air Tenang.

Air yang tenang menyimpan banyak hal yang tidak bisa membuatku tenang meskipun hanya berlaku diam.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)