Cerpen
Disukai
0
Dilihat
14,459
A Sandwich
Drama


Benarkah orang miskin tidak mempunyai satu pun hal untuk di harapkan kecuali tetap bertahan hidup? Lalu apa arti dari pemandangan di depan mata Juni saat ini? Dunia indah yang selama ini menjadi angan-angannya tampak seperti nyata. Tidak ada kejahatan dari orang-orang dan kasih sayang bertebaran di mana saja. Secuil kehidupan telah lahir kembali hanya dari setitik lubang hitam.



Di suatu siang yang dingin karena hujan di luar sana, Juni telah di seret oleh ketiga teman sekelasnya ke kelas kosong di lantai empat. Dia dihakimi dengan cara tak adil serta tak manusiawi. Dia disiksa secara brutal setelah beberapa lembar uang dilempar ke hadapan mukanya. Sebuah umpatan seperti sebilah pisau yang menyayat hati.


"Miskin aja belagu, lu! Ngapain lu ngelanggar perjanjian?"


Juni baru saja membuka mulut, tapi ketiga temannya sama sekali tak memberikan kesempatan untuk menjawab. Dia yang terkulai lemas di lantai langsung di tendang beberapa kali secara bergantian. Lalu setelah mereka puas, dia diludahi dan ditinggalkan begitu saja. Wajahnya penuh lebam, belum lagi bagian tubuh lain. Dia juga mengeluarkan darah dari hidung dan mulut.


Beberapa lembar uang ada di depan mata. Hal ini membuat ingatannya berputar pada beberapa saat sebelum perundungan ini terjadi.



"Dua kali lipat dari upah lu kalo kerja di pasar. Mau ambil atau enggak?" Bayu berdiri di hadapan meja Juni. Dia adalah anak dari orang kaya. Segala sesuatu bisa dia dapatkan dengan uang, bahkan untuk naik kelas. Meskipun beberapa orang bilang dia bodoh, tapi sepertinya mereka salah. Dia justru pintar karena bisa melihat segala kondisi sehingga memanfaatkan uang sebagai penggantinya.


"Apa yang harus gua lakuin?" tanya Juni sebelum menyetujui untuk mengambil uang tersebut.


"Kasih gua contekan seratus persen jawaban benar di ulangan hari Rabu nanti. Daaan, nilai lu sendiri gak boleh sempurna. Gimana?"


Juni berpikir sejenak. Dia memang sedang butuh uang. Beberapa waktu ke belakang adiknya yang bernama Meyla merengek dibelikan sepatu. Karena sejak kecil dia yang selalu memenuhi kebutuhan Meyla, maka anak itu tak berani meminta pada sang Ibu. Katanya, anak itu takut dimarahi.


"Ok." Juni mengambil uang di hadapannya tanpa banyak berkata-kata. Saat itu, dia sungguh bahagia karena pulang membawa sepatu baru yang dibeli dari pasar. Tidak lupa juga disol terlebih dahulu agar lebih kokoh dan tahan lama.


"Whoaaa, makasih banyak, Kak. Akhirnya aku punya sepatu baru. Abis ini tas sama seragamnya juga ya, Kak. Udah buluk, nih!"


Juni tersenyum. Bahkan umurnya saja belum genap tujuh belas tahun. Namun, hidupnya sudah harus menanggung beban sang adik dan membantu perekonomian sang Ibu. Jangan tanya ke mana peran sang Ayah. Lelaki itu pergi saat adiknya masih berusia sekitar dua tahun.


"Kaaak, kakak gak jawab?" tanya Meyla.


"Iya."


"Iya apa? Ngapain kamu beliin Meyla sepatu? Sepatu dia itu masih bisa dipake. Buang-buang duit aja!" Ibu memasuki rumah yang pintunya tak ditutup dengan marah. Dia baru saja pulang usai berkeliling menjajakan dagangannya. Namun, sepertinya hanya laku sedikit.


"Juni punya uang lebih, Bu. Lagi pula kasihan Meyla, 'kan? Sepatu-sepatu dia juga cuma bekas-bekas orang. Sekali-kali gak apa kalau Juni belikan."


"Jelas apa-apa. Karena seharusnya kamu tahu kalau orang miskin seperti kita gak perlu pake sesuatu yang baru. Kalau dapat uang lebih itu ya simpan! Barangkali besok gak dapat uang, jadi kita masih bisa bertahan hidup!" Ibu melempar gorengan sisa dagangannya ke atas meja kayu kropos di rumah mereka. Dia mengisyaratkan bahwa seharusnya uang lebih itu bisa untuk menutupi kerugiannya hari ini.


"Kak, kakak masih punya uang lebih gak kembalian beli sepatu? Aku bosan kalau harus makan sama gorengan," ucap Meyla setelah Ibu masuk ke kamarnya. Namun, dia tidak tahu kalau Ibu mendengar perkataannya.


"Hey! Ibu lebih bosan dengar semua keluhanmu." Tiba-tiba Ibu menimpal jawaban Meyla dari dalam kamar.


Meyla tertunduk lesu, tapi tangan lembut Juni mengusapnya dengan penuh kasih sayang.


"Ayo!" bisik Juni.


Mereka kemudian ke luar sebentar meninggalkan sang Ibu yang masih diselimuti amarah. Sementara itu, Meyla berjalan dengan sangat bahagia memakai sepatu baru. Dia melompat-lompat sedikit mengekspresikan kegembiraannya. Lalu seorang penjual burger keliling terdengar dengan pengeras suara dari kejauhan.


"Bif burger, bif burger, burger telor, burger keju, enak loh!"


"Kaaak! Aku mau burger."


Juni lantas menghentikan penjual burger itu. Tak tanggung-tanggung, Meyla memesan burger dengan isian beef campur keju. Dalam pikirnya, ini hanya penjual keliling, jarang-jarang juga dia ditraktir seperti ini. Jadi, tidak apa-apa kalau pesan yang agak mahal sedikit.


"Eh? Kakak gak beli?" tanya Meyla setelah menerima pesanannya dan melihat penjual itu pergi lagi.


"Kakak masih kenyang." Sebetulnya Juni berbohong. Dia bahkan melihat setiap suap roti yang masuk ke dalam mulut Meyla dengan perasaan penuh tergoda. Andai saja dia bisa menikmati sepotong roti yang ditumpuk besama daging, selada, keju dan isian lainnya walau sekali saja. Mungkin dia tidak akan merasa kalau hidupnya sangat miskin. Namun, apalah daya kalau kenyataan bahwa Meyla masih berusia sepuluh tahun. Gadis itu mengira kalau perkataan kakaknya memang benar sampai menghabiskan semua burger tanpa berbagi sedikit pun.



Hari Rabu tiba. Ulangan matematika di kelas Juni di mulai. Dia memenuhi janji untuk memberikan Bayu contekan. Meskipun gerak-gerik Juni diketahui oleh guru pengawas, dia dibiarkan begitu saja memberikan contekan tersebut. Karena keluarga Bayu memang berpengaruh besar terhadap sekolah. Bahkan jauh sebelum Bayu masuk ke sekolah ini.


"Waktu habis. Silakan kumpulkan lembar jawaban dan soal kalian ke depan!" ucap guru pengawas.


Bayu terlebih dahulu berdiri dan menyimpan lembar ulangannya di meja guru. Dia begitu percaya diri di hadapan para siswa lain meskipun jawabannya hasil mencontek. Padahal, apa yang dilakukannya saat ini hanya ingin merasakan sensasi mendapat nilai tinggi saja. Selama ini dia penasaran melihat Juni selalu mendapat penghargaan dan pujian dari teman serta guru karena mendapat nilai tertinggi satu-satunya.


"Hasilnya akan diumumkan minggu depan. Untuk yang mendapat nilai dibawah 60 seperti biasa akan remedial." Guru tersebut kemudian membereskan lembar-lembar ulangan para murid dan meninggalkan kelas.


Juni sudah menepati janji kepada Bayu dengan jujur. Dia bahkan tidak menjawab dengan benar beberapa soal pada lembar jawaban miliknya. Namun, siapa sangka kalau lembar jawaban itu berubah dengan sendiri. Saat pembagian hasil ulangan seminggu kemudian, sang guru mengumumkan kalau ada dua orang dengan nilai tertinggi, yakni Bayu dan Juni. Rupa-rupanya guru itu tak rela kalau Bayu menjadi satu-satunya orang yang mendapat nilai tertinggi.


Guru itu tidak tahu kalau hal kecil yang dilakukannya telah merenggut nyawa seseorang. Kekesalan Bayu atas praduga dari pengkhianatan Juni telah melahirkan emosi membara. Di jam kepulangan, Bayu ditemani Anton dan Rio menyeret Juni ke lantai empat. Perundungan tak dapat terelakkan. Sampai-sampai kondisi Juni setengah sadar. Matanya terbuka, tapi penglihatannya ada dalam sebuah fantasi.


Juni duduk di sebuah meja makan panjang seperti orang-orang kaya. Di hadapannya ada sebuah sandwich beserta orange smoothies yang siap di santap. Bukan hanya kelihatannya saja, makanan di hadapannya memang sangat enak. Dia begitu menikmati sampai tidak mau sadar kalau semua hanya semu semata. Hingga pada akhirnya, sebuah pilihan mulai diberikan.


"Apa kamu senang tinggal di sini?" ucap seorang wanita yang agaknya tetua di tempat Juni berada saat ini.


"Ya," jawab Juni. Kesilauan matanya melupakan sang Ibu dan Meyla.


"Kalau begitu, ikutlah bersama kami." Wanita tua itu berjalan melewati jembatan dengan orang-orang di belakangnya. Lambat laun jembatan itu menghilang hingga membuat dua sisi berseberangan antara wanita tua itu dan Juni.


"Bagaimana aku bisa ke sana tanpa jembatan?" tanya Juni berteriak.


"Lompatlah. Kau pasti bisa menggapai sisi kami," kata wanita tua itu.


Juni kemudian mengambil ancang-ancang lalu melompat. Benar saja. Dia bisa sampai di sisi wanita tua itu dengan mudah. Kini dia berada di dunia yang diidam-idamkannya, untuk sementara mungkin. Tak tahu, apakah dunia ini benar-benar indah seperti harapannya atau berubah seiring waktu berjalan. Namun yang pasti, raga dia telah berada di lantai bawah sekolah dengan berlumuran darah.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)