Cerpen
Disukai
1
Dilihat
2,556
Turun Gunung
Horor

Kabut pekat mulai turun disertai dengan rinai gerimis yang membuat jalur pendakian semakin licin. Jarak pandang pun hanya menyisakan dua hingga tiga meter saja. Bahkan, cahaya matahari saja sudah tidak terlihat. Ditambah dengan pohon-pohon besar di sekitar yang terlihat seperti sosok dari dimensi lain yang tengah mengawasi langkahku dan Rahmat.

Samar-samar terdengar suara adzan Maghrib dari perkampungan yang ada di kaki Gunung Sindoro.

Sebenarnya, pos satu sudah ada di depan mata. Aku hapal betul jalur pendakian gunung yang memiliki ketinggian 3.153 Mdpl ini. Karena memang rumahku berada persis di kaki Gunung Sindoro.

Namun entah kenapa, seolah sangat lama untuk digapai.

Jujur, aku sangat menghindari mendaki saat Maghrib. Karena tidak disarankan. Lebih baik berhenti sejenak dan melaksanakan salat dulu. Itu jika kondisi memungkinkan. Jika tidak memungkinkan, maka berhentilah sejenak saja untuk menghomati kumandang adzan.

Mengingat jarak menuju basecamp yang tinggal selangkah lagi, maka aku dan Rahmat memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan turun gunung. Niatnya, salat Magrib di basecamp sekalian. Tapi, perjalanan malah terasa sangat lama.

“Hati-hati, Mat. Jalurnya semakin licin,” ujarku mengingatkan Rahmat yang hampir saja terjatuh karena terpeleset.

Aku membantunya berdiri. Kami kembali melanjutkan langkah. Hingga, indera penciumanku menangkap bau yang membuat perut terasa diaduk-aduk. Namun, sekuat tenaga aku menahannya agar Rahmat tidak tahu apa yang tengah aku rasakan saat ini. Agar tidak membuatnya takut. Karena aku lihat, dia seperti tidak merasakan apa yang aku rasakan.

Atau dia menahannya juga? Entah ….

Bau anyir darah terasa semakin menusuk indera penciuman. Sudut mataku tak sengaja melihat sekelebat bayangan putih melayang mengikuti langkahku dan Rahmat. Perasaanku mulai tak enak. Terlebih bulu kuduk di sekujur tubuh meremang seketika.

Aku mencoba abai, meski rasa takut pasti ada.

“Agak cepat dikit, Mat!” titahku pada Rahmat yang langkahnya kian melambat. Mungkin karena rasa lelah yang memang sudah menggelayuti tubuhnya. Begitu pun denganku.

“Kenapa rasanya lama sekali, ya, Min? Perasaan tadi pas berangkat nggak selama ini deh. Ini malah kayak lama turunnya daripada naik,” sahut Rahmat keheranan. Namun tetap melanjutkan langkah.

“Perasaanmu saja kali, Mat. Karena sudah capek.” Aku mencoba menghibur Rahmat agar tidak semakin takut.

“Mungkin kali, ya. Tapi ini aneh deh.”

“Sudah. Jalan terus saja,” tukasku.

Hampir lima belas menit kami melewatkan waktu Maghrib. Harusnya sudah sampai di pos satu. Tapi, kami seolah-olah berputar pada satu tempat yang sama. Namun, aku mencoba tetap tenang.

Hingga Rahmat menghentikan langkahnya dan menoleh padaku dengan tatapan tak terbaca. Lalu berkata, “Min, kamu mencium bau anyir nggak sih?”

Sial!

Mati-matian aku menahan diri agar Rahmat tidak takut, dia malah bertanya duluan perihal bau anyir itu.

“Nggak. Udah, jalan lagi. Abaikan! Pos satu sudah kelihatan,” tukasku cepat. Padahal aku juga tidak melihat tulisan yang menjadi penanda pos satu. Karena headlamp yang menyala di kepalaku juga baterainya hampir habis. Sudah tidak terlalu terang, hanya cahaya remang-remang saja.

Rahmat pun mengangguk dan kembali melangkah lebih cepat. Bersamaan dengan itu, terdengar suara perempuan tertawa dengan sangat lantang. Sosoknya melayang di atas kami.

Allahuakbar!” pekik Rahmat yang terkejut juga takut.

“Lari dan terus baca ayat kursi, Mat!” titahku sambil menarik tangan Rahmat agar cepat keluar dari hutan ini.

"Sosok itu mengejar kita, Min!" teriak Rahmat yang matanya sesekali menoleh pada sosok yang sedang melayang di atasnya.

"Abaikan, Rahmat! Abaikan!" Aku tak kalah berteriak. Dia terus menggandeng tangan Rahmat. Enggan melepas karena takut nantinya akan terpisah. "Tetap berpegangan. Jangan sampai kita terpisah!"

"Iya, Min. Tapi kita ke mana ini? Kayaknya malah semakin jauh dari pos satu."

Seketika itu aku menghentikan langkah. Tatapan mata elangku menyapu sekitar. Mengabaikan suara cekikikan makhluk bergaun putih yang masih terdengar suaranya. Namun, wujudnya entah di mana.

"Pohonnya semakin rapat. Jangan-jangan kita tersesat, Min." Nada suara Rahmat sedikit gemetar. Meski samar-samar, aku masih bisa melihat ketakutan di raut mukanya.

Aku menghela napas panjang dengan sedikit kasar.

Ini memang kesalahan. Harusnya aku tetap berhenti saat waktu Maghrib tiba. Menghormati kumandang adzan yang menggema sebagai tanda waktu salat.

"Min, kita beneran tersesat?" tanyanya seraya mengguncang kedua bahuku yang sudah berat oleh tas ransel yang ada di punggung.

"Mungkin. Kita akan cari jalan keluarnya," lirihku. Lalu membuang napas panjang.

"Astaga. Masa orang lokal pun bisa tersesat!" keluhnya.

"Bukan tentang orang lokalnya, Mat. Ini tentang pantangan yang aku langgar sendiri," sahutku lirih.

"Pantangan?" Rahmat menatapku dengan kedua mata sedikit melebar.

"Ini bukan perkara mitos, tapi adab. Harusnya kita berhenti saat adzan maghrib tadi terdengar. Baru setelahnya kita jalan."

"Ya Allah ...." Rahmat membuang napas sedikit kasar.

"Kita salat dulu," titahku sambil meletakkan ransel begitu saja.

"Tapi baju kita kotor dan basah, Min," sanggah Rahmat sambil memegang bajunya yang basah karena gerimis bercampur dengan keringat dan tanah.

"Nggak papa. Salat saja, selama tidak terkena najis, insyallah diterima salatnya," kataku meyakinkan.

Rahmat pun akhirnya mengangguk.

Aku pun mengambil kompas dari dalam tas ransel bagian depan. Lalu mencari arah kiblat. Setelah ditemukan, kami berwudhu dengan sisa air perbekalan yang masih dua botol berukuran 1,5 liter.

Setelahnya, kami pun salat maghrib dengan aku sebagai imamnya.

Aku tetap mencoba salat dengan khusyuk meski terdengar suara-suara bisikan aneh di telinga. Terkadang suaranya seperti angin, lalu seperti perempuan menangis. Dan yang lebih mengganggu salatku yaitu saat terdengar suara perempuan tertawa. Jelas sekali suaranya di telinga.

Embusan napas lega usai salam menjadi penanda berakhirnya salat juga bisikan-bisikan aneh itu. Aku menatap heran pada Rahmat yang langsung beringsut duduk di sebelahku. Tanpa jarak.

"Kenapa sih?" tanyaku heran. Padahal, kalau boleh kutebak, mungkin Rahmat juga mengalami hal yang sama denganku saat salat tadi.

"Tadi kamu dengar suara-suara aneh nggak pas salat?" bisiknya menatap dengan wajah takutnya.

Aku tak menjawab. Hanya mengendikkan bahu. Enggan membahas hal seperti itu saat di gunung dengan kondisi yang seperti ini. Pamali katanya.

Tapi memang iya. Bukan perkara pamalinya, tapi bisa membuat mental seseorang lebih takut. Jadi, mending cerita kalau sudah sampai pos pendakian saja kalau mengalami hal-hal di luar nalar atau hal mistis saat sedang mendaki gunung.

"Jalan lagi, yuk!" ajakku pada Rahmat yang langsung berdiri. Lalu menggendong ransel di pundaknya.

Kami kembali menelusuri jalan setapak yang sudah tertutup dedaunan.

"Kamu yakin ini jalannya, Min?"

"Insyallah ...."

Setelah salat, perasaan pun menjadi lebih tenang. Tiba-tiba saja instingku memerintahkan untuk berjalan ke arah kanan. Dan benar saja, pos satu terlihat di depan mata setelah kami berjalan kurang lebih sepuluh menit.

Kami pun turun gunung dengan berlari. Hingga akhirnya sampai di basecamp Kledung dengan selamat. Dan bisa bernapas lega.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)