Masukan nama pengguna
Sebagai gong perayaan persahabatan kami selama lima belas tahun sejak lulus SMA, kami memainkan permaianan truth or dare sebelum pulang ke rumah masing-masing. Botol kosong pun telah disiapkan. Kami berenam duduk melingkar, dan seketika terlihat muka waswas.
Putaran pertama, ujung botol mengarah kepada Wina. Dia memilih truth.
“Gue pernah nyontek waktu ulangan agama,” terang Wina.
Kami terbahak. Wina mendapat cercaan dari kami semua karena dosanya terasa berkali lipat saat diperdengarkan kepada khalayak.
Setelah tawa mereda, Wina memutar botol dan ujung botol mengarah kepada Gun. Dia memilih dare.
Wina memberi tantangan kepada Gun. “Bilang uler melingker di atas puser Pak Umar.”
Gun merengut. “Lo sengaja mempelmalukan gue, ya?”
“Cepat!” seru Wina sembari menahan tawa.
Kami terbahak sewaktu Gun mengucapkan kalimat tersebut dengan suara cadel. Tidak terdengar huruf R sama sekali.
Berikutnya, Gun masih kesal saat memutar botol untuk melanjutkan permainan.
Ujung botol pun berhenti dan mengarah kepada Arga. Dia memilih dare. Aku melirik karena Arga duduk di sebelahku.
Gun bungah dan langsung memberi tantangan kepada Arga. “Cium olang yang paling lo sayang di sini!”
Dalam hitungan detik, tiba-tiba kecupan Arga mendarat di bibirku. Semua terbelalak. Aku terkejut sampai tidak bisa berkata apa-apa. Apalagi, saat melihat alis istri Arga bertaut.
Gun berkata pelan, nyaris berbisik. “Nyiumnya nggak usah di bibir juga, Ga.”