Masukan nama pengguna
Lula akhirnya diterima bekerja di sebuah perusahaan milik orang Korea, setelah hampir lima tahun luntang-lantung sebagai pengangguran sejak menyelesaikan pendidikan S1-nya jurusan Filsafat. Sebenarnya, Lula bukan murni pengangguran selama itu; ia pernah berjualan online, pernah menjadi sales obat gatal, pernah menjadi freelancer berjualan produk asuransi, bahkan ia pernah berjualan sandal bakiak demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya, sehingga ia tidak lagi menjadi beban kedua orangtuanya. Semua itu dijalaninya sambil menunggu respons atas ratusan, bahkan ribuan, surat lamaran pekerjaan yang ia kirim melalui berbagai platform penyedia lowongan kerja. Lula sadar, ilmu Filsafat yang dipelajarinya selama lima tahun di bangku kuliah nyaris tidak berguna; perusahaan-perusahaan itu menolaknya, atau bahkan membaca CV-nya saja tidak! Sungguh ironis syarat pekerjaan yang diminta: rata-rata “harus memiliki pengalaman!” Bukankah kuliah saja baru selesai, bagaimana mungkin memiliki pengalaman kerja?
Usianya kini 27 tahun. Bukan hanya soal pekerjaan yang sulit menghampirinya, demikian juga soal jodoh. Meskipun ia sendiri tidak ingin cepat-cepat menikah, namun ia merasa tak satu pun lelaki tertarik padanya. Padahal paras Lula cantik: posturnya tinggi semampai, kulitnya cerah, bulu matanya panjang dan lentik, hidungnya mancung. Lula tidak pernah punya pacar seumur hidupnya. Sebenarnya, bukan tidak ada lelaki yang tertarik; siapa juga yang tidak tertarik pada Lula Keira, gadis berdarah Sunda yang konon kakek buyutnya adalah orang Belanda? Lula gadis idealis, tidak mudah jatuh cinta. Meski begitu, ia pernah mengalami titik terendah, ketika perekonomian keluarganya terpuruk sementara ia belum mendapat pekerjaan. Terpikir, kalau saja ada lelaki kaya raya yang meminangnya, mungkin selesai masalah; mungkin ia tinggal duduk manis di rumah, menunggu suami dan merawat diri. Tetapi lucunya, saat benar-benar ada lelaki mapan paruh baya menyukainya, ia tidak mau, alasannya lelaki itu perawakannya seperti badut!
Lula bernyanyi-nyanyi kecil sambil menata sedikit perabotan di rumah kontrakan petak yang baru ia tempati seminggu lalu. Rumah kontrakannya berjarak sekitar 1 km dari tempat kerjanya. Ini adalah pertama kalinya ia merantau dan keluar dari rumah orangtuanya di Bandung. Semasa sekolah dan kuliah, Lula tidak pernah ngekos karena jarak sekolah maupun kampusnya di Bandung bisa dijangkau dengan kendaraan umum. Rumah kontrakan petak itu sangat kecil, tetapi ada kamar mandi di dalam; harganya Rp650.000,00 per bulan belum termasuk biaya token listrik. Lula merasa suka dengan kontrakan petak itu: tidak ramai, hanya ada satu petak rumah tetangga di samping kirinya (itupun kosong), dan dua petak di atasnya. Tidak jauh dari kontrakannya ada Indomaret dan Alfamart yang tutup pada pukul 22.00, dan di depan minimarket itu ada yang berjualan martabak dan gorengan; mereka biasanya tutup sekitar pukul 24.00. Di atas pukul 24.00 suasana akan berubah menjadi sepi, kecuali satu dua kendaraan yang lewat di jalan raya. Ini cukup mengerikan bagi Lula. Tetapi Lula tidak punya pilihan kecuali tinggal di kontrakan itu; itu yang ia rasa paling bagus setelah beberapa waktu lalu mencoba survei mencari rumah kontrakan. Pikirnya, coba saja dulu; kalau dirasa tidak nyaman, ia akan mencari kontrakan lain.
Setiap hari, Lula sampai di kontrakan sekitar pukul 21.10. Ia berjalan kaki dari kantor menuju kontrakannya; Lula belum memiliki kendaraan. Ia berpikir, mungkin setelah setahun bekerja, ia ingin membeli motor. Di perusahaan itu, ia bekerja sebagai staf administrasi; gajinya lumayan ditambah uang lembur. Baru bekerja seminggu saja, Lula sudah harus lembur setiap hari. Biasanya, Lula baru tertidur sekitar pukul 22.00, setelah mandi, shalat Isya, dan kadang makan malam. Tetapi ia berusaha untuk tidak makan malam; ia tidak ingin merusak bentuk badannya yang ideal. Sayangnya, godaan harum nasi goreng di seberang kontrakannya kerap menggagalkan program diet makan malamnya.
Malam itu, Lula mematikan lampu ruangan dan kamar mandi. Jadi, cahaya yang masuk di ruangan itu hanya dari lampu teras depan saja. Lula tidak suka cahaya yang terang, apalagi kalau mau tidur. Lula bukan gadis penakut sama sekali. Padahal rumah kontrakannya tidak berpagar; aksesnya langsung ke jalan raya, dan konon tempat itu sebenarnya rawan pencuri. Tetapi kabar baiknya, Lula kenal dengan Bapak Hansip yang setiap malam berkeliling area itu untuk menjaga keamanan lingkungan. Bunyi pentungannya setiap pukul 02.00—membangunkan Lula setiap malam, dan Lula merasa aman alih-alih terganggu—untuk kemudian ia terlelap lagi sampai pagi.
Baru satu jam Lula terlelap, tiba-tiba terdengar sebuah benda jatuh dari arah tempat menaruh kompor gas. Lula langsung terjaga, tetapi di luar masih terdengar suara wajan berisi minyak yang sudah panas dituangi bumbu dan nasi, disempurnakan oleh adukan sang penjual—ya, itu khas penjual nasi goreng yang jaraknya hanya 5 meter dari kamar kontrakan Lula. Lula pun berpikir suara itu bukan dari dalam rumah kontrakannya dan ia melanjutkan tidurnya.
Malam semakin sunyi. Toko-toko di luar sudah tutup, begitu juga penjual martabak, penjual nasi goreng, dan penjual gorengan sudah menutup lapaknya dan sudah kembali ke rumahnya masing-masing untuk beristirahat. Lula sudah terlelap dalam mimpi, tetapi sayang sekali mimpinya harus terpotong oleh bunyi benda jatuh yang kedua kalinya yang membuatnya terperanjat. Suasana sunyi membuat Lula sedikit waspada dan takut. Akhirnya, ia bangun dari tempat tidurnya menuju stop kontak yang berada dekat pintu kamar mandi. Lampu sudah menyala menerangi ruangan yang tadinya hanya remang-remang berkat cahaya lampu dari teras.
Jarum jam weker menunjukkan pukul 01.13. Lula bergidik mendapati angka 13 itu. “Masa iya ada hantu?” pikirnya. Ia diam memeriksa sumber suara benda yang jatuh tadi, dan benar saja, persis dekat meja kompor, tergeletak serokan di lantai. Lula semakin bingung dengan apa yang terjadi. Rasanya mustahil jika serokan itu terjatuh begitu saja, atau apakah itu akibat getaran kendaraan di jalan raya yang membuat ruangan bergetar? Sehingga menimbulkan gaya gravitasi pada benda yang tergantung dalam ruangan itu? Kepala Lula terus menganalisis. Ah, matanya masih begitu ngantuk, tetapi makhluk misterius itu membuatnya tidak tenang. Lula memberanikan diri mematikan lampu ruangan kembali, kemudian merebahkan badannya di atas tempat tidur, membungkusnya dengan selimut berbahan beludru halus berwarna ungu muda. Ia berharap makhluk misterius itu tidak nyata.
Tetapi tiba-tiba, sekilas Lula melihat bayangan berlari ke arah gorden. Lula terkejut dan kembali menyalakan lampu, melihat ke arah gorden yang sedikit bergoyang. Aha... akhirnya terjawab sudah teka-teki yang memenuhi kepalanya itu. Ekor panjang itu tak sempat disembunyikan pemiliknya. “Nying-nying sialan!” Lula menggerutu. Ia tidak mengerti bagaimana bisa makhluk itu masuk ke dalam kontrakannya, sedangkan ruangan itu nampaknya baik-baik saja, tidak ada celah untuk makhluk pengerat masuk. Kini Lula kebingungan bagaimana mengusirnya; ia bahkan tidak berani membuka pintu di tengah malam sunyi seperti itu. Pun ia juga yakin sepanjang malam itu ia tidak akan bisa tidur dengan kehadiran hewan itu.**