Cerpen
Disukai
22
Dilihat
5,463
Titipan Rindu
Religi

Senja mulai mengalun, gumpalan awan hitam mulai melayang dan bertebaran di luasnya lazuardi yang tak bertepi. 

Sang surya perlahan mulai menenggelamkan diri diantara mega-mega berwarna jingga.

Senja tampak mulai menepi, sang malam kini merajai hari. Angin malam mulai berhembus lirih menyentuh indera peraba. Pintu petang mulai terbuka, seraya menggelapkan hari seolah memaksa diri untuk mengistirahatkan pikiran dan hati. 

Keremangan malam tak menghentikan suatu aktivitas di sebuah rumah berlantai dua, yang ditempati oleh seorang wanita paruh baya bersama dengan putri bungsunya. 

Rumah itu merupakan kediaman milik ibu Martina, dan tinggali oleh dirinya beserta putrinya yang bernama Riana. Sang suami sudah lama meninggal, sebenarnya beliau memiliki dua orang putri. Anak sulungnya bernama Rindu yang diasuh oleh saudara dari pihak almarhum sang suami.


Kala itu, keluarga dari ibu Martina sedang mengalami kesulitan ekonomi yang luar biasa, hingga dirinya dan sang suami harus merelakan salah satu anaknya untuk diasuh oleh orang lain.

Bagi mereka yang terpenting adalah orang tua angkat dari sang anak masih mahram. Keduanya yakin jika anak sulungnya akan dirawat dengan baik dan mendapatkan kehidupan yang layak.


"Ibu, aku mau keluar sama Rio malam ini. Ibu nanti jangan tunggu aku pulang, mungkin aku akan pulang larut malam." Seorang gadis cantik tampak berbicara dengan ibu kandungnya. Gadis itu adalah Riana Lestari, gadis berusia sembilan belas tahun yang merupakan bunga desa di kampungnya. 

Ibu kandungnya itu menentang dengan tegas keinginan putri cantikya.

"Harus berapa kali ibu katakan padamu, Rio itu bukan pria yang baik! Bahkan ibu sudah bisa menebak setiap malam minggu pasti dia mengajakmu untuk pergi ke tempat hiburan malam dan kalian pasti pulang dalam keadaan tidak sadarkan diri."

"Bu… Riana mohon, jangan salahkan Rio. Semua yang terjadi karena kesepakatan kami. Aku dan Rio menikmati semua itu."

"Bukannya ibu menyalahkan Rio, kamu juga salah. Ibu merasa gagal mendidik kamu, Nak. Ingat ayah kamu itu orang yang religius semasa hidupnya. Tolonglah jangan jadikan kelakuanmu yang tidak terpuji ini menjadi beban ayahmu di alam kubur. Contohlah kakakmu yang selalu menutup auratnya."

"Maafkan aku, Bu. Jangan samakan aku dengan anak terkasih ibu itu." Jelas sekali jika Riana tidak begitu menyukai sang kakak. 

Belum sempat menyelesaikan pembicaraan nya dengan ibu Martina, klakson mobil Rio terdengar menggema. 

"Sepertinya Riana harus pergi dulu, Bu. Itu suara klakson mobil Rio, dia sudah ada di depan rumah."

Sang anak meninggalkan ibunya begitu saja. 

"Astagfirullah, Riana. Apa kata orang diluar sana yang melihat penampilanmu seperti itu. Andaikan kamu tahu, tiap langkahmu keluar dari rumah tanpa menutup aurat, maka satu langkah juga ayahmu mendekat ke dalam derasnya api neraka," ucap sang Ibu lirih sembari mengelus dada. 

Saat itu Riana terlihat mengenakan pakaian yang cukup minim, dengan rambut panjangnya yang tergerai indah bak sutra. 

Beberapa jam kemudian, perasaan tidak nyaman tiba-tiba muncul dibenak ibu Martina. Kecemasan beradu dengan kekhawatiran yang tak bertepi, menggelayuti hati wanita renta itu. 

Suasana seketika berubah menjadi pilu, tanpa tahu penyebab yang memicu. Tak berselang lama, rasa kekhawatiran itu terjawab sudah, saat bu Martina menerima telepon masuk.

"Halo, selamat malam. Dengan keluarga dari saudari Riana?"

"Iya benar, saya ibunya. Maaf saya bicara dengan siapa, ya?"

"Saya dari rumah sakit Mitra Kasih, Bu. Saya ingin memberitahukan kalau putri ibu sedang dirawat di rumah sakit ini. Mbak Riana mengalami kecelakaan beberapa waktu lalu. Saya mohon ibu segera datang ke rumah sakit sekarang."

Jantung Ibu Martina bak dihujam pisau belati, hatinya tersayat oleh kabar itu. 

Seketika ia terjatuh dan terduduk di lantai rumahnya.

Wanita tua itu tak mampu menopang tubuh ringkihnya, saat mendengar berita buruk yang menimpa putri kesayangannya. 


Meskipun kakinya masih lemah untuk sekedar berdiri, tapi ibu Martina berusaha untuk menguatkan fisiknya dan segera bergegas menuju ke rumah sakit dengan berlinang air mata.


Setibanya di rumah sakit, ia pun menghampiri seorang resepsionis yang sedang berjaga malam itu. 

"Maaf, Mbak. Saya ibu dari pasien yang bernama Riana. Dia baru saja mengalami kecelakaan, dimana anak saya sekarang?"

"Sebentar, Bu. Saya lihat daftarnya dulu."

Resepsionis itu pun melihat ke layar komputer.

"Putri Ibu masih ada di ruang Unit Gawat Darurat."

Wanita tua itu berlari menuju ruang tersebut. Iya terkejut saat melihat keadaan putrinya yang cukup parah, namun dia tidak melihat Rio ada disana. 

"Dokter, bagaimana keadaan anak saya?" 

"Anak ibu mengalami luka yang cukup serius di bagian tangan, kaki, dan dahi. Tapi tenang saja, janin yang ada di kandungannya masih bisa diselamatkan. Namun ada satu kabar duka, suami anak ibu meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Besan ibu sepertinya sudah datang dan membawa jenazah putranya pulang."


Penjelasan dari sang dokter, membuat tubuh ringkih ibu Martina kembali roboh.

'Apa? Janin? Jadi Riana sedang hamil? Siapa yang akan bertanggung jawab, sedangkan Rio sudah meninggal,' ucapnya dalam hati. 

Perasaan ibu Martina seketika menjadi kacau, suasana hatinya tak menentu.

Hampir saja ia kehilangan akal sehatnya, dirinya tak percaya jika putri kandungnya itu telah berbuat nista

'Aku harus memberitahu Rindu. Dia harus tahu hal ini. Padahal beberapa waktu lalu saat Rindu datang, kami berdua sempat memberi nasehat kepada Riana. Tapi kenapa kini Riana mengecewakanku. Maafkan aku suamiku, aku gagal mendidik anakmu.' Ibu Martina berkeluh kesah dalam hati. 

Penyesalan demi penyesalan mulai muncul pada diri wanita paruh baya itu. 

Akhirnya ia pun melangkahkan kaki keluar dari ruangan dan menghubungi Rindu, putri sulungnya. 

Berulang kali ia mencoba menelpon putrinya itu, namun belum ada respon dari Rindu. Ibu Martina sedikit putus asa, ia pun terpaku dalam lamunannya. 

Tepat pukul sepuluh malam, jarinya menyentuh ponsel dan kedua netranya melihat layar ponselnya. 

"Astagfirullah.. Ibu baru saja telepon aku. Ada apa, ya? Tumben malam seperti ini beliau menelpon. Apa penyakit ibu kambuh lagi?" Berbagai pertanyaan terbesit di hati Rindu. 

Ibu kandungnya itu biasanya menelpon di pagi atau siang hari. Itupun jika ada sesuatu hal yang penting. 

Rindu menelpon balik wanita paruh baya yang telah melahirkan dirinya.

Ibu Martina pun terkejut dan terbangun dari lamunannya, ia mengangkat telepon dari seseorang yang ia harapkan. 

"Assalamualaikum, Bu. Ibu tadi telepon Rindu?"

"Iya, Nak." Suara kesedihan terdengar jelas dari bibir ibu Martina.

"Maaf, Bu. Rindu masih sholat waktu ibu menelepon. Rindu tadi terjebak macet di jalan dan baru saja sampai rumah jam setengah sepuluh."

"Astagfirullah, kamu dari mana saja? Kenapa malam sekali pulangnya? Jangan pulang malam-malam Rindu." Wanita itu trauma dengan kejadian malam ini. 

"Rindu dari luar kota, Bu. Tenang saja, Rindu tidak sendirian ada papa dan mama yang menemani. Orang tua angkat Rindu membuka hotel baru dan kami harus memastikan situasi dan kondisi di sana. Maaf, ada apa Ibu telepon malam-malam seperti ini?"

"Riana kecelakaan, Rin." Ibu Martina menangis tersedu-sedu.

"Astagfirullahaladzim." Bibir Rindu seketika mengucapkan kalimat istimewa yang dicintai Rabb Nya. 

"Bagaimana keadaan Riana sekarang, Bu?"

Bu Martina menceritakan keadaan Riana kepada kakak kandungnya.

Rindu merasa jika beban ibu dan adiknya, juga menjadi tanggungjawabnya.

"Riana dirawat di rumah sakit mana, Bu? Rindu akan kesana sekarang."

Ibu Martina mencegah putrinya itu. 

"Jangan kesini sekarang, Nak. Kesinilah besok, kamu pasti lelah. Istirahatlah dulu besok saja kamu ke sini. Riana di rawat di rumah sakit Mitra Kasih, dia masih ada di ruang Unit Gawat Darurat." 

"Tapi aku khawatir dengan keadaan Riana dan bayinya, Bu."

"Riana dan bayinya baik-baik saja, Rindu. Tolong turuti permintaan ibu untuk tidak datang ke sini malam ini."

"Baik, Bu. Rindu akan kesana besok pagi."

"Baiklah, sekarang istirahatlah."

"Baik, Bu. Terima kasih. Ibu juga jangan lupa istirahat, ya. Assalamualaikum," ucap Rindu. 

"Waalaikumsalam."

Obrolan keduanya pun berakhir, ibu Martina tampak masih meratapi kesedihannya, sedangkan Rindu tidak bisa tidur dengan pulas karena memikirkan musibah yang menimpa saudara kandungnya. 

Rasa khawatir tak mampu ia elakkan begitu saja, ketenangan dalam dirinya seolah memudar. Kini kebingungan merajai hati kakak kandung Riana itu. 

'Aku harus tidur meskipun hanya sebentar. Kalau aku tidak tidur sama sekali, malam aku tidak bisa sholat tahajjud. Aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk beribadah, karena dalam islam malam itu merupakan kesejahteraan sampai tiba waktu fajar.'

Rindu pun akhirnya tertidur dalam keadaan suci, ia selalu membiasakan diri untuk berwudhu sebelum tidur. 

Tepat pukul tiga dini hari, gadis itu membuka kedua netranya. Ia memandang ke arah jam besar yang melekat pada dinding kamarnya. 

"Alhamdulillah, aku masih di berikan kesempatan untuk menikmati keistimewaan sepertiga malam ini." Tak lupa Rindu melantunkan do'a selepas tidur. 

Gadis itu lekas berjalan menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri, seraya mengambil air wudhu. 

Saat hendak memasuki mushola sederhana yang ada di rumah mewah milik orang tua angkatnya. Gadis berambut hitam panjang itu, mendapati kedua orang tuanya sudah berada ditempat ibadah dan sedang mengerjakan sholat malam. 

Ketiganya tampak menikmati perjumpaan dengan sang Ilahi. 

Nuansa fajar mulai bersenandung, membawa angin segar yang menyentuh sanubari. Inilah saat yang tepat meraih dunia dan seisinya dengan melaksanakan ibadah sunah sebelum subuh. 

Setelah mereka selesai melaksanakan ibadah, Rindu pun mengutarakan maksudnya untuk tidak ikut pergi ke kantor bersama kedua orang tua angkatnya.

"Mama, Papa. Hari ini Rindu absen ke kantor dulu, ya."

"Iya, Nak. Kamu pasti capek karena semalam pulang malam." Nyonya Mayang membelai rambut putri angkatnya itu. 

"Tidak, Mah. Rindu ingin menjenguk Riana, semalam Riana kecelakaan." Nyonya Mayang terkejut mendengar berita buruk itu. 

"Astaghfirullahaladzim… bagaimana keadaan adikmu sekarang?" tanya Nyonya Mayang. 

"Rindu belum tahu, Mah. Tapi ibu bilang keadaan Riana tidak terlalu buruk."

"Ya sudah kita ke rumah sakit aja setelah itu mama dan papa baru akan pergi ke kantor kami akan menemanimu ke menjenguk Riana. 

Rindu pun tak keberatan dengan permintaan sangat ibu. 

"Baik, Mah. Kalau begitu, Rindu mau menghubungi Mas Haris dulu, ya."

"Iya, Nak."

Rindu berjalan memasuki kamarnya dan meraih handphone miliknya, tak lupa ia segera menghubungi Haris. 

"Assalamualaikum, Mas."

"Waalaikumsalam, Dek."

"Mas, pagi ini kamu sibuk atau tidak? Kalau tidak, aku mau minta antar ke Rumah Sakit Mitra Kasih. Adik aku kecelakaan dan dirawat di sana."

"Baik, Dek. Jam enam nanti aku jemput kamu. Kita berangkat pagi saja supaya tidak terjebak macet."

"Baik, Mas."

Pukul enam lebih lima menit Haris tiba dirumah mewah pak Rendra. 

Setelah membuka pintu rumah, Rindu pun mengajak calon suaminya itu untuk makan bersama keluarganya pagi ini.

Saat mereka selesai menyantap hidangan, Rindu sudah tidak sabar ingin mengetahui kabar terbaru dari saudara kandungnya yang tertimpa musibah semalam.

"Mah, Pah, Mas Haris. Kita ke rumah sakit sekarang, ya. Rindu khawatir sekali sama keadaan Riana."

Semuanya menyetujui permintaan Rindu, hampir satu jam mereka menempuh perjalanan menuju Rumah Sakit Mitra kasih. 

Setibanya disana, Rindu segera menelpon ibu kandungnya, menanyakan keberadaan ibunya itu dengan sang adik.

Para tamu itu akhirnya menjenguk Riana di ruangannya kecuali Haris, pria itu tampak sedang menerima telepon di ruang tunggu.

"Mah, Pah. Kita ke kamar Riana dulu, yuk. Sepertinya Mas Haris sedang menerima telepon."

Saat tiba di kamar Riana, gadis itu tampak melamun sembari meneteskan air mata. 

"Riana, kamu yang sabar, ya." Rindu membelai rambut panjang sang adik, namun tak ada respon dari Riana. 

"Mbak Tina. Kenapa Riana linglung seperti itu?"

Ibu Martina menjelaskan dengan sejujurnya.

Tak terasa detik demi detik berlalu, hampir dua jam keluarga angkat Rindu dan juga Haris ada di rumah sakit itu. 

"Mama, Papa. Sudah siang, kalian tidak ke kantor hari ini?"

"Tentu saja kami ke kantor, Nak. Ada tamu penting hari ini," ucap ayah angkatnya.

"Kami pamit dulu ya, Mbak Tina," ucap istri Tuan Rendra dengan memberi sejumlah uang yang ia masukan ke dalam amplop coklat. 

"Terima Kasih, Dek. Maaf tapi aku tidak bisa menerima pemberianmu ini, sepertinya uang yang kamu masukkan terlalu banyak."

"Sudahlah, Mbak. Terima saja, ini untuk biaya pengobatan Riana." Nyonya Mayang memaksa kakak iparnya itu. 

Setelah kedua orang tua angkatnya pergi, Rindu dengan membawa beban berat di dadanya segera membahas tentang kehamilan sang adik. 

"Ibu… bagaimana dengan janin yang ada di dalam perut Riana? Siapa yang nantinya akan bertanggung jawab?"

"Entahlah, Nak. Rio sudah meninggal. Ibu juga bingung, rasanya ibu sudah putus asa." Ibu Martina kembali menangis sembari memegang dadanya. 

Tak lama berbincang, Rindu pun teringat Haris dan segera mencari sosok calon suaminya itu. Ia menemukan Haris masih berada di ruang tunggu

"Mas Haris… Mas ke kantor aja dulu, ya. Aku nanti pulangnya naik taksi saja. Aku masih mau jaga Riana dan berbicara banyak hal dengan ibu."

"Aku mau pamit dulu sama ibu, Dek"

Rindu berusaha untuk mencegah calon suaminya itu memasuki kamar Riana, karena Riana sedang dalam keadaan linglung dan juga tidak menutup auratnya. Rindu tetap tidak mau calon suaminya melihat aurat sang adik.

Setelah calon suaminya itu beranjak, Rindu pun segera menghampiri kamar sang adik.

Ketika hendak membuka pintu, suara jeritan dari dalam kamar Riana, terdengar jelas menggema di telinga calon istri Haris itu. 

Ia sangat mengenali suara khas yang terngiang di telinganya. Suara itu tidak asing baginya.

"Astaghfirullahaladzim… itu suara Riana." 

Rindu segera menarik handle pintu dengan perasaan kacau. 

Benar saja dugaannya, itu adalah suara sang adik yang perasaannya masih dilanda kekacauan yang mendalam. 

Terlihat ibu Martina menangis dan memeluk putri bungsunya dengan pilu. 

"Sadar, Riana. Istighfar, jangan kamu sakiti janin yang ada di perut kamu itu."

"Siapa yang akan bertanggung jawab, Bu. Rio sudah pergi, bayi ini pasti akan menjadi aib untuk keluarga kita." Riana menangis sejadi-jadinya. 

Rindu tak tega melihat kondisi kejiwaan kedua wanita yang ia sayangi. Terlihat sekali keduanya sama-sama terpukul dengan peristiwa itu. 

Tak berapa lama, pandangan Riana tampak kosong. Beberapa menit kemudian ia pun tidak sadarkan diri. 

Anak sulungnya itu segera memeluk ibunya. "Ibu yang sabar, ya. Rindu akan panggil dokter."

Wajah Rindu memerah, berulang kali ia menelan ludah dan mengedipkan matanya begitu cepat, sembari berlari ke arah resepsionis untuk meminta pertolongan. Tak berapa lama ia kembali ke kamar adiknya dan melihat sang ibu sedang meratapi nasib buruk yang sedang terjadi. 

Rindu tak tega membiarkan ibunya terbebani dengan musibah yang menimpa sang adik. 

Ia tahu kesalahan yang dibuat Riana itu bukan kesalahan kecil, tapi gadis itu berusaha bersikap bijak.

Mungkin karena kurangnya perhatian dan tidak ada peran orang tua laki-laki, mengingat ayahnya sudah lama meninggal. 

"Ibu tenang dulu, ya. Jangan sedih lagi, Rindu akan mencoba mencari jalan keluarnya."

"Bagaimana ibu tidak sedih, Nak. Jika tidak ada pria yang menikahi Rindu, pasti keluarga kita akan menjadi cemoohan warga. Apalagi warga kampung sudah mulai geram dengan perilaku Riana yang sering berpakaian minim saat pergi bersama Rio. Semua ini salah ibu, ibu sudah gagal mendidik adikmu."

"Ibu… semuanya pasti ada jalan keluarnya. Percayalah Allah itu tidak akan memberi ujian di luar batas kemampuan hambanya. Mungkin semua ini ujian untuk ibu dan juga Riana, termasuk Rindu juga. Bagaimanapun Riana itu adik Rindu. Mungkin ini jalan takdir yang harus kita lalui. Tetap berpikir positif sama Allah ya, Bu." Rindu berusaha menguatkan hati ibunya. 

***

Beberapa hari sudah Rindu tidak bekerja, ia lebih sibuk merawat sang adik. Riana sering menyebut nama Rio dan sering menyakiti janin yang ada di perutnya. 

Akhirnya Rindu menceritakan kejadian buruk yang menimpa Riana saat itu kepada orang tua angkatnya. Mereka berniat untuk membawa Riana dan ibu Martina tinggal bersama mereka di kota. 

Kesedihan begitu terlihat jelas di raut wajah Ibu Martina, manakala melihat putri bungsunya menderita. Ia lebih sering mencurahkan isi hatinya kepada putri sulungnya.

"Rindu… mungkin saja ini teguran dari Allah untuk Riana. Mudah-mudahan setelah Kejadian ini, dia bisa bertobat ya, Nak. Tapi ibu masih bingung, lelaki mana yang nantinya mau menikahi adikmu."

Aura layu dan sendu menggelayut dan tersorot jelas di kedua netra bidadari yang melahirkannya 

"Amin… Iya, Bu. Semua yang sudah digariskan Allah itu adalah yang terbaik untuk hambanya. Ibu tidak perlu khawatir dengan jalan hidup kita. Apapun yang terjadi, semua sudah tertulis di kitab Lauhul Mahfudz lima puluh ribu tahun sebelum kita menjamah kalau dilahirkan ke dunia ini. Jodoh, rezeki, maut, semua di tangan Allah. Kita tidak perlu mengkhawatirkan itu yang perlu kita pikirkan adalah cara kita mendapatkan akhirat, karena Allah tidak menjamin surga dan neraka untuk hambanya. Bukannya Rindu bermaksud untuk menggurui ibu, tapi itulah yang Rindu tahu tentang agama kita."

"Ibu tidak merasa kamu sedang menasehati atau menggurui ibu, Nak"

Tak berapa lama dering handphone Rindu terdengar, ia pun segera mengangkat telepon itu. 

Ternyata itu adalah telepon dari Nyonya Mayang yang menawarkan kebaikan untuk Riana dan ibunya. 

"Bu… mama Mayang minta Riana dirawat di rumah kita," ungkap Rindu dengan perasaan bahagia. 

"Apakah keberadaan kami itu tidak akan menjadi beban untuk kalian, Nak?"

"Tentu saja tidak, Bu. Baiklah, Rindu akan menemui dokter, semoga sekarang juga Riana bisa dibawa pulang."

"Baiklah, Rindu. Ibu akan mengemasi barang-barang kita. Semoga hari ini dokter memperbolehkan Riana untuk pulang. Bukankah dokter sudah menyarankan untuk membawa pulang Riana, hanya saja kita yang tidak tega melihat kondisi mentalnya."

Akhirnya Rindu mendapat izin untuk membawa pulang adiknya. Ia pun segera membayar biaya administrasi rumah sakit itu. 

Namun saat hendak keluar dari kamar tersebut, seorang wanita paruh baya datang memaki dan menari kerudung ibu Martina hingga terlepas.

"Dasar wanita tua tidak bermoral! Lepaskan saja penutup kepalamu ini! Aku tahu kamu sengaja menjual anakmu supaya bisa mendapatkan lelah kaya seperti anakku! Gara-gara salah anakmu ini, anakku meninggal dalam kecelakaan itu!" Sorot mata tajam penuh kekejaman terlihat begitu jelas di kedua netral wanita yang mengaku sebagai ibu dari kekasih Riana. 

Tak hanya itu, jari telunjuk tangan kanannya pun bergerak menunjuk wajah ibu Martina. 

Rindu panik melihat kejadian itu dan berusaha melerai dengan sekuat tenaga.

Sedangkan Riana yang sedang bergejolak dengan kejiwaannya, tak terima melihat perlakuan wanita itu. 

Gadis itu membalas tindakan kasar wanita yang diketahui adalah ibu dari kekasihnya. 

"Dasar wanita jalang! Dimana kamu sembunyikan anakmu? Seharusnya dia bertanggungjawab, bukan malah mati meninggalkan aku sendiri!" teriak Riana sembari menarik rambut wanita itu. 

Wanita tua itu pun kesakitan dan berteriak. "Lepaskan! Sakit bodoh? Kamu yang jalang! Apa kamu sudah gila? Kenapa kamu berteriak dan berbuat kasar kepadaku seperti ini!" Wanita terlihat mencoba melepaskan diri dari cengkraman Riana. 

Rindu dan sang ibu, berusaha menghentikan tindakan Riana yang meresahkan itu. 

"Sudah Riana. Kakak mohon hentikan semua ini." 

"Biarkan saja dia mati ditanganku, Kak." Riana semakin menarik kencang rambut wanita itu. 

"Riana… ibu mohon lepaskan dia." Ibu Martina terlihat menitihkan air mata. 

Deraian air mata itu membuat Riana luluh dan pelan-pelan melepaskan rambut putih wanita tua itu. 

"Ibu… saya mohon ibu pergi dari sini. Jika ibu masih membuat kekacauan di rumah sakit ini, saya akan memanggil kapan dan melaporkan ibu kepada polisi." Rindu mengancam tamu tak diundang itu. 

Akhirnya wanita yang mengaku ibu dari Rio itu pergi meninggalkan ketiga wanita yang ada di depannya dengan menahan rasa sakit. 

***

Beberapa hari setelah Riana tinggal di rumah mewah milik orang tua angkat Rindu, belum banyak perubahan dari kondisi mentalnya. 

Terkadang Riana sadar dan dapat berkomunikasi dengan baik, tapi saat mengingat Rio, kejiwaannya kembali rapuh. 

Suatu hari di pagi buta, Riana tiba-tiba berteriak histeris seperti saat masih berada di rumah sakit. 

Ibu Martina dan Rindu yang saat itu sedang beraktivitas di dapur pun, segera berlari menghampiri gadis itu.

"Aa aa aa." Teriak Riana sembari menangis merana. Goresan luka di hatinya tergambar jelas dari Rona wajahnya 

"Bu… itu bukannya suara Riana?" Rindu menatap sendu wajah sang ibu. 

"Iya, Nak." Keduanya pun segera berlari penuh kepanikan menuju kamar Riana. 

"Riana… kamu kenapa, Nak?" tanya ibu kandungnya. 

Riana hanya menangis sesenggukan, sang kakak berusaha untuk tetap tenang dan memberikan sebuah pertanyaan untuk adiknya. 

"Riana… kamu kenapa? Perut kamu sakit?" tanya Rindu dengan halus. 

Riana menggelengkan kepala, seolah tak membenarkan dugaan itu.

"Lalu kamu kenapa menjerit histeris seperti itu?" tanya Rindu.

"Aku tidak mau anak ini. Anak ini pasti akan menjadi aib untukku. Tolong bunuh saja, supaya aku bisa berkumpul dengan Rio dan membesarkan bayi ini bersama." Riana mulai gelap mata. 

"Istighfar, Riana. Kamu tidak boleh bicara seperti itu. Ingat, Rio sudah meninggal dan kamu harus tetap melanjutkan hidup. Tugasmu sekarang adalah merawat anak ini bersama bapak barunya sebaik mungkin nanti. Meskipun pria itu bukan ayah biologis dari bayi yang kamu kandung."

Riana seketika mengusap air mata yang mendera di pipinya.

"Bapak baru? Aku tidak mau menikah dengan pria lain selain Rio. Lagipula siapa yang mau menikah dengan wanita jalang dan hina seperti aku?" teriak Riana lagi.

"Riana, kamu tenang saja. Jodoh, maut, dan rezeki itu sudah diatur sama Allah. Mungkin jodoh kamu itu bukan Rio, meskipun dia adalah ayah dari bayi yang kamu kandung. Ingat Riana, seseorang yang sudah menjadi suami atau istri, terkadang mereka belum tentu berjodoh." Rindu dengan sabar memberi pengertian kepada adik kandungnya. 

Kegaduhan itu terdengar oleh Tuan Rendra dan nyonya Mayang. 

Pasangan itu pun segera mencari sumber suara.

"Apa yang terjadi dengan Riana? Sepertinya tadi dia berteriak?" tanya ibu angkat Rindu.

Ibu Martina pelan-pelan menghampiri kedua iparnya itu dan menjelaskan apa yang terjadi.

Pasangan suami istri itu sangat prihatin dengan keadaan keponakan mereka.

Sementara itu, Rindu terlihat masih berusaha untuk menenangkan adiknya.

"Kamu yang sabar, ya. Kesabaran seseorang itu tidak akan pernah berakhir dengan sia-sia. Ingat janji Allah, siapa yang sabar dalam menghadapi musibah sehingga mampu menjalaninya dengan baik, dengan segala kekuatan hatinya, maka Allah akan mencatat untuknya sebanyak tiga ratus derajat yang antara satu derajat dengan derajat yang lain seperti jarak antara langit dengan bumi. Siapa tahu musibah ini sebagai penggugur dosa-dosamu. Pasti ada hikmah di setiap musibah, Ri."

Rindu tetap berusaha untuk menguatkan mental sang adik dan berusaha mengarahkan Riana ke jalan yang lebih baik. 


Beberapa hari setelah kejadian itu, kedua orang tua angkat Rindu mendiskusikan sesuatu dengan ibu Martina.

"Mbak, Tina. Sepertinya kita harus menjaga kesehatan mental Riana. Aku takut keadaannya akan semakin parah. Bagaimana jika kita carikan dia calon suami, tapi laki-laki yang bisa dipercaya menjaga aib Riana." Ibu angkat Rindu memberikan saran. 

Sang putri menyahut pernyataan Sang ibu. 

"Siapa laki-laki yang bisa dipercaya, Mah?" tanya Rindu. 

Tuan Hendra sebenarnya sudah mempunyai calon untuk Riana, yaitu seorang karyawan yang terkenal sholeh di kantor. 

"Sebenarnya papa sudah memiliki calon yang akan papa jodohkan untuk Riana. Dia adalah seorang karyawan di kantor kita. "

"Siapa, Pah?" tanya Rindu penasaran. 

"Reza… bagaimana menurutmu Rindu?"

"Astaghfirullahaladzim… apa Papa tidak tahu, Reza itu kan sudah mau menikah sama Fitri ADM gudang."

"Masa sih, Rin. Kok, papa ketinggalan berita itu."

"Iya, Pah. Mereka itu sudah tunangan. Mungkin beberapa bulan kedepan mereka akan segera melangsungkan pernikahan." 

"Lalu siapa lagi ya, Rin. Papa jadi bingung, hanya dia satu-satunya pemuda yang papa percaya." 

"Ya sudah, nanti kita cari cara lagi. Kami mau pergi bekerja dulu, ya," imbuh ayah angkat Rindu.

Beruntung Riana mempunyai keluarga yang begitu peduli padanya. Hampir setiap hari, wanita itu masih beradu dengan kesehatan jiwanya. Pikirannya terlihat belum terarah dan masih goyah, oleh hantaman duka yang melandanya. 


***

Suatu pagi angin berhembus semilir, berbisik lembut menyentuh indera peraba. Laksana buaian manja yang terajut sempurna. Dibalik kelembutan pagi kala itu, peristiwa tidak diinginkan terjadi.

Riana tiba-tiba pergi dari rumah, tak tahu entah ke mana.

Rindu dan ibunya pun berusaha sebisa mungkin mencarinya. 

"Ibu…" teriak Rindu.

"Riana tidak ada di kamarnya," teriak Rindu lagi. 

"Astaghfirullahaladzim, kemana Riana pergi? Apa kamu sudah mencarinya di sekitar rumah?"

"Belum, Ibu." Rindu terlihat panik.

Rindu dan ibunya mencari Riana di area rumah itu, tapi mereka tak menemukannya.

"Astaghfirullahaladzim… kemana adikmu itu?" Ibu Martina panik.

"Rindu akan mencari Riana, Bu."

"Ibu ikut, Nak."

"Ibu di rumah saja, ya. Biar Rindu sama mas Haris yang mencari Riana. Rindu akan menghubungi mas Haris untuk memintanya mengantarkan Rindu."

"Itu akan merepotkan Haris, Nak? Bukannya dia harus bekerja? Hari ini bukan hari libur."

"Rindu tahu, Bu. Tapi mas Haris tidak mungkin mengizinkan Rindu pergi sendirian."

Kakak kandung Riana itu segera menghubungi calon suaminya dan Harus pun memenuhi permintaan Rindu untuk mencari Riana.

Hampir lima belas menit Haris menempuh perjalanan ke rumah Rindu. Keduanya akhirnya segera mencari Riana. 

Berjam-jam sudah Rindu dan calon suaminya itu mencari adik kandungnya. 

"Mas, kemana lagi kita harus mencari Riana? Hampir lima jam kita muter-muter di kota ini, tapi kita belum juga menemukan adikku. Tadi kita juga sudah ke kampung ibu, tapi Riana juga tidak ada."

"Sabar ya, Dek. Kita cari sekali lagi, kalau sampai jam dia kita belum menemukan Riana, kita pulang saja. Kiita tunggu di rumah lahir, setelah dua kali dua puluh empat jam, kita buat laporan orang hilang ke kantor polisi.supaya pihak berwajib juga membantu kita mencari Riana. Sekarang kita cari Masjid dulu, waktu dhuhur hampir tiba."

"Iya, Mas. Terima kasih sudah mau Rindu repotkan."

"Kamu jangan bilang begitu, Dek. Kamu itu calon istrinya aku."

Tak lupa nama Riana selalu ia sebutkan dalam do'anya. Rindu sangat menyayangi adik kandungnya itu. Meskipun mereka tidak tinggal bersama selama belasan tahun.



***

Meskipun sudah berusaha dengan sangat keras, namun usaha pasangan itu belum membuahkan hasil. Riana belum juga terlihat di pelupuk mata mereka. 


Tak kunjung menemukan Riana, keduanya pun memutuskan untuk kembali ke rumah tuan Rendra.

Kedatangan putri sulungnya tanpa sangat adik, membuat ibu Martina semakin terguncang. 


"Rindu, apa kalian tidak menemukan Riana?"


"Belum, Bu. Kita sudah mencarinya di seluruh kota ini, bahkan kami sempat ke kampung ibu tapi tidak ada Riana. Sabar dulu ya, Bu. Kita tunggu sampai hari ini dan kalau sampai dua kali dia puluh empat jam Riana tidak pulang, kita lapor polisi."


Ibu Martina seketika lemas tak berdaya, kakinya terasa rapuh tak mampu menopang tubuh ringkihnya itu. Mereka hanya bisa pasrah menunggu Riana. 


Bak di cinta ulam pun tiba, tepat pukul enam malam, Riana tiba di rumah tuan Rendra dengan keadaan lusuh dan tidak enak dipandang mata. 


Melihat kedatangan Riana, Rindu yang tak sengaja melihat adiknya itu pun segera membuka pagar dan menghampiri adik kesayangannya.

"Kamu dari mana saja, Riana?" tanya Rindu. 

Riana menangis sembari memeluk sang kakak. Rindu pun membawa adiknya itu untuk masuk ke dalam rumah. 

"Ibu… Riana sudah pulang," teriak Rindu. 

"Kamu darimana saja, Riana?" tanya ibunya cemas. 

Riana akhirnya menceritakan darimana ia pergi.

"Aku mencoba datang ke rumah Rio, Bu. Tapi mereka sudah pindah rumah. Aku yakin Rio belum mati."

"Riana, Rio sudah meninggal, kamu harus bisa menerima kenyataan ini." Rindu mencoba memberi pengertian kepada sang adik. 

Pandangan Riana tiba-tiba teralihkan akan sosok Haris yang memasuki ruang tamu dari pintu samping. 

Ternyata Haris masih ada disana dan sedang menikmati udara di taman yang berada di samping rumah tuan Rendra. 

"Kak Rindu… siapa pria itu? Apakah dia calon suamiku dan ayah dari bayi ini? Riana segera menghampiri Haris dengan keadaan mental yang tidak stabil, adik kandung Rindu itu terlihat mencoba meraih tubuh kekar Haris. Namun harus berusaha untuk menolak sentuhan itu. 

Calon istrinya pun segera menghampiri pemuda tampan yang sedang berusaha menjauhkan tubuhnya dari Riana. 

"Mas… jangan menghindar dan jangan menolak pelukannya. Aku mohon… jiwanya sedang terguncang. Sepertinya Mas Haris yang bisa mengobati Riana saat ini," bisik Rindu. 


"Bagaimana mungkin, Dek. Kita bukan muhrim, bahkan menyentuhmu saja aku belum pernah. Lalu aku harus menyentuh perempuan lain?" protes Haris.


"Aku mohon, Mas." Kedua netra Rindu berkaca-kaca.


Mengetahui jika calon menantunya itu tak nyaman dengan perilaku putri bungsunya, ibu Martina segera menarik tubuh Riana perlahan. 


"Nak… lepaskan dulu, ya. Biarkan dia istirahat. Kasihan dia, seharian ini mencarimu."

"Jadi benar? Pria tampan ini calon suamiku?" tanya Riana dengan perasaan yang sangat senang. 

Rindu pun beralih mencoba untuk menenangkan sang adik.

"Benar, Riana. Dia calon suamimu, biarkan dia istirahat dulu. Ayo kamu ikut kakak ke belakang, kakak akan mandikan kamu biar wangi dan cantik. Masa mau ketemu calon suami, keadaannya acak-acakan begini," rayu Rindu.


Riana pun mengangguk dengan penuh gairah hidup. Bahkan saat hendak meninggalkan ruang tamu, ia selalu menatap ke arah Haris sembari mengedipkan mata genitnya. 


***

Pertemuan tak sengaja antara Riana dan Haris, membuat Rindu terus berpikir.

Malam itu juga ketika Haris sudah pergi dari rumahnya, ia mencoba untuk berunding dengan keluarganya.

Kebetulan saat itu, Tuan Rendra dan istrinya pulang lebih awal. Mereka sedang berkumpul diruang keluarga, Rindu memanfaatkan kesempatan itu meminta pendapat kepada kedua orang tua angkatnya itu. 

"Pah, Mah. Rindu ada ide, mungkin ini akan membantu Riana sembuh dari sakit mental."

"Ide apa itu, Rindu?" 

Rindu menceritakan kejadian yang terjadi saat Riana bertemu dengan calon suaminya. 

"Bagaimana kalau kita minta mas Haris untuk menikahi Riana sampai bayi itu lahir? Setelah bayi itu lahir mereka bisa berpisah. Tapi ide Rindu ini salah, karena perceraian itu tidak disukai Allah meskipun di halalkan."

"Astaghfirullahaladzim… Haris itu calon suami kamu Rindu, bukan calon suami Riana. 

Bagaimana mungkin dia menikahi Riana setelah itu menceraikannya? Bukankah perceraian itu hal yang paling dibenci oleh Allah. Ingat Rindu, belum tentu Haris mau. Walaupun dengan sangat terpaksa nantinya Haris bersedia membantu kita, belum tentu juga keluarganya yang lain setuju dengan rencana ini." Nyonya Mayang keberatan dengan ide putri angkatnya dan berusaha memberi pemikiran yang bijak. 

Ibu Martina pun sependapat dengan adik iparnya itu.


Kedua orang tua angkat Rindu merasa begitu bangga dengan kebesaran hati yang dimiliki oleh putri angkatnya.

Ibu Martina dan nyonya Mayang pun, tak kuasa menahan haru. Tanpa sengaja keduanya memeluk gadis itu dalam waktu yang bersamaan.

"Mungkin besok Rindu akan membicarakan semua ini dengan mas Haris. Rindu mohon do'a dari kalian, supaya semuanya berjalan lancar sesuai keinginan kita."


Apa yang dilakukan Rindu tentu saja berat untuknya, tapi ia rela berkorban demi menjaga nama baik keluarganya. 

***


Akhirnya Rindu menepati janjinya untuk berbicara kepada Haris. Tepat pukul delapan pagi, gadis itu mendatangi kantor calon suaminya. Haris. Memiliki sebuah usaha di bidang digital dan perangkat lunak yang sedang berkembang pesat. 


"Mbak Rindu cantiknya bikin adem, ya." Seorang karyawan memuji calon istri Haris itu di belakang.

"Kalau tidak cantik, mana mungkin pak Haris mau," sahut karyawan yang lain. 

Rindu segera menuju ke ruangan Haris dengan langkah terburu-buru. 

Tak lupa gadis itu mengetuk pintu ruangan calon suaminya.

"Masuk," teriak Haris dari dalam ruangannya.

"Assalamualaikum, Mas."

"Waalaikumsalam, Dek. Kok, kamu ke sini tidak memberitahuku. Aku kan, bisa jemput kamu."

"Aku takut merepotkan kamu, Mas. Kemarin aku sudah merepotkan dirimu seharian."


"Dek, kamu jangan ada rasa sungkan seperti itu kepadaku. Sebentar lagi kita akan menjadi suami istri."


Ucapan Haris itu membuat hati Rindu merasa teriris. Rasanya tak tega lidahnya mengutarakan maksud dari kedatangannya menjumpai calon suaminya itu.

Rindu mengumpulkan keberaniannya dan kekuatannya untuk mengatakan kepada calon suaminya, tentang maksud dan tujuannya. 

"Mas, Rindu minta maaf sebelumnya. Sebenarnya aku tidak ingin mengatakan ini, tapi aku harus mengatakannya."


Ucapan Rindu membuat Haris merasa tidak enak hati. Dugaan negatif muncul dalam benak Haris, saat mendengar pernyataan calon istrinya itu. 


"Dek, kamu mau ngomong apa? Jangan bilang kamu mau meninggalkan aku. Aku mohon jangan lakukan itu, sampai kapanpun aku tidak akan pernah siap kehilangan kamu."

"Bukan Mas, bukan itu," ucap Rindu.

Rindu pun kembali merasa bingung dan tidak tega. 'Bagaimana cara bicara ke Mas Haris, ya.' ucap Rindu dalam hati. 

"Syukur kalau bukan itu, Dek. Pikiranku sudah jelek saja, kamu mau bicara apa sebenarnya?"

"Baiklah, Mas. A-ku mau min-ta tolong." Rindu terbata-bata, setelah itu ia terdiam.

"Iya, Dek. Katakan saja kamu mau minta tolong apa."

"Menikahlah dengan Riana, Mas."

"Apa kamu sedang bercanda?" 

 "Tidak, Mas. Aku tidak bercanda, semua ini serius. Aku mohon menikahlah dengan adikku." Wajah Rindu memelas pilu. 

"Dek… calon istriku itu kamu, bukan adikmu. Kenapa aku harus menikah dengan adikmu? Aku tidak mau, Dek."


"Mas Haris, Riana sedang hamil dan bapak dari bayi yang ada di perutnya itu meninggal saat kecelakaan bersamanya beberapa waktu lalu."


"Aku tidak mau menikahi adikmu, Dek. Aku mau menikahi kamu. Bagaimana kalau kita carikan calon suami untuk Riana saja."

"Aku mohon, Mas. Tolong lah keluargaku untuk menutupi aib ini."

"Dek, aku tidak bisa melakukan itu. Bagaimana kalau aku carikan pria yang mau menikah dengan Riana. Seperti yang aku katakan tadi."

"Kami sempat berpikir seperti itu, Mas. Tapi apa kamu yakin pria itu bisa menjaga aib Riana dan keluarga kami. Mas, aku mohon bantu kami, kali ini saja. Aku lihat Riana sangat senang saat bertemu denganmu. Siapa tahu seiring berjalannya waktu dia bisa sembuh dengan bantuanmu. Aku mohon Mas, menikahlah dengan Riana sampai bayi itu lahir."

Tak tega melihat wajah sang kekasih dibanjiri dengan derai air mata, Haris pun akhirnya menyetujui permintaan Rindu. 

"Baiklah... Tapi sebelumnya, aku akan menikahimu terlebih dahulu, sebelum menikahi Riana. Aku menikahi Riana sampai bayi yang ada di perutnya lahir, setelah itu aku akan menceraikannya. Sebenarnya kamu tahu kan, perceraian itu memang dihalalkan oleh agama kita, tapi hal itu sangat dibenci oleh Allah."

"Aku tahu itu, Mas. Aku juga sangat terpaksa memintamu. Batinku juga sakit, hatiku sebenarnya tidak tega untuk mengatakan ini padamu. Tapi aku mohon bantulah keluargaku kali ini saja," pinta Rindu dengan tulus. 


"Baiklah, aku akan menikahi kalian berdua."


"Mas, kalau kamu menikahi kami sekaligus, itu hukumnya haram dan berdosa."


"Astaghfirullahaladzim… aku hampir lupa dengan hukum itu. Lalu apa yang harus aku lakukan? Dek, apa tidak ada cara lain selain menikahi Riana? Apa tidak ada pria lain juga yang harus menikah dengannya?" Haris mulai gelisah. 


"Mas Haris, aku mohon mengertilah. Seperti yang aku katakan tadi, kami takut pria itu tidak bisa menjaga aib keluarga kami. Riana begitu bahagia saat melihatmu, tolong bantu aku sembuhkan mentalnya terlebih dahulu."


"Maaf, Dek. Sepertinya aku belum bisa memberi jawaban sekarang. Permintaanmu itu terlalu sulit."


Rindu berusaha untuk merayu calon suaminya itu dan berbicara dari hati ke hati. 


Haris yang tak tega melihat calon istrinya itu meneteskan air mata pun, akhirnya menuruti permintaan Rindu. 


"Baiklah, aku akan meminta izin kepada umi dulu. Tapi setelah bayi itu lahir, aku akan menceraikannya dan aku akan menikah denganmu."


"Baik, Mas." 

Terpaksa Rindu menyetujui niat Haris untuk menceraikan Riana nantinya, karena dalam pikiran Rindu dengan begitu, Haris akhirnya mau menikahi adiknya. 


Calon suaminya itu juga mengajukan suatu syarat.

"Tapi kamu janji, jangan menikah dengan pria lain. Tunggulah aku menceraikan Riana."


"Baik, Mas. Sampai kapanpun akan ku simpan cintaku padamu," ucap Rindu. 


Tanpa sengaja tubuh kekar Haris mendekap tubuh semampai calon istrinya itu. 

Deretan air mata mewarnai pertemuan kedua tubuh itu. 



Titipan Rindu itu, tentu saja adalah titipan yang sulit untuk Haris. Gadis itu bukan menitipkan cintanya tapi, ia menitipkan cinta adiknya kepada calon suaminya. 


****



Beberapa minggu kemudian, hari terberat untuk Rindu dan Haris tiba.

Di hari pernikahan yang sakral itu, hati Rindu mulai bergejolak, seolah menolak kenyataan dan tak rela jika dicintainya harus menikahi sangat adik. 

Semua itu sepertinya tidak adil bagi Rindu dan juga Haris, tapi ini adalah ketetapan takdir yang harus mereka jalani. 

Riana terlihat tersenyum sumringah dengan balutan kebaya berwarna putih dan make up khas pengantin.

Wajar saja ini adalah hari bahagianya, tetapi hari adalah hari paling menyakitkan untuk kedua orang yang saling mencintai, yakni Rindu dan Haris. 

Setelah akad nikah selesai, Rindu bergegas pergi meninggalkan ruangan itu. 

Ia tak kuasa melihat pria yang dicintainya bersanding dengan wanita lain, meskipun itu adalah adik kandungnya sendiri.

Namun dibalik kepahitan itu, ia berusaha untuk tetap ikhlas menerima takdir dari sang Maha Kuasa. 


Pernikahan yang tidak direstui oleh keluarga Haris itu pun, terpaksa terjadi. Semuanya Haris lakukan demi pembuktian cintanya kepada Rindu, gadis yang sangat ia cintai. 


Sebenarnya sempat terjadi perdebatan antara Haris dan pihak keluarganya, namun air mata Rindu meluluhkan segalanya. 


Meskipun akhirnya memberikan restu, namun keluarga Haris yang awalnya sangat menyukai Rindu, kini berubah membencinya.

Menurut mereka Rindu terlalu egois sudah memanfaatkan cinta Haris yang begitu besar padanya untuk menutupi aib keluarganya. Begitulah jika Allah sudah berkehendak, dengan mudah Dia membolak-balikan hati hambanya. 



Setelah keadaan Riana sudah sangat stabil, tepatnya empat bulan bulan usia pernikahan mereka. Ibu Martina menjelaskan kepada Riana, tentang peran Haris dalam pernikahannya. 

Saat keadaan rumah sepi karena para penghuni rumah itu sibuk bekerja, kini saatnya ibu Martina mengungkapkan sebuah kebenaran kepada putri bungsunya. 

"Nak, ibu ingin bicara padamu."

"Iya… Ibu bicara saja," ucap Riana sembari mengelus perut buncitnya. 


"Kamu tahu kan, status Haris hanya suami sementara untukmu? Setelah bayi ini lahir, dia akan menceraikanmu. Mungkin dia akan menikahi Rindu."

Riana mengangguk. "Iya, Bu. Aku tahu itu." Wajah Riana berubah masam.

"Syukurlah jika kamu sudah tahu, setidaknya kamu tidak kaget jika nantinya kalian akan bercerai."

"Ibu… kenapa kak Rindu berkorban sejauh ini dan kenapa harus Mas Haris yang dihadirkan dalam kehidupanku, jika akhirnya kak Rindu mengambilnya lagi dariku?"


Ibu Martinah pelan-pelan menceritakan asal mula kenapa putri sulungnya rela berkorban sedemikian besar untuk adiknya. 


Entah kenapa Riana begitu berat melepaskan Haris untuk wanita manapun. Ia merasa suaminya itu sudah begitu baik padanya. Riana merasa nyaman jika berada dekat dengan Haris, meskipun pria itu tidak pernah menyentuhnya bahkan tidak pernah mencintainya. 

Keduanya pun tidak pernah berhubungan selayaknya suami istri pada umumnya.

Haris hanya bersikap baik kepada Riana untuk menuruti permintaan Rindu. 



Ternyata seiring berjalannya waktu, getran cinta terasa di hati Riana. Gadis itu benar-benar sudah jatuh cinta kepada Haris. 

Hal itu terlihat jelas saat keluarga saat dirinya memperlakuan pria itu dalam kehidupan sehari-hari.

Bahkan saaat keluarga berkunjung kerumah tuan Rendra, Riana terlihat berusaha untuk mencari pampr di depan keluarga Haris. 


Padahal kunjungan itu bukan untuk mengunjungi Riana dan ibu Martina. Mereka ingin bersilaturahmi kepada tuan Rendra, Nyonya Mayang, dan juga Rindu, bahkan keberadaan ibu Martina dan Riana tak dianggap oleh keluarga besar Haris. 


Saat berhadapan dengan keluarga besar dari suaminya, Riana terlihat begitu antusias dan tampak bersikap tak wajar di depan mereka. Wanita itu berusaha untuk hadir di tengah-tengah mereka dan berusaha mencari muka. 

Hal itu membuat ibu kandungnya merasa risih, wanita tua itu merasa ada sesuatu yang ingin didapatkan Riana dari keluarga besar menantunya itu. 


Pelan-pelan Ibu Martina menarik tangan Riana dan memintanya untuk mengikutinya.

"Riana, ikut ibu ke taman belakang sebentar."

Riana menurut, di taman belakang itulah sang ibu mulai menasehati putri bungsunya untuk bersikap sewajarnya. 


"Riana, kenapa kamu bersikap tidak wajar seperti itu di depan keluarga Haris? Ibu mohon jangan terlalu mencari muka di depan mereka. Ingat, Haris itu hanya suami pinjaman yang dipinjamkan Rindu untukmu."


"Ibu… bukankah Ibu pernah bilang, Kak Rindu akan merelakan jika mas Haris itu berjodoh denganku. Aku hanya berusaha untuk mengambil hati keluarga suamiku. Aku mohon, Ibu jangan menggagalkan rencanaku untuk memiliki mas Haris seutuhnya."


Perdebatan pun tak terhindarkan antara ibu dan anak itu. 

"Riana, kamu jangan keterlaluan, Nak. Kakakmu sudah berkorban untukmu sejauh ini. Belajarlah untuk tahu diri."

"Sudahlah, Ibu. Aku mohon mengertilah, kak Rindu sudah mendapatkan kebahagiaan dan kehidupan yang layak selama dia tinggal di rumah ini. Sedangkan aku, setelah ayah meninggal aku dan ibu hidup seadanya," keluh Riana.

Obrolan tersebut ternyata tak sengaja didengarkan oleh Heny.

Kebetulan ia dan anaknya selalu singgah di taman belakang rumah itu untuk bersantai, saat mereka berkunjung ke kediaman tuan Rendra.  

Keluarga besar Haris cukup lama berada di kediaman Tuan Rendra. Tak terasa sore pun tiba, mereka akhirnya memutuskan untuk kembali ke kediaman mereka. 

"Sepertinya sudah sore. Bagaimana kalau kita pulang sekarang saja. Biarkan Tuan Rendra dan yang lain beristirahat," ucap Heny yang tak sabar untuk sampai di rumah. 

Ibu mertuanya pun menyetujui permintaan menantunya itu. 


Akhirnya sampailah mereka di rumah, saat yang ditunggu Heny pun tiba. 

Kini dia begitu antusias menjelaskan tentang apa yang ia dengar dari mulut Riana. 

Ketiga wanita itu berusaha mencari cara, supaya Riana tahu diri dan mau berpisah dengan Haris. 


Sembilan bulan sudah Riana mengandung, akhirnya ia pun melahirkan seorang anak berjenis kelamin perempuan. 

Setelah satu minggu berada di rumah sakit, akhirnya Riana dan bayinya pun dibawa pulang ke kediaman Tuan Rendra. 

Keluarga Haris datang untuk menjenguk Riana, meskipun dengan berat hati tapi tetap mereka lakukan. Mereka tidak ingin terlihat buruk di depan Tuan Rendra dan nyonya Mayang. 

Riana sudah sangat senang saat melihat keluarga besar sang suami datang menjenguknya. Namun sayangnya kebahagiaan itu hanya sementara, saat tak ada keluarga Tuan Rendra di kamar itu, Ela dan Heny menunjukkan ketidak tulusan nya. Kedua menantu umi Hanifah itu, mencoba untuk menggali tentang rencana perceraian Riana dan Haris. 

"Bayi kamu cantik ya, Riana. Pasti bapaknya juga ganteng, ya?" Heni terlebih dulu berbasa-basi. 

"Iya, Riana juga cantik," sahut Ela. 

"Oh iya, Rin. Jadi kapan kalian akan bercerai? bukannya perjanjiannya kalian akan bercerai setelah bayi ini lahir? Kami sudah tidak sabar menginginkan Rindu untuk tinggal di rumah kami," ucap Heny. 

Kedua kakak ipar Haris itu memang sudah sangat dekat dengan Rindu, bahkan Rindu sering sekali memberikan mereka hadiah. 

Pertanyaan Heny itu mengundang kekesalan di hati Riana.

"Maaf, Mbak. Saya tidak tahu soal perceraian itu, yang saya tahu mas Haris adalah suami saya dan bapak dari anak ini."

Pernyataan itu tentu membuat kedua wanita yang ada di depannya geram.

"Riana… bukankah dari awal perjanjiannya kalian akan bercerai setelah anak ini lahir? Kenapa sekarang kamu bicara seperti itu?" tanya Ela dengan nada halus.

"Mbak Ela, sampai kapanpun aku tidak akan mau diceraikan mas Haris. Dia sudah banyak membantuku dan berarti dalam hidupku. Aku yakin kak Rindu tidak keberatan jika aku dan mas Haris selamanya bersama." Riana benar-benar sudah tidak tahu diri dan begitu saja melupakan kebaikan Rindu. Keegoisan merajai hati putri bungsu ibu Martina itu. 

Tak tahan dengan sifat Riana yang keras kepala, kedua wanita itu pun memilih pergi dari kamar Riana dengan memendam kekecewaan yang mendalam. 

Akhirnya mereka pun meninggalkan kediaman Tuan Rendra. 

Setibanya di rumah mertuanya, Ela dan Heni mulai membahas Riana. Keduanya kompak untuk segera memberitahu kabar buruk tentang rencana Riana kepada ibu mertuanya. Mereka menyusun rencana untuk dapat menyingkirkan Riana.

Ketiga wanita itu sepakat untuk merealisasikan rencana mereka. Ibu kandung Harris terpaksa berpura-pura sakit, untuk menggiring putra bungsunya datang ke rumahnya bersama dengan sang istri. 

Sepertinya semuanya tak berjalan mulus sesuai rencana. Riana memilih untuk tetap tinggal di kediaman tuan Rendra. 


Beberapa minggu sudah Haris tinggal di rumah orang tuanya. Sekali Rindu menjenguk ibunda Haris yang sedang berpura-pura sakit.

Tak mau sang kakak kembali mendapatkan tempat di hati keluarga suaminya, akhirnya Riana memutuskan untuk tinggal bersama Haris di rumah orang tuanya.


Rencana kedua kakak ipar Haris dan juga ibunya pun, perlahan-lahan membuahkan hasil. 


Pada suatu hari, ketiga wanita itu memutuskan untuk berbicara baik-baik kepada Riana. 


"Riana, sebelumnya saya minta maaf selaku ibu kandung Haris. Saya hanya ingin menegaskan kapan kalian akan bercerai?"

"Maafkan saya, Umi. Saya tidak ada maksud untuk menceraikan mas Haris. Saya masih ingin menjadi istri mas Haris mungkin untuk selamanya," tegas Riana. 

Sikap keras kepala Riana kembali muncul, ternyata musibah yang menimpanya belum cukup untuk menyadarkan wanita itu untuk berbuat baik. 

"Astagfirullah… pantas saja Allah mendatangkan musibah seperti kemarin untukmu. Ternyata kamu sejahat ini, bahkan dengan saudaramu sendiri saja kamu tega. Kenapa kamu tidak hidup di zaman Fir'aun saja, siapa tahu kamu jadi pengikutnya dan tenggelam di laut merah," sahut Ela. 

"Ela, sudah. Jangan berdebat, tidak enak kalau yang lain dengar," tegur mertuanya. 

Riana tersenyum meledek, menertawakan sikap kakak iparnya.

"Mbak Ela tidak perlu berbicara masalah kejahatan di depanku. Bukankah Mbak Ela juga bukan wanita baik-baik, jika Mbak wanita baik-baik kenapa Mbak memperlakukanku dengan tidak manusiawi selama aku tinggal di rumah ini. Aku tahu Mbak Ela dan Mbak Heny hanya pura-pura bersikap baik di depanku, tapi dibelakangku kalian selalu menerorku. Bahkan aku tahu siapa yang berusaha mengunci aku di dalam kamar mandi. Kalau saja anakku tidak menangis mungkin kalian tidak akan membuka pintu kamar mandi itu. Aku rasa Mbak Ela lah yang seharusnya hidup di zaman jahiliyah."

Ela dan Heny terdiam, karena tuduhan Riana itu benar. Mereka lah yang mengunci Riana dari luar, saat ia berada di dalam kamar mandi. Semua itu keduanya lakukan karena kekesalannya terhadap wanita itu.

"Riana, tolong ceraikan Haris," sahut Umi Hanifah.

"Maafkan Riana, Umi. Mungkin Riana terkesan egois, tapi anak Riana ini seorang perempuan. Suatu saat ketika dia menikah, dia akan membutuhkan ayahnya sebagai saling nikahnya. Anakku masih membutuhkan nas Haris, Umi," ucap Riana. 

Heni pun tertawa terbahak-bahak mendengar pernyataan yang keluar dari bibir Riana.

"Hahaha… Riana, kamu itu bodoh atau tolol? Apa kamu tidak pernah di sekolahmu tidak pernah di ajarkan pendidikan agama? Atau di keluargamu tidak pernah diajarkan agama? Anakmu itu tidak perlu Haris saat dia menikah, bahkan ayah kandungnya sendiri pun tidak berhak untuk menjadi wali nikahnya, karena anak kamu itu lahir di luar nikah. Anak kamu iu anak haram Riana. Jadi kamu jangan mencari pembenaran untuk tetap bisa hidup bersama Haris."

Ela pun turut serta tertawa seolah meledek Riana. 

"Dasar wanita tak beragama! Bisa saja dia mencari kesempatan!" ucap Ela sembari menyilangkan kedua tangannya dan memalingkan wajahnya. 


Riana tak terima, perdebatan pun terjadi.


Beberapa minggu sudah Riana tinggal di rumah mertuanya, berulang kali juga ibu mertuanya dan kedua iparnya itu memintanya untuk menceraikan Haris, tapi sikap kerah kepala Riana membuat ketiga wanita itu menyerah. 


Tak kuasa menghadapi sikap keras kepala Riana, membuat ibu kandung Haris dan kedua menantunya terpaksa membicarakan masalah itu kepada Rindu dan Haris. Rindu Hanya bisa pasrah mendengar berita dari keluarga Haris, sementara Haris terlihat berusaha untuk bersikap tegas supaya bisa hidup bersama Rindu. 

"Aku akan mencoba membicarakan hal ini baik-baik dengan Riana."


Ternyata Riana mendengarkan percakapan mereka. "Tidak perlu, Mas Haris. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah menceraikanmu. Aku rasa kak rindu tidak akan keberatan, benarkan Kak?" ucap Riana, yang tiba-tiba datang tak tahu dari mana arahnya. 

Kini giliran putra bungsu umi Hanifah yang mengeluarkan suaranya. "Riana… aku mohon, siapkanlah dirimu untuk berpisah denganku. Aku tidak bisa hidup denganmu seterusnya, aku mencintai kakakmu bukan mencintaimu." 

"Sampai kapanpun aku tidak akan pernah memberikan dirimu kepada siapapun Mas, termasuk kakak aku ssendiri"


"Tapi aku tidak bisa membahagiakan kamu Riana,"ucap Haris. 


"Kamu salah, Mas. Justru aku merasa ada kebahagiaan, kenyamanan, serta kedamaian saat bersamamu. Aku yakin kak Rindu tidak keberatan dengan pernikahan kita. Kak Rindu sudah mendapatkan kebahagiaan selama ini, sedangkan aku? Aku baru saja mendapatkan kebahagiaan yang sebenarnya saat hidup bersamamu, Mas." Riana mematahkan pernyataan suaminya. 

Mendengar pernyataan sang adik, Rindu semakin tidak bisa berbuat apa-apa. Ia terlihat pasrah, seolah tak tega untuk meminta sang adik mengalah. 

"Sudahlah, Mas. Biarkan aku yang mengalah, tolong bahagiakan adikku. Mungkin kita hanya dipertemukan untuk saling mengenal dan tidak untuk saling memiliki."


"Dek, aku tidak bisa melakukan itu sampai kapanpun. Aku akan tetap mencintaimu dan aku akan berusaha untuk tetap menceraikan Riana." Haris kemudian menarik tangan Rindu dan mengajaknya untuk keluar dari rumahnya. 


"Mas… mau ke mana kita?"


"Sudahlah, ayo ikut denganku. Aku ingin berbicara pada orang tua kandung dan orang tua angkatmu tentang hal ini. Aku tidak bisa hidup seperti ini, aku juga berhak untuk bahagia bersama orang yang aku cintai, Dek." 


Rindu pun menangis mendengar ucapan Haris, air mata tak kuasa menetes membasahi pipi keduanya.

"Maafkan aku, Mas. Tanpa sengaja, aku sudah menjerumuskanmu dalam ikatan cinta kami."

Saat tiba di kediaman Tuan Rendra, mereka disambut hangat oleh sepasang suami istri yang sedang duduk di teras.


"Kalian kok ke sini berdua, Riana mana?" tanya ibu angkat Rindu.

"Riana ada di rumah, Tante." Haris menjawab pertanyaan nyonya Mayang.


Melihat mata Rindu sembab, membuat nyonya Mayang kembali bertanya.

"Kamu kenapa, Rin? Kok mata kamu sembab?" 


Haris pun kembali menjawab pertanyaan itu, ia yakin Rindu tidak mampu untuk menjawabnya. Haris menjelaskan masalah yang sedang mereka hadapi.

Mereka semua pun akhirnya berkumpul di ruang tamu, termasuk ibu Martina.

"Apa Riana lupa dengan perjanjian sebelumnya?" tanya Nyonya Mayang. 

"Tidak… bahkan dia sangat ingat, tapi dia tetap ingin hidup bersama saya, Tante," jawab Haris.


"Riana benar-benar tidak tahu diri!" ibu kandungnya murka. 


"Lebih baik besok kamu ajak dia pulang ke sini. Biarkan ibu yang menasehatinya," imbuh ibu Martina.


"Baik, Bu." Setelah mendapatkan sebuah kesepakatan dan solusi, Haris pun pulang ke rumahnya. 

Sesuai dengan permintaan ibu mertuanya, keesokan harinya Haris membawa Riana kembali ke kediaman Tuan Rendra.

Disinilah perdebatan panas terjadi dan membuat seisi rumah kecewa dengan keputusan Riana. 

Perdebatan panas itu terus berlangsung hingga membuat Ibu Martina naik pitam.


Beberapa hari kemudian, Riana masih merasa kesal dengan kakak kandungnya.

Ia merasa Haris masih bersikap dingin padanya karena Rindu masih ada di dekat mereka. 


Kakak kandungnya itu merasa ada yang berbeda dengan sikap sang adik kepadanya. 

"Maaf Riana, sepertinya akhir-akhir ini kamu tidak suka dengan aku. Sebenarnya apa yang membuat kamu bersikap seperti itu?"


"Aku rasa kakak tahu penyebabnya."


"Kalau aku tahu, mana mungkin aku bertanya padamu," ucap Rindu.


"Tentu saja karena mas Haris. Aku rasa keberadaan kak Rindu disini akan membuat mas Haris terus bersikap dingin padaku."


"Kenapa kamu berpikiran seperti itu, Riana?"


"Memang kenyataannya seperti itu, bukan?"


"Baiklah, kamu tinggallah disini dengan mas Haris. Aku dan ibu akan tinggal di kampung."


"Tolong jangan panggil mas Haris dengan sebutan mas. Jujur aku risih, mending kakak panggil dia Haris aja. Percuma kak Rindu pindah ke kampung. Apalagi jarak dari kampung kesini hanya satu setengah jam. Kalau kakak masih berada di negara ini, pasti mas Haris akan tetap mengejar kak Rindu."


"Lalu, apa maumu Riana?"


"Bukankah Kakak sempat bercerita ingin melanjutkan Strata dua setelah menikah. Berhubung Kakak tidak jadi menikah, ini adalah saat yang tepat untuk Kakak melanjutkan studi itu di luar negeri."


"Baiklah jika itu keinginanmu, aku akan pindah ke luar negeri. Aku akan melanjutkan usaha mama dan papa yang ada di Jepang." Keputusan yang Rindu ambil bukanlah keinginannya, itu adalah keinginan Riana. 


"Sepertinya itu ide yang cukup bagus. Kapan Kak Rindu akan pergi?"


"Setelah semua dokumen yang aku butuhkan beres, aku akan secepatnya meninggalkan negara ini."


Keputusan Rindu tentu membuat sang adik merasa senang, ia merasa Haris akan jatuh ke pelukannya setelah Rundu. 

Kebahagiaan Riana itu tentu merupakan sebuah kepedihan untuk Haris dan Rindu. 



Beberapa hari setelah mengambil keputusan itu dan semua dokumen yang diperlukan Rindu siap, gadis itu memberanikan diri untuk meminta izin kepada kedua orang tua angkatnya dan kepada ibu kandungnya.

"Mama, Papa, Ibu. Kebetulan kalian sedang berkumpul disini. Rindu ingin memberitahu kalau lusa Rindu akan berangkat ke Jepang untuk membantu menjalankan usaha yang apa rintis disana. Kalian setuju kan, Rindu pergi?"


"Akhirnya kamu mau ke Jepang juga, Nak. Sekalian lanjutkan studimu disana, ya," ucap Nyonya Mayang.

Namun ibu Martina dan tuan Rendra merasa berat hati dan ada yang mengganjal dengan keputusan itu. 


"Rindu, kepergianmu ke Jepang bukan untuk membuang rasa kecewa terhadap Harris dan Riana, bukan?" tanya sang ayah. 


"Tidak, Pah. Tidak ada hubungannya dengan mereka. Aku ingin melanjutkan studiku seperti yang pernah aku katakan dulu kepada kalian."




Hari yang dinantikan Riana tiba, Rindu dengan berat hati harus keluar dari rumahnya.


"Semuanya… Rindu berangkat dulu, ya."

"Aku akan mengantarmu sampai ke bandara, Dek," ucap Haris.


Riana berusaha untuk menghalangi niat suaminya itu. "Mas, Elisa sedang rewel. Jangan ditinggal. Mas Haris dirumah saja."


Ia menjadikan putrinya sebagai alasan untuk menahan sang suami, namun sayang niatnya itu mendapatkan tanggapan miring dari Haris. 


"Kamu kan bisa menimangnya. Jangan jadikan Elisa alasan untuk menahanku."


Akhirnya Rindu pun kembali mengalah. "Mas, sudah. Mas Haris dirumah saja temani Elisa dan Riana? Biar ibu, mama, dan mama saja yang mengantarku sampai ke Bandara."


"Tapi, Dek…" Haris seolah tak rela untuk tidak mengantarkan Rindu ke Bandara.


"Turuti saja keinginanku, Mas," pinta Rindu.


Ketika Rindu hendak melangkahkan kaki keluar dari pintu, tiba-tiba Riana menjerit kesakitan. 


"Ahh… sakit," teriak Rian. 



Teriakan itu tentu saja membuat 

Rindu menghentikan langkahnya. 


"Kenapa dengan Riana?" tanya Rindu dengan wajah panik. 




"Aku tidak apa-apa. Pergilah!" Seolah mengusir sang kakak, Riana mendorong tubuh Rindu hingga tersungkur ke lantai.


Namun sesuatu terjadi pada diri Riana, tak kuasa menahan sakit, wanita itu pun pingsan di hadapan keluarganya. 


Akhirnya keluarganya membawa Riana ke rumah sakit.

Rindu pun terpaksa harus membatalkan perjalanannya ke negeri Sakura itu. 


Setelah dokter keluar dari ruang perawatan, dokter yang menangani Riana menjelaskan, jika pasiennya itu mengalami gagal ginjal yang cukup parah. 


"Kenapa dengan adik saya?" tanya 

Rindu. 



"Dari hasil tes darah menunjukkan kalau putri ibu terdiagnosa gagal ginjal. Untuk hasil yang lebih akurat, bisa dilihat setelah hasil USG keluar. Ginjal anak ibu sudah parah. Dia harus mendapat donor ginjal."


Ternyata selama ini, Riana merahasiakan penyakit yang ia derita.


"Dok, saya kakak kandungnya. Apakah saya bisa mendonorkan ginjal saya?"


"Nanti kami akan menerima kesehatan dan kondisi ginjal Mbak. Kalau semuanya baik, Mbak bisa mendonorkan ginjal untuk Nyonya Riana."


Ibu kandungnya terkejut dengan keputusan Rindu. 

"Nak, apa yang kamu lakukan? Kamu sudah cukup berkorban untuk adikmu. Biarkan ibu saja yang berkorban untuknya. Dok, saya ibunya, biarkan ginjal saya saja yang diambil untuk Riana." 


"Tidak, Bu. Ibu sudah berumur, Ibu harus sehat di hari tua," tolak Rindu. 


Ternyata percakapan itu didengar oleh Riana dari balik pintu, entah kapan Riana sadar. 


"Astaghfirullahaladzim, ternyata Kak Rindu setulus itu padaku. Tapi aku benar-benar wanita yang tidak tahu diri." Riana segera pergi meninggalkan ruangan tersebut. Diam-diam wanita pergi meninggalkan rumah sakit tanpa sepengetahuan keluarganya. 



Saat rindu dan sang ibu ingin kembali ke kamarnya, mereka terkejut mendapati Riana sudah tidak ada di ranjangnya. 


"Kemana Riana, Bu?" tanya Rindu panik. 


"Ibu juga tidak tahu, Nak. Coba kamu telepon Haris. Siapa tahu dia ada di luar bersama Harris dan kedua orang tua angkatmu." 


Rindu pun segera menghubungi mantan kekasihnya itu. Namun, Harus pun tak tahu kemana Riana pergi.


Keluarganya berusaha mencarinya ke area rumah sakit, namun tak menemukan sosok Riana di sana. 


Menurut informasi yang mereka dapat dari seorang satpam, Riana terlihat memasuki sebuah taksi dengan menekan pergelangan tangannya. Mungkin itu adalah bekas jarum infus. 


Saat itu juga, keluarga mereka membereskan biaya administrasi dan bergegas pulang ke rumah. 


Setibanya di rumah, mereka tak melihat Riana dan Elisa ada di kamarnya. 

Semuanya pun kembali dibuat panik dengan kejadian itu. 


Rindu menemukan sepucuk surat yang ditulis tangan oleh Riana. 



Maafkan aku semuanya… 

Untuk Ibu maafkan aku yang sudah menjadi beban untuk keluarga kita. 

Terima kasih sudah melahirkan anak yang keras kepala seperti aku…

Terima kasih sudah membesarkanku dengan tulus. Maafkan aku telah mengecewakanmu. bu. 

Aku telah menyusahkan kalian, aku memang wanita yang tidak tahu diri. 


Maafkan aku Kak Rindu pengorbananmu mungkin terlihat aku sepelekan dan tidak pernah aku hargai. Hanya rasa iri yang selama ini tersimpan dihatiku, melihat keberuntunganmu.


Tak pernah aku menyesal memiliki saudara kandung yang berhati besar dan berbudi luhur sepertimu. 

Maafkan adikmu yang sudah mendzalimi perasaanmu.

Aku sadar ketamakan ku adalah penyebab dari kehancuranku. 


Ternyata merebut kebahagiaan orang lain itu, belum tentu akan membuat kita merasa bahagia.


Justru aku akan semakin terluka. 

Terima kasih untuk ketulusanmu, aku tahu kamu ingin memberikan ginjalmu untukku. 

Dengan halus aku menolak, kepergianku bukan bermaksud untuk membuat kalian khawatir.


Berkat berkumpul dengan kalian aku, mengerti bagaimana seharusnya perempuan dalam agama kita bersikap dan menghargai dirinya. Tapi aku sendiri lah yang merendahkan harga diriku dengan penampilanku… 


Sampaikanlah permintaan maafku untuk mas Haris. 

Maafkan aku yang sudah menangguhkan cintanya untukmu kak Rindu.

Kehadiranku pasti seperti parasit yang perlahan menggerogoti keutuhan cinta kalian. 


Aku mohon kalian bisa memaafkanku. 

Mulai detik ini aku berikan kembali Mas Haris untukmu. Untuk Mas Haris, aku mohon mulai saat ini talaq aku.

Tolong bereskan perceraian kita di pengadilan, setelah itu nikahilah kakakku.

Dia wanita yang sangat baik dan pantas bersanding denganmu.. 


Tenanglah, aku pergi ke tempat yang akan membawaku pada suatu kebaikan.

Semoga hijrahku akan menuntunku ke surganya Allah. 


Sekian,

Riana… 


Isi surat Riana itu pun dibaca rindu dengan meneteskan air mata.

Setelah selesai membacanya, Rindu memberikan surat itu kepada orang tuanya. 


Beberapa minggu setelah kepergian Riana, tiba-tiba seorang tamu datang mencari ibu Martina.


Kebetulan saat itu bu Inah yang membuka pintunya. 


"Maaf, Bu. Saya mau tanya apakah benar ibu Martina tinggal disini?"


"Benar, Mas. Maaf, Mas siapa ya?"


"Bolehkah saya bertemu dengan ibu Martina?" 

"Baiklah, saya akan memberitahu beliau. Silahkan masuk," ucap Bi Inah. 

Pembantu itu iba melihat keadaan Rio yang sepertinya sedang menahan sakit, serta membawa tongkat untuk menopang tubuhnya. 



Bisa Inah pun segera menemui ibu Martina yang berada di taman belakang bersama dengan Rindu. 

"Bu Martina, ada tamu."

"Tamu buat saya, Bi?"


"Iya, tamu buat ibu Martina."


"Siapa ya, Bi?"


"Entahlah, dia tidak menjawab saat saya tanya siapa namanya. Dia sudah menunggu di ruang tamu, Bu."


"Sebentar ya, Rin."


"Iya, Bu." Ibu Martina pun berjalan menuju ruang tamu. 


Betapa terkejutnya dia saat melihat sosok gagah yang ada di depannya. 


"Rio, kamu masih hidup?"


"Iya, Bu. Saya masih hidup. Bu, saya mohon tunjukkan di mana makam Riana. Saya ingin ziarah kesana."


"Apa yang kamu katakan, Rio? Riana masih hidup, hanya saja dia meninggalkan rumah ini beberapa waktu lalu. Kemana saja kamu? Keluargamu bilang kamu sudah meninggal."


"Justru keluargaku mama tiriku mengatakan kalau Riana lah yang sudah meninggal dan saya mengalami kelumpuhan beberapa bulan ke belakang. Saya baru saja bisa berjalan dua minggu yang lalu, Bu. Saya berusaha mencari dan berusaha datang ke rumah ibu, tapi tetangga ibu bilang kalau ibu sudah pindah ke rumah ini."


"Dari mana kamu tahu rumah ini?"


"Saya tahu di rumah ini karena Riana sempat mengajak saya mampir kesini untuk menemui kakaknya." 



Mereka pun akhirnya bertukar cerita tentang kehidupan Riana dan Rio selama mereka terpisahkan. 



"Keterlaluan sekali ibu tiri kamu itu, tega sekali dia menyebarkan berita bohong tentang kematianmu dan Riana."


"Sekarang Riana dimana, Bu?"


"Entahlah, Rio. Sepertinya dia sedang mencari jati dirinya. Dia pergi hanya dengan meninggalkan surat." 

Ibu Martina pun memasuki kamarnya untuk mengambil surat yang di tinggalkan Riana, kemudian memberikan surat itu kepada Rio. 


"Jadi Riana pergi dengan membawa anak kami?" tanya Rio. 



"Benar, Riana pergi membawa buah hati kalian." 


Rio pun berpikir kemana Riana pergi.


"Bu, dari surat yang di tulis Riana. Sepertinya saya tahu kemana Riana pergi. Dia sempat bercerita ingin menimba ilmu agama di pondok pesantren yang tak jauh dari rumah saya yang lama. Kami juga sempat mengunjungi pondok pesantren itu. Rip yakin Riana ada disana."


"Apa kamu yakin Riana pernah mengatakan itu?"


"Benar, Bu. Bahkan saya sendiri yang mengantarkan Riana ke sana saat itu. Maafkan saya, Bu. Saya sadar kalau saya yang membawa pengaruh buruk bagi Riana."


Ibu Martina terdiam, ia merasa ada sedikit kebanggaan di hatinya. Ternyata putri bungsunya tak seburuk seperti yang ia kira. 


Setelah mendapatkan kabar dari Rio, Ibu Martina dan Rindu segera menuju ke pondok pesantren yang dimaksud oleh Rio. 


Setibanya disana mereka segera menuju ke kantor untuk menanyakan keberadaan Riana. 


Tak sengaja Rindu melihat sosok Riana sedang menggendong bayinya, ternyata dugaan Rio itu benar. 


"Itu Riana," tunjuk Rindu. 


Rio segera berlari menghampiri ibu dari anaknya. 

"Riana," panggil Rio. 


"Rio? Kamu masih hidup?" Riana pun menangis, Rio memeluknya dengan erat. 


"Apakah ini bayi kita?"


"Iya, Mas." Rio kembali memeluk Riana dan bayinya. 

"Mas, jangan peluk aku. Kita belum muhrim," ucap Riana yang sudah sedikit menyerap ilmu agama. 


"Kamu kemana saja? Kenapa keluargamu bilang kamu sudah meninggal? Pada kamu masih hidup," tanya Riana. 


"Semua ini ulah ibu tiriku, Riana. Dia yang membuat berita jika kita sudah meninggal. Aku sudah meminta ayah untuk menceraikannya, setelah tahu kejahatan yang dia perbuat untuk kita. Maafkan aku," ucap Rio. 


"Kenapa kamu tidak mencariku, Mas?"


"Aku mengalami kelumpuhan saat kecelakaan itu, Riana."


"Tapi dokter bilang kamu meninggal."


"Dokter itu adalah adik dari ibu tiriku. Tentu saja dia menuruti permintaan kakaknya."


Derai air mata tampak menghiasi wajah pasangan itu. 


"Ayo kita susul adikmu, Rindu. Nanti saja, Bu. Biarkan mereka berbicara dulu, siapa tahu ada hal yang masih ingin mereka bicarakan."


Rindu berusaha untuk memberikan kesempatan kepada Rio dan Riana untuk berbicara dari hati ke hati. 



Setelah keduanya berbincang cukup lama, Rindu pun akhirnya mengajak sang ibu untuk menemui sang adik. 

"Ayo, Bu. Sepertinya mereka sudah bicara banyak hal. Saatnya kita mengajak Riana untuk pulang. Sebentar lagi mas Haris juga mau jemput kita, aku sudah menghubungi mas Haris lewat pesan singkat."


Keduanya segera menghampiri Riana dan juga anak beserta suaminya. 


"Riana, kamu sekarang berpenampilan seperti muslimah sejati. Kakak iri padamu, kakak belum bisa berpakaian syar'i sepertimu."


"Kak Rindu. Maafkan aku.x Riana menangis memeluk kakaknya.


"Sudah tidak ada yang perlu dimaafkan. Kamu ikut kita pulang, ya."


Riana menolak karena merasa tidak enak. 

"Tidak, Kak. Aku masih ingin belajar agama di sini. Jika kalian ingin pulang, bawalah Elisa aku minta rawat dia untuk beberapa bulan, setelah aku cukup sehat aku akan pulang."

 

"Riana, tapi kamu harus mendapat donor ginjal. Kakak sudah siap mendonorkan ginjal untukmu."


"Tidak, Kak. Tidak perlu, Riana sudah banyak merepotkan Kakak. Tenang saja, di sini ada pengobatan alternatif dan terapis. Riana yakin semua penyakit itu datangnya dari Allah dan Allah sudah memberikan penawarnya. Aku yakin aku bisa sembuh."


"Alhamdulillah, pengertian agamamu sedikit bertambah, Nak," ucap sang Ibu.


"Ibu, maafkan aku telah menyusahkanmu." Isak tangis kembali mengiringi pelukan Riana untuk sang ibu. 


"Ibu tidak pernah merasa disusahkan olehmu ataupun Rindu. Ibu bangga memiliki anak-anak seperti kalian. Ikutlah pulang, minggu depan kakakmu akan menikah."


"Apakah kakak akan menikah dengan mas Haris?" 


"Benar, Riana. amapa kamu keberatan?" tanya Rindu.


"Tentu saja tidak, justru aku bahagia Kakak bisa hidup dengan Mas Haris. Kalian adalah pasangan yang berjasa dalam hidupku, mas Haris dan Kak Rindu lah yang menuntunku untuk mantap berhijrah." 


"Bukan kami, Riana. Tapi Allah lah yang mengetuk pintu hatimu, sehingga kamu mendapatkan hidayah seperti ini."



"Ibu, Kak Rindu. Aku juga ingin mengatakan kalau aku ingin segera menikahi Riana," timpal Rio.


"Alhamdulillah, bagaimana kalau kita melangsungkan pernikahannya minggu depan? Kita jadikan satu dengan pernikahanku. Biar mas Haris yang mengurus semuanya."


Tiba-tiba Haris datang dan menyapa mereka.


Riana masih ragu dengan statusnya yang baru saja menjadi janda. 

"Tapi, bagaimana dengan masa iddah ku, Kak?"



Rindu pun memandangi Haris dengan tajam, Haris mengerti dengan pandangan itu. 

Ia pun segera menjelaskan kepada Riana, supaya tidak terjadi kesalahpahaman antara Rindu, dirinya, dan juga Riana 


"Kamu tenang dulu, Dek. Jangan melihatku seperti itu. Aku tahu maksudmu," ucap Haris menenangkan calon istrinya.


"Jadi gini, Riana. Aku kan tidak pernah menyentuhmu atau menggaulimu, jadi tidak ada masa iddah untukmu. Kamu bebas menikah kapan saja."


Akhirnya kedua putri ibu Martina itu pun menemukan kebahagiaan masing-masing. Setelah resmi menikah Rindu dan Haris tinggal di rumah tuan Rendra. 


Sementara itu, Riana dan Rio sepakat untuk memperdalam ilmu agama di pondok pesantren yang sempat mengasuh Riana.

Tak lupa mereka menitipkan putri semata wayangnya kepada keluarga Riana. 











Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)