Masukan nama pengguna
Lirna membuka mata. Cahaya terang membuat silau pandangannya. Refleks ia melindungi netra dengan sebelah telapak tangan.
Di mana ini? Apa dia bangun kesiangan?
Perlahan-lahan Lirna merenggangkan jari tangan yang menutup mata. Sinar menyilaukan itu sekarang tak lagi membuat korneanya sakit. Mungkin matanya telah bisa beradaptasi.
Lirna menggerakkan kepala. Kaku. Mengapa tulang lehernya bisa sekaku ini? Ia berusaha menekuk kaki. Sulit bergerak. Ternyata bukan hanya tulang leher, tapi seluruh tulang persendiannya ikut kaku.
Pandangan Lirna terbentur pada tempatnya berbaring. Ia tidak berada di ranjangnya yang nyaman di rumah. Bukan ranjang tempat ia biasa memadu kasih bersama Ken, suaminya. Ia merasa melayang.
Ada sebuah penutup dari gelas bening di atasnya. Pembaringannya juga sempit, seperti sebuah peti? Astaga, apa dia sudah mati?
Lirna mendorong penutup gelas di atasnya. Penutup itu bergerak sedikit. Susah payah Lirna berusaha duduk sambil sebelah tangannya mendorong penutup ranjang petinya.
Sepasang tungkai Lirna terjuntai keluar dari peti, lalu kaki telanjangnya menyentuh lantai yang dingin. Lirna berdiri terpaku. Pandangan matanya mengedar ke empat penjuru. Ruangan ini serba putih dan kosong.
Sebuah mesin besar di sudut ruangan dengan tiga lampu berwarna merah, kuning, dan hijau berkelap-kelip bergantian. Mesin itu mengeluarkan bunyi ‘bip’ setiap kali salah satu lampunya menyala.
Lirna celingukan. Kamar ini tak berpintu. Hanya empat penjuru dinding putih yang mengelilingi. Ia terkurung bersama peti dan sebuah mesin.
Lirna mencoba mengingat memori terakhir yang ia miliki, tapi kepalanya mendadak sakit. Lirna menangkupkan kedua belah telapak tangan pada pelipis. Ia meringis saat ambruk ke lantai.
***
Di luar ruangan tempat Lirna terkurung, salah satu dari dua orang perawat laki-laki yang terkantuk-kantuk tersentak. Salah seorang dari mereka mengusap wajah yang dipenuhi cambang, lalu menatap nanar pada layar. Lirna yang berdiri di luar peti sontak membuatnya ternganga.
“Hei, bangun! Pasien eksperimen PZ sudah sadar,” serunya seraya mengguncang lengan rekannya yang mengorok di sebelah.
Temannya yang berambut serupa jarum gelagapan. Sepasang matanya mengerjap-ngerjap kebingungan.
“Lihat itu!” seru si cambang. Telunjuknya menuding ke arah layar lebar di hadapan mereka.
Si rambut jarum tersentak dan terbelalak. Seketika ia bergerak panik.
“Lekas beritahu dokter Cochrane!” ujarnya gemetar.
Ia bangkit dan berjalan tergesa-gesa keluar ruangan. Si cambang menyusul di belakang.
***
Sakit kepala Lirna mereda. Kini ia bisa kembali bangkit dan berdiri tegak. Seberkas cahaya muncul di dinding, membuat Lirna tercengang. Cahaya memudar dan sebentuk lubang menjelma dari bekasnya.
Dua orang melangkah masuk. Seorang lelaki berkepala botak dengan sesuatu mirip kacamata bertengger di hidungnya. Lelaki muda berjalan mengekor si lelaki botak.
“Selamat datang kembali, Lirna!” sambut si kepala botak. Senyum yang menghiasi wajahnya amat lebar.
“Si—siapa Anda?” Lirna mendadak waspada.
“Kenalkan, saya dokter Cochrane. Saya yang merawat Anda.”
Dokter Cochrane mengulurkan tangan untuk dijabat Lirna, namun Lirna tak acuh. Ia bergeming.
“Mengapa saya di sin? Di mana Ken?” tanya Lirna bertubi. Matanya jelalatan ke segala arah, ia cemas.
Dokter Cochrane mengangkat kedua tangan.
“Pelan-pelan saja, Lirna. Ini agak rumit. Biar kita urai satu per satu,” ujar dokter Cochrane sabar.
“Sebagai awal, saya hanya bisa mengatakan bahwa Anda adalah pasien di sini,” lanjut dokter Cochrane.
“Saya sakit?” tanya Lirna bingung.
“Ya. Anda sakit kanker. Anda lupa?” balas sang dokter.
Seolah ada bel berdenting di kepala Lirna. Kanker. Ya, ia ingat samar-samar akan hal itu. Lirna mengerutkan dahi, berusaha mengingat lebih jauh. Tiba-tiba serangan sakit itu datang lagi.
“Argh!” jerit Lirna penuh derita. Ia menutup wajah dengan kedua tangan.
“Pelan-pelan. Tidak usah memaksakan diri,” dokter Cochrane berkata lagi.
“Akan saya jelaskan setelah Anda disiapkan dengan layak. Lihatlah baju operasi itu. Mungkin Anda juga merasa lapar?”
Kontan Lirna meraba perut. Ya, ampun. Iya, dia lapar. Amat lapar. Rasanya seperti sudah tidak makan selama bertahun-tahun. Lirna mengangguk malu.
“Silakan ikuti asisten saya,” dokter Cochrane menunjuk pemuda di belakangnya.
***
Lirna memandang hamparan sawah di kejauhan dari jendela ruang makan. Sesaat setelah memasuki ruang makan, ia menyadari satu hal. Bangunan ini dan seluruh bagiannya berada di permukaan laut. Ia tak mungkin salah menilai deburan air berombak yang terpampang di hadapan mata.
Nun di kejauhan, ia melihat juga bangunan-bangunan lain di permukaan laut. Di manakah ia? Apakah di negeri antah berantah? Lirna menyimpan tanya di dalam hati saja.
“Maaf, Ibu. Saya angkat piring bekas makannya, ya,” ujar seorang pelayan yang mendekat.
Lirna menoleh, lalu tersenyum.
“Silakan,” jawabnya singkat.
Lirna membiarkan sang pelayan mengangkat aneka piring dan mangkuk bekas makan besarnya sesaat yang lalu.
Pelayan mengangkat piring dan mangkuk dengan cekatan. Saat ia berlalu, seberkas cahaya di dinding ruang makan berpendar, lalu tercipta lubang gelap.
Sama seperti kejadian di ruang berpeti kaca tempatnya terjaga, dari lubang itu muncul dokter Cochrane yang diiringi oleh seorang lelaki muda tampan. Lirna terbelalak.
“Ken!” jeritnya tertahan.
Lirna bangkit dari kursi, lalu setengah berlari menghampiri dan merangkul Ken erat-erat. Lirna hampir mencium Ken, saat lelaki itu tiba-tiba menepis bahkan mendorongnya pelan hingga termundur selangkah.
“Ken?” tanya Lirna terkejut.
Lirna menatap lurus ke biji mata Ken. Tak didapatinya lagi sinar hangat yang biasa Ken berikan untuknya. Mengapa Ken berubah? Air mata Lirna luruh. Seketika hatinya patah.
Sepotong memori muncul di kepala Lirna. Ken berbisik di telinganya.
“Aku akan mencintaimu selamanya, selalu.”
“Lirna, ini bukan Ken suami Anda,” dokter Cochrane memotong kilasan masa lalu Lirna.
Dahi Lirna mengernyit. Wajah dan tubuh itu jelas milik Ken. Mengapa dokter Cochrane mengatakan bahwa dia bukanlah Ken?
“Apa maksud Anda, dokter?” tanya Lirna heran.
“Dia Lexus. Keturunan Anda dan Ken yang kedua belas,” lanjut dokter Cochrane.
Lirna tersentak mundur. Ia terduduk di kursi. Potongan-potongan memori itu kembali datang.
“Aku ingin kamu sembuh, biarkan aku berusaha dengan caraku,” kata Ken, dulu.
“Ini satu-satunya kesempatan untuk sembuh. Tak ada salahnya kita mencoba, Lirna,” ujar Ken memohon.
Berkelebat bayangan ia mengenakan pakaian putih khas operasi. Ia didorong pada brankar. Ken di sampingnya, memegang tangannya erat-erat. Tatap matanya begitu hangat.
“Kamu akan sembuh,” teriaknya ketika Lirna dibawa masuk ke dalam sebuah ruangan penuh mesin-mesin medis besar.
Cahaya membutakan pandangan Lirna. Sakit kepalanya kembali datang.
“Argh!” Lirna menjerit lagi. Ia memegangi kepalanya penuh rasa tersiksa.
“Suami Anda, Ken, setuju untuk menjadikan Anda sebagai percobaan dokter Zevan, seorang jenius pada masanya di bidang biologi anatomi. Proyek pilotnya bernama Proyek Zombie, upaya mematisurikan manusia dengan suntikan cairan kimia, lalu dibekukan di dalam peti kaca anti gravitasi,” jelas dokter Cochrane pelan-pelan.
“Dari rekam medis Anda yang kami miliki, PZ, Proyek Zombie ini dilakukan 300 tahun yang lalu. Atas permintaan yang tertera, Anda diminta disadarkan ketika obat dari penyakit kanker telah ditemukan,” lanjut dokter Cochrane.
Lirna menatap nanar pada dokter Cochrane, berusaha mencerna banjir informasi yang baru didapatnya.
Lirna mengalihkan pandang ke arah jendela. Hamparan sawah menghijau menyejukkan pandangannya. Ucapan Ken kembali terngiang.
“Jika ini berhasil, aku akan menjadi orang yang paling bahagia,” bisik Ken seraya mendekap.
“Sekarang sudah ada obat buat penyakit kanker?” cetus Lirna lemah.
Dokter Cochrane mengangguk.
“Ya, tapi ada perkembangan baru. Saya sudah melakukan general check-up pada kondisi tubuh Anda. Sama sekali tak ada lagi sel kanker di tubuh Anda. Penyakit itu sudah lenyap, mungkin penyakit itu mati ketika tubuh Anda dibekukan,” jelas dokter Cochrane berspekulasi.
“Jadi ... saya sehat?” tanya Lirna tak percaya.
“Ya. Anda sehat,” tegas dokter Cochrane.
“Sakit kepala ini ... ?” Lirna menunjuk kepalanya.
“Saya duga itu akibat lamanya otak Anda membeku. Saraf-sarafnya masih dalam masa adaptasi,” sahut dokter Cochrane.
“Kembali saya kenalkan Anda pada keturunan Anda. Lexus, cicit dari cicitnya cicit Anda,” lanjut dokter Cochrane.
Lirna menatap Ken dalam wujud Lexus.
“Mengapa kamu begitu mirip dengan Ken?” tanya Lirna lemah.
“Ini ulah pita genetika,” sahut Lexus seraya tersenyum.
Ya, Tuhan! Bahkan senyum dan lesung di pipinya juga sama, rintih hati Lirna.
“Aku pasti jadi orang tertua di bumi saat ini,” ujar Lirna getir.
“Dalam rupa begitu muda,” sambung dokter Cochrane.
“Mari, Moyang. Kita pulang ke rumah,” ajak Lexus lembut.
Lirna membiarkan dirinya dibimbing oleh Lexus. Mereka keluar dari area rumah sakit. Sebuah mobil berpenampang melayang di permukaan air di dermaga. Lexus membantu Lirna untuk masuk ke dalam mobil.
“Aku ingin tahu, apakah memang rumah sakit ini saja yang berada di permukaan laut?” Lirna memandang jauh pada birunya air.
Bangunan-bangunan yang berjarak teratur di kejauhan lah yang memicu pertanyaannya barusan.
“Di masa ini, manusia membuat bangunan di permukaan laut. Daratan hanya dipakai untuk bercocok tanam bahan pangan,” jelas Lexus sambil menyetir mobil melintasi air laut.
Lirna melamun. Ia teringat saat Ken membujuknya untuk mengikuti sebuah eksperimen tak masuk akal dari seorang dokter tetangga kenalan mereka di perumahan ilmuwan.
“Jika proyek ini berhasil, kamu akan hidup lebih lama dari aku.”
“Aku ingin melihat makam, Ken,” cetus Lirna.
“Tentu, Moyang. Kita bisa langsung ke sana. Bagaimana?” tawar Lexus.
Lirna mengangguk. Lexus memutar arah mobilnya, melewati bagian lautan yang ombaknya lebih kencang.
Di sinilah Lirna. Di hadapan sebuah peti tiruan berbentuk sarkofagus dari zaman purba. Di atas kubur itu, menyala sebuah hologram yang menampilkan sosok utuh suaminya. Ken tersenyum simpatik, senyum yang dulu pernah membuat Lirna jatuh cinta.
Tiga ratus tahun jarak antara dirinya dan Ken. Betapa rindu ia akan sosok dan hangat peluk Ken. Gemetar, jari-jemari Lirna menelusuri wajah tersenyum pada hologram Ken. Jarinya merasakan dinginnya angin. Air mata Lirna berlinang. ***