Masukan nama pengguna
Nama gue Dony. Umur tujuh belas tahun. Siswa SMA. Biasa aja. Atau... mungkin di bawah biasa.
Nggak pinter. Nggak cakep. Nggak punya apa pun yang bisa dibanggain. Rambut gue keriting, dan itu udah cukup buat dijadikan bahan lelucon sejak SD. Mereka manggil gue “Si Kiting.” Lucu, katanya. Padahal buat gue, itu cuma awal dari segalanya—mulai dari olok-olok ringan sampai yang levelnya bisa bikin lo mikir, “Apa gue layak hidup?”
Gue duduk paling pojok di kelas. Bukan karena pengen, tapi karena emang nggak ada yang mau duduk di sebelah gue. Meja sebelah gue udah jadi sarang laba-laba. Nggak pernah ditempati siapa pun. Gue makan siang sendiri, ngerjain tugas sendiri, ketawa sendiri kalau nemu meme lucu. Tapi, yah, yang paling sering gue lakuin sih... diem.
Dari kecil, gue udah tahu kalau dunia nggak akan penah tertarik sama orang kayak gue. Jadi, gue nggak nuntut banyak. Gue nggak nyari temen. Gue juga nggak sok akrab. Toh, pada akhirnya, mereka akan balik ke circle-nya masing-masing. Gue cuma numpang lewat di hidup mereka.
Pernah waktu kelas enam SD, gue dituduh nyolong pensil. Nggak ada bukti, nggak ada saksi. Tapi karena yang nuduh itu anak populer, guru percaya-percaya aja. Laci gue digeledah. Kosong, nggak ada apa-apa. Tapi tetap aja gue dihukum.
Alasannya? “Mungkin kamu sembunyikan di tempat lain.”
Lucu, kan? Gue dihukum karena "mungkin".
Itu pertama kalinya gue sadar, kadang dunia nggak butuh alasan buat nginjek orang kayak gue. Kadang lo cukup jadi... lo, dan itu udah cukup buat disalahin.
Waktu SMP, gue pas lagi semangat-semangatnya main bola. Gue bawa bola sendiri dari rumah. Pikir gue, kalau gue yang bawa bola mungkin mereka jadi mau main sama gue.
Ternyata yang terjadi malah sebaliknya.
Gue cuma sempat liat bola gue dipakai mereka main di dalam kelas, bikin ribut, terus bola gue disita guru. Pas bolanya dibalikin, mereka main lagi—tapi tanpa ngajak gue.
“Yang tas biru jangan diajak main!” kata salah satu dari mereka. Sambil ketawa.
Dan lo tau siapa yang pake tas biru ?
Gue.
Gue cuma duduk di pinggir lapangan. Nonton mereka main pake bola gue sendiri. Gue Nggak marah. Nggak protes. Karena kalau lo hidup jadi orang kayak gue, lo belajar satu hal penting: makin banyak lo ngelawan, makin keras mereka nginjek.
Masa SMA datang tanpa banyak perubahan. Gue tetap Dony. Tetap sendiri. Tapi kali ini ada satu hal yang beda: gue jatuh cinta.
Namanya Nisa. Anak kelas gue juga. Pintar, ramah, dan kayaknya terlalu timpang buat orang kayak gue.
Gue tahu diri. Tapi tetap aja, gue nulis surat buat dia. Bukan cinta-cintaan lebay. Cuma pengakuan sederhana. Gue selipin di buku perpustakaan yang sering dia pinjam.
Beberapa hari kemudian, surat itu dibaca di kelas. Bukan sama Nisa, tapi sama temennya. Keras-keras. Kayak lelucon.
“Serius lo naksir Nisa? Ngaca dulu kali, kiting!” teriak salah satu anak cowok di kelas.
Yang lain ketawa. Nisa diem. Nggak bilang apa-apa. Tapi ngeliat ekspresi dia... cukup buat gue tahu jawabannya.
Malam itu, gue nggak bisa tidur. Makan tetap makan, tapi rasanya hambar. Dan untuk pertama kalinya, gue mikir serius:
"Mungkin emang gue nggak layak disukai siapa pun."
Sampai pada hari itu, hujan turun sejak pagi. Sekolah agak lengang karena beberapa guru nggak masuk, sisanya cuma kasih tugas lewat grup WA kelas.
Gue malas pulang cepet, jadi gue nongkrong di perpustakaan. Tempat paling sepi di sekolah. Di sanalah biasanya gue bisa duduk tenang tanpa ada yang komentar soal rambut gue, atau yang bisik-bisik sambil ketawa ngeliatin gue.
Gue ambil buku random dari rak psikologi. Bukunya berat, tapi gue nggak niat baca. Cuma biar pura-pura sibuk. Tapi pas gue buka halaman awal, ada selebaran nyempil di dalam.
Kertasnya kuning pudar, kayak hasil print murah dari warnet.
Tulisan besar di atasnya:
WORLD COMPETITION: THE MOST LOSER PERSON ON EARTH
"Apakah hidupmu penuh kegagalan?
Pernah ditolak, dihina, diabaikan, dan dicuekin sepanjang hidup?
Saatnya kamu bersinar!
Daftarkan dirimu sekarang dan tunjukkan bahwa kamulah rajanya pecundang di muka bumi."
"Pemenang akan dinobatkan sebagai:
The Most Loser Person on Earth."
"Hadiah: uang tunai, sertifikat, dan... pengakuan dunia."
Gue baca ulang.
Terus gue diem. Lama.
Bukan karena bingung. Tapi karena satu pikiran muncul:
"Kalau ini bukan buat gue, terus buat siapa lagi?"
Gue nggak tertarik sama uangnya. Atau panggungnya. Gue nggak peduli dipanggil “manusia paling gagal.” Itu gelar yang udah gue sandang sejak lama. Tapi... anehnya, waktu baca itu, gue ngerasa kayak akhirnya ada ruang di dunia ini yang emang dibuat buat orang kayak gue.
Ruang buat orang yang nggak pernah dianggap.
Buat yang selalu dilupakan.
Buat yang kalah terus, tapi nggak pernah dapat kesempatan ngomong.
Gue pulang hari itu dengan kepala penuh rencana.
Malamnya, gue duduk di depan meja belajar dengan kertas kosong dan pulpen di tangan.
Lalu gue mulai nulis daftar kegagalan gue.
Gagal punya temen sejak SD.
Dituduh nyolong pensil.
Main bola? Bola gue disita guru, pas dibalikin, gue gak dibolehin ikut main.
Suka cewek? Surat cinta dibacain keras-keras di depan kelas.
Kalah lomba pemilihan ketua OSIS, cuma dapat 1 suara, gue sendiri yang voting.
Lembarnya makin panjang.
Dan anehnya, nulis itu nggak bikin gue sedih. Justru... lega. Karena semua hal yang biasanya gue sembunyiin, sekarang gue buka. Dan untuk pertama kalinya, gue ngerasa itu berarti.
Setiap malam, gue latihan ngomong di depan cermin. Monolog. Satu arah. Tapi gue serius. Latihan vokal. Ekspresi. Ritme cerita. Gue tulis naskah presentasi gue kayak stand-up comedy.
Dan setiap malam, gue bilang ke diri sendiri:
“Lo udah kalah di banyak hal. Tapi kali ini... lo bisa jadi yang paling terdepan. Bahkan kalau itu berarti menjadi yang paling gagal.”
Akhirnya, hari kompetisi datang juga.
Gedungnya besar, dingin, dan penuh orang dari berbagai negara. Di dindingnya terpajang tulisan besar:
The Most Loser Person on Earth.
Pesertanya? Banyak. Cowok-cewek. Tua-muda. Semua dengan ekspresi sama: murung, tapi penasaran.
Sama seperti gue.
Di ruang tunggu, suara panitia terdengar lewat speaker:
“Nomor peserta 18, bersiap ke belakang panggung. Dony dari Indonesia.”
Gue berdiri. Tangan gue dingin. Nafas nggak karuan. Langkah gue pelan tapi pasti.
Lampu panggung menyorot ke arah gue. Penonton duduk berjejer, sebagian senyum sinis, sebagian lagi datar. Di barisan depan ada tiga juri. Wajah mereka kayak gabungan guru BK dan HRD kantor: kaku dan nggak mudah terkesan.
Gue maju, berdiri tepat di depan mikrofon.
“Halo. Nama gue Dony. Gue dari Indonesia. Negara yang katanya ramah… tapi kayaknya lupa untuk ramah ke orang-orang yang beda dari orang kebanyakan.”
Beberapa orang ketawa kecil.
“Gue bukan orang yang gagal satu kali. Gue gagal...konsisten. Gagal punya temen. Gagal main. Gagal cinta. Gagal jadi siapa pun selain... Figuran di hidup orang lain.”
Gue mulai cerita. Dari SD sampai SMA. Tentang surat cinta ke Nisa. Tentang dituduh nyolong. Tentang duduk sendirian tiap hari selama bertahun-tahun. Tentang jadi satu-satunya anak yang nggak pernah diajak ngobrol pas belajar kelompok.
Dan setiap cerita gue kasih bumbu. Bukan buat lucu-lucuan... tapi karena kadang satu-satunya cara biar luka bisa didengar adalah dengan bikin orang lain ketawa dulu.
“Gue pernah ikut pemilihan ketua OSIS. Total suara yang gue dapet? Satu. gue nyoblos diri sendiri. Itu pun... gue agak nyesel pas nyoblos.”
Tawa pecah.
Tapi bukan tawa mengejek. Ini beda. Tawa yang tulus. Tawa dari orang-orang yang... ngerti. Yang relate. Dan itu bikin gue makin mantap.
Gue liat sekeliling. Juri mulai menunduk sambil mencatat. Beberapa peserta lain memperhatikan dengan serius. Mata penonton nggak berkedip. Dan di detik itu, gue sadar...
Mereka dengerin gue.
Bukan karena gue keren. Tapi karena gue jujur.
Setelah semua peserta tampil, tersisa dua nama: gue dan Maria.
Maria beda. Cewek dewasa. Tatapannya kosong, nadanya datar. Ceritanya tragis banget: dipecat dari belasan pekerjaan, dibuang keluarga, tidur di halte, ditolak kerja bahkan untuk jadi sukarelawan.
Gue dengar semuanya. Dan jujur? Gue sempat mikir, Ya udah. Dia emang lebih layak dapat gelar ini.
Tapi pas giliran gue naik lagi untuk sesi tanya jawab, gue tetap maju.
Salah satu juri nanya, “Gimana caranya kamu bisa bertahan hidup tanpa punya teman?”
Gue mikir sebentar. Lalu jawab:
“Gue terbiasa. Lama-lama lo belajar bahwa satu-satunya orang yang selalu ada itu... ya diri lo sendiri. Dan lo belajar nyaman sama itu. Nggak hebat-hebat amat sih. Tapi cukup buat bikin lo tetap bertahan hidup.”
Penonton diam.
Lalu juri tanya lagi, “Apa momen kegagalan paling... membanggakan dalam hidup lo?”
Gue senyum tipis.
“Festival pentas seni pas SMP. Gue main drum di panggung sekolah. Pas lagu mulai, pedal drum nyangkut di celana gue. Gue jatuh. Semua ketawa. Tapi lagu harus jalan. Jadi gue main lagi, sambil duduk. Satu lagu penuh. Ketawa mereka masih kebayang sampai sekarang... tapi gue nggak berhenti main.”
Penonton tepuk tangan. Gue nggak tahu kenapa. Tapi waktu itu, gue ngerasa... bahkan kalau gue kalah sekalipun, setidaknya orang udah denger cerita gue.
Setidaknya, untuk sekali ini, suara gue nggak tenggelam.
Semua peserta udah tampil.
Beberapa cerita kelewat tragis, beberapa terdengar lebay. Tapi yang jelas, panggung dipenuhi orang-orang yang hidupnya udah akrab banget sama kegagalan.
Gue duduk di kursi peserta, di sebelah Maria—satu-satunya saingan di babak final.
Maria nggak banyak ngomong. Wajahnya datar, tapi bukan dingin—lebih ke capek. Capek ngulang cerita yang udah dia ceritain berkali-kali. Tapi gue bisa liat, juri terkesan.
Di kepala gue, muncul dua suara:
“Udah, lu pasti kalah.”
“Tapi... tadi orang ketawa pas lu ngomong. Itu berarti sesuatu, kan?”
Waktu yang ditunggu-tunggu tiba. Ketua juri berdiri di podium. Ia bicara dengan suara lantang.
“Terima kasih untuk semua peserta. Kami sudah berdiskusi panjang. Ini bukan keputusan mudah. Tapi kami akhirnya memilih satu orang yang layak menyandang gelar…”
Dia berhenti sebentar. Nafas gue makin cepat.
“…The Most Loser Person on Earth tahun ini jatuh kepada…”
Jantung gue seperti dihantam dari dalam.
“…Maria.”
Tepuk tangan. Sorak sorai. Flash Kamera dimana-mana. Lampu sorot fokus ke Maria yang perlahan berdiri dan naik ke panggung.
Gue?
Tetap duduk.
Kaku.
Nggak percaya.
Bahkan di ajang pencarian orang paling gagal pun... gue gagal.
Ironis?
Banget. Tapi juga... nyesek.
Maria dapat trofi. Sertifikat. Uang tunai. Standing ovation.
Gue? Cuma pulang bawa... pengakuan pribadi yang nggak dicatat siapa-siapa.
Gue keluar dari gedung itu pelan-pelan. Nggak ada yang nyapa. Nggak ada yang wawancara. Nggak ada yang peduli.
Tapi saat gue jalan sendirian di lorong, ada yang berasa di dada gue.
Perasaan aneh.
Bukan bangga. Tapi semacam... Lega. Karena akhirnya, semua yang selama ini gue sembunyiin, udah keluar. Dan orang-orang—entah dari negara mana pun—dengerin.
Bahkan kalau mereka nggak ngasih gue gelar juara, mereka tetap tertawa. Mereka tetap ngerti. Dan itu, buat gue, lebih dari cukup.
Sampai tiba-tiba...
Suara berat memanggil, “Dony, ya?”
Gue noleh.
Seorang pria, sekitar empat puluh tahunan, berdiri sambil nenteng kamera dan map putih.
“Saya Rahmat,” katanya. “Saya nonton penampilan kamu tadi. Bagus. Jujur. Kena banget.”
Gue angguk pelan. Nggak tahu harus jawab apa.
Pak Rahmat lanjut, “Saya pengelola komunitas advokasi bullying. Kita biasa keliling ke sekolah-sekolah buat ngisi seminar. Kita lagi cari pembicara muda yang bisa cerita dari pengalaman pribadi. Kamu tertarik?”
Gue bengong.
“Nggak usah langsung jawab sekarang,” katanya sambil kasih kartu nama. “Tapi... percaya deh, cerita kayak kamu tuh bisa bantu banyak orang.”
Gue terima kartu itu. Masih diam. Tapi di dalam hati...
Entah kenapa, untuk pertama kalinya, kata “gagal” nggak terdengar seburuk biasanya.
Seminggu setelah lomba itu, gue kembali duduk di kelas. Tetap di pojok. Tetap sendiri.
Nggak ada yang tahu gue baru aja naik panggung internasional dan nyaris jadi juara dunia. Nggak ada yang peduli. Dan gue juga nggak merasa perlu cerita.
Sampai suatu sore, HP gue bunyi.
Pesan dari Pak Rahmat. Singkat.
“Sabtu depan, seminar di SMA Pusaka Bangsa. Mau coba isi sesi? Tema: ‘Gagal bukan akhir.’ Honor ada. Kalau siap, segera kabari.”
Gue nggak langsung jawab. Gue tatap layar HP gue cukup lama, lalu gue kirim satu kata: “Siap.”
Sabtu pagi.
Gue berdiri di depan sebuah aula kecil. Isinya sekitar 40-an siswa dan guru. Ada spanduk besar di belakang bertuliskan:
“SEMINAR KESADARAN DIRI: GAGAL BUKAN AKHIR.”
Gue berdiri di podium. Tangan gue tetap terasa dingin. Tapi kali ini, deg-degan yang gue rasain bukan karena takut ditertawakan.
Tapi karena gue tahu... ada kemungkinan orang di ruangan ini benar-benar dengerin.
Gue buka sesi dengan suara pelan tapi tegas.
“Nama gue Dony. Gue bukan motivator. Bukan juara olimpiade. Bukan influencer. Gue cuma seseorang yang... pernah ngerasa jadi versi paling gagal dari manusia.”
Semua mata menatap. Sunyi. Nggak ada yang main HP.
Gue lanjut cerita. Tentang SD. SMP. SMA. Tentang semua hal yang bikin gue nyaris percaya kalau hidup ini emang nggak ada tempat buat orang kayak gue.
Lalu gue bilang satu kalimat yang bikin semua orang diam:
“Dulu, gue pikir suara gue nggak penting. Sekarang gue tahu... suara kayak gue itu justru yang dibutuhin. Karena gue tahu rasanya jadi orang yang diabaikan.”
Selesai sesi, beberapa siswa datang nyamperin. Nggak ada pelukan lebay. Nggak ada air mata drama. Tapi mereka datang. Diam-diam, satu per satu, dan bilang:
“Kak, makasih. Gue juga pernah ngerasa gitu.”
“Cerita kakak... gue banget.”
Dan dari situlah semuanya dimulai.
Beberapa bulan berlalu. Gue mulai sering tampil di beberapa tempat. Kadang di aula sekolah. Kadang di ruang kelas kecil. Kadang bahkan online, via Zoom, ke komunitas remaja dari kota lain.
Honor kecil-kecilan. Tapi cukup. Buat jajan sendiri tanpa minta orang tua. Dan yang paling penting: buat nunjukin pada dunia bahwa cerita hidup gue.. ternyata ada gunanya.
Di sekolah, kabar mulai menyebar pelan-pelan.
Anak-anak yang dulu cuma kenal gue sebagai "Si kiting penyendiri" mulai manggil gue dengan panggilan yang beda. Masih ada yang nyinyir. Masih ada yang nggak suka. Tapi gue nggak ambil pusing.
Gue bahkan mulai nulis ulang cerita-cerita hidup gue jadi materi stand-up comedy. Dan setiap Sabtu malam, gue tampil di kafe kecil pinggir jalan sebagai “Si Kiting”—nama panggung yang gue ambil dari hinaan masa kecil gue.
Penonton tertawa. Beneran tertawa. Dan untuk pertama kalinya, tawa itu nggak bikin gue merasa kecil. Tapi justru bikin gue merasa... hidup.
Setiap Sabtu malam, gue naik ke panggung kecil di sebuah kafe pinggir jalan.
Panggungnya cuma satu set lampu, satu mikrofon, dan kursi bar di pojok. Tapi penontonnya setia. Mereka datang bukan karena penasaran sama siapa gue, tapi karena mereka tahu... cerita-cerita gue bikin mereka ngerasa nggak sendirian.
“Gue ini stand-up comedian spesialis gagal,” kata Dony di salah satu penampilan. “Bahkan waktu ikut lomba orang paling gagal se-dunia... gue kalah.”
Penonton ketawa.
“Bayangin. Lo udah ngaku gagal, udah jujur, udah buka semua aib... eh, ternyata tetap nggak cukup gagal buat menang!”
Tawa makin pecah.
Tapi di balik setiap punchline, ada kejujuran yang nggak dibuat-buat. Dan justru itu yang bikin orang datang lagi.
Di sekolah, gue tetap bukan murid favorit. Masih ada guru yang nggak hapal nama gue. Masih ada anak-anak yang ogah ngajak gue nongkrong. Tapi itu nggak lagi jadi masalah.
Karena sekarang, gue tahu satu hal penting:
Lo nggak harus diterima semua orang buat bisa berdiri tegak.
Dan kalau pun lo gagal... bukan berarti lo hancur.
Kadang, gagal itu cuma jalan lain menuju tempat yang lebih pas.
Di akhir setiap seminar yang gue isi, gue selalu tutup dengan kalimat yang sama:
“Dunia ini nggak cuma buat para pemenang. Kadang, orang-orang yang paling gagal justru bisa kasih sinar yang nggak pernah dimiliki oleh siapa pun. Karena mereka tahu... gimana rasanya gelap.”
Gue nggak pernah dapat trofi.
Nggak ada kamera TV yang ngikutin gue.
Nggak viral. Nggak trending.
Tapi sekarang, setiap kali gue bicara... orang dengerin.
Setiap kali gue cerita... orang tertawa, dan mengangguk.
Dan buat gue, itu lebih dari cukup.