Cerpen
Disukai
0
Dilihat
3,350
The Famtrip Flores
Romantis

Di sebuah bandara internasional yang hiruk-pikuk, takdir mempertemukan lima orang asing di tengah lautan manusia yang berlalu-lalang. Claire Anderson, seorang fotografer yang mencari makna di balik lensa kameranya, berdiri dengan gugup di ruang kedatangan. Di tangannya, sebuah tiket menuju Labuan Bajo, Indonesia tempat yang ia harap dapat menjawab kehampaan yang selama ini mengintai hatinya.

Henrik Larsson, ilmuwan laut yang mengabdikan hidupnya untuk data dan angka, merasa canggung saat memperkenalkan dirinya. Olivia Bennett, seorang penulis perjalanan yang dulu memikat dunia dengan ceritanya, kini hanya bisa tersenyum tipis, menyembunyikan ketakutan bahwa inspirasinya telah mengering. Sophie Laurent, koki berbakat dari Prancis, mengamati yang lain dengan rasa penasaran, mencoba melupakan kelelahan yang terus menghantui mimpinya. Alessandro Romano, arsitek yang merindukan karya yang berbicara tentang jiwa, berdiri di sudut, tampak lebih tertarik pada arsitektur terminal daripada pada orang-orang di sekitarnya.

Mereka tidak tahu apa yang menanti mereka di Flores. Tapi saat mereka akhirnya bertemu Raka, pemandu lokal yang memancarkan ketenangan seperti ombak yang menari di tepi pantai, mereka mulai menyadari bahwa perjalanan ini bukan sekadar eksplorasi tempat baru. Raka, dengan senyum dan ceritanya yang penuh misteri, memperkenalkan mereka pada mitos-mitos tua dan keindahan alam Flores yang memikat.

Namun, perjalanan ini segera berubah menjadi lebih dari sekadar liburan. Di tengah bukit-bukit hijau dan lautan biru yang jernih, masing-masing dari mereka mulai menghadapi rahasia, ketakutan, dan kerinduan yang telah lama mereka pendam. Apa yang dimulai sebagai sebuah perjalanan fisik berubah menjadi perjalanan jiwa, di mana batas antara takdir dan pilihan mulai memudar.

Kelompok itu berdiri dalam keheningan canggung di pelabuhan tua Labuan Bajo, diterpa sinar matahari sore yang berkilauan di permukaan air. Claire mencoba tersenyum pada mereka semua, mencoba menenangkan suasana. "Baiklah," katanya, "sepertinya kita akan menghabiskan banyak waktu bersama."

Henrik, pria jangkung dengan tatapan dingin, hanya mengangguk kecil. "Kita lihat saja bagaimana nanti," gumamnya, matanya terpaku pada kamera Olivia yang terus berkedip-kedip. Ia tampak terganggu.

Olivia mendengus, menurunkan kameranya. "Kalau mau komentar, katakan langsung saja," katanya dengan aksen Inggris yang tajam.

Di belakang mereka, Sophie dan Alessandro sibuk mengamati pasar lokal. Sophie memegang sebuah buah berwarna cerah yang baru pertama kali dilihatnya. "Apa ini?" tanyanya pada Alessandro, yang segera menjawab dengan senyum santai, "Entahlah, tapi sepertinya enak."

Raka, pemandu wisata mereka, menghampiri dengan langkah tenang. "Itu namanya marita. Biasanya dibuat menjadi sambal khas Flores. Penasaran untuk mencoba?" Suaranya dalam, penuh misteri, dan membuat Claire menatapnya lebih lama dari yang seharusnya.

Namun, dia segera berpaling, menghela napas pelan. Ini hanya perjalanan biasa, pikirnya. Tidak ada ruang untuk perasaan aneh seperti ini.

Cahaya senja melukis langit California dalam ungu dan oranye, menciptakan refleksi indah di lautan yang tenang. Claire Anderson berjongkok di pasir basah, menunggu momen yang sempurna. Ketika akhirnya seekor lumba-lumba melompat, ia menekan tombol kamera. Namun, bahkan keindahan itu tidak dapat mengusir kehampaan yang merayap di hatinya.

“Kenapa semua ini terasa sia-sia?” bisiknya pada dirinya sendiri, memandang horizon yang berganti warna.

Di Stockholm, Henrik Larsson berdiri di depan layar komputer, wajahnya tegang. “Tidak ada solusi,” katanya pelan, matanya tertuju pada grafik yang tidak menunjukkan hasil apa-apa. Di sebelahnya, foto keluarganya menjadi pengingat pedih akan apa yang telah ia korbankan demi ambisinya.

Di Lyon, Sophie Laurent berdiri di dapur restorannya, aroma roti panggang memenuhi ruangan. Namun, ada kehampaan dalam dirinya. Restoran pop-up ini pernah menjadi impiannya, tapi kini hanya rutinitas tanpa makna.

Sementara itu, Alessandro di Florence memandangi maket arsitektur modern yang ia buat. “Ini tidak ada jiwa,” gumamnya. Tangannya menggenggam pensil, tapi pikirannya melayang ke bangunan-bangunan kuno yang selalu menginspirasinya.

Dan di Melbourne, Olivia Bennett menutup laptopnya dengan frustrasi. Writer’s block telah menghancurkan rasa percaya dirinya sebagai penulis perjalanan. Ia memandang ke luar jendela, bertanya-tanya kapan terakhir kali ia benar-benar merasa terinspirasi.

Keesokan harinya, sebuah pesan misterius muncul di layar ponsel mereka.

"Temukan inspirasi, temukan cinta. Bergabunglah dalam perjalanan ini: #FindLoveInFlores."

Claire menyaksikan video yang menyuguhkan ekosistem laut Flores. Jantungnya berdebar. Henrik, di Stockholm, terpaku pada metode pelestarian yang diperlihatkan dalam video tersebut. Sophie terpesona oleh pasar tradisional dan lagu-lagu kuno. Alessandro melihat rumah-rumah Manggarai dan merasa panggilan mendalam. Olivia menemukan imajinasinya terbang bebas melalui pemandangan bukit dan ritual adat yang disorot.

"Ini pasti kebetulan," Claire berbisik, meski tak bisa menyangkal bahwa undangan itu terasa seperti takdir.

Hari itu, Claire mengajukan cuti panjang. Ia menatap layar email National Geographic, merasa bahwa ini adalah langkah yang benar.

Henrik, di sisi lain dunia, mengepak peralatan laboratorium kecilnya dengan perasaan aneh. “Ini adalah kesempatan,” katanya pada dirinya sendiri, mencoba mengusir keraguannya.

Sophie menutup restoran pop-up-nya untuk sementara, dengan janji bahwa ia akan kembali membawa inspirasi baru. Alessandro menolak proyek arsitektur besar dan memilih untuk memulai perjalanan ini. Olivia, dengan ragu, meyakinkan editornya bahwa ia akan membawa cerita yang akan mengguncang dunia.

Di Desa Komodo, kelompok ini disambut oleh tarian tradisional yang penuh warna. Raka berdiri di depan mereka, menjelaskan legenda naga penjaga yang konon mengawasi lautan. “Dikatakan bahwa naga ini tidak hanya menjaga, tetapi juga menguji,” katanya, matanya melintasi kelompok dengan penuh arti.

Henrik dan Olivia berjalan di tepi pantai setelah tur, tapi perbincangan mereka cepat berubah menjadi debat. "Kau selalu menghakimi," Olivia meledak, "seolah-olah aku tidak punya nilai!"

Henrik menatapnya dengan mata tajam. "Aku hanya ingin tahu siapa dirimu sebenarnya."

Di sisi lain, Sophie dan Alessandro menemukan kesamaan dalam kecintaan mereka pada makanan lokal. "Kau tahu," kata Alessandro, "mungkin kita bisa membuat sesuatu bersama dari semua ini." Sophie tertawa kecil, merasa nyaman meskipun ia ragu membuka hatinya.

Claire, sementara itu, terjebak dalam percakapan mendalam dengan Raka. Ia menceritakan asal-usul mitos naga Komodo, dan cara masyarakat setempat menghormati alam. Ada sesuatu tentang cara Raka berbicara yang membuat Claire merasa tenang.

Malam itu, mereka berkumpul di bawah langit penuh bintang. Suara debur ombak menjadi musik latar yang menenangkan.

"Jadi, apa tujuan kalian di sini?" tanya Claire tiba-tiba, memecah kesunyian.

Henrik menghela napas. "Aku butuh jawaban. Penelitianku... Aku merasa tidak cukup berarti."

Olivia mengangguk, suaranya lebih lembut. "Aku butuh menemukan diriku lagi. Menulis seharusnya menjadi kebebasan, bukan beban."

Sophie tersenyum kecil. "Aku ingin merasakan gairah untuk memasak lagi."

"Dan aku," kata Alessandro, "ingin menciptakan sesuatu yang lebih dari sekadar bangunan. Aku ingin cerita."

Raka memperhatikan mereka semua, senyumnya samar. "Mungkin Flores memiliki jawaban untuk kalian," katanya tenang.

Dalam perjalanan ke hutan lebat, suasana semakin intens. Raka menceritakan mitos roh penjaga hutan yang akan menguji kesabaran pengunjung.

Ketika Henrik secara tidak sengaja mengungkapkan masa lalu Olivia yang penuh manipulasi media, Olivia menangis dan berlari ke tengah hutan. Claire mengejarnya, meninggalkan Raka yang menatap dengan prihatin.

Di tempat lain, Sophie dan Alessandro mengalami momen kebersamaan saat mereka membantu penduduk desa menyiapkan makanan untuk sebuah upacara. Alessandro mulai melihat sisi Sophie yang lebih rapuh, sementara Sophie merasa Alessandro adalah seseorang yang bisa ia percayai.

Namun, ketegangan memuncak ketika badai mendadak melanda di tengah laut. Bahtera yang membawa mereka oleng, dan kelompok itu harus bersatu untuk bertahan.

Di sebuah gua yang mereka temukan untuk berlindung dari badai, kelompok itu berbagi rahasia terdalam mereka.

Henrik mengakui ketakutannya akan kegagalan. Olivia membuka diri tentang tekanan menjadi seseorang yang sempurna di mata dunia. Sophie berbicara tentang rasa takutnya pada cinta, sementara Alessandro mengungkapkan penyesalan karena selalu melarikan diri dari tanggung jawab.

Raka menatap Claire. "Dan kau?" tanyanya.

Claire menghela napas panjang. "Aku takut kehilangan diriku sendiri."

Ketika badai mereda, mereka keluar dari gua dengan hati yang lebih ringan, merasa bahwa perjalanan ini mulai memberikan jawaban yang mereka cari.

Ketika mereka meninggalkan Flores, semua membawa pelajaran yang tak ternilai. Claire merasa lebih ringan, akhirnya menerima bahwa hidup tidak harus selalu direncanakan. Henrik dan Olivia, meskipun tidak sempurna, memulai hubungan yang lebih jujur. Sophie dan Alessandro berjanji untuk bertemu lagi, meskipun masa depan belum jelas.

Di bandara, Raka melambaikan tangan dengan senyum kecil. Claire menatapnya, merasakan sesuatu yang tidak ia ungkapkan. Tapi itu cukup.

Dan di pesawat, Claire melihat keluar jendela, mengingat kata-kata Raka: “Perjalanan ini hanya awal. Jawaban yang kau cari akan terus berkembang bersama langkahmu.”

Bahtera Kejayaan bergerak perlahan, membelah perairan tenang yang memantulkan kilauan bintang malam. Di kejauhan, pulau-pulau kecil tampak seperti siluet gelap, dikelilingi kabut tipis. Kelompok itu duduk di dek utama, angin laut membawa aroma asin yang menyegarkan.

Raka berdiri di depan mereka, menatap horison dengan tatapan dalam. "Perjalanan ini bukan sekadar wisata," katanya pelan, hampir seperti berbisik. "Di perairan ini, leluhur kami percaya bahwa roh laut menjaga keseimbangan dunia. Ketika keseimbangan terganggu, mereka akan menampakkan diri bukan untuk menghukum, tetapi untuk mengingatkan."

Henrik, yang biasanya skeptis terhadap cerita-cerita seperti ini, tiba-tiba angkat bicara. "Mengapa mereka mengingatkan? Bukankah mereka bisa... menghentikan ketidakseimbangan itu sendiri?"

Raka menoleh, senyumnya samar. "Karena kadang-kadang, kita harus belajar dari konsekuensi untuk memahami apa yang penting."

Sophie menggigil sedikit, meskipun udara hangat. "Jadi, apakah roh-roh itu nyata?"

"Lebih nyata dari yang kalian kira," jawab Raka, matanya bersinar dalam cahaya redup lentera kapal.

Pagi itu, Labuan Bajo menyambut mereka dengan langit cerah dan air laut biru yang tenang. Claire melangkah keluar dari pesawat kecilnya, udara lembap langsung menyergap. Ia memejamkan mata, membiarkan angin membawa bau asin laut yang akrab. Kamera di pundaknya terasa berat, tetapi ia tahu bahwa beban sebenarnya ada di dalam hatinya.

Henrik tiba berikutnya, berjalan melewati bandara kecil dengan koper penuh alat penelitian. "Akhirnya," gumamnya sambil melirik ke sekeliling. "Laboratorium alam yang sesungguhnya."

Di luar, Sophie menghela napas puas, matanya menyapu deretan kios kecil yang menjual buah tropis dan rempah-rempah lokal. "Ini benar-benar surga bagi seorang chef," katanya sambil menyambar sebuah mangga dari penjual yang tersenyum ramah.

Alessandro, yang datang tak lama setelahnya, terpesona oleh rumah-rumah tradisional yang berdiri megah di sepanjang jalan menuju pelabuhan. "Ini... luar biasa," katanya sambil mengeluarkan sketsa dan pensilnya. Jari-jarinya dengan lincah menggambar garis-garis beratap tajam yang memikat hatinya.

Olivia adalah yang terakhir tiba, dengan ransel besar di punggungnya dan notebook di tangan. Ia menatap bukit-bukit hijau yang menjulang di kejauhan, mencoba mencari kata-kata untuk menggambarkan keindahan itu. "Mungkin," bisiknya pelan, "aku bisa menulis lagi."

Di pelabuhan tua, mereka akhirnya berkumpul. Claire, yang mencoba menjadi pemimpin tak resmi, membuka percakapan. "Jadi, kalian juga merasa aneh menerima undangan ini?"

Henrik tersenyum kecil. "Aneh, tapi menarik. Mungkin ini yang aku butuhkan."

Sophie sibuk mengamati ikan segar yang dijual di pasar pelabuhan, sementara Alessandro mencatat detail kapal Phinisi yang mereka tumpangi. Olivia, yang biasanya diam, mencoba memulai percakapan dengan Raka. "Kau yakin tentang naga Komodo itu? Maksudku, bukan hanya cerita, kan?"

Raka tertawa kecil. "Apa yang kita sebut mitos, seringkali lebih nyata daripada yang kita pikirkan."

Bahtera Kejayaan berlayar dengan anggun, dikelilingi oleh air jernih yang tampak seperti kaca. Di dek utama, kelompok itu mulai berbicara lebih akrab. Henrik memimpin diskusi tentang penelitian ekosistem laut yang sedang ia lakukan, sementara Claire duduk di tepi kapal, sibuk memotret bayangan kapal di air.

"Jadi, kau seorang ilmuwan," kata Olivia, mendekati Henrik. "Bukankah sulit bekerja dengan... alam yang tidak terduga?"

Henrik tersenyum tipis. "Alam selalu memberitahu kita apa yang salah. Kita hanya sering terlalu keras kepala untuk mendengarkan."

Claire mendengar percakapan itu, senyum kecil terulas di bibirnya. "Kau terdengar seperti Raka," katanya, melirik sang pemandu wisata yang sedang membantu Alessandro memahami struktur perahu tradisional.

Sementara itu, Sophie memutuskan untuk mendekati dapur kapal, berusaha meyakinkan koki lokal untuk berbagi resep rahasia. "Apa bumbu rahasia untuk ikan ini?" tanyanya dengan mata berbinar. Koki itu tertawa dan menyebutkan nama-nama rempah lokal yang belum pernah didengarnya sebelumnya.

Namun, suasana berubah saat malam tiba. Angin berhembus lebih kencang, dan awan gelap berkumpul di cakrawala. Di dek utama, Raka memimpin kelompok itu untuk tetap tenang.

"Ada cerita," katanya pelan, "tentang roh-roh laut yang menyanyi saat mereka merasa terganggu."

Tiba-tiba, suara nyanyian melodius terdengar dari kejauhan. Itu bukan suara manusia, lebih seperti gema yang datang dari kedalaman laut. Olivia menggenggam erat pagar kapal, matanya membelalak. "Apa itu?" bisiknya.

"Roh laut," jawab Raka, suaranya tenang namun penuh misteri. "Mereka mengingatkan kita untuk menghormati keseimbangan."

Claire mengarahkan kameranya ke laut yang gelap, tetapi tidak ada yang terlihat. "Apakah ini hanya angin?" tanyanya, meskipun hatinya berdebar keras.

Henrik, yang biasanya logis, mulai merasa ragu. "Jika ini benar... apa yang mereka inginkan dari kita?"

Malam itu, badai kecil menghantam Bahtera Kejayaan, memaksa kelompok itu berlindung di kabin utama. Claire, yang mencoba tetap tenang, berbicara dengan Olivia yang tampak gelisah.

"Apakah kau baik-baik saja?" tanyanya, meletakkan tangan di bahu Olivia.

Olivia mengangguk, meskipun wajahnya pucat. "Aku hanya... ini mengingatkanku pada sesuatu. Kehidupan yang aku tinggalkan. Kehidupan yang palsu."

Claire menatapnya, tertarik. "Kau mau cerita?"

Olivia tersenyum kecil, tetapi sebelum ia bisa menjawab, suara keras terdengar dari dek atas. Mereka semua bergegas keluar, hanya untuk menemukan Raka berdiri di depan layar besar, menghadapi badai dengan tenang.

"Percayalah pada perahu ini," katanya tanpa berbalik. "Phinisi ini dirancang untuk bertahan menghadapi lautan apa pun."

Ketika badai akhirnya mereda, kelompok itu duduk di dek, lelah tetapi merasa lebih dekat satu sama lain. Sophie, yang biasanya pendiam, mulai berbicara dengan Alessandro tentang mimpinya membuka restoran yang menggabungkan budaya dari seluruh dunia.

"Bagaimana menurutmu?" tanya Sophie, matanya berbinar. "Apakah itu mungkin?"

Alessandro tersenyum. "Dengan semangat seperti milikmu? Aku rasa apa pun mungkin."

Di sisi lain, Henrik mendekati Olivia, menawarkan secangkir teh hangat. "Aku tahu ini sulit," katanya pelan. "Tapi kau tidak sendirian."

Malam itu, di bawah langit yang mulai cerah, mereka semua menyadari bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang menemukan jawaban. Ini tentang memahami diri mereka sendiri dan satu sama lain.

Badai datang tanpa peringatan, menggulung langit biru menjadi kelam. Bahtera Kejayaan oleng dihempas gelombang, memaksa kelompok itu berlindung di desa kecil di pinggir pantai. Claire berdiri di depan jendela sebuah lumbung tua, menatap hujan yang mengguyur deras. Di belakangnya, suara berdebat Henrik dan Olivia memecah keheningan.

“Kenapa kau selalu mencampuri hidupku?” Olivia meledak, wajahnya memerah. “Aku tidak butuh nasihat dari seseorang yang bahkan tidak tahu bagaimana caranya hidup!”

Henrik, yang biasanya tenang, membalas dengan nada dingin. “Aku hanya mencoba membantumu. Kau begitu terobsesi dengan citra palsu hingga kau lupa menjadi dirimu sendiri.”

“Berhenti bertingkah seperti kau tahu segalanya!” Olivia berbalik, keluar ke teras lumbung dengan air mata menggenang.

Sophie yang sedang duduk di sudut mencoba menenangkan suasana. Alessandro, di sisinya, bergumam pelan, “Ketegangan seperti ini hanya butuh waktu. Kau tidak bisa memaksa mereka.”

“Kadang aku merasa semua ini berlebihan,” kata Sophie, tatapannya kosong. “Aku tidak tahu apakah aku cukup kuat untuk menyelesaikan perjalanan ini.”

Alessandro tersenyum, menggenggam tangannya. “Kau lebih kuat dari yang kau kira. Dan kau tidak sendiri.”

Claire menatap ke luar, matanya bertemu dengan Raka yang berdiri di bawah hujan, matanya penuh kedamaian. Ia mendekatinya, membiarkan tetesan air membasahi rambut dan bajunya. “Kau tidak takut akan badai?” tanya Claire.

“Badai datang untuk membersihkan,” jawab Raka, suaranya tenang. “Kadang, setelah badai, kita melihat dunia dengan lebih jelas.”

Claire tidak menjawab, tetapi sesuatu di dalam dirinya mulai berubah. Kata-kata Raka, meskipun sederhana, terasa seperti balsam bagi luka yang tak terlihat.

Matahari terbit dengan hangat, membasuh teluk kecil tempat Bahtera Kejayaan berlabuh. Di pantai, penduduk desa menari, menyambut mereka dengan energi yang hidup. Suara gamelan berpadu dengan debur ombak, menciptakan harmoni yang memikat.

Claire terpesona. “Ini lebih dari sekadar wisata,” bisiknya pada Henrik.

Henrik, yang sibuk mencatat tentang ekosistem desa, hanya mengangguk. Tetapi pikirannya terganggu oleh sesuatu yang ia tidak bisa jelaskan. “Aku merasa ada yang... mengamati kita,” katanya pelan.

Sophie berada di sisi lain pesta, mencicipi hidangan lokal dengan mata berbinar. “Makanan ini seperti sulap,” katanya pada Alessandro yang berdiri di dekatnya, menggambar struktur batu kuno di tepi desa.

“Bangunan ini punya cerita, aku yakin,” Alessandro berkomentar sambil terus mencoret-coret sketsa. Ia mendekati Raka, bertanya tentang reruntuhan itu.

“Itu benteng kuno,” jawab Raka. “Konon, itu adalah tempat persembunyian terakhir para pejuang Flores. Mereka mengatakan bahwa harta karun besar tersembunyi di sana, dijaga oleh roh-roh marah.”

Olivia, yang mendengar cerita itu, merasakan dorongan mendalam untuk menulis. Ia duduk di atas batu besar, mencatat dengan cepat di notebook-nya. “Ini seperti kisah yang hidup,” gumamnya.

Namun, di balik euforia, ada sesuatu yang menggantung di udara sebuah ketegangan yang tidak terlihat. Raka memimpin mereka menuju pedalaman, ke arah hutan lebat di mana perjalanan sejati mereka akan dimulai.

Hutan itu menyambut mereka dengan sunyi yang mencekam. Pohon-pohon raksasa berdiri seperti penjaga kuno, dedaunan lebatnya membentuk kanopi hijau gelap. Raka berjalan di depan, suaranya rendah ketika ia berbicara.

“Roh leluhur menjaga hutan ini. Mereka menguji kesabaran kita. Jika kalian mendengar bisikan, jangan pernah berbalik.”

Claire, yang biasanya skeptis, merasa hawa aneh menyelimuti mereka. Suara angin yang berhembus di antara pepohonan terdengar seperti bisikan nyata. Henrik, yang awalnya tidak percaya, mulai merasa ada sesuatu di luar logikanya. Ia berhenti sejenak, menyentuh batang pohon besar.

“Ini... berbeda,” katanya. “Alam di sini terasa... hidup.”

Sophie mengumpulkan bahan makanan liar, mencoba fokus. Namun, tiba-tiba ia merasakan tangan menyentuh bahunya. Ketika ia berbalik, tidak ada siapa pun. Alessandro, di sisi lain, mendapati bahwa sketsa pohon yang ia buat berubah. Garis-garisnya menjadi lebih gelap, seolah menggambarkan bayangan yang tidak ia tambahkan.

Olivia menulis lebih cepat dari sebelumnya, tetapi kata-katanya dipenuhi dengan bayang-bayang ketakutan. “Seolah hutan ini berbicara padaku,” katanya pada Raka.

“Hutan mengungkapkan apa yang tersembunyi di hati kita,” jawab Raka, matanya tajam. “Ini adalah perjalanan spiritual. Apakah kalian siap menghadapi bayangan kalian sendiri?”

Setelah perjalanan melelahkan, mereka mencapai kaki gunung suci yang diselimuti kabut. Sebuah gua besar menanti mereka, dindingnya dihiasi lukisan kuno. Raka berhenti, menunjukkan sebuah gambar naga besar.

“Naga ini adalah penjaga keseimbangan,” katanya. “Jika keseimbangan terganggu, kemarahannya akan menghancurkan segalanya.”

Claire menatap lukisan itu, merasa jantungnya berdetak lebih cepat. “Aku bermimpi tentang naga ini,” katanya pelan. “Matanya seperti bara api.”

Henrik mendekati lukisan itu, menganalisis pola dan simbol. “Ada logika di balik ini,” gumamnya. “Mitos sering menyimpan kebenaran ekologis.”

Sophie menemukan bumbu yang digunakan penduduk desa terukir di dinding gua, menghubungkannya dengan masakan lokal. Alessandro, yang sketsanya semakin rinci, merasa seperti sedang menggambar masa lalu.

“Ini lebih dari inspirasi,” katanya pada Sophie. “Ini seperti memori yang terbangun.”

Olivia mencatat dengan antusias, tetapi di balik itu ada rasa takut. “Kisah ini akan mengubah hidupku,” bisiknya, tidak yakin apakah itu hal yang baik atau buruk.

Malam itu, kabut tebal menyelimuti kelompok itu. Mereka berdiri di lingkaran kecil, dikelilingi oleh bayangan yang bergerak. Raka memimpin dengan suara tenang. “Ini adalah Mata Tertutup,” katanya. “Roh-roh ini menunjukkan bayangan dari masa lalu kita. Kalian harus menghadapi mereka.”

Claire melihat bayangan dirinya yang penuh ambisi, yang selalu memilih karier di atas hubungan personal. Air mata mengalir saat ia berbisik, “Aku tidak mau sendirian lagi.”

Henrik menghadapi wajah-wajah keluarganya, menyalahkan dirinya karena mengorbankan mereka demi pekerjaannya. “Aku hanya ingin mereka bangga,” katanya, suaranya pecah.

Sophie melihat dirinya yang muda, takut pada cinta karena rasa tidak aman. Alessandro dihadapkan pada impian-impian yang tak pernah ia kejar. “Aku ingin menjadi lebih dari apa yang selama ini aku lakukan,” katanya.

Olivia melihat dirinya sendiri, terperangkap dalam kebohongan. “Aku ingin menjadi nyata,” katanya akhirnya.

Ketika kabut mulai memudar, mereka semua berpegangan tangan, saling memberikan kekuatan. Claire menatap Raka, matanya penuh rasa terima kasih. “Kau tahu apa yang kami butuhkan,” katanya.

“Kalian sudah tahu,” jawab Raka. “Aku hanya membantu kalian melihatnya.”

Di pantai yang diterangi cahaya bulan, api unggun kecil menyala dengan hangat. Kelompok itu duduk melingkar di sekitarnya, menyaksikan sebuah upacara tradisional untuk menghormati laut. Para penduduk desa menari dengan gerakan halus, diiringi bunyi kendang dan suling bambu. Raka berdiri sedikit di depan, menjelaskan makna di balik upacara tersebut.

“Upacara ini untuk meminta izin dari laut, sekaligus mengucapkan terima kasih,” katanya, suaranya hampir tenggelam dalam nyanyian yang mengalun. “Bagi mereka, laut adalah ibu sumber kehidupan, tetapi juga kekuatan yang harus dihormati.”

Claire memperhatikan wajah Raka dalam cahaya api, merasakan sesuatu yang aneh tumbuh di hatinya. Sebuah rasa yang ia tidak ingin akui campuran kekaguman dan ketakutan.

Henrik duduk di dekat Olivia, berusaha berbicara, tetapi ia hanya diam, sesekali mencuri pandang. Olivia, yang memegang notebook kecil, tampak terfokus pada mencatat detail upacara. Tetapi tangannya gemetar. Ia sadar Henrik mengawasinya, dan itu membuatnya semakin gugup.

Sophie berada di sisi lain, menyiapkan makanan kecil dengan bahan-bahan lokal yang ia temukan di pasar desa pagi tadi. Alessandro mendekat, membawa potongan bambu yang ia ukir sepanjang hari. “Kau terus memasak,” katanya sambil tertawa kecil. “Aku penasaran, kapan kau akan membiarkan dirimu menikmati momen?”

Sophie mengangkat bahu. “Ini cara terbaikku untuk merasa tenang.”

Namun, Alessandro tidak menyerah. “Bagaimana jika kau membiarkan orang lain yang membuatmu tenang?”

Sophie berhenti, menatap Alessandro yang sedang duduk di depannya. Pertanyaan itu terasa terlalu dekat, terlalu nyata. Tetapi sebelum ia bisa menjawab, Raka kembali memanggil perhatian mereka. “Waktunya untuk menyampaikan harapan. Ke laut, kepada roh-roh penjaga.”

Penduduk desa mulai berdoa, suaranya bersatu dengan suara ombak. Claire menutup matanya, membiarkan suasana itu menenggelamkannya.

Pagi itu, mereka mendaki perbukitan ilalang yang menghadap ke laut biru. Angin hangat bertiup, menggoyangkan rumput tinggi yang mengelilingi mereka. Di puncak bukit, Raka berhenti, menunjukkan sebuah batu besar di tengah jalan setapak yang bercabang tiga.

“Ini adalah Pertigaan Takdir,” katanya. “Legenda mengatakan, keputusan kecil yang kalian buat di sini dapat mengubah hidup kalian.”

Claire berdiri di tepi jalan, memandang lautan yang membentang jauh. “Keputusan kecil,” gumamnya. “Selalu ada konsekuensi yang besar, ya?”

Henrik mendekatinya, membawa secangkir kopi yang ia seduh di atas api kecil sebelumnya. “Kadang-kadang, kita harus melupakan konsekuensi,” katanya, menyerahkan cangkir itu. “Hidup bukan soal kontrol, tapi soal menerima apa yang tidak bisa kita prediksi.”

Claire menatapnya, merasa bahwa kata-kata Henrik lebih seperti nasihat untuk dirinya sendiri. “Kau bicara dari pengalaman?”

Henrik hanya tersenyum, matanya tidak sepenuhnya bebas dari kesedihan. “Kau tahu, aku juga punya masa lalu.”

Di kejauhan, Sophie sibuk mencampur bumbu di atas piring kecil. Alessandro memerhatikannya dengan pandangan lembut. “Kau tahu,” katanya, mendekat, “terkadang, berhenti adalah satu-satunya cara untuk benar-benar maju.”

Sophie mendesah. “Aku tidak tahu bagaimana caranya. Berhenti terasa seperti menyerah.”

“Tidak,” kata Alessandro, menyentuh tangannya dengan lembut. “Berhenti adalah mengambil napas untuk melihat ke mana kau benar-benar ingin pergi.”

Malam turun dengan indah, langit penuh bintang menghiasi kamp mereka. Api unggun di tengah kelompok memancarkan kehangatan, sementara suara alat musik tradisional lembut bergema.

Sophie dan Alessandro duduk sedikit terpisah dari yang lain. Alessandro memandang ke arah Sophie, lalu memberanikan diri untuk berbicara. “Aku sering berpikir,” katanya, suaranya rendah, “tentang bagaimana kita sering berpura-pura baik-baik saja.”

Sophie menoleh, wajahnya serius. “Aku selalu berpura-pura bahagia,” katanya akhirnya. “Tapi di sini... di sini aku merasa bisa jujur pada diriku sendiri.”

Alessandro tersenyum kecil, mendekat. “Aku ingin kau tahu bahwa kau tidak perlu berpura-pura di hadapanku.”

Di sisi lain api unggun, Olivia duduk dengan notebook di pangkuannya, menulis puisi yang terinspirasi oleh perasaannya terhadap Henrik. Namun, ia terkejut ketika Henrik tiba-tiba muncul dari belakangnya.

“Kata-kata itu,” katanya pelan, “apakah itu tentang seseorang?”

Olivia memerah, menutup bukunya. “Itu hanya... sesuatu yang aku tulis.”

Henrik meraih tangannya dengan lembut. “Aku tidak pandai kata-kata, Olivia. Tapi aku tahu satu hal aku merasa sesuatu ketika aku bersamamu.”

Di tepi danau, Claire berjalan bersama Raka. Langkah mereka lambat, mengikuti alur gelombang kecil di air. Raka berbicara tentang hidup, tentang bagaimana takdir sering kali membawa kita ke tempat yang tidak kita duga.

“Hidup adalah kombinasi dari pilihan yang kau buat dan hal-hal yang kau biarkan terjadi,” katanya. Claire mendengar kata-kata itu seperti sebuah wahyu. Ia mulai memahami bahwa terkadang, membiarkan hidup mengalir adalah hal yang paling sulit dan paling diperlukan.

Keesokan harinya, perjalanan mereka membawa mereka ke sebuah air terjun suci. Untuk mencapainya, mereka harus mendaki jalur curam yang penuh bebatuan. Suasana tegang, terutama ketika konflik yang terpendam mulai muncul.

Olivia tanpa sengaja menyebutkan puisi yang ia tulis tentang Henrik, membuat suasana memanas. Henrik merasa terkejut dan tersinggung, sementara Alessandro, yang mendengar ketegangan itu, mulai kesal dengan sikap Henrik.

“Kenapa kau tidak bisa menghargai perasaan orang lain?” kata Alessandro, berdiri di depan Henrik.

“Kau tidak mengerti apa pun,” Henrik membalas tajam. “Hidupku bukan tentang puisi atau seni.”

Claire mencoba melerai, tetapi akhirnya kehilangan kesabaran. “Cukup!” katanya dengan nada keras. “Kita semua di sini untuk menemukan sesuatu, tetapi jika kita terus saling menjatuhkan, kita tidak akan menemukan apa-apa.”

Sementara itu, Sophie terjebak dalam arus kuat saat ia mencoba mengambil air suci. Alessandro segera menyelamatkannya, menariknya ke tepian dengan kekuatan penuh. Di antara nafas yang terengah-engah, Sophie memandang Alessandro.

“Kenapa kau terus melakukan ini?” tanyanya, matanya penuh air mata.

“Karena aku peduli,” jawab Alessandro sederhana.

Saat sore menjelang, kelompok itu akhirnya mencapai puncak bukit yang menghadap air terjun. Mereka duduk dalam keheningan, memandang cakrawala yang luas.

Henrik berbalik kepada Alessandro. “Aku minta maaf,” katanya pelan. “Aku terlalu keras kepala.”

Alessandro mengangguk. “Dan aku terlalu cepat menghakimimu. Mungkin kita berdua punya hal yang harus diperbaiki.”

Olivia mendekati Henrik, hatinya penuh keraguan tetapi juga harapan. “Aku ingin jujur,” katanya, suaranya hampir berbisik. “Aku menyukaimu. Tapi aku tidak tahu apakah aku bisa mempercayai ini.”

Henrik menatapnya, matanya lembut. “Aku juga takut, Olivia. Tapi aku ingin mencoba.”

Claire memandang Raka untuk terakhir kalinya sebelum perjalanan mereka selesai. Ia tahu bahwa hubungan mereka tidak mungkin, tetapi ia merasa damai dengan itu.

“Kau telah memberiku lebih dari yang kau tahu,” katanya pada Raka.

Raka tersenyum. “Dan kau telah menemukan lebih dari yang kau sadari.”

Di bawah sinar matahari yang mulai redup, kelompok itu merasa seperti telah melalui perjalanan yang lebih dari sekadar petualangan fisik. Mereka telah menemukan bagian dari diri mereka yang hilang, dan siap menghadapi apa pun yang ada di depan.

Langit Flores berubah kelam, menyelimuti kelompok wisatawan dengan awan gelap dan hembusan angin yang semakin kencang. Di cakrawala, ombak besar bergulung, mengancam menghantam desa kecil di tepi pantai yang menjadi tujuan mereka.

“Apa ini hanya badai biasa?” tanya Claire, berdiri di samping Raka yang tampak tidak terganggu oleh angin kencang.

Raka menggeleng. “Bukan. Ini adalah ujian terakhir bukan dari alam, tapi dari hati.”

Ketika kelompok itu memasuki lumbung tua untuk berlindung, badai di luar seakan mencerminkan badai yang mulai menggelegak di antara mereka. Ketegangan yang telah lama terpendam akhirnya meledak.

Henrik, yang biasanya tenang, berdiri dengan wajah merah padam. “Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku, Olivia?” serunya. “Kau bermain dengan hatiku, dan aku lelah mencoba menebak apa yang kau pikirkan.”

Olivia, yang merasa diserang, mundur selangkah. “Aku tidak pernah bermaksud seperti itu!” katanya, suaranya bergetar. “Aku hanya… aku takut! Takut melukai orang lain lagi.”

“Dan karena itu kau terus melarikan diri,” balas Henrik, sebelum berjalan menjauh, meninggalkan Olivia dengan air mata yang mengalir di pipinya.

Di sudut lain, Sophie akhirnya melepaskan kekuatan yang selama ini ia coba pertahankan. “Aku merasa seperti kehilangan diriku di sini,” isaknya kepada Alessandro. “Semua ini terlalu banyak cinta, harapan, ketakutan. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya aku inginkan.”

Alessandro memeluknya erat, suaranya lembut dan penuh keyakinan. “Kau tidak sendiri. Kita akan melewati ini bersama.”

Claire memperhatikan semuanya dari kejauhan, merasa ketegangan ini seperti cermin untuk perasaannya sendiri. Ia menatap Raka, mencoba mencari jawaban di matanya. “Mengapa semua ini terjadi?” tanyanya pelan.

Raka tersenyum samar. “Kita semua memiliki beban yang harus kita lepaskan. Terkadang, badai adalah cara semesta membantu kita melihat apa yang benar-benar penting.”

Ketika badai akhirnya mereda, kelompok itu melangkah keluar, disambut oleh suasana desa yang terasa berubah. Laut yang tadinya mengamuk kini tenang, memantulkan cahaya bulan yang baru muncul dari balik awan. Suara nyanyian penduduk desa terdengar, memanggil mereka ke sebuah kuil tua di atas bukit karang.

Claire mengikuti Raka menaiki tangga batu, merasa setiap langkahnya membawa beban yang perlahan terangkat. Di dalam kuil, penduduk desa menyanyikan lagu-lagu yang terasa lebih tua dari waktu itu sendiri, suara mereka bergema di dinding batu.

Ketika doa-doa dinyanyikan, Claire menutup matanya. Dia merasakan sesuatu bukan sekadar suara, tetapi kehadiran yang lembut namun mendalam. Ia membuka matanya dan menatap Raka, yang berdiri di depannya dengan ekspresi penuh kedamaian.

“Laut memiliki jawaban untukmu,” bisik Raka. “Kau hanya perlu mendengarnya.”

Henrik dan Olivia, yang berdiri tidak jauh, akhirnya berbicara. “Aku menyesal,” kata Henrik, suaranya penuh rasa sakit. “Aku takut membuka hatiku karena aku tidak tahu apakah aku bisa mempercayai perasaan ini.”

Olivia menatapnya dengan mata basah. “Aku juga takut. Tapi aku tidak ingin kehilangan kesempatan ini.” Ia meraih tangannya, dan untuk pertama kalinya, Henrik membiarkannya masuk.

Di tepi pantai, Sophie dan Alessandro berjalan bersama di bawah langit berbintang. Alessandro menggenggam tangannya dengan lembut. “Kita mungkin tidak tahu apa yang akan terjadi,” katanya. “Tapi aku tahu satu hal aku ingin kau ada di masa depanku.”

Sophie tersenyum kecil, air mata haru menggenangi matanya. “Aku juga.”

Malam itu, mereka berkumpul di pantai untuk menyaksikan gerhana matahari total. Langit berubah menjadi gelap, hanya menyisakan lingkaran cahaya di sekeliling matahari. Mereka duduk dalam lingkaran, dikelilingi oleh nyala api unggun.

Raka berdiri di tengah mereka, berbicara dengan nada pelan namun penuh makna. “Gerhana adalah momen perubahan. Ia menandai akhir dari sesuatu yang lama dan awal dari sesuatu yang baru. Hari ini, kalian telah melihat bayangan terdalam dalam hati kalian. Dan sekarang, giliran kalian untuk memutuskan apakah akan merangkul terang.”

Claire memegang liontin kecil yang ia temukan di kuil, merasakan sesuatu yang dalam. Ia memandang Raka, ingin bertanya apakah ini adalah akhir dari perjalanan mereka. Namun, ia hanya tersenyum, seolah tahu apa yang ia pikirkan.

Henrik dan Olivia duduk berdampingan, tangan mereka bersentuhan ringan. Mereka tidak berbicara, tetapi kedekatan mereka berbicara lebih banyak daripada kata-kata.

Alessandro mencium Sophie di bawah cahaya terakhir matahari sebelum kegelapan total. Momen itu terasa seperti keabadian, meskipun mereka tahu perjalanan ini akan segera berakhir.

Ketika cahaya matahari kembali, menghangatkan kulit mereka, mereka semua merasa seperti telah dilahirkan kembali.

Saat pagi datang, desa itu dipenuhi oleh suasana perpisahan. Penduduk desa mengucapkan selamat tinggal dengan tarian dan nyanyian yang meriah, memberikan semangat kepada kelompok wisatawan untuk membawa pelajaran perjalanan ini ke kehidupan mereka.

Olivia menulis di jurnalnya, mencoba menangkap setiap momen terakhir sebelum mereka pergi. Henrik membantunya membawa barang-barangnya, dan untuk pertama kalinya, mereka tertawa bersama tanpa rasa canggung.

Sophie dan Alessandro berbagi janji untuk bertemu lagi di Eropa. Alessandro menyelipkan bunga kecil ke dalam rambut Sophie, sambil berkata, “Sebuah awal kecil untuk cerita besar kita.”

Claire berdiri di dekat perahu, menatap Raka. Ia tahu bahwa hubungan mereka tidak bisa berlanjut, tetapi ia merasa damai dengan itu. Ia memeluk Raka untuk terakhir kalinya. “Terima kasih telah menunjukkan apa yang aku butuhkan,” katanya.

“Kita akan bertemu lagi,” jawab Raka, senyumnya penuh misteri.

Ketika perahu meninggalkan pantai, mereka semua menatap ke belakang, melihat desa kecil itu menghilang di cakrawala. Hati mereka lebih ringan, jiwa mereka lebih kuat.

Di bandara kecil Labuan Bajo, angin membawa aroma laut yang bercampur dengan rasa perpisahan. Lima orang yang dulu datang sebagai orang asing kini berdiri bersama, terikat oleh kenangan dan harapan yang tak terucap.

Henrik memandang Olivia, yang tersenyum lembut sambil menyerahkan notebook kecil berisi puisi yang ia tulis selama perjalanan. “Aku ingin kau memilikinya,” katanya, suaranya nyaris berbisik. Mereka saling bertukar nomor telepon, tidak menjanjikan apa pun, tetapi menyimpan janji diam-diam untuk mencoba.

Sophie menggenggam tangan Alessandro, matanya penuh haru. Ia menyerahkan sebuah kalung sederhana dari desa terakhir yang mereka kunjungi. “Untuk keberanian,” katanya. Alessandro tersenyum, menciumnya pelan di dahi. “Kita akan bertemu lagi, Sophie. Aku yakin.”

Claire berdiri di dekat pintu keberangkatan, memandang kelompok itu dengan hati yang penuh. Di tangannya, sebuah liontin kecil dari Raka, melambangkan perjalanan yang telah mengubah cara ia melihat dunia. Ia tahu, ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Claire telah menulis draf pertama dari buku barunya, yang ia yakin akan menjadi kisah yang menginspirasi banyak orang.

Ketika pesawat mereka lepas landas, Raka berdiri di tepi pantai, memandang laut yang tenang dengan senyum kecil. Ia tahu, perannya sebagai penjaga cerita telah selesai setidaknya untuk saat ini. Namun, ia juga tahu bahwa cerita mereka belum sepenuhnya berakhir. Perjalanan hati mereka akan terus berlanjut, membawa mereka ke tempat-tempat yang bahkan tidak bisa mereka bayangkan sebelumnya.

Di atas pesawat, Claire menatap keluar jendela, melihat Flores perlahan menghilang di bawah awan. Dengan senyum tipis, ia berbisik pada dirinya sendiri, “Ini bukan akhir. Ini adalah awal.”

Dan di kejauhan, di dalam jiwanya yang kini lebih tenang, ia mendengar gema dari pulau itu sebuah undangan untuk terus menemukan keajaiban di tempat-tempat yang tak terduga.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)