Cerpen
Disukai
0
Dilihat
7,708
Terjerat Cinta Ustadzah
Religi

Tokoh : 1. Najwa Larasati, 20 tahun, cerdas, anak ustad, berperilaku lemah lembut.

               2. Harlan Kusuma, 20 tahun, biasa saja, anak pengusaha, perilaku ugal-ugalan.

               3. Zoya Permata, 20 tahun, sahabat Najwa.


Pagi ini adalah ujian akhir semester hari pertama, tapi Najwa sepertinya bangun kesiangan karena selepas solat subuh tadi dia mengantuk dan tidur lagi.

“Ya Allah, jam berapa ini?” teriak Najwa saat Ummi membangunkannya.

“Sudah jam tujuh pagi,” jawab Ummi.

“Ummi, Najwa ada ujian akhir semester pukul setengah delapan, aduh telat deh, kenapa dibangunin sekarang sih.” ucapnya sambil berlari ke kamar mandi.

Ummi menggelengkan kepala saja melihat anak gadisnya itu panik karena kesalahannya sendiri. Padahal setiap harinya tidak pernah dia seperti ini. Dia anak yang selalu menyiapkan segala sesuatunya dengan matang, bahkan dia ketiduran di atas buku pelajaran yang dia pelajari.

“Sarapan dulu,” ucap Ummi ketika Najwa keluar dari kamarnya.

“Tidak usah Ummi, nanti saja, Najwa sudah telat.” balas Najwa lalu bersalaman dengan Ummi dan langsung kabur menyambar kunci motor maticnya.

“Hati-hati Najwa, ingat masa depanmu masih panjang,” nasehat Ummi ketika melihat Najwa sepertinya sangat buru-buru. Ummi takut kalau Najwa kebut-kebutan di jalan dan terjadi sesuatu padanya.

Najwa mengangguk saja lalu mengemudikan motornya secepat kilat tujuannya hanya satu, sampai di kampus dan bisa mengikuti pelajaran, tapi sepertinya hari ini adalah hari apesnya, dia bertabrakan dengan seorang pria yang menjengkelkan di parkiran motor.

“Duh, punya mata nggak sih. Kamu tahu nggak kalau ponsel aku itu harganya mahal?!” teriak pria itu.

“Maaf kak, tidak sengaja,” ucap Najwa.

“Maaf-maaf kamu harus ganti rugi!” tegas Pria itu. “Duh mimpi apa aku semalam, bisa bertemu gadis jelek, miskin sepertimu!” imbuhnya.

Najwa memutar bola matanya malas, lalu dia melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul tujuh tiga puluh menit. Lalu dia langsung berlari meninggalkan pria sombong tadi karena takut tidak diperbolehkan masuk ruangan ujian.

“Woii, gadis jelek, beraninya kamu mengabaikanku!” teriak pria itu, lalu pria itu melirik motor Najwa dan timbullah keisengan di otaknya.

“Oh ini motor butut si jelek tadi. Pasti dia orang miskin ‘kan, aku kerjain saja dia.” ucap Pria itu lalu menjalankan aksinya. Pria bernama Harlan itu mengempesi ban motor Najwa lalu dia menendang ban itu dengan puas.

“Rasakan karena berani memprovokasi aku.” ucap Harlan lalu dia berjalan dengan tenang menuju kelasnya.

Sampai di ruang kelas, pria tampan dan agak Bengal itu duduk di belakang Najwa, gadis lugu itu pun kaget ketika melihat Harlan memasuki ruang kelasnya. Dia jarang sekali melihat wajahnya di kelas ini apa dia anak pindahan.

***

“Kita bertemu lagi, gadis kampungan,” bisik Harlan.

Najwa tidak mempedulikan pria itu, dia sibuk dengan mengerjakan lembar soal ujiannya. Lebih baik fokus mengerjakan ujian daripada meladeni pria tengil itu. Sepanjang waktu ujian pria itu selalu usil ngerjain Najwa, mulai dari menendang kecil kursi Najwa, menjepretkan karet ke arah Najwa, hingga menarik kerudung yang dipakai oleh Najwa.

“Waktu kurang lima menit lagi, selesai tidak selesai kumpulkan lembar jawaban kalian,” ucap Dosen.

“Baik, Bu,” ucap para mahasiswa itu kompak.

“Alhamdulilah akhirnya selesai juga.” ucap Najwa lalu maju berdiri dan ingin maju ke depan mengumpulkan lembar jawaban tulisannya. Tapi tiba-tiba dia jatuh dan disoraki seluruh mahasiswa yang ada di kelasnya.

“Aduh,” rintihnya setengah malu karena bisa terjatuh saat akan berjalan ke depan. Semua teman-temannya menyorakinya yang terjatuh, terlebih Harlan yang ada di belakangnya dia tertawa dengan puas melihat Najwa menjadi bahan tertawaan orang.

“Mampus kamu, makanya jalan hati-hati,” ledek Harlan.

“Tenang semuanya.” bentak Dosen seraya menggebrak mejanya. “Najwa kamu tidak apa-apa ‘kan?” tanya Dosen itu.

“Tidak apa-apa, Bu.” jawab Najwa lalu berdiri maju ke depan.

Najwa memberikan lembar jawaban ke Dosen lalu keluar kelas, dia menggerutu kesal karena hari ini menemui kesialan. “Mimpi apa aku semalam, bisa menemui nasib buruk seperti ini,” gerutunya.

Najwa seperti biasa ke perpustakaan menemui sahabatnya Zoya Permata, mereka adalah sahabat dari semester satu masuk ke universitas ini.

“Kenapa wajahmu ditekuk saja?” tanya Zoya saat Najwa duduk di sampingnya.

“Apes banget tahu hari ini, sudah bangun kesiangan, di parkiran ketemu cowok aneh, saat mengerjakan ujian juga tidak konsen karena ternyata cowok itu satu kelas denganku,” jawab Najwa.

“Apa cowok itu mengganggumu?” tanya Zoya lagi.

“Iya, dia menggangguku sepanjang ujian tadi, kesel banget aku jadinya,” balas Najwa.

Zoya terkekeh kecil mendengar curhatan Najwa, tidak biasanya dia berurusan dengan lawan jenis seperti ini. Sekali berurusan dengan lelaki langsung mendapatkan yang jahil dan membuatnya sampai badmood seperti ini.

“Jangan menggerutu terus, nanti kamu jatuh cinta padanya loh,” ledek Zoya.

“Idih amit-amit jatuh cinta pada lelaki tengil model begitu,” jawab Najwa.

Ya, Najwa yang merupakan anak ustad dan juga guru madrasah di yayasan sang ayah ketika sore hari itu, tentu saja mendambakan pasangan hidup yang tahu agama juga, tidak tengil dan tidak tahu adab seperti Harlan. Ketika bertemu dengan Harlan yang tengil dan badung itu membuatnya kesal setengah mati hari ini, bisa-bisanya ada lelaki model Harlan di dunia ini.

“Eh, asal kamu tahu ya, aku juga tidak sudi sebenarnya berurusan denganmu,” ucap Harlan yang tiba-tiba nongol di hadapan mereka.

“Apa kamu mengikuti kami ke sini?” tanya Najwa.

“Idih pede sekali kamu cewek kampungan, sudah dandanan kampungan begitu, mana aku tertarik pada cewek kek kamu itu, seleraku ini tinggi tahu,” jawab Harlan.

Pernyataan Harlan seperti ini membuat Zoya mendidih darahnya dan mengumpat kasar kepada Harlan, dia tidak terima sahabatnya diledek seperti ini, bukankah sama saja ini merendahkan Najwa yang berpenampilan menutup aurat seperti ini.

“Cukup!” Bentak Zoya dan menatap Harlan tajam, “Menutup aurat bukan berarti kampungan, kamu jangan keterlaluan!” seru Zoya.

“Kamu dan teman kamu itu sama-sama kampungan, lihatlah banyak perempuan cantik di kampus ini penampilan mereka nyentrik, enak dipandang, nggak seperti kalian!” balas Harlan.

“Soal penampilan itu urusan mereka, Najwa ini anak ustad, guru madrasah kalau sore hari, memang terbiasa berpenampilan tertutup, tidak pantas kamu menghinanya,” ucap Zoya.

“Alah, sok suci banget jadi orang!” seru Harlan.

Terjadi adu debat antara Harlan dan Zoya, tapi Najwa melerai mereka dengan mengajak Zoya pergi, tidak baik di dengar orang ribut-ribut begini, apalagi masih ada satu kelas lagi mengikuti ujian. Lebih baik mempersiapkan diri untuk ujian berikutnya daripada ribut tidak jelas dengan lelaki tidak normal seperti Harlan.

“Najwa, kenapa kamu harus mengajakku pergi, lelaki seperti dia jangan didiamkan, harus diberi pelajaran!” tegas Zoya yang masih kesal.

“Biarkan saja, kalau kita ladeni jadi ikut gila,” balas Najwa.

“Kamu jangan terlalu baik, nanti kamu semakin ditindas oleh lelaki model dia, lagipula dia itu jarang masuk kampus,” ucap Zoya kesal.

Najwa menyunggingkan senyuman kepada Zoya, dia yang tidak terbiasa ribut dengan orang memilih diam dan pergi begitu saja ketika ada orang mengusiknya. Menurut Najwa meladeni orang yang mengganggunya itu sama saja dengan mencari keributan, lebih baik diam, dan mendoakan agar orang itu menjadi lembut hatinya dan tidak melakukan hal merugikan orang lain lagi.

“Sudahlah, ayo kita masuk kelas, fokus mengerjakan ujian,” ajak Najwa.

“Baiklah, nanti traktir aku ya,” balas Zoya.

“Oke,” ucap Najwa.

Kali ini Najwa memilih tempat yang kanan dan kirinya sudah ada orangnya. Dengan tujuan dia tidak berdekatan dengan si tengil Harlan. Tapi sepertinya usahanya sia-sia Harlan meminta orang yang duduk di sebelah Najwa untuk pindah tempat agar dia bisa bersebelahan dengan Najwa.

“Hai, cewek kampungan, ketemu lagi.” ucap Harlan sambil melambaikan tangannya.

“Kenapa kamu terus menggangguku?” tanya Najwa.

“Karena kamu memang pantas di ganggu, wanita kampungan sok suci,” balas Harlan.

Ingin membalas perbuatan Harlan, tapi Dosen sudah masuk ke ruangan dan segera membagikan lembar soal kepada mahasiswa, Najwa langsung menghela nafas dan merapal doa agar bisa fokus mengerjakan ujian kedua ini dengan tenang tanpa gangguan dari Harlan.

“Serius banget, sih,” goda Harlan yang melihat Najwa serius mengerjakan soal ujian.

Najwa hanya melirik saja lalu kembali mengerjakan soal ujiannya, tiga puluh menit dia sudah selesai mengerjakan soal ujian lalu pergi meninggalkan kelas, dia bersyukur bisa selesai lebih awal dan terhindar dari gangguan Harlan. Saat sampai parkiran dia dikejutkan dengan ban motornya yang kempes.

“Masyaallah, siapa yang tega melakukan ini,” ucap Najwa gelisah dia panik karena melihat ban motornya kempes, karena dia harus berjalan jauh untuk menemukan bengkel di sekitar kampus ini.

“Najwa, kenapa kamu sepertinya ada masalah?” tanya Zoya.

“Ini ada yang iseng mengempesi ban motorku,” jawab Najwa yang terlihat panik.

“Bengkel di sini kan jauh, iseng banget pakai kempesin ban motor orang segala,” gerutu Zoya kesal.

“Astagfirullahaladzim,” ucap Najwa kemudian sambil menghela nafasnya pelan. Daripada marah dia lebih baik bergegas mendorong motornya menuju bengkel terdekat, walau lumayan ngos ngosan mendorong motornya, Najwa mau tidak mau harus melakukan itu.

Zoya menemani Najwa berjalan kaki mendorong motornya. Dia tidak ingin sahabatnya itu kesusahan sendirian mendorong motor dari kampus ke bengkel.

Bengkel sudah terlihat, tiba-tiba ada sebuah motor melaju cepat melewati kubangan dan mengenai baju Najwa dan Zoya. Alhasil mereka berteriak karena kaget, sudah capek, panas, keringatan dorong-dorong motor dan haus ada saja ujian yang menimpa mereka.

“Astagfirullahaladzim, cobaan apa lagi ini,” ucap Najwa dan Zoya bersamaan.

“Mampus kalian berdua, gadis kampungan!” seru Harlan lalu melajukan motornya lagi.

“Siapa lelaki yang mengendarai motor warna hijau itu?!” teriak Zoya yang melihat kearah depan, “Kutandai kau, ya. Kalau ketemu lagi akan aku tampol mukanya,” umpat Zoya.

“Sudah Zoya, jangan marah hanya karena hal sepele seperti itu, ayo aku belikan minum, di depan ada bengkel dan sebelahnya ada yang jual jus buah,” ucap Najwa.

“Amit-amit ketemu manusia seperti itu lagi, aku akan cincang nanti kalau ketemu lagi. Apa dia satu kampus dengan kita?” tanya Zoya kesal.

“Aku juga tidak tahu, karena tidak melihat wajahnya secara langsung,” jawab Najwa.

Najwa dan Zoya sudah berada di bengkel, setelah memompa ban dan membayarnya. Mereka mampir ke tukang jus buah, sesuai janjinya Najwa yang mentraktir Zoya minum jus karena sudah menemaninya mendorong motor dari kampus ke bengkel tambal ban. Berkat Zoya sahabatnya itu, Najwa tidak kecapekan mendorong motor sendirian.

“Alhamdulillah, segar sekali,” ucap Zoya.

“Terima kasih ya Zoya sudah menemaniku saat susah tadi,” balas Najwa.

“Ah kaya sama siapa saja kamu ini,” ucap Zoya sambil menyeruput es buahnya, “Tapi ngomong-ngomong, kira-kira siapa yang pelaku yang mengempesi ban motormu itu?” tanya Zoya sambil mangut-mangut, selama ini tidak pernah ada kejadian seperti ini, apakah ada orang yang tidak suka dengan Najwa.

“Entahlah aku merasa tidak punya musuh.” jawab Najwa sambil menyedot jus buahnya.

Zoya menggelengkan kepalanya, Najwa orang yang alim di tempat dia tinggal orang memanggilnya ustazah karena dia guru madrasah. Selama Zoya mengenal Najwa juga tidak pernah yang aneh-aneh perilakunya, semua terlihat baik dan sopan saja.

“Sudah jangan dipikirkan lagi, ayo aku antar kamu pulang, maaf ya gara-gara aku kamu jadi kecapekan,” ucap Najwa.

“Tidak apa-apa, kalau bukan aku siapa lagi,” ucap Zoya sambil tertawa.

Najwa sudah mengantar Zoya pulang, dia bergegas menuju rumahnya. Seperti biasa ketika sore hari Najwa ke madrasah untuk mengajar anak-anak. Entah kenapa perasaannya tidak enak. Selesai mengajar seperti biasa, merapikan kelas.

Najwa melihat masih ada satu santrinya yang belum pulang, dia bernama Fatimah, anak yang cantik dan cerdas itu bisanya sudah dijemput oleh ibunya. Tapi kenapa hari ini ibunya telat menjemput anak cantik itu.

“Fatimah, ibumu belum menjemput?” tanya Najwa lembut.

“Hari ini om yang akan menjemputku, karena ibu sedang sakit,” jawab Fatimah.

“Ya sudah, ustazah tunggu di sini ya,” ucap Najwa menemnari santrinya.

“Terima kasih ustadzah,” balas Fatimah.

Najwa mengangguk dan membelai lembut kepala Fatimah, dia dengan setia menemani Fatimah sampai ada yang menjemputnya. Dari kejauhan sebuah mobil menuju madrasah itu, orang dari balik mobil itu memperhatikan dengan seksama madrasah, hingga menemukan sang keponakan duduk bersama seorang perempuan.

“Itu adalah Fatimah keponakanku, mungkin di sampingnya adalah ustadzahnya,” gumam Pria itu.

Tapi semakin dilihat dengan seksama dia seperti kenal dengan ustadzah sang keponakan. Matanya membulat seakan tidak percaya, dia mengucek matanya mencoba memastikan siapa yang dia lihat.

“Itu, bukankah dia adalah wanita kampungan yang ada di kampus?” gumamnya lagi.

Saking penasaran, Harlan mendekatkan mobilnya hingga masuk halaman madrasah. Dia turun dari mobil dan berjalan menuju sang keponakan.

“Fatimah,” panggil Harlan.

“Om Harlan.” panggil Fatimah lalu berlari mendekat ke Harlan.

Harlan memeluk keponakan kesayangannya itu, “Maafkan om ya, telat jemput, tadi om harus anter ibumu berobat dulu baru jemput kamu, ayahmu ‘kan masih di luar kota,” ucap Harlan kemudian.

“Bu Ustadzah, Fatimah pamit pulang dulu ya, sudah dijemput sama om,” ucap Fatimah sambil melambaikan tangannya.

“Hati-hati ya, Fatimah.” balas Najwa sambil melambaikan tangannya juga.

Harlan menatap sengit ke arah Najwa, kenapa dia begitu tidak beruntung bertemu dengan Najwa lagi saat menjemput keponakannya. Dia menyipitkan matanya saat melihat Najwa tersenyum ke arah ponakannya, “Ternyata dia cantik juga,” gumam Harlan.

“Om, kenapa diam saja, ayo kita pulang,” ucap Fatimah.

“I-iya sayang,” ucap Harlan terbata.

“om, naksir ya sama Bu Ustadzah,” ledek Fatimah.

“Idih ngapain om naksir sama cewek kampungan seperti itu,” ucap Harlan sengaja dengan keras agar Najwa mendengarnya.

“Om, tidak boleh begitu, Bu Ustazah baik hati loh, anak pemilik yayasan ini,” balas Fatimah.

“Udahlah, mau anak yayasan kek, dia bukan selera om,” ucap Harlan yang tengil itu.

Harlan langsung menggendong Fatimah dah membuka pintu mobil, dia segera melajukan mobilnya keluar dari yayasan madrasah tempat keponakannya menimba ilmu agama. Najwa hanya mengelus dadanya, mendengar ucapan Harlan yang tengil itu. Menurut Harlan Najwa memang berpenampilan kampungan karena memakai pakaian yang longgar dan jilbab panjang.

“Huft, kenapa ketemu dia lagi,” keluh Najwa.

“Kamu bertemu siapa?” tanya Abah.

“Abah, tidak kok, itu cowok tengil di kampus Najwa, ternyata dia om dari santri yang sekolah di sini,” jawab Najwa.

“Apa dia mengganggumu?” tanya Abah.

“Iya, dia mengatai Najwa kampungan dan bukan seleranya,” jawab Najwa.

“Hahaha … Kamu ingat perkataan abah ya, pasti suatu hari dia akan jatuh cinta padamu,” ucaP Abah sambil tertawa megelus jenggotnya yang panjang.

“Ih abah, amit-amit punya suami macam dia.” balas Najwa sambil berlalu meninggalkan abahnya.

Yah namanya jodoh mana ada yang tahu, awalnya saling membenci tahu-tahu saling mencinta, awalnya saling cinta tahu-tahu saling benci. Allah maha membolak-balikkan hati manusia.

***

Di tempat lain saat malam hari, ketika Harlan akan memejamkan matanya, dia menjadi susah tidur karena kepikiran wajah Najwa terus, dia membolak balikkan badannya ke kanan dan ke kiri. Tapi tetap sama, dia tidak bisa tidur, dn selalu terbayang wajah Najwa.

“Sial!” umpat Harlan kesal lalu melempar gulingnya ke arah pintu, sang mama yang ingin berbicara kepada Harlan dan membuka pintu menjadi terkena guling itu.

“Harlan ada apa denganmu?” tanya Mama.

“Ma-ma, ada apa malam-malam begini ke kamarku?” tanya balik Harlan. “Aku hanya kesal saja,” jawab Harlan yang salah tingkah.

Sang mama menghembuskan nafasnya pelan, mungkin Harlan lagi kesal dengan seseorang. Dia duduk di pinggir kasur Harlan dan menatap wajah anaknya dengan seksama.

“Apa yang membuatmu kesal?” tanya Mama. “Mama ke sini, hanya ingin menyampaikan pesan dari kakakmu yang minta tolong antar jemput Fatimah ke madrasah selama dia masih sakit, kalau pagi mama yang antar Fatimah ke sekolah,” ucap Mama.

Kalau mengantar Fatimah ke sekolah pada sore hari, dia pasti akan bertemu dengan gadis kampungan itu hampir setiap hari. Di kampus bertemu dan sore hari bertemu lagi, jantung Harlan tiba-tiba berdegup kencang mengingat senyuman manis di wajah Najwa sore tadi.

“Argh,” ucap Harlan sambil memegangi kepalanya.

“Harlan, kamu belum menjawab pertanyaan mama malah seperti orang kesurupan begini,” ucap Mama panik.

“Mama, maafkan aku, aku bertemu cewek kampungan hari ini, dan ternyata dia adalah ustadzah Fatimah, Harlan tidak bisa melupakan wajahnya yang kampungan itu saat menabrak Harlan di kampus tadi,” jawab Harlan yang keceplosan, dia menutup mulutnya dengan kedua tangan.

Mama mengernyitkan dahinya, dia lalu tersenyum. Apakah Harlan sedang jatuh cinta kepada sang Ustadzah? Selama ini dia sering bergonta-ganti pacar tapi biasa saja tidak sampai kebawa pikiran seperti ini, dan perempuan yang selalu diajak main ke rumah itu adalah wanita tidak jelas dan berpenampilan buruk.

“Harlan, mama rasa kamu jatuh cinta pada Ustadzah,” ledek Sang mama.

“Tidak, Ma. Lihat dong cewek-cewek yang dekat dengan Harlan, penampilan trendy, style, tidak malu-maluin kalau diajak ke mana-mana, nah Ustadzah Fatimah itu, ke kampus saja pakai pakaian kuno kok,” balas Harlan.

“Tidak usah menyangkal lagi, tidurlah sekarang, mulai besok kamu antar itu Fatimah ke madrasah,” ucap Sang Mama.

“Iya Ma,” ucap Harlan lalu segera tidur.

Mama sudah keluar dari kamar Harlan, sepertinya dia sangat senang ketika mendengar Harlan ada sedikit tertarik pada Ustadzah Fatimah di madrasah. Mendingan mempunyai menantu seorang ustadzah daripada Harlan memacari para perempuan tidak benar itu, mereka hanya mau harta Harlan saja yang banyak. Harlan adalah anak dari pengusaha mebel yang cabangnya ada di mana-mana, karena dia anak lelaki pastilah nanti usaha itu akan jatuh ke tangannya.

Sedangkan kakak perempuannya sudah kebagian satu butik yang kini dikelola sendiri, suami dari kakaknya adalah seorang pegawai BUMN.

***

“Tumben itu anak, pagi-pagi sudah rapi?” ucap Hani.

Hani adalah Kakak Harlan yang menginap di rumah orang tuanya karena sakit dan suaminya sedang dinas luar kota.

“Mungkin karena di kampus ada wanita yang dia taksir,” jawab Sang Mama.

“Perempuan seperti apa lagi yang dia taksir, selama ini yang dia ajak main ke rumah semuanya tidak benar,” balas Hani.

“Hust, kali ini dia naksir sama Ustadzahnya Fatimah yang mengajar madrasah,” bisik Mama.

“Ah, masa iya sih, Ma? Selera Harlan tidak seperti itu loh,” balas Hani.

“Semalam saja, dia sampai tidak bisa tidur memikirkan Ustadzahnya Fatimah,” bisik Mama.

Mereka berdua asyik bergosip sampai tidak tahu kalau Harlan sudah ada di belakang mereka. Saat Harlan menyapa mereka, kagetlah ibu dan anak yang sedang asyik bergosip itu. Mereka berbarengan mengucap, “Astagfirullahaladzim,”

“Sudah gosipnya?” tanya Harlan sewot.

“Eh, siapa yang gosip?” jawab Hani salah tingkah.

“Apa kakak kira Harlan ini tuli, dih Ustadzah apaan, perempuan kampungan seperti itu, bukan selera Harlan,” balasnya.

“Jangan seperti itu, kalau tidak tertarik, kenapa sampai kepikiran tidak bisa tidur,” ledek Mama.

Wajah Harlan memerah karena malu, dia segera pergi meninggalkan Mama dan Kakaknya setelah mendapatkan uang saku. Harlan terus mengumpat kesal, gara-gara kepikiran wajah Najwa dia sampai tidak bisa tidur hampir tengah malam. Ada apa dengannya, selama ini dia selalu memainkan banyak para wanita, setelah bosan dia akan berganti pasangan lagi. Kenapa saat berhadapan dengan Najwa dia sampai seperti kehilangan kendali seperti ini.

***

“Dih, apes banget sih aku ketemu perempuan kampungan kek kamu lagi,” umpat Harlan.

“Jaga mulutmu itu, memangnya siapa juga yang mau bertemu dengan lelaki tengil seperti kamu.” balas Najwa lalu berlalu dan pergi.

“Jangan sok kecakepan deh kamu, banyak wanita yang menggandrungi ketampanan dan kekayaanku,” ucap Harlan.

“Mereka adalah para wanita bodoh, walau kampungan begini seleraku bukan kamu.” balas Najwa berhenti sejenak dari jalannya lalu melanjutkan perjalanan.

Harlan mengepalkan tangannya kesal, dia tidak terima dengan pernyataan Najwa, kenapa cewek kampungan itu bisa bisa mengatakan dengan sombong kalau Harlan bukan seleranya. Dia kemudian tertawa dan berpikir kalau selera Najwa yang merupakan seorang ustadzah itu adalah lelaki dari pesantren sama seperti dirinya.

“Aku jadi penasaran, seperti apa lelaki yang menjadi seleramu.” gumam Harlan sambil berjalan menuju kelasnya.

***

Ujian dimulai, lagi-lagi Harlan duduk di dekat Najwa, walaupun sebelumnya bangku itu sudah diduduki oleh orang lain, dia mengusirnya atau memberinya beberapa uang untuk pindah, dia menjadi senang mengerjai Najwa, entah bagaimana awalnya yang jelas dia selalu ingin duduk dekat bangku Najwa.

“Apa kamu kurang kerjaan, hah?!” bentak Najwa karena kesal.

“Dih, gitu doang emosi, jangan-jangan saat mengajar keponakanku kamu juga galak seperti ini, aku akan menuntutmu karena mengajar di madrasah menakuti anak kecil,” bisik Harlan.

“Tidak ada sangkut pautnya dengan cara mengajarku di madrasah. Kalau tidak tahu apa=apa kamu lebih baik diam, atau kamu akan malu sendiri,” ucap Najwa.

Najwa kembali fokus ke lembar soal ujiannya, lalu dia sudah selesai dan segera mengumpulkan lembar jawaban pada Dosen. Zoya sudah menunggunya di luar kelas, mereka janjian ke kantin untuk mengisi perut sekalian belajar untuk ujian selanjutnya.

“Bagaimana ujianmu hari ini, apakah lancar?” tanya Zoya.

“Alhamdulilah lancar,” jawab Najwa.

Tapi aku jadi risih, lelaki bernama Harlan itu selalu berada di dekatku,” batin Najwa.

“Hei, ada apa denganmu? Apa tidak enak badan?” tanya Zoya sambil melambaikan tangan di depan wajah Najwa.

Najwa menjadi gelagapan karena tidak fokus mengobrol dengan Zoya. Semua ini gara-gara lelaki tidak tahu aturan yang selalu mengganggunya itu.

“Astagfirullahaladzim,” ungkap Najwa lalu mengusap wajahnya.

“Aku tidak apa-apa Zoya, hanya saja ada lelaki yang menggangguku akhir-akhir ini,” jawab Najwa.

“Lelaki yang mana?” tanya Zoya geram. Tidak ada lelaki yang berani mengganggu Najwa sebelumya, itu karena dia selalu bersikap sopan kepada siapa saja. Seorang anak ustad pendiri yayasan madrasah sekaligus seorang ustadzah yang membantu mengajar mengaji di yayasan itu mana mungkin berani menyukai seorang lelaki di kampus.

Zoya menjadi penasaran dengan lelaki yang mengganggu Najwa. Apakah dia seorang lelaki sholeh yang mengenal agama seperti Najwa.

“Dia satu kelas denganku, tapi jarang masuk kelas, saat ujian saja dia datang, tapi entah kenapa dia terus menggangguku,” balas Najwa.

“Jangan-jangan dia naksir kamu lagi,” jeblak Zoya.

“Amit-amit aku menyukai perempuan kampungan seperti itu, jangan kegeeran deh kamu, ya,” sahut Harlan yang tiba-tiba sudah berada di belakang mereka berdua.

Zoya menoleh ke sumber suara tersebut. Sesaat dia terpana dengan ketampanan Harlan, tubuhnya tinggi tegap, hidung mancung, dan apa yang dia kenakan dari ujung ke ujung semuanya branded. Pasti dia adalah anak orang kaya. Tapi gayanya sungguh tengil, berani sekali mengatai kalau Najwa adalah perempuan kampungan.

“Jaga ucapanmu baik-baik ya, dari mana dia bisa dikatakan kampungan? Apa karena dia menggunakan jilbab besar dan bajunya yang longgar, hah?!” bentak Zoya.

“Aduh jangan marah dong, memang kenyataannya seperti itu kok, dia sangat kampungan, tidak seperti seleraku yang tinggi,” balas Harlan.

Zoya sudah gatal mulutnya untuk membantah ucapan Harlan yang tengil itu. Najwa menutup mulut Zoya untuk tidak menimpali Harlan yang memang sengaja membuat ulah. Dia akan senang kalau lawannya akan marah, entah apa tujuannya saat ini selalu mengganggu Najwa.

“Sudahlah Zoya kamu akan ikut gila kalau menanggapi orang seperti itu,” ucap Najwa.

“Tapi dia sudah merendahkanmu,” balas Zoya.

“Ayo kita makan saja, kita sudah lapar, biarkan Allah yang akan membalas perbuatan jahatnya itu,” ucap Najwa.

Zoya menuruti saja apa kata Najwa, lelaki yang tidak bermoral itu tersenyum meledek ke arah Zoya dan juga Najwa. Dia sangat puas bisa mengerjai Najwa terus terusan. Tak lama kemudian tiga orang wanita berpakaian sexy mendekati Harlan. Mereka adalah para mahasiswa jurusan seni sekaligus fans fanatic Harlan yang terkenal tampan dan juga tajir sebagai anak dari pengusaha mebel di kota ini.

“Harlan, kemana saja kamu tidak masuk kampus?” tanya Perempuan itu sembari menempel pada Harlan.

“Apa kamu tidak tahu kalau kami merindukanmu,” ujar Perempuan satu lagi dia juga bergelendotan di tangan sebelah kiri Harlan.

“Kenapa tidak memberi kabar padaku, apa kamu sudah bosan padaku?” rengek Perempuan satu lagi kali ini dia berada di depan Harlan.

Pemandangan yang sangat menjijikkan bagi Najwa dan Zoya, mereka sangat mual dengan tingkah para perempuan itu. Kenapa harus merendahkan diri di depan lelaki tengil seperti Harlan ini, pantas saja dia selalu mengatai Najwa sebagai perempuan yang kampungan. Lah orang selera Harlan adalah perempuan berpenampilan terbuka dan sangat seperti itu.

Mereka juga menggunakan barang serba branded seperti Harlan, berbeda dengan Najwa yang berpenampilan sederhana apa adanya walaupun ayahnya cukup kaya.

“Minggir kalian semua, membuatku gerah saja!” tegas Harlan yang tidak seperti biasanya.

“Harlan, kenapa kamu mengabaikan kami?” tanya Para perempuan itu kompak.

“Aku tidak sudi disentuh oleh kalian lagi, menjijikkan.” jawab Harlan lalu pergi meninggalkan mereka bertiga.

“Harlan tunggu!” teriak salah satu dari mereka lalu menyusul Harlan.

“Apa kalian lihat-lihat, dasar kampungan!” bentak Salah satu dari mereka ke arah Najwa dan Zoya.

Najwa dan Zoya hanya tertawa melihat tingkah mereka yang merendahkan diri di depan lelaki seperti itu. Apa pantas perempuan menggoda lelaki dan mengejarnya seolah mereka ini murahan sekali. Kedua sahabat itu tertawa setelah mereka pergi dari pandangan mereka.

“Iya kami memang kampungan, setidaknya kami ini perempuan mahal,” ucap Zoya.

“Kami tidak mengejar cinta lelaki tengil seperti itu,” imbuh Najwa.

Najwa dan Zoya bersamaan tertawa dengan tingkah para perempuan yang mengejar cinta lelaki seperti Harlan itu. Mereka berpikir entah apa istimewanya cowok menyebalkan itu.

***

Harlan ngumpet di toilet kampus, dia memukulkan tangannya ke tembok. Dia menyesali perbuatan para wanita itu yang mengerubunginya di depan Najwa. Pikirannya saat ini selalu terlintas oleh Najwa.

Apa yang ada dipikiran wanita kampungan itu terhadapku sekarang ya,” gumam Harlan dalam hati.

“Ahh … Sial, kenapa aku terus kepikiran wanita kampungan itu, memangnya siapa dia, wanita seperti itu bukanlah seleraku.” umpat Harlan lalu memukulkan tangannya ke tembok lagi.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Wahyu teman Harlan.

“Eh, Wahyu, aku hanya menghindari beberapa wanita yang mengejarku, kamu tahu sendiri lah aku ini adalah lelaki tampan pujaan para wanita,” jawab Harlan ngasal aja.

Wahyu hanya menyunggingkan senyuman saja, Harlan memang terkenal tampan dan sering bergonta-ganti pacar, apalagi dia anak orang kaya, wanita mana yang tidak ingin menjadi kekasihnya. Semua wanita memang sama, selalu mengejar pria yang mempunyai uang, tampan adalah bonus.

“Segeralah bertaubat, pilih satu wanita yang kamu sukai lalu serius untuk menikahinya, kamu ‘kan mapan dan tampan, sebentar lagi kita juga sudah lulus kuliah,” nasehat Wahyu.

“Aku belum menemukan wanita yang srek dijadikan istri, kebanyakan mereka hanya menginginkan hartaku saja, atau mengagumi ketampananku,” ucap Harlan.

Lelaki itu tiba-tiba mengenang beberapa wanita yang sempat ia kencani dalam waktu dekat ini. Para perempuan itu mendekati Harlan karena populer.

Yah mereka semua mendekati Harlan karena ada tujuan yakni, mereka bangga berkencan dengan Harlan yang tampan dan kaya, sehingga bisa menikmati makan mewah gratis juga meminta banyak hadiah kepada Harlan sebagai wanita yang dikencaninya.

“Aku tahu, tapi kamu sudah tidak muda lagi, kalau ada yang kamu sukai, apalagi wanita itu adalah wanita yang baik, langsung saja melamarnya,” ucap Wahyu.

“Ah kamu bisa aja, kamu sendiri ada wanita yang kamu sukai tidak?” tanya Harlan.

“Ada dong, setelah lulus kuliah aku ingin melamarnya,” jawab Wahyu dengan semangat.

Wahyu juga merupakan anak dari seorang pengusaha dan dia juga akan mewarisi usaha ayahnya, dia dulu sekolah di pondok yang sama dengan Najwa, tentu saja dia menginginkan Najwa menjadi istrinya, dia selalu memendam isi hatinya dan menjaga pandangan hanya untuk Najwa seorang.

“Kok jadi melamun sih, apa kamu membayangkan hal yang jorok tentang wanita yang kamu sukai?” tanya Harlan sambil merangkul Wahyu.

“Tidak kok, tapi aku bahagia kalau sampai impianku menikahinya akan terwujud,” ucap Wahyu.

Mereka berdua keluar dari toilet dan akan menuju kelasnya masing-masing, di tengah jalan dia bertemu dengan Najwa dan Zoya, karena mereka saling kenal sebelumnya Najwa menyapanya lebih dulu.

“Wahyu, ternyata benar ya, kamu pindah ke kampus ini? Apa kabar, Wahyu?” sapa Najwa.

“Oh iya, kenalkan ini adalah sahabatku namanya, Zoya,” imbuh Najwa.

“Iya, ayah yang memintaku pindah kampus,” jawab Wahyu.

“Kabarku seperti yang kamu lihat sekarang, aku sehat-sehat saja, salam kenal ya, Zoya,” imbuh Wahyu.

Mereka mengobrol sekedar membicarakan masa lalu, tidak lama sih soalnya kan sudah mendekati waktu untuk masuk kelas ujian. Jantung Harlan bergemuruh hebat melihat keduanya tampak akrab satu sama lain, entah kenapa dia tidak suka saja melihat Najwa dan Wahyu terlihat saling menyukai.

“Ya sudah, aku ke kelasku dulu, ya, Najwa, sampai jumpa lagi.” ucap Wahyu sambil melambaikan tangannya.

“Oh iya, sampai jumpa nanti.” balas Najwa membalas lambaian tangan Wahyu lalu dia tersenyum.

“Dih, gatel banget kamu sama lelaki, aku kira seorang ustadzah itu bisa menundukkan pandangan, tapi ternyata aku salah,” ucap Harlan.

“Dia temanku waktu di pondok, dan kami saling mengenal, kami hanya bertukar kabar tidak lebih dari itu.” balas Najwa lalu berpaling dan pergi meninggalkan Harlan.

Harlan hanya tersenyum, dia sedikit lega ternyata mereka hanya teman satu pondok, sepertinya dia sudah tahu jawaban dari hatinya yang resah tadi. DIa jatuh cinta pada Najwa yang berbeda dari wanita yang selalu mengelilinginya selama ini.

“Heh, aku peringatkan padamu, jangan lagi mengganggu Najwa, dia itu wanita yang baik.” ucap Zoya sambil menunjukkan jarinya ke wajah Harlan.

“Wanita baik, seorang ustadzah tidak terlihat bahagia ketika berbicara dengan lawan jenis seperti tadi.” balas Harlan lalu pergi meninggalkan Zoya.

“Heh, tunggu!” teriak Zoya, “Namamu Harlan ‘kan. Aku tidak akan tinggal diam kalau kamu terus mengusik ketenangan sahabatku!” ancam Zoya.

Harlan hanya nyengir kuda saat Zoya melayangkan ancaman itu, baginya itu tidak ngaruh. Memangnya Zoya bisa apa kalau Harlan mengganggu Najwa terus, itu adalah bentuk kesenangannya.

***

“Om, buruan anter Fatimah ke madrasah, soalnya sudah telat ini,” teriak Fatimah.

“Iya sebentar, om lagi pakai parfum,” jawab Harlan.

“Halah, om ini kaya mau ketemu pacar saja, ‘kan cuma anter Fatimah saja ke madrasah,” balas Fatimah.

“Aduh ponakan om ini kok bawel banget sih, ayo berangkat,” ucap Harlan.

Mereka berangkat menggunakan motor, sampai di madrasah. Hati Harlan bergemuruh kesal karena melihat Najwa bersama wahyu sedang asyik mengobrol dengan santai di depan madrasah.

Fatimah sudah pamit dan berlari ke kelasnya, sedangkan Harlan mendekati Wahyu dan Najwa yang sedang mengobrol itu.

“Harlan, apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Wahyu.

“Aku mengantar Fatimah,” jawab Harlan ketus.

“Oh anak kakakmu ya, mana dia, terakhir aku lihat dia waktu bayi,” ucap Wahyu.

“Sudah masuk kelas,” jawab Harlan. 

“Oh iya, aku hanya mau bilang, tidak pantas seorang ustadzah yang mengajar ngaji berdua-duan saja dengan lelaki yang bukan suaminya, nanti menimbulkan fitnah,” balas Harlan lalu melakukan kendaraannya pergi meninggalkan madrasah.

Ucapan Harlan membuat Wahyu dan Najwa canggung, perkataan Harlan ada benarnya juga. Tidak enak juga mereka mengobrol santai seperti ini dilihat banyak orang. Pasti akan menimbulkan fitnah dan bergunjingan yang tidak pasti. Apalagi mereka ini dikenal satu pondok pesantren dulunya. Mereka sudah sama sama dewasa dan mengerti ilmu agama.

“Maafkan aku, Wahyu. Aku harus segera masuk kelas dan mengajar anak-anak,” pamit Najwa.

“Baiklah Najwa, aku juga minta maaf karena tidak tahu waktu mengunjungimu saat sedang mengajar, aku takut orang lain salah paham,” balas Wahyu.

“Assalamualaikum,” pamit Najwa.

“Walaikumsalam,” balas Wahyu lalu mereka pergi ke tujuan masing-masing.

Di tempat berbeda di waktu yang sama. Harlan mengumpat kesal karena dia merasa tidak suka Wahyu berdekatan dengan Najwa sepertinya dia harus bergerak cepat untuk mengikat Najwa di sisinya. Tapi dia masih gengsi karena dia selalu mengatakan kalau Najwa itu wanita kampungan dan tidak pantas berada di sisinya, tapi dilihat dari jauh maupun dekat ternyata Najwa itu adalah wanita yang cantik dan lembut. Wajahnya tidak kalah dengan para wanita yang selalu mendekatinya. Hanya saja penampilannya tidak kekinian.

“Aku harus menjauhkan Wahyu dengan Najwa,” gumam Harlan.

“Bagaimanapun caranya, aku harus mendapatkan hati Najwa,” imbuh Harlan.

Dia menjadi resah dan gelisah lau mondar mandir di depan kamarnya. Mamanya yang melihatnya seperti itu tidak seperti biasanya menjadi penasaran dan melayangkan pertanyaan.

“Apa yang membuatmu resah seperti ini?” tanya Sang Mama.

“Tidak ada apa-apa,” jawabnya singkat. Tapi wajahnya tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya.

“Apa Bu Ustadzah itu sudah ada kekasih, atau ada orang yang mendekatinya?” goda Mama.

“Mama apaan sih, ini bukan tentang Ustadzah itu!” seru Harlan.

“Lalu kamu resah dan gelisah kenapa. Kamu tidak bisanya loh seperti ini,” balas Mama.

Harlan terdiam sebentar, dia malu mau mengatakannya. Dia sebenarnya cemburu saat Najwa berdekatan dengan Wahyu. Hatinya menjadi tidak tenang karena Wahyu bisa saja mendapatkan hati Najwa dan beneran menikah dengannya. Apalagi waktu di toilet kampus dia mengatakan sudah ada wanita yang dia sukai.

“Kenapa diam saja?” tanya Mama yang masih penasaran.

“Aku jatuh cinta dengan ustadzah di madrasah Fatimah, tapi temanku Wahyu ternyata dia dekat dengan dia,” jawab Harlan sambil nafasnya terengah-engah.

Mama menertawakan Harlan. Biasanya dia yang dikejar-kejar perempuan tapi kini dia jatuh cinta kepada seorang gadis yang jauh levelnya dari para perempuan yang biasa mengejarnya. Tentu saja jauh levelnya, para gadis urakan dan gadis yang didik dengan agama jauh lebih baik daripada para gadis liar yang biasa dipacari oleh Harlan itu.

“Kalau kamu mau, mama bisa melamarnya untukmu,” ucap Mama.

“Tidak perlu, aku akan mengejarnya sendiri, aku tidak percaya kalau aku tidak bisa menaklukan ibu ustadzah itu,” balas Harlan.

“Kalau begitu coba kamu buktikan pada mama, kalau kamu bisa mendapatkan hati ibu ustadzah yang lemah lembut itu,” ucap Mama.

Harlan mengangguk dan tersenyum sinis, dia setuju dengan ucapan mama dia akan membuktikan kalau bisa menaklukan hati Najwa. Tidak ada wanita yang tidak bisa ditaklukkan. Seorang playboy seperti Harlan ini lihat merayu para wanita.

“Mama, jangan meragukan kemampuanku ini,” balas Harlan.

“Kamu jangan samakan Najwa dengan para perempuan yang mudah digoda dan dibujuk rayu itu,” ucap Mama.

“Memangnya kenapa, toh mereka ini sama-sama perempuan loh ma,” sahut Harlan.

“Orang seperti Najwa itu punya batasan sendiri, dia mampu menjaga dirinya, tidak akan mudah tergoda oleh rayuan lelaki sepertimu,” jawab Mama.

Harlan menghembuskan nafasnya kasar, betul juga kata Mama tapi kalau tidak dicoba mana bisa, dia menjadi tertantang ingin segera mendapatkan hati Najwa yang katanya susah didapatkan itu. Tapi dia melihat dengan matanya sendiri kalau wanita itu sangat mesra dan ceria ketika bersama dengan wahyu. Harlan tidak mau kalah dengan Wahyu yang jarang sekali mendekati wanita, dia pasti juga bisa menaklukan hati Najwa.

Tepat pukul lima sore, Harlan menjemput Fatimah ke madrasahnya, kali ini Fatimah tidak ditemani oleh Najwa, padahal dia sengaja menjemput keponakannya itu telat agar bisa bertemu dengan Najwa. Hatinya agak kecewa karena yang menemani Fatimah bukan Najwa melainkan seorang lelaki tua yang akrab disapa Abah.

***

“Om, kenapa lama sekali menjemputnya?” keluh Fatimah agak ngambek.

“Maafkan om ya, tadi ada yang dikerjakan di rumah,” jawab Harlan sambil tersenyum.

“Alah biasanya om ‘kan rebahan doang di rumah, memangnya ngerjain apa, sih!” tegas Fatimah, gadis kecil itu melayangkan protes kepada sang paman karena telat menjemputnya dan sudah hafal bagaimana kelakuan sang om.

Harlan hanya nyengir kuda saja melihat tingkah ponakannya yang sudah bisa protes itu. Dia sedikit malu karena Fatimah mengatakan itu di depan orang tua cewek yang dia taksir, bagaimana kalau nanti dia tidak diterima sebagai menantunya karena hanya bisa rebahan di rumah.

“Em, adalah yang om kerjakan,Fatimah. Dimana ustadzah yang bisa menunggumu kalau telat dijemput?” tanya Harlan tanpa basa basi.

“Memangnya kenapa sih. Om naksir ya, sama ustadzah Najwa,” balas Fatimah.

Wajah Harlan mendadak memerah, sedangkan abah hanya senyum-senyum tipis saja. Sesekali dia memperhatikan Harlan dari ujung rambut sampai ujung kaki karena memang sepertinya pemuda itu sangat unik dan ada rasa kepada putrinya.

“Jangan ngawur kamu, Fatimah. Dia hanya teman kampus om saja,” ucap Harlan.

“Kalau naksir ngomong aja om. Nanti kalau diambil orang baru deh nyesel karena tidak menyatakan cinta,” gumam Fatimah asal ceplos saja.

Karena sudah terlanjur malu, Harlan akhirnya pamit kepada abah untuk segera pulang ke rumah membawa ponakan yang bawel itu. Abah memanggil Najwa yang bersembunyi di balik ruang kelas dimana tadi abah menunggu wali murid Fatimah datang menjemput.

“Abah, itu lelaki yang suka jahil pada Najwa kalau di kampus,” ucap Najwa.

“Kamu bilang dia jarang terlihat di kampus ya, terus saat kejadian kamu dan dia tak sengaja tabrakan di parkiran di jadi rajin datang ke kampus untuk mengganggumu terus ya?” tanya Abah.

“Iya, dan aku merasa jengkel dan jijik padanya, memangnya salahku apa. Lalu dia itu banyak sekali penggemarnya, cewek yang dandanannya sedikit nakal,” jawab Najwa.

“Abah paham, tapi sepertinya anak itu menjadi lebih baik setelah mengenalmu, nak,” balas Abah.

Najwa menjadi merah wajahnya, mana mungkin seorang Harlan menjadi berubah tipikalnya karena mengenalnya. Anak Bengal seperti dia mana mungkin bisa menjadi lebih baik, orang kalau ketemu Najwa saja bawaannya mengganggu dan menyakiti hati dengan perkataannya.

“Itu hanya perkiraan abah saja,” balas Najwa lalu pergi meninggalkan abahnya.

“Hehe, itu bentuk rasa sukanya padamu. Yah mungkin dia masih gengsi menyatakan cinta padamu,” ucap Abah sambil tersenyum dan mengelus jenggot putihnya.

Ketika malam tiba, Najwa menjadi tidak bisa tidur karena mengingat ucapan Abahnya. Dia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya, walau sudah berguling kesana kemari membalikkan badannya.

***

“Astagfirullah, kenapa aku menjadi memikirkan lelaki brandal itu,” ucap Najwa.

“Mungkin karena aku belum sholat isya, aku harus solat dulu supaya tidak terus kepikiran lelaki brandal itu karena ucapan Abah tadi sore,” imbuh Najwa lalu turun dari ranjangnya.

Najwa mengambil wudhu lalu dia melaksanakan shalat isya dengan khusyuk, tiba saatnya dia berdoa karena sudah selesai sholat. Tapi bayang-bayang Harlan terus memenuhi kepalanya, dia sampai menggelengkan kepala menolak membayangkan wajah Harlan.

“Ya Allah apa maksudnya ini,” ucap Najwa sambil mengusap wajahnya.

“Kamu kenapa Najwa, tidak biasanya resah dan gelisah seperti itu?” tanya Ummi saat masuk ke dalam kamar Najwa.

“Ti-dak, Ummi. Najwa hanya kepikiran satu hal saja,” jawab Najwa.

Ummi duduk di ranjang Najwa, lalu melambaikan tangan meminta Najwa untuk duduk di sampingnya, “Sini cerita pada Ummi ada masalah apa?” bujuk Ummi.

“Aku harus mulai darimana ya, Ummi,” jawab Najwa.

“Terserah kamu, Nak. Senyamannya saja kamu ceritakan,” balas Ummi sambil tersenyum.

Najwa duduk di samping Ummi lalu menceritakan duduk persoalannya, secara detail dari awal sampai saat ini tentang pertemuannya dengan Harlan. Lalu beberapa hari ini Wahyu sudah kembali dari perantauannya dan pindah ke kampus yang sama dengan Najwa.

“Waktu itu, aku sedang mengobrol dengan Wahyu lalu lelaki berandal bernama Harlan itu. Dia seperti orang kesetanan memisahkan kami berdua, agar tidak mengobrol lama,” ucap Najwa.

“Itu artinya dia menyimpan rasa untukmu,” balas Ummi.

“Tapi pria brandal itu, sangat menyebalkan. Mana mungkin aku harus menyukai dia, aku tahu pasti dia juga tidak paham agama,” ucap Najwa.

“Jangan melihat orang dari covernya saja,” ucap Ummi.

Najwa hanya menunduk, apakah benar jodohnya adalah seorang pria brandal yang tidak memenuhi tentang agama sama sekali. Daripada Harlan memang dia lebih memilih Wahyu yang satu pesantren dengannya. Sudah jelas kalau Wahyu itu mengerti soal agama dan cocok menjadi suami idaman para wanita.

“Ummi, bagaimana dengan Wahyu?” tanya Najwa.

“Wahyu anaknya Pak Soleh itu ya,” jawab Ummi.

“Iya,” sahut Najwa singkat, dia tersenyum pasti umminya akan menyetujui kalau Najwa menjalin hubungan dengan Wahyu teman satu pesantrennya dan dia adalah anak dari teman orang tuanya. Sikapnya sangat lembut dan juga dia sangat paham agama.

Ummi mencoba mengingat Wahyu, anak siapa dia dan bagaimana temperamennya. Tapi tiba-tiba Ummi mengingat sesuatu yang membuatnya menjadi berubah ekspresi dimana dia melihat Wahyu saat itu berbeda dengan Wahyu yang dia kenal dulu. Ummi memergoki Wahyu sedang berduaan dengan seorang wanita cantik dan berpakaian berani di sebuah kafe dan melakukan sesuatu tak senonoh. Mungkin itu akibat pergaulannya saat merantau di luar kota.

“Najwa, kamu coba saja membuat hati dengan om dari santri kamu itu, Ummi lihat orangnya baik,” ucap Ummi.

“Ummi, masa aku harus menjalin hubungan dengan lelaki brandal seperti itu sih. Memangnya dia baik di lihat dari mana sih?” tanya Najwa yang tidak terima. Dibanding Harlan bukannya wahyu jauh lebih baik darinya.

Ummi hanya tersenyum lalu berdiri dari duduknya, “Suatu hari nanti kamu akan tahu, kenapa Ummi berkata seperti ini,” ucap Ummi lalu pergi dari kamar Najwa.

Hati Najwa menjadi bimbang, kenapa Ummi mengatakan itu, memang ada pepatah yang mengatakan jangan lihat buku dari sampulnya saja, karena kita belum tahu isinya bagaimana. Begitupun dengan manusia, bisa saja yang terlihat jahat dan berandal dia memiliki sisi yang mulia atau sebaliknya. Ada seseorang yang terlihat alim, mengerti agama, tapi perilakunya buruk ke sesama manusia.

“Aku harus bagaimana?” gumam Najwa lalu merebahkan tubuhnya pada kasur empuk miliknya. Matanya terpejam tapi dia bermimpi kalau Harlan dan dia menjalin hubungan yang sangat harmonis hingga dia terbangun dari tidurnya yang ternyata hari menunjukkan sudah memasuki waktu subuh.

“Astagfirullah, mimpi apaan aku tadi,” ucap Najwa ketika terbangun lalu melihat jam di dinding kamarnya.

“Najwa, solatlah dulu. Lalu bantu Ummi memasak di dapur,” pinta Ummi.

“Baik Ummi,” jawab Najwa.

***

Selesai solat subuh Najwa membantu Ummi memasak di dapur, hari ini Ummi memasak banyak karena aka nada acara di madrasah nanti. Hari ini tepat dua puluh tahun didirikannya madrasah oleh sang ayah. Untuk mewujudkan rasa syukurnya karena sudah lama berdiri dan santri semakin banyak. Ummi memasak dan akan membagikan nasi box untuk para santri yang bersekolah di madrasah miliknya.

“Cepatlah bantu Ummi,” ucap Ummi yang sedang membumbui ayam.

“Padahal sudah ada tukang masak,” balas Najwa malas.

“Kamu juga harus belajar memasak, kamu ‘kan nanti calon ibu,” sahur Ummi sambil mengaduk-aduk ayam dalam panci besar itu.

Najwa menjadi malu karena didengar oleh banyak orang di dapur. Ummi memanggil tukang masak ke rumah karena memasak cukup banyak hari ini. Najwa dengan hati yang galau membantu Umminya memasak di dapur.

“Sudah pukul tujuh pagi, aku harus bergegas ke kampus karena hari ini terakhir ujian,” ucap Najwa lalu mencuci tangan di wastafel.

“Neng, di kampus ada cowok tampan nggak?” tanya Tukang masak.

“Ya banyak mbok, namanya juga kampus besar,” jawab Najwa. Tapi entah kenapa pikirannya terbayang wajah Harlan yang menyebalkan itu. Hingga dia berteriak kesal.

“Dih, kenapa harus wajah dia yang muncul,” gumam Najwa sambil melambai-lambaikan tangannya kesal.

“Neng, wajah siapa yang muncul? Apa jangan-jangan orang yang neng taksir, ya,” ledek Mbok tukang masak sambil tertawa.

Wajah Najwa memerah karena malu, “Nggak mbok, apaan sih,” ucap Najwa lalu segera pergi ke kamar mandi untuk mandi.

Ummi hanya tertawa lalu menggelengkan kepalanya, melihat anak gadis yang kemungkinan sedang puber dan jatuh cinta kepada lawan jenisnya. Yah asal dalam batas wajar itu tidak apa-apa, tapi dalam keluarga mereka yang taat agama tentu saja mereka melarang keras anaknya berpacaran.

“Um, sebentar lagi mau mantu dong, ‘kan neng najwa itu sudah cukup umur loh,” ucap Mbok tukang masak.

“Kira-kira, ustad muda mana yang akan menikah dengan neng Najwa ya, Um,” imbuh Asisten tukang masak.

“Najwa menikah dengan siapa saja, asalkan suaminya tulus tidak apa-apa,” balas Ummi dengan tenang.

***

Di kampus saat Najwa sedang memarkir motornya, dia berpapasan dengan wahyu yang kebetulan juga sudah sampai. Mereka mengobrol kecil sambil berjalan menuju ruangan kelas. Harlan juga sampai, ketika melihat Najwa dan Wahyu berjalan beriringan hatinya kesal dan ingin sekali memisahkan mereka berdua. Dia segera memarkirkan motornya, lalu menyusul mereka berdua, dia merenggangkan jarak diantara mereka dan berada di tengah mereka.

“Aduh apaan sih,” teriak Najwa yang kaget.

“Harlan, jangan iseng deh,” ucap Wahyu.

“Kalian ini satu ustadzah, satu lagi lulusan pesantren. Harusnya tahu batasan, kalau muda mudi berduaan saja, di tengahnya itu setan,” jawab Harlan sambil melihat Najwa dan Wahyu.

“Ini tempat umum dan masih siang, memangnya kami mau melakukan apa,” ucap Najwa.

“Kamu dong setannya, ‘kan kamu yang ada di tengah kita,” imbuh Wahyu.

“Halah, walau siang bolong tapi tempat ini sepi, bisa saja nanti kalian mempunyai kesempatan untuk mojok dan melakukan adegan tak senonoh,” ucap Harlan.

Wahyu menatap Harlan kesal, memangnya Harlan tidak pernah melakukan hal kotor apa ya, dia itu suka balapan liar, suka ke bar, dan suka gonta ganti cewek, cewek yang dikencani juga cewek liar yang suka kehidupan bebas. Untuk apa berceramah di depan Wahyu yang sudah khatam apa itu perbuatan yang tidak diperbolehkan dalam hidup ini.

“Ngaco saja kamu itu, memangnya aku ini perempuan gampangan,” ucap Najwa.

“Yang namanya nafsu itu tidak mengenal batas,” jawab Harlan mengingatkan.

“Hais, Harlan kamu ini bicara apa sih. Sudah ayo masuk kelas nanti kita terlambat,” balas Wahyu.

Mereka bertiga masuk kelas bersamaan. Zoya sudah menyiapkan satu bangku untuk Najwa, gadis itu sudah senang tidak bisa diganggu lagi oleh Harlan, tapi ternyata bayangannya sia-sia. Karena Harlan lebih banyak akal untuk bisa duduk di dekat Najwa. Wahyu juga tidak mau kalah, dia meminta orang yang duduk di belakang Najwa untuk pindah tempat duduk.

“Wahyu, kenapa kamu meminta orang untuk pindah tempat?” tanya Harlan sewot.

“Kamu boleh kenapa aku tidak?” balas Wahyu.

“Bilang saja kamu memang ingin dekat terus dengan Najwa, kamu sedang mengejarnya ‘kan?” tanya Harlan.

“Aku sudah menyukai Najwa sedang di pesantren. Apa kamu tidak suka,” balas Wahyu.

Mereka berdebat sengit padahal Dosen sudah berada di depan kelas, membagikan soal. Hingga akhirnya mereka kena tegur dan tempat duduk mereka dipisahkan.

Lama kelamaan seiring berjalannya waktu, interaksi antara Harlan dan Najwa semakin sering terjadi, tidak dikampus tidak di madrasah ketika mengantar sang keponakan mereka sering bertemu dan berkomunikasi walau masih kaku dan berakhir saling ledek.

***

“Fatimah, apa mamamu masih sakit?” tanya Najwa ketika pulang madrasah hari ini.

“Mamaku sudah sembuh lama,” jawab Fatimah.

“Oh, kok om kamu terus yang menjemput?” tanya Najwa penasaran.

“AKu juga tidak tahu Ustadzah, tapi aku dengar dari nenek kalau om Harlan menyukai Ustadzah,” jawab Fatimah dengan polosnya.

Harlan yang mendengar itu dari kejauhan langsung berlari dan menyangkalnya. Begitu juga dengan Najwa yang langsung merasa canggung karena mendengar kalau Harlan menyukainya. Dia hampir tidak percaya manusia dengan mulut tajam dan menyebalkan itu pada akhirnya menyukai Najwa, seorang wanita yang diledek Harlan berpenampilan kampungan dan bukan seleranya.

“Kamu jangan geer, ponakanku hanya asal bicara saja,” ucap Harlan.

“Siapa juga yang geer, nih nasi box untuk Fatimah, hari ini madrasah ulang tahun ke dua puluh. Ini wujud dari rasa syukur Ummi makanya memberikan seluruh santri nasi box,” ujar Najwa sambil memberikan nasi box itu.

“Baguslah, kalau kamu tidak geer,” ucap Harlan lalu mengambil nasi box dari tangan Najwa.

“Terima kasih, ayo pulang. Fatimah,” ajak Harlan.

Najwa mengelus dadanya kesal. Bisa bisanya dia menyimpan rasa pada pemuda menyebalkan seperti dia. Dia menggerutu kesal sampai tidak sadar kalau abah memperhatikan dia dari jauh. Abah menyunggingkan senyuman, lalu abah mendekati Harlan.

“Kalau kamu menyukai dia, langsung katakan saja. Nanti nyesel loh kalau diambil orang,” ucap Abah sambil tersenyum.

“Mak-sud abah apa?” tanya Harlan.

“Hahaha … masa pura-pura tidak tahu,” jawab Abah lalu pergi meninggalkan Harlan.

Jantung Harlan berdetak cepat, apakah abah mengerti kalau Harlan menyukai Najwa. Dari benci menjadi cinta itulah yang Harlan rasakan sekarang. Najwa juga merasakan hal yang sama, tapi entah kenapa dia masih tertarik dengan Wahyu yang memang mempunyai Ilmu agama yang mencukupi dibanding Harlan.

Suatu Hari saat ada kerja kelompok kampus, Wahyu yang satu kelompok dengan Najwa menjemput gadis itu di rumahnya. Harlan yang melihat mereka berdua membuntutinya. Tidak membawa Najwa ke rumah temannya tapi Wahyu malah membawa Najwa ke tempat yang sepi.

“Wahyu, kita ini sebenarnya mau kemana. Bukannya ini jalan ke arah kuburan?” tanya Najwa.

“Santai saja sih, Najwa. Nggak usah buru-buru ngerjain tugasnya,” jawab Wahyu.

“Lah kita kenapa berhenti di tempat sepi seperti ini, Wahyu?” tanya Najwa mulai panik.

“Untuk bersenang-senang,” balas Wahyu.

Wahyu mulai melancarkan aksinya, dia mencoba menyentuh Najwa. Tapi Najwa terus menghindar dan berteriak meminta tolong.

“Mau berteriak sampai tenggorokanmu kering, tidak akan ada yang menolongmu,” ucap Wahyu sambil mencengkram tangan Najwa.

“Wahyu lepaskan aku. Kamu mau apa sebenarnya,” ucap Najwa yang ketakutan dia masih berusaha untuk kabur dari Wahyu.

“Aku ingin mencicipimu, kamu jangan kolot Najwa. Aku akan membuatmu menikmati surga dunia. Sudah lama aku menyukaimu,” balas Wahyu.

Najwa berteriak karena takut, dia mencoba melepaskan cengkraman tangan Wahyu. Tapi wahyu terlalu kuat, akhirnya Najwa jatuh ke tanah dan Wahyu menyeretnya ke semak-semak. Najwa menangis ketakutan tapi sepertinya hal itu tidak membuat Wahyu kasihan. Dia mulai menggerayangi tubuh Najwa dan hampir bisa melepas jilbab yang menutupi kepala Najwa.

“Tidak, jangan lakukan ini!” seru Najwa.

“Diam dan terima saja apa yang aku inginkan,” ucap Wahyu lalu memukul Najwa hingga tersungkur ke tanah.

Wahyu tertawa dia sudah sangat tidak tahan untuk mencicipi tubuh bu ustadzah itu. Untung saja Harlan datang tepat waktu dan memukul Wahyu dengan membabi buta.

“Kurang ajar kamu!” seru Harlan sambil memukul Wahyu.

“Apa urusanmu mengganggu kesenanganku,” balas Wahyu, adu jotos pun terjadi antara mereka berdua. Harlan hanya mengulur waktu saja, dia sudah men share lokasi dimana dia berada ke beberapa teman dan juga kerabat Najwa dan Wahyu. Dia hanya ingin menyelamatkan Najwa, dan mereka semua tahu perilaku Wahyu yang sebenarnya.

“Hentikan!” teriak abah yang melihat perkelahian mereka.

“A-bah,” ucap Wahyu lalu mendorong Harlan sampai jatuh ke tanah.

“Ini tidak seperti yang abah pikirkan, Harlan, dia ingin menodai Najwa. Beruntung aku memergoki dia,” lanjut Wahyu yang menuduh Harlan sebagai pelaku asusila.

“Dasar lelaki tercela. Berani kamu menyakiti putraku!” seru Ibunya Wahyu.

Harlan masih tidak bicara. Dia sengaja membiarkan Wahyu mengarang cerita tentang apa apa yang terjadi hari ini. Dia memutar balikkan fakta, bagaimana Harlan sang pahlawan menjadi pelaku dalam hal ini.

“Banyak omong sekali, dasar pengecut!” seru Harlan.

“Siapa yang pengecut! Memangnya aku tidak tahu perilakumu yang hidup bebas itu hah. Asal kamu tahu ya, anakku ini lulusan pesantren mana mungkin melakukan hal yang dilarang agama,” ucap Ibunya Wahyu.

Ummi geram sekali mendengar ucapan Ibunya Wahyu. Atas dasar apa dia mengatakan hal itu. Ummi lebih memihak Harlan daripada Wahyu. Soalnya Ummi pernah memergoki Wahyu bertindak tidak senonoh waktu itu. Sekarang putri kesayangannya hampir dinodai olehnya. Setelah menutup tubuh Najwa dengan jaket yang dibawanya tadi, Ummi menampar Wahyu dengan keras.

“Ummi, kenapa menampar anakku seperti itu?” bentak Ibunya Wahyu.

“Karena anakmu sudah melakukan perbuatan keji,” jawab Ummi dengan tegas.

“Apa buktinya Ummi. Sudah jelas putraku menyelamatkan putrimu dari pria biadab itu!” seru Ibunya Wahyu.

Ummi menitikkan air mata sambil menunjuk wajah Ibunya Wahyu yang tidak percaya kelakuan bejat anaknya, dia memang dilahirkan dari keluarga yang taat agama dan sekolah di pesantren tapi apakah orang tuanya tahu bagaimana dia bergaul di luar rumah.

“Justru berkat Harlan yang kau sebut pria biadap itu putriku selamat,” ucap Ummi.

“Ibu jangan percaya dengan kata-katanya, mana mungkin aku melakukan perbuatan tak senonoh terhadap Najwa. Kalau begitu kenapa tidak menikahkan aku dengan Najwa saja,” pinta Wahyu.

“Benar, karena ceritanya sudah seperti ini, kenapa kita tidak bicara baik-baik dan menikahkan kedua anak kita?” tanya Ibunya Wahyu.

Abah dan Ummi serentak menggelengkan kepalanya, untuk apa menikahkan anak mereka dengan pria yang pandai berpura-pura seperti itu. Lebih baik tidak, mental serta kewarasan putrinya lebih penting daripada harus menikahi lelaki manja seperti Wahyu.

“Abah, Ummi. Anak-anak kita ini sudah saling kenal sejak lama, bagaimana kalau menikahkan mereka berdua saja?” tanya Pak Cahyo ayahnya Wahyu.

“Aku tidak mau. Dia hampir saja menodaiku, dia tidak seperti yang aku bayangkan selama ini,” jawab Najwa sambil menangis.

“Najwa apa yang kamu katakan. Bukankah kalian ini saling suka?” tanya Bu Endah ibunya Wahyu.

Najwa masih menangis membayangkan kejadian yang tak terduga tadi. Dia memeluk Umminya dan berlindung dibalik tubuhnya. Dia sangat malu saat ini hampir saja kesuciannya terenggut.

“Waktu sudah hampir gelap, Najwa juga masih syok atas kejadian ini. Bagaimana kalau kita pulang dulu. Biarkan Najwa menyembuhkan trauma nya dulu baru bahas kedepannya seperti apa?” tanya Harlan.

“Alah pria biadab sepertimu tahu apa. Asal kamu tahu mereka berdua sudah saling mencintai sejak dulu. Tidak mungkin Najwa menolak lamaran kami,” seru Bu Endah.

“Bu, kalau anaknya salah itu dinasehati jangan dibela. Aku memang biadab tapi aku tidak melecehkan anak gadis orang!” tegas Harlan.

Bu Endah terlihat sangat marah dia tidak terima dengan ucapan Harlan. Tapi Suaminya menengahi kejadian ini lalu mereka sepakat berdamai dan pulang ke rumah masing-masing. Sejak kejadian itu Najwa trauma, tapi Harlan terus mengunjunginya bersama Zoya membuat dia tersenyum lagi dan kembali beraktivitas ke luar rumah kembali termasuk ke kampus dan mengajar di madrasahnya.

***

Lambat laun mereka semakin dekat dan tumbuh rasa cinta di hati mereka. Harlan menjadi lebih percaya diri untuk menyatakan perasaannya.

“Najwa, maukah kamu menjadi makmumku, juga menjadi ibu dari anak-anakku nanti?” tanya Harlan sambil memberikan cincin kepada Najwa.

“Emm kenapa kamu tidak datang ke abah dan memintaku untuk menjadi istrimu,” balas Najwa malu-malu.

“Kalau itu permintaanmu, nanti sore aku akan menemui abah dan menyatakan perasaanku,” ucap Harlan.

Najwa masih tersipu malu, akhirnya akan datang hari dimana ada lelaki gentle yang datang ke abahnya untuk melamarnya. Menjadikan dia makmumnya dan menjalani ibadah terpanjang seumur hidup ini yaitu pernikahan yang suci dan sakral. Pernikahan mereka pun ditentukan tiga bulan setelah lamaran Harlan kepada keluarga Najwa.

“Harlan, saya nikah dan kawinkan engkau, dengan anak saya yang bernama Najwa Larasati dengan mas kawin cincin dua gram dan seperangkat alat solat dibayar tunai,” ucap Abah sambil menjabat tangan Harlan.

Lalu Harlan mengatakan kalimat akadnya dengan lantang satu tarikan nafas, “Saya terima terima nikah dan kawinya Najwa Larasati dengan mas kawin cincin dua gram dan seperangkat alat solat dibayar tunai,”

Sorakan sah dari para saksi dan tamu undangan terdengar dari tempat akad pernikahan Harlan dan Najwa. Mereka akhirnya menikah dari awalnya pertemuan yang tidak disengaja di parkiran kampus, mereka saling tidak suka dan benci akhirnya saling cinta dan menikah.

Ya begitulah hati manusia, tidak ada yang tahu. Karena Allah maha membolak balikkan perasaan manusia. Begitu juga dengan kisah cinta Harlan dan Najwa. 

Tamat

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)