Cerpen
Disukai
1
Dilihat
8,115
Tentang Kita
Romantis



Ini adalah kisah tentang Kakekmu, Agil, kala masih remaja dahulu. Kisah ini sering kali diceritakan kepada ibu setiap hari, setiap malam, dan bahkan juga hampir seperti ritual wajib sebelum tidur.


Beginilah kisahnya. Pada masa-masa itu, pada saat hari ahad pagi. Hidup seorang gadis cantik bernama Sadirah, rambutnya hitam legam seperti malam, lembut seperti beludru. Ia biasa bermain di sebuah taman pinggir pasar. Taman yang sudah biasa dipakai orang-orang berpacaran.


Saat itu, Sadirah melihat ada seorang pekerja jatuh di depannya, buah apel yang ia bawa dalam rinjingan juga ikut berserak ke mana-mana. Hingga, ada banyak orang yang tertawa dan menyangka; pengecut itu tidak pernah becus dalam bekerja, namun tidak dengan gadis itu.


“Ma-maaf, saya tidak sengaja.” kata si pekerja. Terdengar terbata-bata, bahkan untuk sekedar mendongak saja tidak berani.


Sementara untuk Sadirah, dia sangat terkejut dan bingung hendak menjawab apa. Jadi dia ikut memasukkan apel ke dalam rinjingan. Satu persatu, hingga tangan mereka tak sengaja bersentuhan saat mengambil apel terakhir, mereka tersentak.


Dan saat itu pula, di waktu yang sama, si pekerja dengan gelagatnya yang gugup langsung melepasnya.


“Ma-maaf,” katanya. Tak lagi mau melepaskan tangannya yang kotor.


“Ti-tidak apa-apa,” kata Sadirah. Dia juga gugup, tetapi berani untuk mendongak, penuh rasa ingin tahu. Bagaimana wajah pekerja itu sebenarnya. Alih-alih terkejut.


“Agil!” ujar Sadirah tidak percaya. Begitu pun dengan lelaki itu. Lelaki yang pernah berteman dengan masa lalunya, berteman dengan setiap cerita yang ia bawa hingga berpisah. “Ka-kamu sekarang bekerja di sini?” katanya lagi, takut merendahkan.


Namun, si lelaki hanya diam dan berusaha menyembunyikan wajahnya. Wajah yang begitu kotor dibalik debu dan rambutnya yang gondrong.


Belum sempat pertanyaan Sadirah dijawabnya, kakekmu tiba-tiba menjauh tanpa menampakkan muka. Bahkan untuk sekedar melirik juga enggan. Sadirah pikir; mungkin dia malu karena penampilannya yang lusuh serta kotor.


Jadi, kurang lebih—seperti itulah mereka saling bertemu untuk ke sekian kalinya (setelah lulus dari pendidikan SMA). Terus terang, Sadirah sebenarnya juga sangat merindukan Agil. Baginya lelaki itu memang seperti orang bodoh, tidak banyak bicara, ceroboh, tapi meski begitu, ada satu hal yang membuat Agil menjadi spesial, yaitu; melalui karya tulisannya yang seakan melankolis semua orang (meskipun bukan penulis terkenal pada umumnya).


Suatu hari. Saat hujan turun membasahi kota kembang. Sadirah nyaris ingin menyapa Agil, yang kebetulan sedang berteduh di sebuah kafe kecil. Ada getaran hebat dalam hatinya saat melihat lelaki itu, hingga membuatnya urung untuk mendekat, urung untuk memanggil namanya walau ingin.


Seperti hujan yang tidak dapat diprediksi kapan turun, Agil tiba-tiba melihat ke arahnya. Matanya memicing keheranan. Karena itu adalah pertemuan kedua setelah kejadian mereka di pasar.


“Kenapa kau selalu ingin mendekatiku?!” tanya Agil. Sungguh, ia merasa jengkel bila harus bertemu lagi dengannya.


“A-aku ingin memberikanmu ini.” Memberikan sebuah buku novel dan pergi. Awalnya ia ingin mengajaknya mengobrol, tapi dengan wajah Agil yang seperti itu ...


“Tunggu.” Berusaha menghentikan langkah Sadirah, lalu berdiri di belakangnya. “Apa ini?” lelaki itu bertanya sambil melihat sampul buku.


“Itu adalah karyaku, yang kubuat dengan susah payah tentang kamu. Kamu hadir dalam setiap tulisan—“ Dia berhenti seolah telah melakukan kesalahan. Padahal, tadinya dia berniat berkata. “Karena aku selalu gagal melupakanmu.” Tapi Sadirah pikir itu terlalu lebay untuk didengar.


“Sebenarnya aku sudah tidak tertarik dengan novel, atau bahkan menulisnya.”


Lelaki itu hanya kembali ke kursinya dengan wajah dingin. Namun tetap menggenggam buku novel milik Sadirah.


Pada malam harinya. Lambat laun, kakekmu ikut terhanyut ke dalam cerita novel milik gadis itu. Dia sangat menikmatinya, sepanjang waktu, sepanjang malam di atas meja kayu tua, sementara di sekelilingnya terpancar cahaya dari lampu lentera temaram.


Di dalam karangan ceritanya hanya terdapat kilasan masa lalu tentang ia dan dirinya. Penuh emosi dan penuh warna. Namun, siapa yang menyangka, bila ending akhir cerita tidak seperti yang ia harapkan. Sadirah menulis tentang rahasianya—yang hanya di sadari oleh kakekmu. 


Buku itu bukan hanya sekedar fiksi, tapi cerminan dari perasaan terdalamnya. Baginya, bagaimana pun, dan sejauh apa pun kakekmu sempat menjauhi Sadirah, gadis itu akan selalu menjadi dirinya sendiri. Selalu mencintainya, sepanjang masa. Mungkin sampai saat ini.


Tetesan air mata seketika jatuh menodai lembaran pada akhir novel. Kakekmu menangis tersedu, lantas pergi dengan langkah tergesa menuruni tangga, memakai jaket tebal sebelum pada akhirnya membuka pintu.


Malam itu, keadaan di kota kembang sangat lah dingin, gelap dan lembap. Namun, niatnya untuk membalas perasaan kepada Sadirah tidak pernah urung, sebelum terlambat karena ia juga mencintainya.


Dia berlari ke rumah gadis itu sekitar setengah jam dari rumah. Sungguh, dia sangat merasa lega, tapi kelegaan itu tidak pula berlangsung lama.


Saat mengetuk pintu kamar Sadirah dan masuk ke dalamnya. Kakekmu terkejut, kala melihat keadaan gadis itu yang kini tampak sedang sekarat. 


"Akhirnya ..." Sebisa mungkin ia menahan air mata agar tidak menangis. “Sudah lama bukan, kita tidak seperti ini,” kata Sadirah. Sambil menatap lemah kakekmu. Dia tahu hidupnya sudah tidak lama lagi, lantaran, berapapun usahanya dan sejauh apa pun, itu akan tetap sia-sia. Sadirah sudah terlanjur didiagnosis penyakit jantung, dan sekarang gadis itu sudah tidak bisa melawannya. 


“Maafkan aku. A-aku pikir perpisahan adalah akhir dari segalanya.” kata Agil, penuh penyesalan. Alih-alih menggenggam erat tangan Sadirah. Dia sudah tidak ingin lagi meninggalkannya.

"Izinkan aku mengulanginya dari awal, seperti masa-masa SMA kita, Sadirah. Ki-kita menghabiskan waktu bersama di kursi taman dekat pasar, setiap sore setelah pulang sekolah, berbagi mimpi dan rahasia ... a-aku mohon, bertahanlah."

Sadirah tersenyum lemah sembari meneteskan air mata, "Tentu, tentu Agil, kita pasti akan melakukannya dan, akan kita buat abadi segalanya ..." balasnya terhenti perlahan. Sekarang di depan matanya, semua seakan seperti sosok-sosok kabur dalam kotak kaca yang pecah. 


“Sudah waktunya ...” Sadirah berkata pelan seraya tersenyum untuk kakekmu, di akhir kehidupannya. Sedangkan untuk Agil, dia tentu saja menangis, tersedu diwaktu yang cukup lama, sangat lama, sebelum pada akhirnya mengecup kening gadis itu.

Bertahun-tahun kemudian. Karena tidak bisa melupakan kekasihnya itu, kakekmu akhirnya memutuskan untuk menulis kembali kisah mereka berdua, hingga selesai yang ia beri judul; 'Tentang Kita'. Ia sering membisikkan kata-kata cinta melalui aksara di dalam novel itu, untuknya, untuk kekasih yang akan selalu hidup disetiap barisan kata.


Ya, jadi, mungkin seperti itulah kisah akhir dari cinta mereka berdua, kakekmu dan wanita bernama Sadirah, yang ceritanya abadi dalam sebuah tulisan dan cinta.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)