Masukan nama pengguna
Biyantara.
Entah di mana kamu saat ini, pergi tanpa permisi dengan membawa hatiku ikut mengiringi.
Malam ini saja, Biyan. Izinkan kuluahkan rasa yang selama ini kupaksa diam. Menekan keras ego hati yang memberontak, memojokkan diri guna mengakui hati ini masih belum lagi beralih ganti. Masih saja tersemat namamu yang tak seberapa itu namun begitu membuat candu.
Apa yang telah kau buat dengan hati ini, Biyan?
Kenapa kepergianmu harus menumbuhkan rasa rindu yang begitu menggila di dalamnya? Pun, atas izin siapa hatiku kau bawa serta?
*****
"Apa ... Biyantara secandu itu?"
Pria hitam manis yang pagi ini mengenakan kaos oblong dan celana training hitam itu menatapku dalam. Seakan menyelami mata ini guna mencari jawaban yang paling jujur. Aku balas menatap, juga mencari jawab untuk apa ia tahu secandu apa Biyan bagiku?
Dua detik lamanya, aku berpaling. Sama sekali tak berniat menjawab, memilih memasukkan pena ke dalam buku yang mungkin baru saja ia lihat jika bagian atasnya tersemat nama Biyantara dengan tulisan yang begitu besar.
Entah mengapa, lapangan pagi ini sedikit terasa sepi. Tak ada remaja yang biasanya rutin melakukan lari pagi di sini, tak ada juga Ibu-ibu yang ikut berolahraga dengan alasan menurunkan berat badan demi disayang suami. Hanya beberapa penjual makanan pagi seperti kue basah, lontong, juga nasi uduk yang mangkal di pinggir lapangan.
Dari samping, helaan napas Awan terdengar begitu berat. Saat aku menoleh, terlihat sekali ia berusaha tersenyum ceria seperti biasa. Seolah sebelumnya tak ada lontaran tanya aneh dari mulutnya.
"Makan dulu, yuk!"
Aku dan Awan teman dekat yang kebetulan rumah pun bertetangga. Ia pria manis yang luar biasa pengertian. Berteman sejak sekolah menengah pertama, membuat kami begitu akrab. Kemana pun selalu bersama, bahkan kami bekerja di minimarket yang sama.
Sehingga karena kedekatan ini, banyak yang mengira kami sebagai pasangan. Jarang bertengkar juga selalu adem ayem, belum lagi sifat pengalah Awan membuat kami disebut-sebut sebagai pasangan ideal. Kulihat, Awan pun tak merasa bermasalah dengan julukan yang diberikan oleh beberapa teman sesama pekerja, ia biasa-biasa saja tanpa terlihat terganggu sama sekali.
Hanya saja, kedekatan ini membuatku berulang kali berhadapan dengan pacar Awan. Tak jarang, beberapa di antara mereka memutuskan hubungan sepihak tanpa bertanya dulu hubungan kami yang sebenarnya. Bahkan, ada juga yang tega memaki diri ini dengan ucapan menyakitkan.
Pasal ini, berulang kali kujelaskan pada Awan. Untuk memberitahu siapa aku bagi dirinya, supaya tak ada kesalahpahaman seperti sebelumnya. Sayangnya, Awan melakukan hal yang lebih gila. Memutuskan hidup jomlo dan menjawab iya bagi siapa saja yang bertanya apa aku ini pacarnya?
"Awan."
Awan berhenti, senyumnya masih mengembang sempurna seperti ia beranjak dari kursi barusan. Lalu menggerakkan kepala seolah bertanya,
'apa?'
Sejenak, aku terdiam. Menatapnya wajah yang memang terbilang tampan itu. Hidungnya mancung, menyatu dengan bibir yang garisnya seolah terpahat dengan sempurna, belum lagi dagu yang ditumbuhi sedikit bulu-bulu tipis sampai ke bagian pipi.
"Aku ... dan Biyantara belum lagi selesai."
Raut terkejut juga senyum yang memudar membuatku benar-benar paham bagaimana perasaan Awan sebenarnya.
*****
Kesekian kalinya, aku menangis. Merutuki nama pria yang beberapa tahun ini tersemat dalam beberapa naskah cerpen yang kuposting di beberapa aplikasi menulis, juga di ... hati.
Biyantara Shah Alam.
Pria Aceh yang beberapa tahun silam pernah kusebut sebagai kekasih.
Dulu, chanel radio SMA alias Studio Music Aceh adalah acara yang kutunggu-tunggu. Pembawa acaranya seorang penyanyi dengan suara mendayu merdu. Yang lebih asik, sang host membuka sesi curhatan santai sejenak sebelum memutar lagu permintaan penggemar, dan sudah bisa ditebak, penggemarnya begitu banyak dari kalangan perempuan abege-abege juga beberapa Ibu rumah tangga.
Suaranya lembut, belum lagi getaran nada suara saat ia tertawa, rasanya begitu memabukkan.
Berawal dari kecanduan suara tersebut, aku memberanikan diri menelpon nomor siarannya langsung khusus meminta ia bernyanyi tanpa embel-embel musik. Lalu, melangkah lebih maju dengan bertukar pesan secara pribadi dengannya.
Sampai pada malam itu, mataku hampir terpejam saat mendengar dering ponsel yang sialnya lupa kudiamkan. Malas sudah pasti, namun kupaksa untuk menjawab panggilan dari nomor tak bernama tersebut.
"Boleh bertemu besok?"
Aku mengerjap, heran. Beberapa memgecek layar hape kemudian kembali menempelkan di telinga, memastikan penelpon ini benar-benar berbicara denganku.
"Halo, Deenara? Ini kamu, kan?"
"Iya. Siapa, sih, ini?"
Kekehan kecil dari seberang telepon membuatku seketika terkejut, sekaligus mengenali siapa prmilik kekehen manis tersebut.
Biyan.
Host radio yang suaranya selalu menemaniku setiap malam, yang nama uniknya menjadi pemeran tokoh dalam naskah yang sedang kukerjakan. Dan kali ini, ajakan barusan membuat hatiku semakin yakin, aku benar-benar jatuh cinta pada pria yang bahkan belum kulihat langsung bagaimana rupanya.
*****
Aku ingat, saat itu hujan begitu lebat. Setelah dua bulan tak bertemu, Biyan menelpon ingin aku mendatanginya di sebuah cafe yang kebetulan berdekatakan dengan rumah. Masih kuingat juga, permintaannya saat itu terdengar sedikit memaksa. Ia seolah tak sabaran menunggu beberapa alasanku yang tak bisa bertemu lantaran hujan. Ia seakan benar-benar kesal, terdengar dari decakan lidahnya dan sedikit menggerutu.
Aku berusaha maklum, mungkin kerjaannya sedikit bermasalah sehingga ia terdengar begitu emosi. Seraya mengusir bayang-bayang pikiran buruk yang mengatakan sikapnya telah jauh berubah tak seperti tiga tahun lalu saat pertama menjalin hubungan.
Ya ... setelah ajakannya meminta bertemu sore itu, kami menjalin hubungan dengan ikatan lebih serius. Serius dalam makna bukan teman biasa.
Sesampai di cafe, kulihat Biyan duduk tenang menatap keluar. Badannya bersandar pada kursi meja dengan tatapan sedikit kosong.
"Maaf, lama."
Kami sama terdiam, Biyan belum memulai pembicaraan penting seperti ucapannya di telepon ketika meminta bertemu beberapa jam yang lalu, sementara aku juga sedikit malas bertanya juga sedikit masih kesal karena dipaksa begini.
"Kamu kesal?"
Aku mendengus, Biyan tertawa pelan. Kali ini suaranya kembali lembut seperti biasa. Matanya teduh seiring tawa yang hanya singgah sekejap itu. Kemudian berganti dengan mimik serius kala kembali menatap diri ini.
"Mau ngomong apa, sih? Kalo cuma duduk diam bengong, mending aku pulang. Buang-buang waktu aja, sumpah. Ngeselin kamu!"
Terdengar Biyan menghela napas sedikit kasar, kemudian menegakkan tubuh dengan posisi agak condong ke arahku.
Lalu, kata-kata serta alasan perubahan dan sikapnya yang terkesan menjauh selama ini terdengar. Meluncur tanpa beban dari mulutnya dengan pandang mata yang seolah ragu-ragu, terlihat jelas dari matanya yang tak berhenti menooeh ke sana ke mari saat memberi penjelasan.
Sampai akhirnya ....
"Aku enggak bisa ngelanjutin hubungan ini lagi, Dee. Maaf."
Sekali lagi, disela tangis aku memaki pria sialan itu yang sayangnya masih menjadi candu bagi hatiku. Semena-mena dan sesuka hati memutus ikatan yang sudah lama terjalin tanpa bertanya lebih dulu bagaimana hati yang ia lukai ini?
*****
Hari libur begini, waktu yang kucurahkan hanya menulis dan menulis. Menumpahkan perasaan yang masih tersemat pada satu nama, Biyantara. Berbanding balik dengan yang kualami, tokoh Biyantara yang kutulis bagitu mendekati sosok manusia sempurna. Cintanya begitu tulus untuk Athira sebagai pasangan yang kubuat. Sehingga tak hanya aku, pembaca pun ikut meleleh dengan kisah cinta mereka terbaca dari beberapa komentar yang masuk dalam notifikasi.
Merasa perlu mengisi tenaga, aku bergegas. Membereskan tempat tidur juga beberapa bungkus cemilan yang berserakan dari semalam, aku menuju dapur. Belum lagi mencapai pintu, nada dering menghentikan langkahku.
Awan, si penelpon.
Mulanya ragu untuk mengangkat, namun kurasa tak etis jika menjauhinya terus-menerus, padahal tak ada urusannya dengan Biyantara dan kisah cinta yang kami punya.
"Ya, kenapa?"
"Cepetan, siap-siap! Kita makan siang di luar. Aku enggak nrima penolakan, Ra."
Sambungan telepon terputus begitu saja, membuatku mau tak mau tersenyum kecil. Meski kadang nyebelin dengan sikap sok taunya dengan rasa yang kupunya untuk Biyan, Awan sosok pengertian. Ah, lagi-lagi makan siang gratis. Lumayan bisa hemat untuk bulan depan.
*****
Aku membuang muka, benci kini menghinggapi diri meski hanya menatap Awan di seberang meja. Aku benci pria sok tau ini, ia masih saja tersenyum mengejek setelah menyebut brengsek untuk pria yang selama ini masih kupuja. Katanya, aku pun tak kan bahagia jika benar berjodoh dengannya. Karena ia pria penipu.
"Penipu bagaimana?!"
Berulang kali aku bertanya, sementara Awan masih bertahan dengan posisinya yang menyantap makanan dengan tenang. Ia tak terusik sama sekali, sesekali terkekeh melihatku menahan amarah yang akan segera meledak.
"Aku suka kamu, Ra. Bukan untuk menggantikan posisi Biyan. Sukaku tulus tanpa ada karena. Selama ini aku diam, karena tahu kamu masih belum lupa dengan Biyan."
Awan terdiam lagi dengan mata menatapku lekat, aku sendiri memilih tak menjawab karena masih ingin mendengar apa yang ia sampaikan. Dua menit berlalu, Awan menghela napas kasar kemudian berujar ....
"Biyan Abang iparku. Dia bahkan udah menikah ketika memacarimu."