Masukan nama pengguna
“Ketika terdengar bunyi koin berjatuhan kedalam kotak kayu tua peninggalan nenek, jiwa-jiwa yang tidak tenang beterbangan ke udarah”
Awalnya aku tidak mempercayai perkataan kakak sepupuku itu. Menurutku tidak ada yang namanya hantu atau makhluk penghuni dimensi lain.
Itu adalah pikiranku dulu, ketika aku masih berusia 8 tahun. Perkenalkan, namaku Andine dan inilah kisahku.
Singkatnya, aku tumbuh di perlotaan dan hanya mengunjungi rumah nenek saat liburan sekolah tiba. Aku gadis yang pendiam, tidak suka keramaian dan tidak suka berbaur dengan teman seusiaku.
Aku lebih suka menyendiri atau bermain dengan teman dekatku, namanya Sabrina.
Dia sepantaran denganku, dan satu-satunya teman yang selalu menemani aku ketika liburan di rumah nenek.
. “Andin, ayo main petak umpet bersamaku.”
Aku menatapnya saat Sabrina mengajakku, lalu berpikir sebentar: “Hanya berdua?”
Sabrina menggelengkan kepalanya dan tersenyum manis padaku; “Andin mau main ramai-ramai?”
Aku yang saat itu masih kecil dan tidak tahu banyak hal tentang mereka hanya mengangguk semangat: “Boleh, tapi Andin tidak suka keramaian.”
Sabrina menyentuh pundakku, “Kita main sama mereka saja, Andin tidak akan terganggu. Tapi, Andin harus memberikan 500 perak kedalam kotak kayu nenek.”
“Kakak bilang, itu tidak boleh di ssntuh. Nanti nenek marah,” ujar ku.
“Kakakmu tidak akan tahu, kau tidak akan bilang.” Sabrina memberikan janji jari kelingking padaku.
Aku lalu berpikir sebentar sambil melihat sekitar, lalu mengangguk dan mengambil koin di dalam tas selempang kecilku.
Dan meletakkannya di dalam kotak kayu yang di simpan diatas meja samping televisi.
“Sudah...”
“Bagus, sekarang kita tunggu mereka datang.”
Aku dan Sabrina menunggu sebentar, tidak lama pintu rumah nenek diketuk oleh seseorang. Andin berjalan mendekat untuk membuka pintu.
Dua orang anak kecil seusia mereka berdiri dengan mata bulat menatap mereka berdua, sama sekali tidak ingin tersenyum. Andin mengernyit sedikit bingung.
“Kalian teman Sabrina? Kenapa pakaian kalian basah, apakah tidak dingin?”
Dua orang anak laki-laki itu saling menatap kemudian salah satunya berkata: “Kami habis berenang di danau. Datang kemari. Untuk mengajak kalian bermain bersama.”
“Huh? Kalau begitu baiklah. Ayo kita pergi bermain.”
Andin begitu bahagia, dia keluar dari rumah neneknya dan berpamitan pada kedua orang tuanya. Orang tua Andin menatap putri mereka dengan bingung.
Tempat bermain kami ada di pinggir danau yang kebetulan hampir seluas lapangan, disekitarnya ada banyak pohon dan beberapa adalah kandang ternak masyarakat sekitar.
“Aku yang jaga, Andin dan lainnya sembunyi.”
“Okay...”
Aku berlari mengikuti kedua anak laki-laki itu untuk bersembunyi.
Tapi langkahku berhenti ketika melihat mereka memilih untuk bersembunyi di dalam danau!
“Kalian....”
Langkah kakiku memilih untuk mundur, tetapi sesuatu mendorongku untuk terus melangkah maju...
Masuk kedalam danau itu!
“Ibuuu!!!”
Dadaku terasa sakit dan napasku membura, keringat dingin bercucuran dari pekipisku. itu adalah mimpi yang untuk kesekian kalinya aku alami saat aku genap berusia 18 tahun sebulan yang lalu.
Kejadian yang membuat aku enggan untuk kembali ke rumah nenekku di kampung...
Kampung halaman keluargaku!
Aku segera bersiap untuk menuju ke kampus, dan mencoba untuk melupakan mimpiku semalam.
Langkah kakiku menelusuri jalanan, karena jarak rumah ke kampus tidak jauh. Hanya butuh 15 menit untuk berjalan kaki kesana.
Langkahku semakin cepat saat bulu kuduk ku tiba-tiba merinding.
Seseorang mengikuti aku!
Aku akhirnya berlari, sayang sepertinya dia jauh lebih cepat dariku.
Dia menyentuh pundakku, dan udara dingin menyelimuti sekitarku.
“Tidak, tolong! Aku mohon, jangan datang kemari...”
“Hei, ada apa denganmu? Kalau kau tetap mematung disini, juga akan terlambat di kelas Pak Broto"
Aku terkejut!
Setelah perasaanku sedikit lebih baik, aku menoleh pada gadis itu. Salsabila, teman satu jurusanku dan teman sekelas ku sejak kami masuk kuliah dua bulan lalu.
“Salsa, Kau mengagetkan aku saja...” kesalku dan dia hanya cekikikan, tidak merasa bersalah.
“Ada apa denganmu, Andine? Kau tampak aneh sebulan ini.”
Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat, “Aku tidak apa-apa hanya sedikit lelah karena banyak tugas.”
“Sungguh?”
“Em...”
Kuliah ku berlangsung hingga pukul 18.00 sore, selama itu aku terus merasakan perasaan yang yang Gundam.
Aku tahu seseorang menatap aku terus menerus dari suatu tempat yang tidak aku ketahui.
“Andine, sudah pulang nak?” Ibu menyapaku setelah aku berada di dalam rumah.
“Iya, Ibu. Andine baru pulang. Andin ke kamar dulu yah, Ibu”
Ibu menatapku dengan bingung, “Ada apa sayang? Kau terlihat ngos-ngosan. Semuanya baik-baik saja kan?”
“Aku baik-baik saja, Bu. Jangan mengkhawatirkan aku, aku akan langsung istirahat.”
Aku langsung merlari menuju kamarku, dan menguncinya.
“Kalian siapa! Kenapa terus saja mengikuti aku!”
Aku berteriak didalam ruangan yang aku tahu betul hanya ada aku di dalamnya.
Aku memeluk lututku diatas ranjangku, dan menundukkan kepalaku, dengan rasa takut yang sudah diujung tanduk.
Suara langkah kaki dan sekumpulan anak-anak yang sedang tertawa berkumandang di telingaku.
“Hentikan! Aku mohon, jangan ganggu aku.. Hiks!”
Suara tetesan air lalu ikut terdengar di telingaku. Bau amis seperti bangkai busuk juga tercium di hidungku.
“Andine...”
“Andine...,”
“Ayo main petak umpet...”
“Ayo main bersama kami Andine...”
Aku menutup telingaku dan menarik selimutku untuk bersembunyi dari mereka semua.
Suara tetasan air terdengar kembali, menetes membasahi selimut yang ada di atas kepalaku. Aroma busuk menusuk hidungku kembali.
Tidak! Jangan ganggu aku! Aku mohon!
Udara dingin kembali terasa, aku mencoba mendongak dan dari balik selimut kulihat tetesan air yang mulai menembus selimutku.
Air yang berwarna merah!
Aku langsung melotot, darah itu menetes dari keningku dan turun ke hidungku. Tubuhku gemetar dan terus berteriak memanggil orang tua ku.
Tapi tidak ada yang bisa mendengarku!
Aku membuang selimutku untuk menjauh dariku, dan kemudian aku bisa melihat rupa mereka dengan sangat jelas.
Seorang anak perempuan dengan kulit yang pucat dan dress merah muda yang lusuh dengan noda darah di pakaiannya karena dltetan darah dari perpotongan lehernya yang tidak berhenti.
Dia memegang sebuah pisau silet di tangannya, dan sesekali menguras pergelangan tangannya sendiri sambil menatap Andine dengan tatapan kosong.
Di sisi kiri dan kanan anak perempuan itu berdiri dia orang anak laki-laki yang kulitnya tidak kalah pucat dan pakaian mereka yang basah.
Bau amis kembali menerjang hidung Andine, jantungnya terasa ingin copot saat itu juga, tubuhnya gemetar karena ketakutan.
“Hihihi...ketemu...”
“Akhirnya Andine ketemu...hihihi....”
“Sekarang giliranmu yang jaga...Hihihi!”
“Cari kami....”
Tatapan Andine menjadi kosong, kemudian bibirnya tersenyum lebar disusul dengan suara tawa yang dalam:
“Hehehe... Teman-temanku Aku tidak sabar menanti ulang tahunku yang ke 28...hihihi!... selanjutnya siapa yang jaga? ”
End
Maaf jika tidak seram sama sekali, aku baru belajar menulis cerita Horor...
Tapi aku berharap cerita ini sedikit menghibur kalian.