Masukan nama pengguna
Tatapan dari Lubang Jendela
Masa-masa paling indah, masa-masa di sekolah...
Kalimat sederhana dari lagu legendaris Chrisye itu memang sulit dibantah. Ada sesuatu tentang masa sekolah yang membuat kita sulit benar-benar move on darinya. Entah karena masa itu penuh kejutan, atau karena hati kita saat itu belum belajar bagaimana caranya membentengi diri.
Masa sekolah bukan cuma tentang pelajaran dan nilai rapor. Tapi tentang ketemu teman yang akhirnya jadi sahabat. Tentang musuhan karena rebutan kursi depan. Tentang jajan bareng di kantin, atau senyum-senyum waktu nama kita disebut saat pembagian tugas kelompok.
Dan tentu saja, tentang cinta. Cinta pertama yang lugu, konyol, tapi manisnya susah diulang. Siapa pun pasti punya cerita cinta versi mereka. Bahkan kalau itu cuma sepihak. Bahkan kalau itu cuma dari lirik-lirik lagu yang kita dengerin diam-diam sambil ngerjain PR.
Sebagian cerita itu berakhir bahagia. Sebagian lagi menyisakan sesak. Dan bagi sebagian orang, termasuk seseorang bernama Damar. Kisah cintanya justru terjadi bukan dengan seseorang yang ia cari, melainkan dengan yang datang begitu saja di tengah masa putih abu-abu.
Sekarang Damar hampir menginjak kepala tiga. Tapi kalau kamu tanya soal masa SMA, dia masih bisa senyum-senyum sendiri. Bukan karena dia jadi juara kelas. Tapi karena waktu itu ada dua sosok yang membuat hidupnya benar-benar berubah arah. Dan semuanya bermula dari satu lubang jendela.
Tapi sebelum bicara soal jendela, kita harus bicara tentang Siska.
Cewek manis, cerewet, sedikit keras kepala, tapi punya hati yang hangat.
Damar dan Siska bukan jadian lewat PDKT panjang. Mereka kenal gara-gara kerja kelompok mading sekolah waktu tergabung dalam OSIS SMP. Damar kebagian nulis artikel, Siska ngurusin desain dan gambar-gambar. Dari awal udah sering debat kecil , Damar pengen tulisannya panjang, Siska maunya space buat doodle bunga. Tapi justru dari situ, mereka mulai nyambung.
Damar suka cara Siska berpikir: berani, cepat, dan jujur.
Siska suka Damar yang kelihatannya cuek, tapi diam-diam perhatian.
Waktu SMP selesai, mereka masih bareng. Bahkan saat Damar udah naik ke SMA dan Siska masih di kelas 3 SMP, mereka tetap pacaran. Setahun lebih. Dan selama itu gak pernah ada drama.
Sampai akhirnya, masa SMA benar-benar dimulai. SMA adalah dunia yang sama sekali berbeda bagi Damar. Bukan cuma soal seragam baru atau guru yang lebih galak. Tapi juga soal orang-orang baru, wajah-wajah asing yang perlahan jadi akrab, hingga lingkungan yang terasa asing tapi pelan-pelan mulai terasa seperti rumah kedua.
Damar yang sebelumnya cukup tertutup waktu SMP, tiba-tiba jadi lebih cair. Mungkin karena usianya juga mulai mencari banyak hal. Teman ngobrol, tempat cerita, bahkan sekadar orang buat ketawa bareng di jam kosong. Setiap hari, dia belajar hal baru, bukan cuma dari pelajaran, tapi dari interaksi.
Di SMA, Damar nggak cuma ketemu teman-teman cowok yang asik diajak ngopi botolan di kantin, tapi juga teman-teman cewek yang obrolannya kadang lebih seru dari topik bola. Semua terasa baru, tapi juga menyenangkan.
Dan dari semua pertemuan itu ada satu yang akhirnya mengusik pikirannya lebih dari sekadar teman biasa. Dan lubang jendela itu, tanpa sengaja, membuka dunia yang baru bagi Damar.
Kelas Damar berada di lantai dua, pojok kiri bangunan utama. Di salah satu sudutnya, ada jendela yang kacanya bolong. Dari situ, dia bisa langsung mengintip ke kelas IPA 1 yang letaknya seberang lorong terbuka.
Awalnya cuma iseng. Tapi hari itu beda. Mata Damar tertumbuk pada seorang cewek. Duduk baris kedua. Rambut dikuncir rapi, wajahnya serius nyimak guru ngomong. Tapi bukan itu yang bikin Damar kehabisan kata, melainkan senyuman manis dari sosok perempuan itu. Senyum itu muncul sejenak waktu cewek itu melirik temannya dan tertawa pelan. Bukan senyum menggoda. Tapi… senyum yang cukup untuk bikin dada Damar bergetar halus.
“Di, itu siapa sih?” bisik Damar ke temannya, Adi, sambil nuduh arah dengan dagu.
“Yang mana?”
“Itu, kelas IPA 1. Duduk deket tembok, kunciran.”
“Oalah.... itu si Dian. Anak Surabaya katanya. Sekarang ngekos di belakang warung Soto Bu Lastri.”
“Anak kos?”
“Hmm. Sendirian. Katanya bokap-nyokapnya kerja di luar kota. Jadi dia sekolah di sini.”
Damar senyum kecil. “Oke, noted.”
Adi mengangkat alis. “Mau ngapain mar ? mau main belakang nih?”
“Nggak. Gue cuma.... penasaran.”
Sejak hari itu, Damar mulai rajin banget dateng pagi-pagi. Bukan karena semangat belajar, tapi biar bisa dapet spot duduk deket jendela bolong. Dan tiap jam pelajaran kosong, mata Damar pasti melayang ke kelas seberang. Dian juga lama-lama sadar. Tatapan-tatapan kecil berubah jadi senyum singkat.
Senyum berbalas senyum. Lirik-lirikan berbalas rasa canggung yang mengguncang hati. Sampai akhirnya, mereka mulai ngobrol.
Obrolan pertama terjadi pas istirahat kedua. Dian lagi beli risol di kantin, dan Damar “kebetulan” antre di belakangnya.
“Enak gak sih risol sini?” tanya Damar sambil ngelirik.
Dian noleh singkat, alisnya naik setengah. “kamu nanya karena pengen beli atau pengen mulai ngobrol?”
Damar ketawa pelan. “Kalo dua-duanya boleh?”
Dian nyengir kecil, lalu lanjut milih makanan.
Setelah itu, semuanya mengalir. Damar mulai sering mampir ke kelas Dian. Kadang pura-pura nyari Adi yang lagi ke toilet. Kadang beneran cuma berdiri di depan pintu sambil nyapa “eh, udah makan belum?”
Mereka mulai jajan bareng, makan bareng. Kadang duduk di lapangan sambil ngobrolin hal-hal random. Mulai dari makanan favorit, sampai kenangan aneh waktu Dian masih kecil di Surabaya. Dian punya cara bicara yang khas. Lugas, kadang ketus, tapi nyambung dan jujur. Judes? Iya. Tapi justru itu yang bikin Damar nyaman.
Ada saat-saat di mana mereka bisa tertawa keras hanya karena saling ejek. Pernah juga mereka main tebak-tebakan sambil nunggu hujan reda. Dian selalu punya jawaban aneh dan nggak masuk akal, tapi entah kenapa Damar suka. Suka liat matanya yang berbinar waktu ngomong. Suka liat ekspresinya yang sok serius padahal jawabannya ngaco.
Dan entah sejak kapan, keberadaan Dian bikin Damar lupa waktu. Lupa kabar. Lupa bahwa ada Siska yang masih setia nunggu kabar di ujung sana.
Di sisi lain, Siska mulai merasakan perubahan. Awalnya hanya dari hal-hal kecil. Damar mulai jarang nelpon malam-malam. Pesan WA-nya mulai dibalas singkat. Sering ngeles soal tugas, soal les tambahan, soal capek. Tapi Siska masih mencoba berpikir positif, mungkin itu cuma temen. Mungkin Damar emang sibuk. Mungkin... cuma perasaannya aja yang terlalu sensitif. Tapi seiring berjalanya waktu , Siska mulai gusar. Malam itu, Siska memberanikan diri chat Adi.
“Mas Adi, maaf ya ganggu…”
“Nggak apa-apa, Sis. Ada apa?”
“Damar akhir-akhir ini kayak beda ya? Aku ngerasa kayak... ada yang berubah.”
“Maksudnya?”
“Dia masih sering main sama kamu kan? Di sekolah?”
“Ya, masih sih.”
“Kamu tau nggak, dia lagi deket sama siapa? Atau... ada temen cewek yang sering dia bareng, mungkin?”
Adi diem beberapa saat sebelum bales.
“Damar ya gitu-gitu aja, Sis. Kalo temen cewek, ya banyak. Tapi gak ada yang spesial kok.”
“Oh yaudah Mas Adi kalau gitu , makasih ya mas . Aku cuma... kadang ngerasa sendiri. Dia udah beda. Aku gak ngerti apa yang salah,” balas Siska terakhir.
Sementara itu, Damar lagi duduk bareng Dian di bangku belakang taman kecil sekolah. Mereka makan gorengan sambil debat soal film favorit.
“Jadi kamu suka film horror?” tanya Damar.
“Ya iyalah. Biar bisa ngetawain tokohnya. Liat aja, masa orang dikejar-kejar hantu malah jatoh mulu.”
“Wah, berarti kamu jahat !!!”
“Daripada kamu, sukanya film drama nangis. Cowok kok mewek.”
“Hey, itu art. Emosi itu seni.”
“Hahaha , terserah aja deh.”
Mereka tertawa. Tanpa sadar, tawa itu sudah seperti tawa dua orang yang saling mengenal lebih dalam.
Tapi belum ada yang bicara jujur. Belum ada yang tanya: “kita ini apa?”
Dan Siska... masih menunggu. Di kamar kecilnya yang tak banyak berubah sejak SMP, boneka cokelat pemberian Damar masih duduk di pojok ranjang. Sudah tiga hari tak ada kabar. Pesan terakhir hanya dibalas dengan emoji senyum. Itu pun sore kemarin.
Ia menatap layar ponselnya, berulang kali membuka WhatsApp, berharap ada nama Damar di atas layar, namun hal itu tak pernah terjadi. Bahkan centang biru pun tak muncul.
Di luar jendela, suara motor lalu-lalang. Tapi di dadanya, sepi. Rasanya seperti ditinggal, tanpa benar-benar ditinggalkan.
Air mata menggenang, tapi belum jatuh. Ia masih mencoba percaya, bahwa Damar hanya sedang lelah.Yang tidak ia tahu, senyum yang biasanya miliknya, kini sedang disambut oleh tawa perempuan lain yang tak pernah ia kenal.
Damar tidak tahu. Atau mungkin pura-pura tidak mau tahu. Bahwa setiap tawa yang ia bagi dengan Dian, perlahan mencuri ruang dari seseorang yang selama ini sudah lebih dulu menunggunya pulang.
Kalau ramai, bersambung di Chapter 2 :)