Masukan nama pengguna
Pada siang ini, Arina terlihat memilah-milah pakaian yang berada di dalam lemarinya. Beberapa pakaian yang menurutnya layak untuk di bawa, dimasukkan ke dalam koper berwarna hitam.
Dalam kesibukan yang melanda dirinya, tiba-tiba terdengar suara keras dari ketukan pintu membuat Arina terperanjat kaget hingga pakaian yang berada di tangannya terjatuh ke lantai. Wanita itu menoleh ke arah pintu saat suara ketukan yang dilakukan sekuat tenaga semakin menjadi-jadi. Tak lama, terdengar suara seseorang memanggil nama Arina.
Arina bergegas mengambil pakaian yang terjatuh di lantai, melemparnya masuk ke dalam koper. Setelah itu, berjalan ke arah pintu yang masih digedor.
“Iya, sabar, Bu!” titah Arina berteriak sembari memutar gagang pintu setelah membuka kunci.
Rupanya yang sedang mengetuk pintu adalah seorang wanita paruh baya—dengan sebuah cake di tangannya.
“Ya ampun, Arina! Kenapa lama sekali membuka pintunya?” tanya wanita itu kesal, bahkan menghentakkan kaki.
Arina memasang wajah jutek, kesal karena ibunya tidak mengerti jikalau dia sedang bersiap-siap untuk berangkat ke bandara.
Arina mengambil cake yang masih berada di tangan sang ibu, memakannya lalu berkata, “ini aku lagi siap-siap, Bu. Ih, ngapain Ibu ngetuk pintunya kenceng gitu? Kayak kemalingan aja!”
“Ya … dari tadi Ibu manggil-manggil, kenapa kamu nggak jawab?”
“Iya, Arina salah. Arina minta maaf, Bu.”
“Halaaah … drama! Udah-udah, mending kamu cepetan siap-siap! Sopir ambulans udah nunggu tuh di depan,” desak sang ibu mendorong bahu Arina sekuat tenaga, hingga punggung Arina terbentur ke dinding. Lagi dan lagi membuat Arina berdecak kesal.
“Kok sopir ambulans?” tanyanya heran, menatap sang ibu dengan sangat kesal. Arina curiga, sudah pasti rencana kepergiannya berjalan dengan sangat membagongkan saat mendengar sopir ambulans yang katanya sudah menunggu di depan.
“Iya, siap-siap cepetan!”
“Jawab pertanyaan Arina, Bu! Kok sopir ambulans?”
Bukannya memberikan jawaban yang diperintahkan, sang ibu malah memasang wajah menjengkelkan. Membuat Arina semakin mengerutkan kening.
“Jawab, Bu!”
“Iya, sopir ambulans. Kamu bakalan dianter sama mereka ….” ibu menatap Arina sembari terungging, “gak usah cemberut gitu. Tahu kan, kalau Ibu ini gak bisa pesanin kamu mobil, miskin kita! Jadi mending numpang aja sekalian. HRD kamu juga udah nunggu, kan?”
Arina meraup napas dalam-dalam lalu mengembuskannya pelan, mengusap dadanya yang terasa sesak. Jika saja ini bukan soal perekonomian, sudah pasti Arina menolak apa yang ibunya inginkan, yaitu naik mobil tumpangan.
“Iya udah, okey!” sahutnya lesuh, mukanya berubah tak bergairah.
Sang ibu malah memasang wajah berseri-seri, cake yang masih berada di tangannya langsung ia lahap. Membuat Arina mengernyit dan semakin menyunggingkan bibirnya.
“Lah, kok dimakan, Bu? Bukannya itu punya Arina, ya?” tanya Arina.
Ibunya tampak langsung berhenti mengunyah sejenak, lalu melanjutkannya. “Tadinya sih, buat kamu. Tapi karena ibu lagi senang dengerin jawaban kamu, eh kemakan deh.”
Lagi dan lagi, Arina dibuat heran dengan ucapan sang ibu. “Lah, kok senang, Bu?”
“Soalnya kamu bakalan dianterin sama …. uhuk … uhuk.” Ucapan ibu menggantung karena tersedak makanan. Lantas, ia memukul dadanya pelan.
“Dih, pura-pura tersedak kau, Bu! Jawab, apa maksudnya, Bu? Soalnya aku bakalan dianter sama siapa?” desak Arina.
“Sama sopir ambulans, hehehe,” jawab ibu mengusap keringat di kening.
***
Ini saat waktu kepergian semakin dekat.
“Bu, siapa yang anterin Arina? Sopir ambulans?” Lagi-lagi pertanyaan itu keluar dari mulut Arina, kini ia tengah berjalan ke arah luar sembari ditemani oleh sang ibu.
“Kamu juga bakal tau sendiri, gak usah murung gitu napa?”
Arina menggeleng-gelengkan kepalanya. Meskipun sang ibu terlihat mencurigakan, tetap saja Arina tak dapat menebak hal itu.
Sesampai di teras rumah, mata Arina tertuju pada mobil ambulans yang telah memarkir di depan rumahnya. Anehnya, si sopir malah tidak turun dari mobil, membuat Arina memeluk lengan ibunya erat.
“Kok serem, Bu? Arina takut.”
Heleeeh ….” Ibu menoyor kepala Arina, “sejak kapan anakku satu-satunya ini takut dengan mobil ambulans!? Mending kamu cepetan naik gih, dia udah nunggu tuh di dalam!”
“Dia?” tanya Arina curiga.
Tiba-tiba saja sang ibu tantrum sendiri, hingga menggigit ujung kukunya. “Eh … gak usah pikirin, HRD kamu udah nunggu kan? Jadi ayo cepetan masuk, mereka udah mau berangkat tuh, nungguin kamu!”
Arina mengembuskan napas pelan, meraih tangan sang ibu lalu mengecupnya. Matanya menatap malas ke arah mobil putih di hadapannya. Rasanya percuma saja menanyakan sesuatu kepada sang ibu tentang kecurigaannya yang tak wajar.
Wanita itu berjalan semakin dekat ke pintu mobil bagian belakang. Belum juga Arina membuka pintu mobil, sang ibu langsung berteriak memberikan perintah, “duduknya di depan, ngapain di belakang?”
Tak ada pengelakan, Arina berjalan ke arah pintu mobil sebelah sopir, lagipula ia takut jika harus duduk di belakang, tempat brankar pasien.
Saat Arina membuka pintu mobil, hal yang pertama ia lihat adalah seorang pria memakai masker. Arina hanya menyunggingkan bibirnya kala melihat tingkah aneh dari sopir itu.
“Jalan!” perintah Arina seenak jidat, jutek sekali.
Sang sopir menurut, dengan menyalakan mesin mobil lalu mulai melajukan kendaraannya. Sepanjang perjalanan terlihat biasa-biasa saja, Arina sibuk memandangi pemandangan yang terlintas di kaca mobil.
Hingga setengah jam perjalanan. Arina akhirnya tersadar, jika sudah beberapa menit lalu mobil yang ia tumpangi melewati pertigaan yang harusnya ia lewati untuk sampai ke bandara.
“Maaf, Mas. Ini kan bukan jalan ke bandara, sepertinya Mas salah jalan,” ucap Arina pelan-pelan.
Tak ada jawaban, mobil itu terus melaju, bahkan semakin kencang dari yang tadinya.
Membuat Arina semakin panik, cucuran keringat dingin merembes dari keningnya. “Mas, ini udah lewat dari tujuan saya! Kenapa anda tidak mendengar?”
Seperti sebelumnya, tak ada jawaban.
“Mas, jangan macam-macam, ya.” Arina semakin ketakutan, saat tidak ada respon dari pria di sebelahnya.
“Turunin saya!”
“Turunin saya, Mas!” pinta Arina lagi. Ia bahkan menggoyang-goyangkan lengan pria di sebelahnya itu.
“Stop, Mbak! Saya pinggirin mobilnya.” Akhirnya ada jawaban. Membuat Arina sedikit lega karena kecurigaannya yang mengira jikalau pria itu adalah bisu, ternyata bukan.
“Jadi, kenapa kamu bawa aku ke sini? Padahal arah tujuanku udah lewat.”
Bukannya mendapatkan jawaban sesuai yang ia minta, Arina malah mendapatkan tatapan tak datar dari pria tersebut.
“Apa kamu tuli? Atau bisu?” tanya Arina, kali ini tubuhnya bergetar dengan hati yang berdebar-debar. Tangannya berusaha membuka pintu mobil. Namun, si pria misterius itu malah menarik tangan Arina agar tidak bisa keluar dari mobil.
“Anda jangan macam-macam, ya!”
“Dengarin aku dulu, Sayang,” titah pria itu, nada suaranya berubah sendu dari yang tadi.
Mendengar ucapan itu, Arina langsung terdiam dan menatap penuh tanda tanya ke arah sang pria. Nada suara yang tak asing di pendengarannya, nada suara yang sudah lama ia rindukan.
Akhirnya si pria membuka maskernya perlahan, memperlihatkan batang hidungnya yang mengkilap seperti cahaya neon.
Detik itu juga, air mata Arina menetes, ia langsung masuk ke dalam pelukan pria tersebut.
“Kamu kangen sama aku, kan?”
“Kangen banget, kenapa kamut tidak bilang dari tadi? Kenapa tidak bilang akan pulang hari ini?”
“Sengaja, biar jadi kejutan untuk kamu,” jawab pria itu.
Arina melepaskan pelukannya, menatap pria itu dalam. “Jadi?”
“Iya, ibumu sudah tahu semuanya. Aku sudah melamarmu.”
Arina kaget, hal yang selama ini ia takuti, ternyata salah. Sang ibu justru menerima pacarnya dengan mudah. Arina mengira, jika ibunya adalah mata duitan, ternyata bukan. Buktinya, sang ibu menerima lamaran pacarnya yang hanya sebagai karyawan biasa di kantor.