Masukan nama pengguna
“Kita putus!” ucapku, membuat cowok yang duduk di hadapanku itu menatap kebingungan.
“Maksudmu?” tanyanya, dia pasti terkejut dengan keputusanku yang tiba-tiba ini.
“Ayo, kita akhiri saja hubungan ini sekarang. Aku tidak ingin pacaran lagi, kita hanya akan memupuk dosa jika meneruskan hubungan ini. Dan, aku tidak ingin menambah dosaku lebih banyak lagi karena berpacaran. Aku ingin berubah, dan meninggalkan hal-hal yang hanya bisa menambah dosa. Untuk itu, sekarang aku melepaskanmu,” jelasku, lalu bangkit dari kursi. Ini keputusan terberat sebenarnya, tapi aku harus tetap melakukannya. “Kuharap, kamu mengerti, dan aku minta maaf. Semoga kamu mendapatkan jodoh terbaik yang Allah pilihkan untukmu. Assalamualaikum.” Setelah mengatakan itu, aku pergi meninggalkannya, tanpa mendengarkan dulu dia berbicara. Karena bagiku, sudah cukup sampai di sini saja.
Aku menghela napas panjang, ketika kejadian 4 tahun lalu tiba-tiba berputar di otakku. Aku tak mengerti kenapa tiba-tiba teringat kejadian itu, padahal sudah sejak lama aku mengikhlaskan semuanya. Aku juga tak pernah memikirkan lagi Satya– mantanku –setelah kejadian itu. Meski awalnya terasa sulit dan berat bagiku untuk melepaskannya, karena dia cinta pertamaku. Tetapi, karena tekadku sudah bulat untuk berubah, jadi aku benar-benar harus ikhlas melepaskannya.
Sejak kejadian itu juga, kami tak penah bertemu kembali sampai saat ini. Aku tidak tahu di mana dia sekarang, dia tiba-tiba menghilang. Apa dulu aku telah menyakitinya? Mungkin, ya. Namun, itu yang terbaik buat kami, kan? Karena pacaran hanya akan menambah dosa.
“Jangan di pikirkan lagi, Jingga,” batinku, sekarang yang harus kupikirkan adalah masa depanku. Apalagi, tepatnya hari ini adalah hari pernikahanku dengan seseorang yang sudah dijodohkan kedua orang tuaku. Aku menerimanya, meski aku belum pernah melihatnya. Namun, aku percaya dengan pilihan mereka, karena mereka tidak mungkin membiarkan aku menikah dengan seseorang yang tidak baik.
“Jingga, kamu sudah sah menjadi istri orang,” ucap Adis – kakakku – yang sedari tadi menemaniku. Aku terkejut. Secepat itu? Kapan ijab kabulnya? Kenapa aku tidak menyadarinya? Apakah, karena barusan aku melamun?
“Kakak serius?”
“Iya, sekarang Kakak akan keluar. Kamu tunggu di sini, sampai suamimu menjemput kamu ke sini.” Setelah mengatakan itu, kakakku pergi begitu saja.
Sekarang aku tidak tahu harus apa, tiba-tiba jantungku bertedak kencang. Apa yang harus aku lakukan saat suamiku datang? Apalagi, mungkin sekarang adalah pertemuan pertama bagi kami.
Tok ... tok ... tok ...
Suara ketukan pintu itu, membuat detak jantungku semakin berdebar kencang. Apakah itu suamiku? Aku menarik napas, dan membuangnya secara perlahan Sebelum akhirnya aku bangkit dari kursi meja riasku, lalu berjalan menuju pintu dan membukannya.
Tubuhku tiba-tiba mematung saat melihat sosok laki-laki yang kini berdiri di hadapanku.
“A-apa yang kamu lakukan di sini?” tanyaku terkejut, melihat lelaki itu.
“Aku ingin menjemput jodoh pilihan Allah yang terbaik untukku,” jawabnya, membuat dahiku mengernyit.
“Maksud kamu?”
Lelaki itu tersenyum, membuat kedua mataku terasa memanas. Aku sudah lama tak melihat senyuman itu.
“Aku ingin menjemput istriku.”
“Istrimu? Kamu sudah menikah?”
Lelaki itu mengangguk sebagai jawaban.
“Siapa istrimu?”
“Kamu, Jingga.” Tubuhku kembali mematung, apa aku tidak salah dengar? Lelaki itu menyebut aku sebagai istrinya? Apakah benar, jika lelaki di hadapanku sekarang adalah suamiku? Lelaki itu adalah Satya.