Masukan nama pengguna
Cerpen ini didedikasikan untuk mengenang Razan Najjar, seorang juru medis berusia 21 tahun yang tewas tertembak oleh tentara zionis pada perang beberapa tahun silam. Isi cerita tentu berbeda dengan kisah nyatanya dan tidak bermaksud u/ memprovokasi pihak manapun.
Syahid Tak Bernama
Oleh Endang Wardani
"Ayo buka kerudungnya, jangan-jangan dia lelaki!" Perintah seorang polisi yang baru saja menembak seorang wanita yang diduga gerilyawan Hamas.
Dengan bergegas, kedua anak buahnya pun melaksanakan perintah dan terkejut melihat bahwa yang tewas di bawah kaki komandannya itu benar-benar seorang wanita, bukan pria seperti dugaan mereka sejak tadi.
"Ba-ba-bagaimana ini? Kita bisa tamat kalau media tau kita menembak warga sipil apalagi kalau dia ternyata juru medis," ujar anak buahnya ketakutan.
"Diam!" gertak Sang Komandan, "tidak akan ada yang tau, kita buang jasadnya ke perbatasan, biar orang-orang Palestina itu yang menguburnya," ujarnya tegas dengan raut wajah penuh kesal.
***
Makassar, 30 Oktober 2023
Hujan deras sedang mengguyur kota besar tersebut sejak 2 jam tadi. Genangan-genangan air bersiliweran di setiap kubangan aspal jalanan. Udara dingin menusuk tulang dan membuat banyak orang enggan keluar rumah. Seorang gadis berusia 29 tahun dan berseragam jas putih dokter nampak berjalan menyusuri trotoar jalan tanpa mengenakan payung sehingga seluruh badannya basah kuyub tersiram air dari langit. Pandangannya sayu dan redup. Cahaya matanya telah hilang. Hari ini baru saja ia dipecat dari pekerjaannya sebagai dokter umum di sebuah klinik pemerintah. Ia dikeluarkan secara tidak hormat hanya karena ia melanggar kode etik. Pelanggaran yang dibuatnya adalah nekat melakukan bedah tulang pada seorang pasien yang tak sengaja tertusuk paku. Pada saat kejadian, dokter bedah sedang tidak ada di tempat, dan jam kerja sudah usai. Berbekal ilmu seadanya yang ia peroleh dari youtube, Farah nekat mengeluarkan paku itu dari tubuh si pasien dan ternyata berhasil. Namun meski demikian, sebagai dokter umum yang tak punya akteditasi, ia tak pantas berada di ruang bedah. Dan hasilnya, ia dipecat.
Farah kecewa, perjuangannya sebagai dokter di klinik itu seakan tak dihargai. Tak bisakah ia diberi kesempatan? Gumamnya sedih. Dahulu, Farah pun pernah ditegur saat magang di sebuah rumah sakit daerah karena memberikan obat secara cuma-cuma kepada beberapa warga desa yang terserang penyakit menular. Obat yang diberikannya adalah obat kualitas terbaik yang awalnya ingin dijual oleh pihak RS dengan harga mahal. Namun jiwa kasihan Farah membuatnya malah dikeluarkan dari pekerjaan magangnya itu. Kata kawan-kawannya, Farah lebih pantas jadi sukarelawan dokter di Palestina karena jiwa sosialnya yang tinggi. Menjadi juru medis di Indonesia artinya akan selalu bermuara ke bisnis.
"Yah aku harus ke Palestina, disana sepertinya aku akan lebih dihargai."
Tekat Farah penuh rintangan, kedua orang tuanya melarangnya pergi ke negara konflik tersebut, namun Farah tak mempedulikan itu, tekatnya sudah bulat. Orang-orang disana lebih membutuhkan dokter seperti dirinya. Meski demikian, ia tetap memberikan bujukan pada Ayah dan Ibunya bahwa ia akan baik-baik saja. Maka setelah mengurus segala keperluan untuk menjadi dokter sukarelawan di Gaza, berangkatlah gadis itu bersama rombongan juru medis dan juru rawat yang lain ke Palestina dengan menaiki pesawat dan mendarat di Mesir, negara terdekat dengan negara konflik Palestina. Sebab kala itu perang sedang berkecamuk antara tentara Zionis melawan tentara Hamas yang bermarkas di bawah tanah. Pemerintah Israel mengunginkan pembebasan sandera yang ditawan pihak sebelah, namun pihak pembebasan Palestina tersebut belum mau menyetujui sehingga pecahlah perang rudal dan bom yang mengorbankan ribuan warga sipil.
"Dokter, perawat dan semua logistik belum bisa memasuki wilayah Gaza. Perbatasan Mesir-Palestina yaitu Rafah sedang ditutup," ujar seorang pegawai lintas perbatasan kepada rombongan mobil Farah yang hendak mrnyebrang.
Di belakang dan di depan mobil logistik Indonesia, berderet belasan kendaraan roda empat dan enam yang mengangkut banyak bala bantuan dan sukarelawan. Mereka pun tengah mengantri dibawah terik menyengatnya daerah padang berpasir yang kering. Entah sampai kapan mereka akan menunggu tidak ada kejelasan dari pihak perbatasan. Mereka hanya mengatakan sedang ada perbaikan jalan. Dan kami tak bisa memakai jalur lain untuk bisa menembus barikade pertahanan tentara kecuali lewat negara Israel, negara penjajah Palestina.
"Apa kita harus menunggu terus, Dokter Imam?" tanya Farah pada seorang dokter kepala yang ada dalam grup mobil tersebut.
"Ya mau bagaimana lagi. Namun, saya sangat mengkhawatirkan nasib para korban dengan minimnya fasilitas dan juru medis yang tersedia di dalam. Akan lebih banyak mayat yang terbujur di rumah sakit daripada yang di reruntuhan jika tak segera kita tangani," jawab beliau dengan mimik resah mencemaskan.
"Tapi logistik mereka lengkap 'kan, Dok? Setidaknya mereka masih bisa bertahan hidup dengan makan dan minum dahulu? Sampai kita bisa datang?" tanya Farah lagi yang terlihat lebih mencemaskan mereka.
Dokter Imam menggeleng lambat dan sendu, "Semua listrik dan saluran air bersih telah diputus oleh pihak Israel. Sekarang semua rakyat di Gaza hidup dalam kegelapan malam, kekurangan air bersih dan makanan. Begitupun dengan rumah sakit Indonesia di dalam, entah bagaimana cara teman-teman sesama dokter kita bisa bertahan dalam gelap, penat dan stres melayani ribuan manusia yang terluka dan mayat-mayat yang hendak dikuburkan setiap hari."
Tak terasa, air mata Farah menetes satu persatu, duka yang dialami rakyat Palestina ternyata lebih menyedihkan dari apa yang ia bayangkan. Ia membayangkan bagaimana tangisan anak-anak yang mencari orang tuanya dalam puing-puing bangunan yang roboh, pada perut-perut lapar bayi-bayi yang tak berdosa dan pada orang-orang tua tak berdaya yang menyeret badannya yang penuh darah keluar dari tindihan reruntuhan. Oh, sungguh Farah tak kuasa membayangkannya.
Beberapa pria tua dan muda serta anak-anak dari daerah Palestina nampak berdiri bergerombolan di depan pagar yang terkunci rapat. Rupanya beberapa toko roti dari kota di Mesir setiap hari semenjak perang berkecamuk sering membagi-bagikan roti bagi para pengungsi di pagar perbatasan ini secara percuma. Farah tersentuh melihatnya, wajah-wajah kumal dan tegar mereka yang berebutan mengambil roti dalam bungkusan lalu membawanya pulang ke kamp pengungsian untuk dibagikan ke keluarganya yang lain.
Farah pun turut mendekati mereka dari pagar sambil menyerahkan beberapa lembar uang Dinar Yordania (sesampainya di Kairo, Farah dan yang lainnya harus menukar uang dollar mereka dengan mata uang negara yang hendak dituju).
"Maaf Bibi, kami tidak butuh uangmu. Kami butuh makanan dan obat-obatanmu saja." ucap seorang bocah kecil menolak uang Farah dengan berbahasa Inggris yang kaku.
Hati gadis berkerudung itu amat tersentuh. Dalam keadaan genting seperti ini pun, yang kita butuhkan memang hanya makanan minuman dan obat untuk bertahan hidup. Farah pun tak bisa menunggu terlalu lama agar pintu perbatasannya dibuka. Ia harus mencari cara agar bisa masuk ke jalur Gaza secepatnya. Tapi jika teman-teman rombongannya tau, tentu mereka tidak akan setuju. Karena rencana yang akan dijalankan Farah kali ini memang sangat berbahaya dan bisa mengancam nyawa.
Tanpa sengaja seusai menunaikan salat Zuhur, Farah bertemu beberapa bocah lelaki yang mengaku sebagai warga Palestina dan hendak menyebrang ke Gaza.
"Kami tau jalur menuju Gaza namun harus melewati terowongan yang ada di Israel di daerah Nahal Oz," ungkap mereka dengan nada berbisik agar tak dicurigai orang lain. Farah kaget karena ternyata mereka pandai berbicara bahasa Inggris meskipun tak lancar.
"Apa maksudnya? Terowongan? Mobil kami tidak bisa masuk terowongan," jawab Farah heran dalam bahasa Inggris yang mudah dipahami anak-anak.
"kami adalah bocah militan Hamas, Bibi. Kami memiliki terowongan bawah tanah yang membentang di sepanjang jalur Gaza dan sebagiannya di perbatasan Israel."
"Lalu?"
"Bukankah Bibi mau membawa bala bantuan buat pengungsi Gaza?"
Farah mengangguk cepat.
"Kami para Hamas akan menyalurkan bantuan Bibi asalkan kita bisa sampai di pos pintu terowongan rahasia kami di Nahal Oz. Bibi jangan khawatir, sesungguhnya kami Insha Allah akan amanah."
Setelah berpikir panjang, memang tak ada jalan lain, belum ada pernyataan resmi kapan Rafah akan dibuka dan pengungsi di dalam sana pasti sangat membutuhkan bantuan luar. Dan tak ada yang mau mengambil resiko berat seperti ini kecuali Farah, dokter yang sudah terbiasa dengan perilaku tidak menyenangkan di pekerjaannya. Farah pun mengambil kunci mobil dan membawa bocah-bocah itu bersamanya. Dokter Imam terkejut melihat Farah melarikan diri membawa mobil logistik tersebut tanpa pamit.
"Farah, kamu lupa jaket dan rompi doktermu!"
***
Mobil truk Fuso yang dikendarai Farah, melaju kencang membelah jalanan raya Mesir yang hendak menuju arah Israel. Gadis itu pandai mengemudikan mobil logistik tersebut sebab dulu ia pernah berlatih bersama Ayahnya yang seorang mantan sopir truk antar provinsi. Untuk mencapai negara seberang, Farah harus melintasi Ibukota Mesir yakni Kairo terlebih dahulu, baru nanti dia akan memasuki area Israel lewat jalur alternatif agar tak diperiksa pos pengamanan. Rupanya ketiga bocah Arab yang dibawanya tersebut sangat ahli mengetahui medan yang akan dilalui tanpa hambatan. Selama perjalanan, hati Farah senantiasa berdebar khawatir. Ia belum pernah keluar negeri apalagi ke negara konflik. Dimana-mana polisi keamanan negara Bintang Daud tersebut, berpatroli dengan mobil dan regu di setiap pos jaga. Beberapa kendaraan nampak diberhentikan dan diperiksa terkait keamanan saat perang terjadi. Orang-orang di jalanan nampak berjalan cepat-cepat dan tak terlihat duduk bersantai di taman seperti pemandangan kota biasanya. Aroma debu padang pasir yang kuat mengisi paru-paru kering gadis itu yang dahinya bersimbah peluh. Berkali-kali ia meneguk botol air nya sebab haus hebat yang mendera tenggorokannya.
Menjelang waktu Asar, Farah dan ketiga bocah itu berusaha untuk bisa salat diatas kendaraan mereka yang melaju pelan di jalanan sepi sekitar pedesaan. Dan untuk Farah, ia menghentikan sejenak truk logistiknya untuk salat sebab ketiga bocah itu tidak tau cara membawa mobil. Sejauh ini perjalanan mereka lancar meski sering berputar-putar menghindari patroli kepolisian di jalanan.
Perjalanan dari Rafah, Shamal Sina Mesir ke Nahal Oz, Israel berkisar 7 jam 22 menit dengan memakai kendaraan. Dan Farah kini telah melewati setengah perjalanan mengerikannya. Malam telah datang dan langit gelap membayangi perjalanan sunyi mereka yang menegangkan. Selesai mengerjakan salat Magrib yang dijamak dengan Isya di atas mobil, Farah menyuruh anak-anak itu makan terlebih dulu. Ada beberapa bekal yang dibawa Farah dan Dokter Imam tadi. Farah agak menyesal karena tidak pamit dengan Kepala dokternya dan juga kawan regu lainnya. Tapi sebenarnya tak mengapa, di truk ini hanya ada logistik kesehatan dan sembako. Barang-barang Dokter Imam dan dokter yang lain ada di mobil rombongan yang satunya, jadi mereka tak kan kenapa-kenapa selama menginap di Rafah. Bahkan ponsel perempuan itu pun ia lupa bawa, mungkin Ayah Ibunya sedang cemas dan telah menelponnya ratusan kali. Tak terbayang bagaimana semua orang mengkhawatirkannya, mungkin saja. Dan apakah rekan-rekannya di klinik yang pernah memecatnya pun mengkhawatirkannya? Mungkin tidak.
"Makan, Bi!" Seorang bocah bermata bulat menyodorkan nasi kearah Farah yang konsen menyetir.
Farah tercekat, ia memandang tangan mungil itu menyendokkan nasi untuk dirinya yang sedang lapar.
"Dari tadi, Bibi belum terlihat makan apapun," ucapnya lagi tersenyum polos.
Farah membuka mulutnya dan menerima suapan itu. Air matanya seketika menitik membuat ketiga bocah di sampingnya saling berpandangan dengan heran.
"Kalian kenapa mau jadi mujahid Hamas?" tanya Farah.
"Bagi kami, mereka pahlawan kami."
"Bukankah lebih baik meninggalkan Palestina daripada bertahan diserang zionis?"
"Jika kami pergi, lalu siapa lagi yang akan memerangi mereka, Bi?"
Gadis yang menyetir itu terdiam mencerna maksud kalimat bocah kumal tersebut.
"Jika mereka menguasai tanah kami, mereka akan memakai tanah kami untuk memanggil Dajjal, Bi."
"Dajjal?"
"Iya, Bi. Kami tidak tau tepatnya. Hanya orang-orang menceritakan seperti itu."
Perempuan bermata teduh itu mulai memahami meski tak sepenuhnya paham. Ia menyesal jarang mempelajari agamanya sendiri. Ia hanya fokus belajar ilmu kesehatan agar bisa cumlaude dan menjadi dokter terbaik seperti cita-citanya dahulu. Dan sekarang bahkan ia tak tau soal Dajjal, ia hanya pernah dengar bahwa Dajjal itu manusia bermata tiga. Sesederhana itu ilmu agamanya.
Delapan jam sudah perjalanan panjang dilalui diatas kendaraan roda empat berat tersebut. Farah mengantuk berat namun ia tak bisa menghentikan mobil fusonya sebelum sampai tujuan yang disuruhkan bocah itu. Sepanjang malam mereka melalui jalanan desa yang lengang tanpa pengamanan. Sebuah plakat besar diujung jalan sontak membangunkan mata Farah yang kelelahan. Tertulis Wellcome to Nahal Oz. Farah pun membangunkan ketiga bocah yang terlelap itu. Mereka sangat gembira mengetahui akan sampai di tempat tujuan, mereka pun mengarahkan Farah untuk melaju lebih kencang di jalanan yang lebih sempit dan penuh semak kering.
Di sebuah taman lapang yang sempit dan penuh dengan rongsokan kendaraan bekas tak terawat dan berkarat, laju mobil truk Farah berhenti, mereka semua pun turun. Tidak ada penerangan. Lampu mobil pun dimatikan untuk menghindari kecurigaan. Tak berapa lama, muncul dalam kegelapan dua orang pria berpakaian tebal dan bersenjata laras panjang. Wajahnya tertutup topeng kain dan ia memakai rompi baju warna krem dan bergaris hijau dengan tulisan Arab yang Farah tidak ketahui. Di kepala dua pria itu terikat sebuah kain hijau mengkilat dengan tulisan Arab pula. Farah tau mengaji tapi tak tau cara membaca huruf Arab gundul. Gadis itu berpikir mungkin Palestin.
"Assalamualaikum," mereka menyapa dengan tegas.
"Waaalaikumussalam," Farah dan ketiga bocah itu menjawab.
Selanjutnya terlibat percakapan diantara ketiga bocah tersebut dengan dua pria yang merupakan militan pejuang Hamas itu. Farah tak paham yang mereka ucapkan, karena mereka memakai bahasa Arab dan setengah berbisik.
"Para Hamas mengucapkan terimakasih atas bantuan anda, Bibi!" ucap salah satu bocah tersebut menerjemahkan arti ucapan pria militan tersebut dalam bahasa inggris.
"I-iya sama-sama. Semoga bermanfaat," balas Farah terbata-bata.
Kemudian satu persatu, bantuan dari mobil tersebut diturunkan dan dibawa ke sebuah pintu besar yang terletak dibawah tanah di tempat penampungan rongsokan tersebut. Farah sampai tak menyangka, bahwa terowongan bawah tanah memang benar adanya. Tempat yang begitu gelap membuat Farah tak mengetahui detail tempat rahasia tersebut.
Seorang militan bertanya padanya yang lalu diterjemahkan ke dalam Bahasa inggris oleh si bocah.
"Asalmu dari mana?"
"Indonesia!"
"Masha Allah negeri yang aman dengan orang-orangnya yang mulia. Semoga nanti kita bisa bersama-sama melawan bangsa laknat itu."
Lagi-lagi Farah dilanda kebingungan, apa maksud mereka? Indonesia datang kemari?
Seluruh logistik telah habis dibawa masuk dalam lorong, para mujahid bertopeng itu pun mengucapkan terimakasih dan akan pamit namun mereka gelisah untuk membawa Farah keluar dari Israel.
"Tenang, saya seorang juru medis. Tentara tidak akan menembak dokter dalam peperangan 'kan? Saya akan pulang sendiri dengan aman." Farah tersenyum tipis diantara wajah kusam berdebunya yang kelelahan.
"Maafkan kami, Bi tidak bisa mengantarmu, situasi sangat berbahaya bagi kami dan logistik ini harus segera kami bagikan," ucap mereka dengan masygul.
Farah mengangguk dan tersenyum. Tugasnya telah usai, ia sudah merasa sangat bahagia telah membantu rakyat negeri yang terjajah.
***
Pukul 11 malam.
Farah kembali melajukan mobil truk fusonya keluar dari area rahasia.jalanan sangat gelap dan Farah menjadi was-was sebab sebuah mobil jeep kecil mengikutinya dari belakang sejak tadi. Nyala sinar lampu depan mobil itu begitu terang menyilaukan pandangan si gadis berkerudung putih.
Apa mereka tentara Israel? Pikir Farah makin melajukan laju mobilnya yang terbanting-banting menginjak jalanan bebatuan dan penuh semak-semak berbatang keras.
Sebuah tembakan keras melayang menusuk kedua ban belakang mobil yang ditumpangi Farah. Seketika kendaraan hilang kendali dan Farah berusaha mengerem laju mobil namun naas tak bisa, mobil telah lebih dulu menabrak sebuah pohon besar di sisi kiri jalan dan menggulingkan truk itu ke tanah hingga berasap. Tubuh Farah tak berdaya dihantam kesakitan akibat kecelakaan hebat yang barusan terjadi. Kepala dan hidungnya mengucurkan darah segar serta badannya yang terjepit kursi kemudi. Ia mengerang kesakitan dan meminta tolong.
Mobil jeep yang tadi mengikutinya berhenti di samping mobilnya yang terguling. Tiga orang pria berpakaian polisi lengkap dengan senjata laras pendek dan helm putihnya, keluar menemui Farah yang tertindih di dalam mobil yang ringsek dan berasap.
"Biarkan saja mata-mata Hamas ini mati disini!" ujar salah satu dari mereka dengan berbahasa Ibrani yang tak dipahami Farah.
"Kita mintai dia keterangan, agar kita tau dimana letak terowongan rahasia teroris itu," ujar seseorang yang sepertinya komandan dari kedua polisi tadi.
"Siap!" ucap mereka bersamaan kemudian segera membuka pintu mobil bersama-sama menarik tubuh terluka Farah kekuar dari himpitan kursi penumpang.
Farah membuka matanya yang terasa amat sakit, tubuhnya terluka parah dan pakaiannya bersimbah darah yang berbau anyir.
"Katakan dimana terowongan Hamas berada, kau pasti mata-mata mereka!" gertak komandan polisi tersebut membelalakkan matanya.
"A-a-ku … bu-bukan mata-mata. A-a-aku dok-ter …!" ucap Farah dengan suara parau terputus-putus.
"Apa buktinya kau dokter? Kau tak memakai seragammu dan kau tak punya tanda pengenal apapun!"
Farah seketika teringat, ia lupa membawa seragam dokter dan rompinya saat di Rafah yang wajib selalu dikenakannya saat bertugas di Gaza karena itu untuk melindungi nyawa juru medis di lokasi perang. Berdasarkan perjanjian Jenewa yang ditandatangani banyak negara termasuk Israel, juru medis tidak boleh ditembak dalam situasi perang. Lalu … bagaimana nasib Farah kini?
"A-aku tidak bo-hong," ujar Farah lagi dengan air matanya yang bercucuran Ia merasakan akan segera mengakhirkan nyawanya di tempat ini di tangan para bedebah itu.
"Aku kesal sekali. Semua orang mengatakan mereka dokter agar tidak kita lukai, tapi karena kelemahan itulah, Hamas telah menyerang kota Tel Aviv. Semua orang bisa bebas keluar masuk memasok senjata karena mengatakan mereka dokter."
Pria berwajah sangar itu memainkan pelatuk pistolnya dengan cepat ia berjongkok di samping tubuh lemah Farah dan kemudian sejurus mengarahkan kepala pistol itu tepat di pelipis kepala Farah.
"To-long. Aku ti-dak bo-hong …." Farah ketakutan dan mengejang seluruh badannya melihat benda itu akan meledak di kepala berkerudungnya.
"Siapapun kau, pergi dari bumi kami! Kami tak peduli apakah kau Palestina atau muslim negara lain, kami hanya peduli untuk membela negara kami. Kami tau kau tentara Hamas dan tidak ada tempat bagi Hamas dan Palestina di bumi Israel yang diberkati ini."
Ddorr!!
Peluru itu melesat menembus kepala Farah dan menghancurkan isi kepala gadis itu dalam sekejab. Darah berhamburan dimana-mana dan mengotori sepatu dan ujung celana para polisi itu.
Malam semakin kelam. Bintang ketakutan memunculkan dirinya diatas langit sebuah negara yang tega membantai ribuan nyawa tak berdosa. Tubuh Farah diseret bagai sapi kurban meninggalkan jejak merah di sepanjang jalan dan lalu dilemparkan ke perbatasan seperti membuang batu lewat ketapel.
Tak ada yang tau kabarnya lagi, debu dan hujan di Palestina telah mensucikan darah syuhada gadis mulia itu.
Tamat
#Syahidtakbernama
#endangwardani
#cerpen
#FreePalestina