Cerpen
Disukai
0
Dilihat
2,873
Surat yang Melampaui Waktu
Drama
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Sudah lima tahun sejak rumah ini berhenti mengingat suara tawa. Dinding-dindingnya menyimpan bisu yang gemetar seperti daun terakhir di pohon tua. Jam dinding terus berdetak, tapi waktu di dalam diriku membeku. Aku tidak tahu sejak kapan teh yang kuseduh selalu tersisa dua cangkir—satu untukku, satu untuk Danil. Mungkin sejak malam itu, malam ketika hujan seperti arwah kecil mengetuk jendela, dan ia menghilang tanpa suara. Malam yang terlalu biasa untuk dianggap firasat, terlalu sunyi untuk disebut perpisahan. Danil hanya meninggalkan udara yang menghangat sesaat dan lalu sirna, seperti embun yang tak sempat menyapa pagi. Sejak itu, aku hidup dalam kabut. Bukan jenis kabut yang menggantung di kebun pagi-pagi, tapi kabut dalam kepala, dalam dada, dalam segenap ruang rumah yang entah mengapa makin sempit tiap hari. Kadang aku merasa mendengar langkah kaki di lantai kayu, atau derit pintu yang terbuka sendiri. Tapi ketika aku mendekat, hanya angin yang mencium pipiku dengan dingin.

Pada suatu pagi yang sangat putih—terlalu putih untuk ukuran bulan Juli—aku membuka pintu rumah dan menemukan sesuatu di bawah keset. Biasanya di situ hanya kutemukan debu, sisa hujan, dan daun kering. Tapi pagi itu, di sana tergeletak amplop tua berwarna krem. Kertasnya kasar, sedikit sobek di sudut, seperti telah menempuh perjalanan panjang, entah dari mana. Di atasnya hanya tertulis dua kata dengan tulisan tangan yang membuat hatiku tercekat: Untuk Ibu. Tidak ada perangko, tidak ada alamat, tidak ada cap pos. Tangan kiriku bergetar saat membuka amplop itu, sedangkan tangan kananku menolak melepaskannya. Tapi rasa ingin tahu lebih kuat dari rasa takut. Dalamnya hanya selembar kertas dengan tulisan yang nyaris tak bisa kubaca karena kabut di mataku sendiri.

Ibu,

Jika Ibu membaca ini, maka aku belum kembali.

Maaf. Aku pergi karena tak bisa tinggal lebih lama. Dunia yang kupijak bukan dunia yang bisa Ibu mengerti sekarang.

Tapi tunggu aku. Dua tahun dari hari ini, aku akan pulang. Aku berjanji.

Tepat di tanggal 28 Juli, dua tahun dari surat ini kutulis.

Danil.

Aku membaca tanggal di pojok kanan atas surat itu dan darahku serasa berhenti mengalir. 28 Juli 2027. Padahal hari ini masih 2025. Tidak masuk akal. Tidak masuk waktu. Apakah ini permainan? Apakah ini ulah seseorang yang hendak menertawakan luka yang tak sembuh? Tapi tidak ada satu pun di dunia ini yang tahu bagaimana tulisan tangan Danil, selain aku. Dan ini... ini jelas miliknya. Garis miring huruf l-nya, lengkung a-nya yang terlalu kecil, dan titik pada huruf i yang selalu ia letakkan terlalu tinggi. Aku tahu ini milik anakku, surat itu nyata, tapi juga tidak nyata. Duniaku seperti diiris oleh garis yang tidak terlihat, membelah antara yang mungkin dan yang tak masuk akal.

Sejak hari itu, waktu dalam rumah ini terasa melengkung. Jam dinding di ruang tamu selalu berhenti tepat pukul 02.28 dini hari. Aku mengganti baterainya, mengganti jamnya, bahkan melemparkannya sekali—tapi entah bagaimana, semua jam yang kubeli akan berhenti di jam yang sama. Setiap dini hari, aku terbangun. Bukan oleh mimpi, bukan oleh suara, tapi oleh semacam isyarat di dada. Seperti tubuhku tahu bahwa pada saat itu, sesuatu sedang melintasi batas: entah bayang, entah waktu. Kadang kulihat pintu kamar Danil terbuka sedikit. Padahal aku yakin menguncinya. Dan lebih sering lagi, teko air mendidih sendiri padahal kompor tidak menyala. Kukira hanya aku yang melihatnya. Tapi suatu malam, kucing tetangga masuk ke rumah dan menatap tangga kosong dengan bulu menegak dan tubuh membungkuk, mendesis ke arah sesuatu yang tidak terlihat. Aku tahu ketakutan kucing tak pernah berdusta.

Hari-hariku berubah menjadi sejenis penantian yang ganjil. Bukan menanti anak yang pergi, tapi menanti waktu itu sendiri melipat dirinya dan mempertemukan kembali kami yang tak utuh. Aku mulai menulis ulang surat itu setiap malam, menghafalkannya kata per kata, membacanya sambil menatap cermin—seolah-olah jika kutanam dalam diriku, maka aku akan mampu menjangkaunya. Tapi surat itu seperti jendela yang hanya terbuka satu arah: aku bisa melihat harapan, tapi tak bisa menyentuhnya.

Orang-orang mulai bertanya kenapa aku semakin sering tersenyum sendiri di halaman, atau berbicara dengan bunga kenanga yang baru kutanam di dekat sumur tua. Mereka tidak tahu bahwa bunga itu adalah tempat aku mengubur selembar salinan surat Danil, sebagai penanda bahwa aku percaya. Aku mulai menandai kalender. Dua tahun. Dua tahun adalah hitungan yang bisa ditempuh jiwa yang patah jika diberi sedikit cahaya.

Lalu sesuatu yang lebih aneh terjadi. Pada malam menjelang ulang tahun Danil yang ke-22, aku bermimpi. Dalam mimpiku, ia duduk di ujung tempat tidur, mengenakan kemeja putih dan celana panjang yang sedikit lusuh. Wajahnya pucat, matanya dalam, tapi senyumnya... senyumnya seperti dahulu. Ia tidak berkata apa-apa. Hanya menatapku. Tapi di belakangnya ada dinding yang aneh—bukan dinding kamarku—melainkan dinding kaca dengan kabut tebal di baliknya. Di sana, bayangan-bayangan manusia berlalu-lalang dalam diam, seperti siluet yang tak mengenal gravitasi. Ketika kutanya, “Kau di mana, Danil?”, ia hanya menunjuk ke dada kirinya, lalu menutup mulutnya dengan jari. Aku terbangun dengan napas tersendat dan basah air mata yang bahkan tidak kurasakan menetes.

Aku menulis mimpi itu di buku catatanku, lalu membakar kertasnya dan menaburkannya ke air sumur. Kupikir, mungkin begitu caranya pesan menyeberang. Sejak itu, aku tak lagi menghitung hari dengan angka, tapi dengan gema. Dan gema itu makin sering terdengar ketika Juli kembali mendekat. Daun-daun di halaman bergerak seperti bibir yang membisikkan namanya. Lampu-lampu meredup setiap sore. Bahkan langit pun kadang terasa lebih rendah, seolah dunia sedang menunduk kepadaku, mengakui bahwa memang ada celah yang dibuka oleh cinta yang tak hancur oleh waktu.

Dan kini, malam ini, tanggal 27 Juli 2027. Aku duduk di depan pintu rumah dengan lampu menyala temaram dan teh yang kuseduh masih dua cangkir. Satu untukku, satu untuk Danil. Hawa malam seperti menahan napas. Angin tidak berhembus. Waktu, entah mengapa, terasa lebih lambat, seperti detik-detik sedang berjalan di lumpur. Aku mengenakan pakaian yang kupakai saat terakhir kali memeluknya. Baju kuning pudar dengan sulaman bunga di lengan. Pakaian yang tidak pernah kucuci agar baunya tidak hilang. Setiap kerutan di wajahku malam ini serupa peta luka. Danil, jika kau akan datang, datanglah malam ini. Bawa waktu yang hancur itu bersamamu.

Pukul dua lewat dua puluh delapan. Jam dinding kembali berhenti. Tapi malam ini, ada sesuatu yang lain. Pintu berderit. Suara langkah pelan. Aroma tanah basah dan sedikit wangi melati. Hatiku seperti pecah menjadi seribu suara. Aku bangkit dan membuka pintu.

Danil berdiri di sana.

Tapi bukan seperti yang kuingat.

Wajahnya tak sepenuhnya utuh. Ada bagian yang seperti terbuat dari cahaya, bagian lain dari debu. Matanya dalam, tapi tidak menangis. Ia tersenyum. Lalu berkata, “Maaf, Ibu. Aku hanya bisa datang sekali. Dunia yang kupijak... terlalu jauh untuk kembali sepenuhnya. Tapi janji tetap janji.”

Ia menunduk, mencium tanganku, dan dunia sekitarku mulai mengabur. Rumah ini, halaman, bulan, semua melebur menjadi kilau halus. Danil berkata pelan, nyaris bisik, “Jangan menungguku lagi. Kini waktumu berjalan. Jangan biarkan hidupmu berhenti bersamaku. Aku bahagia, Bu. Kini, Ibu juga harus bahagia.”

Lalu ia lenyap. Tidak seperti mimpi yang larut, tapi seperti bayangan yang akhirnya pulang ke cahaya.

Aku tak menangis. Tidak kali ini. Aku hanya duduk di ambang pintu, memandang pagi yang mulai naik perlahan dari celah langit. Seekor burung kecil bernyanyi di dahan belimbing. Surat Danil masih ada di tanganku. Tapi kini tulisannya telah berubah. Di bawah kalimat terakhir, muncul satu kalimat baru, entah dari mana.

Hidup bukan tentang menunggu kembali, Bu. Tapi tentang mengizinkan hati untuk pulang.

Dan aku tahu, aku pun mulai pulang.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)