Masukan nama pengguna
PAGI. Dia akan pergi meninggalkan istri, ke tempat yang tak bisa bertegur sapa lagi. Menyebrang. Sampai bola mata tak saling bertatapan. Gemuruh ombak dan teriakan, bersahutan melepas sepi.
Lambaian tangan. Perpisahan kapal dengan tepi. Sebelum jauh merangkak, orang-orang berebut janji. Begitu juga Narsuji pada istrinya. “Selepas sampai, aku akan berkirim surat!” teriak memastikan, bahwa rindu akan datang seperti ombak di tempat perpisahan.
Air mata. Deras menuju laut dan samudra.
Di atas kabin, bak nahkoda. Narsuji mengarungi nasib. Yang sedari dahulu, belum ia temukan tempat berlabuh. Kapalnya selalu terlempar ke tengah kemiskinan. Terhimpit di antara karang penderitaan. Kebutuhan rumah tangga meningkat. Pajak dan iuran selalu mengikat. Istrinya menahan pergi. Perdebatan terjadi. Narsuji merayu.
“Hidu di kampung itu sulit, Ti. Pekerjaan sudah jarang. Orang-orang memilih pergi keluar kota. Akang malu. Malu Ti, lama jadi pengangguran!”
“Kenapa tidak minta pada Juragan Dasep?
“Akang tak mungkin bisa bekerja lagi padanya, teman sekerja dulu pernah menuduh Akang macam-macam. Hingga, Juragan Dasep mempercainya.”
“Kalau begitu, biar saya ke rumah Juragan Dasep!”
“Buat apa? Tidak perlu! Biarkan suamimu pergi demi keutuhan rumah tangga kita. Aku tidak tahan. Orang-orang gampang melecehkan, semena-mena kepada kita. Lebih baik aku mati di perantauan.”
Tak ada satu katapun dari mulut Surti. Ia berpikir, diam adalah juru selamat bagi rumah tangganya. Dan, membiarkan Narsuji meninggalkannya sendiri di sudut rumah.
Di teras. Narsuji meredakan aliran darah yang merangkak lebih cepat dari biasanya. Terdengar, sorak sorai jantung seperti dalam pacuan kuda. Berteriak kencang memberi semangat.
Tak lama. Karsum pun datang menghampiri. Ia lupa, harus pergi menemui orang tua Karsum. Memintakan izin perihal pergi merantau untuk bekerja di pertambangan bersamanya. Sebetulnya berat hati mengajak Karsum pergi. Narsuji tidak tega melihat bapaknya yang sudah renta harus ditinggalkan pergi. Ke kamar mandipun sudah tak mampu, perlu bantuan orang lain untuk memapahnya. Jika Karsum sedang berburu atau tidak ada di rumah, orang tua renta itu harus menunggu anak bungsunya pulang dari sekolah atau berteriak minta tolong tetangga. Itupun sekarang sudah jarang yang menggubris. Terlalu banyak merepotkan dan tidak tahan berada lama-lama di kamarnya.
Keadaan seperti itu tak membuat Karsum mengurungkan niatnya untuk pergi. Bapaknya akan baik-baik saja. Apalagi adiknya akan berhenti sekolah dan lebih memilih mengurus kambing. Dia akan sering berada di rumah, sesekali keluar hanya mencari rumput untuk pakan ternaknya.
Narsuji mengangguk, seolah menerima pembelaan dan mengerti keadaan keluarga Karsum. Percakapan langsung terhenti, mereka bergegas pamit kepada Surti yang sedang membanjiri rumah dengan air matanya.
Perjalanan menuju rumah Karsum terasa lebih cepat oleh Narsuji. Sepanjang jalan ia mencari akal supaya Istri dan orang tua Karsum mengizinkan mereka pergi.
Lama tak berkunjung. Tempat tinggal Karsum, semakin tak terurus. Pelatarannya ditumbuhi rerumputan. Bisa jadi, ini juga yang menyebabkan adik Karsum ingin mengurus kambing ketimbang sekolah. Pakan untuk ternak sudah melimpah, tak perlu bingung mencari jauh-jauh.
Seketika pemilik rumah membukakan pintu, aroma kotoran menyambar tamu yang berkunjung. Tanpa dipersilahkan, mereka langsung menutup hidung. Dan anehnya tak membuat Karsum tersinggung. Karena bukan satu dua lagi yang melakukan hal seperti itu.
“Loh, tamu ko dibawa ke sini Sum? Kasihan!” melirik Narsuji yang merasa pengap setelah masuk ke dalam kamar. “Bukan tamu ini Pak. Sudah lama tidak menengok Bapak. Merasa durhaka saya.” Narsuji menjawab dengan tertawa malu.
“Oh kamu, Nar?”
“Ia Pak!”
“Bapak dengar, kalian mau pergi merantau.”
“Betul Pak. Saya mohon izin.”
Karsum merasa rikuh dengan pertanyaan bapaknya. Khawatir Narsuji tersinggung dan mengurungkan niat untuk mengajaknya pergi.
“Maafkan Bapakku Nar.” Bisik Karsum.
“Dulu Ibumu pergi alasannya ingin bekerja ke luar Kota. Sampai adikmu besar, belum pernah Ia pulang atau memberi kabar kepada Bapak. Sekali waktu, Bapak hanya mendapat kabar dari tetangga yang juga bekerja di kota, Jubaédah Ibumu selingkuh dengan majikannya. Namun, Bapak tak pernah menggubris kabar burung itu, bahkan tak mempercainya. Tapi, semakin lama aku mendertita, keyakinanku pada Ibumu mulai rapuh. Sekarang, Aku sebatang kara. Dan tak punya teman cerita di hari tua. Hanya kamu satu-satunya”
Sontak, Narsuji langsung membujuk Karsum agar tak pergi meninggalkan Bapaknya. Namun Karsum memilih bersitegang dan tak menghiraukan omongan Narsuji. “Siapa yang mau hidup seperti ini? Bapak sendiri tahu, kalau di kampung susah untuk mencari pekerjaan. Seandainya kaya raya, tak mungkin aku memaksa pergi untuk merantau, Pak!”
“Aku memang tak berguna, Sum. Hanya jadi beban Istri dan anak saja. Belum bisa menyenangkan hati keluarga. Mungkin, Ibumu dulu berpikir sama sepertimu. Aku titip dia, Nar. Kapan kalian akan berangkat?”
“Besok. Bapak do’akan saja.” Sahut Karsum, membuat orang tua renta itu tak menjawab. Anggukan kepalanya membuat hening seketika.
Karsum berkemas, pamit bersama Narsuji. Malam sudah harus berangkat dan menunggu di pelabuhan.
“Jaga diri Bapak. Seandainya aku berhasil, akan kubelikan sawah dan kerbaunya.”
Pelukan terakhir. Air mata melepas anaknya pergi, ke tempat yang tak bisa bertegur sapa lagi.
Surti dan orang tua Karsum menjadi bayang-bayang Narsuji selama di perantauan. Mereka akhirnya rela ditinggalkan pergi merantau. Meski keragu-raguan dan kekhawatiran terus menyelimuti diri mereka.
Satu bulan berada di penampungan, belum ada kabar dari Tuan pemilik modal perihal keberangkatan mereka ke tempat pekerjaan. Narsuji semakin teriris-iris. Gundah. Melihat kehidupan semakin jauh dari harapan. Perbekalan hasil menjual ternak di kampung sudah habis. Jatah makan dari pemilik penampungan tidak bisa diandalkan. Banyak penghuni yang sering tidak terbagi, termasuk Narsuji dan Karsum.
Akibat itu, parapenghuni kekurangan gizi dan mudah terkena penyakit. Karsum sendiri terkena dampaknya. Ia terjangkit kolera dan demam tinggi. Setiap malam selalu menggigil. Dan, membuat Narsuji kalang kabut mencari pertolongan. Pengawas penampungan tidak pernah datang untuk berjaga kembali. Akhirnya, memaksa Narsuji mencari pertolongan sendiri, menanyakan dokter atau puskesmas terdekat.
Pontang-panting. Berlari sejauh mungkin. Berteriak meminta pertolongan. Hal itu menjadi sia-sia, setelah ia sadar bahwa penampungan yang ditinggalinya bersama Karsum jauh dari perkampungan. Ia kembali dengan tangan kosong lalu membacakan do’a agar Karsum diberi kesembuhan.
Tapi, Karsum semakin kejang. Tubuhnya dingin menggigil. Meracau. Terbata-bata meminta maaf kepada Narsuji dan Bapaknya. Melihat seperti itu, ia dibimbing mengucapakan istigfar dan syahadat. Air mata menyusuri lesung pipit, bibir dan menggenang pada tubuhnya.
Setelah mengubur harapan Karsum, Narsuji teringat pada istrinya. Dengan rasa malu, ia curahkan segala penyesalan. Sesampainya surat ini, semoga kamu dalam keadaan sehat, Ti. Maafkan suamimu yang ingkar, selama di perantauan baru hendak berkirim surat. Liku kehidupan membuatku bimbang. Gelombang resah tak sudah-sudah. Goncangan batin maha dasyat terus menerjang.
Surti, Istriku. Terima kasih sudah mempercai aku sebagai imam rumah tangga kita. Terima kasih pula kau telah mengizinkan aku pergi mengejar nafsu manusiawi. Terima kasih, telah sudi menunggu bersama jabang bayi dalam perutmu. Surti, tak henti aku mengucap syukur telah memiliki istri sepertimu. Malaikat yang diturunkan Tuhan dalam hidupku. Tinggallah kembali bersama orang tuamu. Karena sudah tak ada orang yang harus kau tunggu. Di perantauan aku kembali, bersama rindu dan pelukanmu.
Dari suamimu,
Narsuji.