Flash
Disukai
7
Dilihat
16,679
SURAT CINTA, 2017
Drama

Aku bisa mendengar namaku digaungkan dengan lantang saat kaki-kaki kecil ini menapaki undakan tangga menuju sebuah podium di tengah ruangan. Bangga, bahagia dan haru berbaur menjadi sebuah denyutan indah di dalam dada.

 

Siapa yang menyangka, jika putri dari sepasang petani miskin di pinggir kota yang buta huruf, bisa menjelma menjadi Lulusan terbaik dari salah satu Universitas paling prestisius di negeri ini.

 

Siapa yang menyangka, seorang perempuan yang tengah berdiri di tengah podium itu adalah perempuan yang sama, yang setiap malam menyalakan lilin karena terlampau miskin berhadapan dengan gemerlap cahaya lampu kota.

 

Saat sampai di podium, tatapanku menjelajah seisi Auditorium sampai terperangkap pada sepasang mata polos yang menatapku dengan air mata menggenang.

 

Ibu, bagaimana aku bisa menggambarkannya? Kini beliau tengah duduk di barisan paling depan. Dan di antara pakaian mewah para Wali, Ibuku terlihat begitu menawan mengenakan kebaya dan kain jarik yang warnanya telah pudar. 

 

Selama bertahun-tahun beliau telah menjadi pusat duniaku. Telinganya adalah rumah untuk segala ceritaku, matanya adalah telaga biru yang begitu bening, tempat terbaik untukku mengadu, begitu juga dengan nasihat beliau yang bagai anak panah, menembus tepat pada semangatku.

 

Aku mulai berpidato menggunakan bahasa Jawa, membuat beberapa orang mengernyitkan dahi. Namun, aku tidak peduli. Aku hanya ingin Ibu tahu, betapa bangganya aku menjadi anak seorang petani, betapa bangganya aku menjadi anak dari orang tua yang buta bahasa Indonesia, betapa bangganya aku menjadi menjadi bagian dari mereka. 

 

Lalu aku menunduk, menatap selembar foto hitam putih yang sudah kusut. Di dalamnya, terdapat sesosok pria muda yang tersenyum cerah sambil memeluk seorang gadis kecil yang tengah merajuk. 

 

Aku tidak bisa menahan senyumku saat membayangkannya. Bapak, seharusnya bisa dengan mudah aku mendeskripsikan bagaimana sosoknya. Luar biasa saja tidak cukup untuknya. Beliau adalah hal terbaik yang pernah aku miliki. 

 

Lima tahun lalu, Bapak pergi untuk selamanya karena sebuah penyakit yang telah dideritanya selama beberapa tahun. Lagi, kemiskinan selalu menjadi masalah utama dalam hidup kami. 

 

Aku ingat hari itu, saat kondisi bapak sedang sangat parah. Aku dan Ibu mencoba mencari pinjaman ke mana-mana agar bapak bisa mendapatkan beberapa obat untuk meredakan nyeri di kepalanya. Sayang, kami tidak dipercaya orang sangking miskinnya. 

 

Nyatanya, tangis Ibu mulai tidak dapat dibendung saat aku bercerita mengenai sosok Bapak di depan podium. Seorang pekerja keras, seorang yang begitu bertanggung jawab, seorang yang memberikan seluruh hidupnya untuk keluarga.

 

Di tengah kemiskinan yang membelenggu, Bapak adalah cahaya lentera yang begitu menenangkan. Di tengah kerasnya kehidupan, bapak adalah sentuhan lembut yang menggetarkan. Ya, beliau adalah Bapakku.

 

Adinda Rumi Arsya, Lulusan terbaik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)