Masukan nama pengguna
Kata orang, seseorang yang membuat kamu jatuh cinta di masa remaja adalah orang yang akan merubah segala sudut pandangmu akan dunia. Untukku kata-kata itu benar adanya.
Seseorang itu datang dalam bentuk seorang pemuda yang sejak kali pertama ku temui tak pernah kupikirkan kami akan menjadi dekat. Kalau aku diibaratkan sang matahari yang selalu menyinari hari dengan keceriannya. Maka ia adalah rembulan di malam tak berbintang. Sendirian, tak banyak bicara, dan terlalu tertutup. Namun ia tetap bisa bersinar dengan kecerdasannya yang diakui oleh siapapun.
Namanya Eka.
Aku dan dirinya berlawanan dalam banyak hal. Itulah mengapa butuh waktu 6 bulan lamanya, hingga kami yang notabene teman sekelas bisa saling berbicara. Eka dan segala kecerdasannya, adalah hal yang membuat siapapun merasa canggung untuk mendekat. Penampilannya terlalu serius, dan ia jarang sekali berbicara. Mungkin di kelas ia hanya akan berbicara panjang lebar ketika guru mengadakan sesi debat. Satu-satunya kondisi dimana siapapun bisa melihatnya begitu luwes berbicara di depan umum dengan pengetahuannya yang begitu luas. Tak heran jika selama 3 tahun masa SMAnya lebih banyak dihabiskan mengikuti lomba, tak sepertiku yang kerap kali datang ke sekolah hanya untuk bermain
Lantas dengan segala perbedaan itu, bagaimana bisa aku jatuh cinta padanya? Aku pun tak tau. Semakin lama kami berbincang, semakin lama kami menghabiskan waktu maka perasaan itu tumbuh dengan sendirinya. Aku yang tak begitu menyukai belajar, mendadak betah duduk berjam-jam bersamanya meski pembicaraan kami lebih banyak diisi diskusi tentang pelajaran ataupun laut dan segala misterinya. Topik favorit Eka.
Eka itu, tergila-gila sekali tentang laut. Jika remaja seperti kami lebih banyak berbagi cerita tentang musik ataupun film yang sedang terkenal belakangan ini. Maka Eka berbeda. Dia lebih sering berbicara tentang laut dan segala misterinya. Dalam salah satu sesi percakapan panjang kami, adakalanya ia membawa satu buah ensiklopedia laut dengan senyuman lebar. Memamerkan isinya kepadaku yang dengan senang hati mendengar.
Siapa sangka, kedekatan kami bukan hanya merubah perasaanku namun juga nilai-nilai akademik. Menyukai seseorang yang sangat hebat, memacu kamu untuk selalu menjadi yang terbaik. Menyukai Eka, membuatku berpikir untuk menjadi sosok yang mampu menyamainya. Menjadi sosok yang terlihat pantas untuk dekat dengannya. Si dia dengan segudang prestasi. Aku yang berniat di masa putih abu takkan lagi seambisius sebelumnya, berakhir mengejar Eka dalam nilai akademik. Tanpa sadar aku ikut bersinar bersamanya.
Namaku dan namanya selalu berdampingan sebagai peraih nilai tertinggi. Sebuah hal yang entah kenapa sering kami jadikan bahan candaan, dengan saling berlomba menyaingi nilai satu sama lain. Walau aku ini akan selalu kalah dari sosoknya. Perlombaan tak kasat mata kami, nyatanya membawaku untuk masuk ke 10 besar nilai tertinggi seangkatan selama 2 tahun. Nomor satunya? Tentu saja Eka. Urutan itu di tahun terakhir, jelas memiliki banyak arti. Termasuk fakta bahwa aku telah mengamankan posisi sebagai penerima kuota murid yang dapat mendaftar universitas melalui jalur undangan.
"Lo udah isi pilihan univ?" tanyaku padanya di suatu hari di masa awal menjadi murid tahun ketiga. Di depanku ada secarik sebuah formulir yang wajib diisi setiap murid tahun terakhir untuk mengetahui rencana masa depan mereka.
Eka yang kala itu sedang serius sekali menyelesaikan buku bank soalnya mengalihkan pandang padaku. "Udah. Gue pilih STEI sama SAPPK ITB sih."
"Loh nggak ambil yang tentang kelautan?"
"Nggak, ortu gue lebih setuju gue nggak ambil ke arah kelautan gitu." Pandangan Eka kembali fokus ke buku bank soal. "Lo masih belum ngisi? Bukannya terakhir dikumpul kemarin?"
"Iya, makanya gue lagi dikejar-kejar Bu Endah ini." Aku menghela napas mengingat wali kelasku telah memberi wejangan panjang buntut dari formulir karir yang tak kunjung ku berikan. "Gue bingung."
Suara pena mekanik ditekan membuatku melirik Eka yang sudah meletakkan penanya ke atas meja. Berhenti sepenuhnya menulis, dan siap mendengarkan. Walau terlihat cuek dan terlalu serius pada segala hal tentang pelajaran. Ada kalanya Eka bisa menjadi pendengar terbaik. Jika ia telah melepas alat tulis ditangan, dan diam menatap lawan bicara artinya ia siap mendengarkan apapun keluh kesah yang terucap. Salah satu alasan mengapa aku betah sekali bercerita banyak padanya.
"Bingung kenapa?" Jantungku rasanya mau meledak kala Eka bertanya dengan nada lembutnya. Pemuda itu memang memiliki tata krama yang patut diacungi jempol. Selama aku mengenalnya tak pernah nadanya naik satu oktaf pun saat berbicara.
"Gue mau ambil sastra sebenarnya," ucapku memberi tahu keresahan yang melanda beberapa hari ini. "Cuman kalau gue ambil Sastra berarti gue harus ikut SBM, dan keluarga gue nggak bolehin gue masuk sana sih."
"Kenapa nggak dibolehin?"
"Kata mereka prospek masa depannya bakalan sulit. Jadi mereka nolak habis-habisan." Formulir ditanganku tatap nanar. Teringat belakangan ini pembicaraan dengan kedua orangtua lebih banyak diisi dengan pertengkaran perihal jurusan yang harus kupilih. "Lo tau kan sesuka apa gue sama sastra."
"Memangnya harus sastra ya Sha?" Pertanyaan Eka itu jelas menohok sesuatu di sudut terdalam hati kecilku. Pandangannya serius namun tetap menenangkan. "Gue tau kok sesuka apa lo sama sastra. Bukan cuman suka malah tapi lo emang berpotensi disana, makanya bisa menang lomba kemarin kan. Tapi Sha, memang harus sastra ya?"
"Maksudnya?"
"Lo pernah bilang kalau sastra itu adalah obat penyembuh kan? Belajar itu pasti ada capeknya. Coba bayangin kalau lo memaksa untuk masuk ke sana, lalu dibuat lelah akan tugas-tugasnya yang nggak sesuai ekspektasi. Apa lo akan tetap menyukai sastra kalau itu terjadi?"
Kalimat Eka jelas membuatku terdiam. Dia ada benarnya. Ada banyak sekali kisah dari mereka yang memilih menekuni kegemarannya, memang ada yang berakhir bahagia. Namun tak sedikit yang berakhir muak dan enggan menyentuh kegemarannya lagi setelah menghadapi kesulitan yang ada.
Buatku sastra adalah pelarian dari segala hal melelahkan di muka bumi. Dunia imajinasi yang kutuangkan dalam susunan kata adalah obat terampuh kala lelah menjalani hari. Lantas bayangan bahwa kesenangan itu bisa saja berubah menjadi siksaan, jelas menakutkan. Aku tak mau dunia yang kucintai itu berubah menjadi hal yang paling ku benci.
Tanganku terkepal satu sama lain, jelas merasa bimbang. "Nggak harus sastra sih. Cuman kalau bukan sastra gue nggak tau harus ngelakuin apa di masa depan."
"Udah coba untuk mengingat cita-cita apa aja yang pernah lo punya?"
Kalimat itu seolah menyalakan gerigi otak yang tak kunjung bergerak kala diajak berpikir mengenai masa depan. Eka benar. Selama ini aku terlalu terbuai akan kebahagiaan di masa putih abu. Sudah saatnya aku kembali mengingat apa saja yang pernah ku cita-citakan di masa lalu. Aku harus kembali menemukan diriku di masa lalu, si ambisius dengan segudang mimpi.
Maka, ketika aku pulang ke rumah. Ku keluarkan segala hal dari masa lalu yang bisa ditemukan. Mulai dari essay cita-cita di masa SD, hasil penilaian potensi kecerdasan di masa SMP, hingga sebuah gambar yang berasal dari taman kanak-kanak. Koki, pilot hingga ilmuwan. Ada begitu banyak cita-cita, hasil dari kelabilan seorang anak yang tak memiliki banyak pertimbangan untuk sekedar bermimpi. Namun, diantara berbagai pilihan cita-cita itu ada satu yang selalu muncul.
“Kamu lagi apa?”
Aku tersentak kala Mama mendadak menegurku. Puan yang melahirkanku itu berdiri di ambang pintu dengan sepiring potongan buah yang memang selalu ia siapkan setelah aku pulang sekolah. Matanya mengerjap beberapa kali, menatap kekacauan dari kertas-kertas yang ku kukeluarkan dari kotak penyimpanan.
“Cuman lihat-lihat aja kok,” sahutku dengan gelagapan. Bergegas membereskan kertas yang berserakan di lantai. Tau betul setidak suka apa Mama akan hal berantakan. Namun, Mama tak mengatakan apa-apa selain meletakkan piring di atas meja belajar, lantas mendudukkan diri di ujung tempat tidur.
Tangan Mama terulur ke sebuah kertas gambar. Sebuah kertas dari masa taman kanak-kanak yang sempat ku amati terlalu lama. Ekspresi Mama tidak pernah bisa terbaca, itulah mengapa aku tak tau apa yang sedang dipikirkannya saat ini. Namun, aku yakin ia menyadari bahwa putri bungsunya yang satu ini sedang dilanda bimbang perihal masa depan.
“Mama ingat pas dulu kamu gambar ini.” Mama memberi senyum simpul, mulai bernostalgia. “Waktu itu kamu berlari ke Mama sambil melambaikan kertas ini dengan gembira. Kata kamu hari itu, Mama aku mau jadi dokter.”
“Aku ngomong gitu?” tanyaku tak banyak mengingat apa saja yang terjadi di masa taman kanak-kanak. Mama hanya mengangguk sebagai pembenaran.
“Dulu celotehan kamu selalu tentang menjadi dokter. Kamu bilang mau jadi dokter biar selalu bisa nyembuhin Papa, Mama, Abang dan Kakak kalau tiba-tiba sakit.” Senyuman Mama semakin lebar. “Tapi pembicaraan kamu tentang menjadi dokter, berhenti setelah kakak meninggal.”
Aku dibuat terdiam oleh ucapan Mama. Kakak keduaku, meninggal di usia 17 tahun ketika aku duduk di kelas 3. Ia meninggal karena tabrakan beruntun yang terjadi waktu dirinya hendak pulang ke rumah. Saat itu, dengan mata kepalaku sendiri aku melihat seriuh apa suasana IGD yang dipenuhi oleh korban tabrakan lainnya. Kondisi kakakku memang sudah terlalu parah ketika dibawa ke rumah sakit. Dokter bilang Kakak sudah terlalu parah bahkan jika mereka melakukan operasi sedarurat mungkin.
Informasi itu jelas membuat keluargaku terpukul sedemikian rupa. Namun, kedua orangtuaku punya hati yang sangat lapang. Mereka tau bahwa ditengah kondisi yang carut marut, para tenaga kesehatan menerapkan skala prioritas dalam menangani pasien. Dan, kakakku tidak berada di dalam skala prioritas itu. Setelahnya aku melihat kedua orang tuaku memegang tangan kakak dengan teramat erat. Memberi isyarat bahwa Kakak tak sendirian menjelang ajalnya menjemput. Maka ketika Papa menuntun Kakak mengucap kalimat tahlil, saat itu juga aku paham bahwa Kakak telah pergi untuk selamanya. Kejadian itu mungkin terlalu traumatik untukku.
Aku yang selama ini berpikir, Dokter akan selalu bisa menyembuhkan siapapun separah apapun kondisinya dihantam oleh realita. Dihantam kenyataan bahwa mereka hanyalah manusia biasa yang tak memiliki kuasa akan hidup dan mati. Cita-cita itu mendadak bukanlah sebuah cita-cita yang hebat. Sebab hari itu aku berpikir mereka tak melakukan apapun kepada Kakak walau sebenarnya mereka bisa. Baru belakangan inilah aku menyadari kematian Kakakku bukanlah salah siapa-siapa.
“Nak.” Mama mengusap rambutku lembut, memberikan kertas gambar ditangannya padaku. “Kamu nggak mau jadi dokter aja?”
***
“Habis darimana?” Eka langsung menyerbuku dengan pertanyaan, kala aku baru kembali ke kelas di pertengahan jam istirahat.
“Ruang BK.” Aku mengeluarkan kotak bekal di atas meja, lantas memutar kursiku ke belakang. Posisi duduk kami memang depan-belakang seperti ini. Makanya di jam istirahat aku lebih suka memutar kursi menghadap ke mejanya untuk makan siang bersama. Kulirik kotak bekalnya yang sudah hampir habis, sembari cemberut. “Parah banget, nggak nungguin gue dulu.”
“Maaf deh, gue laper soalnya,” jawab Eka sembari meletakkan dua buah jeruk santang ke hadapanku. “Sebagai permintaan maaf, gue kasih jeruk.”
“Gue terima kalau dibukain juga.” Mungkin di sekolah ini hanya akulah yang berani bersikap sesantai ini dengan Eka. Aku senang sekali menggodanya seolah sedang merajuk betulan padahal mana ada orang merajuk sambil tersenyum kecil? Namun, Eka akan menuruti apapun keinginanku sebagai bentuk keseriusannya meminta maaf. Ya walau sesekali mendumel seperti yang ia lakukan sekarang.
“Manja banget deh maunya dibukain.”Pemuda itu benar-benar membukakan jeruk untukku sembari mendumel kecil. Sisinya yang satu ini hanya diperlihatkannya pada beberapa orang, dan aku salah satunya.
“Gue habis ngasih formulir karir. Sempat diomelin soalnya ngasih terlalu lama.”Aku menghela napas, mengingat ceramahan yang kuterima di ruang BK tadi.
“Oh jadinya udah memutuskan mau ambil apa?” tanya Eka memperbaiki posisi duduknya siap mendengarkan cerita dariku.
Kutelan potongan perkedel di mulut, sembari mengangguk kecil. “Kedokteran. Gue ambil yang di Depok atau nggak Jatinangor.”
Eka terdiam sebentar, mencoba mengolah informasi yang diperolehnya sebelum memberi senyum.
“Semoga keterima ya Sha.”
***
Siapa sangka percakapan kami saat itu akan berlalu begitu cepat.
Baik aku maupun Eka sama-sama disibukkan oleh segudang pelajaran tambahan dan tes untuk mengukur seberapa siap kami menghadapi tes masuk universitas. Pembicaraan kami lebih banyak diisi perihal pelajaran. Eka dengan senang hati berbagi trik cepat menyelesaikan salah satu soal kepadaku, sementara aku juga menyediakan berbagai cemilan sebagai teman belajar. Hingga segala kesibukan dan ujian yang datang, mengantarkan kami ke salah satu hari terpenting. Pengumuman penerimaan universitas melalui jalur undangan.
Menjelang pengumuman, seolah memberi waktu kepada murid-murid yang mendaftar pada jalur undangan sekolahku mendadak jam kosong untuk setiap kelas 12. Jika jam kosong biasanya diisi dengan menonton film ataupun bermain, kali ini berbeda. Mereka yang tidak mendapat kuota memilih menyibukkan diri dengan belajar untuk persiapan tes masuk, sementara mereka yang mendaftar mencoba mendistraksi diri. Semakin mendekati jadwal pengumuman, kami yang mendaftar jalur undangan semakin gencar mengucap doa. Berharap jerih payah kami selama 2 tahun setengah menjadi murid SMA akan terbayarkan.
“Ternyata lo disini.”
Aku menoleh ke belakang, mendapati Eka yang ikut duduk di salah satu anak tangga bersamaku. Di tangannya ada satu kantung plastik berisi makanan dan minuman. Tak ada yang memecah hening, kami sama-sama tenggelam dalam pikiran. Kami sama-sama gugup, menghadapi pengumuman yang tersisa beberapa menit lagi. “Kok lo tau gue disini?”
Tempat yang kami pilih untuk menenangkan diri, adalah sebuah anak tangga yang jarang dipakai oleh murid sekolah kami. Terletak di ujung gedung dekat lab bahasa, jarak antar anak tangga yang terlalu tinggi dan bentuknya yang sedikit curam membuat murid-murid enggan menggunakannya. Sebuah tempat yang tanpa sengaja kutemukan, dan kerap kujadikan pelarian kala ingin menyendiri. Terakhir aku kesini, adalah saat pengumuman terakhir lomba menulis yang kuikuti.
“Kalau kita sama-sama keterima, berarti kita bakal beda univ ya.” Aku jadi orang pertama yang memecah hening. “Kita pasti susah ketemu di masa depan.”
“Kenapa susah?” tanya Eka sedikit tak terima akan kata-kataku barusan. “Kalau ada waktunya bisa aja kok kita ketemu.”
Jawaban itu hanya kubalas dengan kekehan kecil. Dia ini apa tak sadar kalau aku sepaham apa tentang dirinya. Eka bukanlah tipikal orang yang suka memposting sesuatu di sosial media, ia juga jarang sekali membalas pesan kalau bukan karena hal penting. Jika kami berpisah, sudah jelas hubungan kami takkan sedekat ini lagi. Semuanya akan berubah menjadi asing.
“Nanti di perkuliahan buat temen yang banyak, biar nggak kesepian di tempat rantau.” Tepat setelah ku berkata itu, waktu tepat menunjukkan pukul 3 sore. Waktu pengumuman hasil seleksi masuk.
Tak seperti Eka yang bergegas membuka ponselnya untuk melihat hasil. Aku memilih diam, dengan pandangan menerawang ke lapangan. Memperhatikan para adik kelas yang sedang berolahraga disana. Sayup-sayup dapat ku dengar suara teriakan kegembiraan ataupun kalimat penuh penghiburan. Dalam sekejap suasana sekolah yang sepi mendadak ramai. Suara helaan napas, membuatku melirik Eka.
“Lo diterima ya?”
“Kok lo belum cek hasilnya?”
Tanganku yang sedaritadi terkepal, semakin mengerat. Suatu hal yang baru disadari oleh Eka, bahwa aku sedaritadi sedang berusaha melawan rasa gugup. “Mau gue yang cek?” tawarnya seolah tau aku tak memiliki keberanian untuk membuka hasil seleksi. Aku terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya mengangguk. Menyebutkan data diri yang diperlukan untuk membuka hasil seleksi.
“Nggak diterima ya?” terkaku kala Eka tak kunjung bersuara. Pemuda itu melempar tatapan yang begitu serius, hingga aku tak bisa mengerti arti dari tatapannya. “Yaudahlah gue masih-“
“Keterima Sha. Lo keterima di depok.”
Kalimat itu, seketika membuat mataku melebar. Kepalaku tertoleh terlalu cepat ke arah Eka yang kini sudah tersenyum sangat lebar. “Kita lulus Sha. Kita lulus,” ucapnya dengan nada lebih mantap sembari menunjukkan layar ponselnya. Bukti bahwa aku benar-benar diterima oleh universitas incaranku.
Setetes airmata yang mendadak jatuh, buru-buru ku usap. Buru-buru ku raih ponsel Eka, memastikan bahwa tulisan yang tertera disana benar adanya. “Lo, lo keterima yang mana?” tanyaku gelagapan. Napasku yang sedaritadi berat, kini lega bukan main.
“STEI.” Eka tersenyum lebar, kegembiraan tercetak jelas di wajahnya. “Jangan lupa kabarin Bu Endah sama keluarga lo.”
“Hape gue di kelas.”
“Kalau gitu ayo ke kelas. Anak kelas pasti nungguin kabar kita juga.” Eka bangkit lebih dulu, membuka salah satu botol air putih lantas menyerahkan padaku. “Tapi sebelum itu lo harus minum dulu.”
Aku menurut, ku teguk air tersebut berharap rasa kering yang sedaritadi melanda tenggorokkan mereda. Tatapanku lantas teralih pada punggung Eka yang kini membelakangiku. Entah ada hal magis apa, namun Eka terlihat berbeda hari ini. Jarak antara kami sudah semakin jelas terlihat. Takkan ada lagi hari-hari dimana kami menghabiskan hari berbicara panjang lebar. Hari dimana aku rela berlama-lama mendengar kisahnya tentang laut ataupun rumus Matematik akan segera berakhir. Mendadak keberanian itu muncul begitu saja.
“Ka.” Panggilanku membuat Eka yang sudah berada di anak tangga terakhir, membalikkan badannya. Melempar pandangan penuh tanya atas panggilanku barusan. Aku mengigit bibir, menyakinkan diri kalau bukan sekarang takkan ada lagi kesempatan untuk jujur. “Gue boleh jujur nggak sama lo?”
Pandangan Eka berubah, ia menundukkan kepalanya untuk waktu cukup lama sebelum menatapku lekat-lekat. “Nggak boleh, kalau ini soal perasaan lo.” Sebuah jawaban yang jelas membuat aku membeku di tempat.
“Hah?”
“Sha, lo nggak lupa pembicaraan kita dulu kan?”
Pertanyaan itu langsung melempar gue ke salah satu sesi percakapan panjang kami. Sebuah percakapan dimana aku sempat bercanda tentang perasaanku sendiri. Siapa sangka bahwa Eka hanya berpura-pura tak mengerti. Sejak lama ia sadar akan perasaanku yang berubah padanya. Ia sudah tau. “Jangan Sha, kalau lo ucapin kita nggak akan bisa tetap jadi teman.”
“Karena lo akan langsung jauhin gue?”
“Karena gue akan langsung jauhin lo.” Selesai sudah. Jawaban itu menjadi akhir dari perasaanku untuknya. Eka menghela napas, “Gue tunggu di kelas aja ya.” Setelahnya ia berjalan lebih dulu menuju kelas. Meninggalkan ku yang masih terpaku. Perasaan bahagia karena langkah awal menuju mimpi telah kuraih, kini berganti perasaan nelangsa akibat perasaan yang tak terbalas. Bahkan sebelum aku mengatakan apapun.
Namun, meski hatiku patah dibuatnya aku harus mengakui ia adalah bagian terbaik di masa remaja. Kalau bukan karena dia aku akan selalu terlena akan kebebasan sebagai remaja. Kalau bukan karena dia takkan ada hari dimana aku ingin menjadi yang terbaik untuknya. Kalau bukan karena dia takkan kusadari mimpi yang sempat kuabaikan.
Hari itu aku bukan hanya melewati garis pertemanan kami, namun merusak pertemanan yang kami punya. Sebab setelahnya, kami benar-benar menjadi asing. Seolah segala kedekatan kami di masa sekolah tak pernah terjadi.
***
“Lo jangan baik-baik deh, nanti gue suka gimana?.”
“Makanya lo jangan baper sama gue, Sha.”
“Kenapa gue nggak boleh baper sama lo?”
“Kita banyak bedanya?”
“Tapi walau beda gue bisa memahami lo kan.”
“Iya, tapi lo juga nggak jadi diri sendiri kalau sama gue. Jadi jangan Sha. Jangan suka sama gue.”