Masukan nama pengguna
“Aku akan menikahimu, sungguh.”
Gadis itu menggeleng. “Aku hanya akan merepotkanmu. Kau tahu betapa lemahnya tubuh ini. Hanya—”
“Akan kucari!” sambung si pemuda berperawakan tinggi dengan surai coklat gelap itu. “Akan kucari sampai dapat. Janji!” sambungnya penuh keyakinan.
Gadis cantik yang mungkin menginjak umur dua puluh awal, dengan mata merah darahnya, mau tidak mau tersenyum. “Kau memang selalu egois Charl,” gumamnya. Namun jantungnya berdegup kencang dengan wajah bersemu merah. “Seperti biasa, aku hanya bisa mengalah. Akan kutunggu ... sampai kapan pun.”
***
Charlie terbangun dari tidur, tanpa terasa air matanya menetes turun. “Selalu saja begini,” gumamnya mencela diri sendiri.
Pemuda itu menyibak selimut dan tiba-tiba gerakannya berhenti, matanya melotot. Ada sesuatu yang mengejutkannya, dan sesuatu itu sama sekali tidak boleh dikejutkan. Perlahan-lahan, Charlie menutupkan kembali selimutnya ke sesuatu itu dan dia turun dari kasur. Dengan gerakan lambat, lambat sekali.
Charlie menghela napas lega menyadari sesuatu itu sama sekali tidak bangun. Bergerak pun enggan. “Kau memang tukang tidur,” Charlie bergumam. Walaupun begitu, mulutnya tersenyum.
Dengan hati-hati, Charlie mengelus lembut rambut putih tebal milik si kucing yang sejak semalam tadi tidur sekasur. Dia tak mau hewan itu mengamuk dan mencakari wajahnya seperti minggu terakhir hanya karena tidurnya diganggu. Selama dia tidak bangun sendiri, Charlie harus berpikir dua kali untuk membuatnya terjaga.
Pemuda ini menguncir rambutnya yang panjang sebahu, membuka gorden—tindakan ini, setengahnya bertujuan untuk membangunkan si malas itu—membuka jendela, lalu menikmati udara segar pagi hari yang sejuk menenangkan. Jika sudah seperti ini, pikirannya tak bisa tidak melayang ke masa lalu. Delapan tahun lalu, di mana janji itu terucap, dengan jelas dan tegas, penuh keyakinan. Selama delapan tahun pula, Charlie tak pernah bisa berhenti menyalahkan dirinya sendiri.
“Stella, maafkan aku ... tunggu aku sebentar lagi.”
Charlie membuka tujuh lembar kertas yang ia gulung rapi. Membacanya satu-satu. Lalu senyum-senyum sendiri.
Lembar-lembar kertas itu adalah surat dari Stella yang dikirmkan kepadanya setiap tahun. Charlie tak pernah meminta apalagi menyuruhnya. Tapi surat-surat itu menjadi obat mujarab untuk mengatasi kerinduannya kepada gadis tersebut. Membaca surat-surat itu di pagi hari, sudah menjadi kebiasaan Charlie.
Tahun ini, sepertinya Stella tidak mengiriminya surat. Charlie sama sekali tidak keberatan. Justru sedikit lega karena selama ini, dia merasa sedikit merepotkan gadis itu dengan surat-surat yang diberikan. Seakan, Charlie sendiri yang menyuruh Stella untuk mengirim surat rutin sedangkan dirinya sedang sakit.
“Miauw ....”
Charlie sedikit tersentak. Lalu tersenyum. “Starla, kau sudah bangun?”
“Miauw ...,” seolah dapat memahami perkataan Charlie, Starla mengangguk singkat sebelum menguap lebar. “Miauw ...,” sekali lagi, dia bersuara. Minta makan.
Kucing betina ini ia temukan tiga bulan lalu di suatu hutan. Dia memberinya makan sisa karena kasihan dengan keadaan Starla yang amat memprihatinkan. Setelah itu, entah bagaimana si kucing tak mau lepas darinya lagi. Selalu mengikut kemana pun ia pergi.
Nama Starla ia berikan kepada si kucing karena kemiripan bola matanya dengan Stella, sang pujaan hati. Warna mata merah darah dari Starla pulalah yang selalu menjadi penyemangat Charlie. Sejak nama itu diberikan, Charlie bertekad untuk terus merawat Starla. Kalau perlu menjadi “anaknya” ketika dia dan Stella sudah menikah. Berpikir sampai sini, wajah Charlie memerah dan ada jutaan bunga dalam dadanya.
Setelah perut mereka kenyang, Charlie melanjutkan perjalanan. Selama keluar dari kamar hotel kota itu, wajahnya selalu tersenyum. Memang hatinya sedang dalam keadaan baik, terlalu baik malah.
Itu karena dia sudah dekat dengan tempat obat untuk Stella yang selama delapan tahun pencarian, tak kunjung ia lihat itu. Kini, ada kabar angin yang beredar bahwa obat itu berada di kawah gunung tak jauh di depan.
Sakit Stella adalah sakit yang kemungkinan tak bisa disembuhkan, sakit permanen. Tabib bilang, Stella sebenarnya tidak sakit, hanya keadaan tubuhnya saja yang jauh lebih lemah bahkan dari anak-anak. Sehingga setelah Stella menginjak usia tiga belas tahun, hampir tak ada hari yang dilewatinya tanpa jatuh sakit.
Kata tabib itu, hanya ada satu obat yang bisa menyembuhkan Stella. Itu bernama Rumput Vhors. Legenda mengatakan, jika Rumput Vhors ini adalah rumput yang kemunculannya tak dapat diduga-duga. Kadang di tanah, kadang mengalir di sungai, kadang di pusaran air, bahkan ada yang menuliskan bahwa pernah pada suatu masa, Rumput Vhors ini tumbuh di gumpalan awan. Betapa gilanya!
Khasiat rumput ini dipercaya dapat menyembuhkan segala masalah dalam tubuh. Bukan penyakit, tapi masalah. Sehingga apa pun kejanggalan yang terjadi dalam diri seseorang, entah sakit, keracunan, cacat, bahkan gangguan jiwa dan hilang ingatan, jika meminum air rebusan rumput ini, dapat dipastikan orang itu akan kembali seperti semula.
Dapat dibayangkan betapa girang dan bahagianya perasaan hati Charlie yang mendengar berita bahwa Rumput Vhors katanya muncul di kawah gunung yang sudah tidak seberapa jauh lagi.
Dia mendaki gunung sambil setengah meloncat-loncat. Memang kabar itu boleh jadi palsu dan tidak bisa dipertanggung jawabkan. Namun melihat banyaknya petualang yang mendaki gunung ini, itu hanya menambah kepercayaan dalam diri Charlie bahwa kabar itu memang benar. Semoga saja ....
Starla sudah sejak berangkat tadi membonceng di pundak Charlie. Pemuda itu membiarkan saja walau mulai terasa pegal juga.
“Starla, jika nanti terjadi keributan, kau tunggulah di luar kawah,” kata Charlie begitu dia sudah tiba di puncak gunung dan menatap ke kawah yang sudah diisi banyak orang itu.
Starla paham dan segera melompat turun. Lalu setelah mengeong sekali, dia lari ke semak-semak di dekat sana. Memang Starla kucing cerdas, terlalu cerdas malah jika untuk seukuran hewan. Dia terlihat seperti pemalas dengan pola hidup makan-tidur-buang air. Namun di situasi begini, dia sama sekali tidak mau merepotkan majikannya.
Charlie melanjutkan langkahnya menuju puncak yang sudah dekat. Tongkat kayu sudah siap di tangan kanan dan sikapnya waspada. Para petualang sudah berkumpul di pinggir kawah.
Tiba-tiba, tanah bergetar, bumi berguncang.
Charlie menancapkan tongkatnya untuk menjadi tumpuan, mulutnya komat-kamit merapal mantra dan perlahan, dia melayang beberapa centi dari tanah.
“Erupsi?” gumam Charlie bingung ketika dari kawah muncul asap yang semakin tebal. Dia menoleh ke kanan kiri untuk melihat para petualang lari kocar-kacir. Tapi terlepas dari semuanya, ada yang nekat terus mendaki. Salah satunya adalah dia sendiri.
Setibanya di mulut kawah, dia memandang ke bawah. Cairan lava merah kekuningan bergerak ganas seolah berniat menghancurkan dinding gunung yang terus bergetar. Charlie memfokuskan pandangan, mencari-cari letak Rumput Vhors yang katanya berbentuk seperti alang-alang dengan bunga mirip kepala singa.
Matanya terkunci ke ujung kawah, kepada batu hitam yang berdiri kokoh di tengah-tengah ganasnya amukan lava. Anehnya, beberapa meter dari batu itu, lava bergerak tenang. Tak seliar di tempat lain.
“Itu ... Rumput Vhors!” seru Charlie girang. Dia segera mengaktifkan sihirnya dan tubuhnya meluncur ke bawah. Menciptakan sayap angin berbentuk kupu-kupu yang membawa tubuhnya melesat cepat ke arah batu itu.
“Tak semudah itu!”
Seruan dari kanan mengejutkannya. Sambaran angin tajam bergerak menuju lehernya yang segera ia tangkis dengan gebukan tongkat. Orang itu terpental, lalu menyerang lagi.
“Orang tua, harap jangan mengganggu!” bentak Charlie dengan mata mendelik. Ia menukik lalu melambung tinggi lagi untuk menghindarkan diri dari lava yang tiba-tiba menyembur ke atas.
“Hahaha, siapa cepat dia dapat! Hanya kita berdua yang masih hidup. Yang hidup terakhir, dialah yang pantas menyentuh rumput itu!” orang tua itu berkata lantang.
Saat itu, baru Charlie sadar betapa kedua tangan si orang tua berlumuran darah. Kiranya para petualang yang dengan nekat terus mendaki tadi telah dibunuh orang ini. Mengingat di sini tak ada orang lain selain mereka.
Charlie menggertakkan gigi. “Kau yang memaksa! Demi orang yang kucinta, aku rela membunuh satu dua manusia!”
“Majulah!”
Mereka bertarung dengan sengit di tengah kawah itu. Tubuh mereka sama-sama terbang, bukti nyata bahwa keduanya adalah pengendali angin handal. Dengan sayap kupu-kupu dan tongkat kayunya, serangan Charlie terlampau ganas. Sebaliknya, gerakan si kakek tak terlalu cepat, namun mantap dan berat. Inilah yang membuat Charlie tak bisa mengalahkannya dengan cepat.
Namun pada satu kesempatan, cairan lava di bawah kaki mereka menyembur tinggi. Saat itu, kebetulan si lelaki tua sedang menerjang dengan kecepatan luar biasa sambil menusukkan tombaknya. Charlie memanfaatkan ini.
Ketika si tua itu sadar ada semburan lava yang menyembur, dia menghentikan terbangnya untuk berniat mundur menjauh. Namun Charlie tak mau membiarkannya. Dia mengangkat tongkat dan membaca mantra, seketika pusaran angin tercipta di sekeliling tubuh si orang tua. Memaksa orang itu berdiam di tempat tanpa mampu bergerak.
“Sialan! Lepas!” orang itu meraung dengan wajah yang semakin pucat sementara semburan lava itu kian mendekat.
Charlie bergerak mundur. Cairan lava menyembur di depannya. Dia terhempas, lalu menghantam dinding gunung sebelum akhirnya jatuh dan terkapar di atas darat dalam kawah tersebut. Ketika dia memandang, ia mampu melihat tubuh orang itu itu menggeliat di tengah cairan lava yang masih terus menyembur membentuk pilar tinggi. Diam-diam dia merasa bersalah dan merangkapkan tangan untuk memberi penghormatan terakhir.
Charlie mengangkat tubuhnya bangun dan segera pandangannya bertemu dengan sebuah rumput yang berdiri sendiri di tengah-tengah kawah. Di atas batu hitam. Rumput setebal alang-alang dengan bunga mirip kepala singa. Rumput Vhors!
Pemuda ini lantas memaksakan tubuhnya. Kembali menciptakan sayap kupu-kupu dan terbang ke batu tersebut. Sedikit usaha yang ia lakukan demi mencapai batu. Cipratan lava membuat bajunya sedikit terbakar dan rambutnya terpangkas setengah. Namun semua itu tak ia hiraukan ketika berhasil mencabut Rumput Vhors dan terbang pergi keluar kawah.
“Starla! Starla!” dia memanggil berulang kali ketika sampai di tempat terakhir dia bertemu kucing itu. Guncangan gunung makin terasa dan itu membuatnya gelisah. “Starla!” panggilnya sekali lagi.
“Meow!!”
Kelebatan putih nampak dari balik semak belukar dan hinggap di pundak Charlie.
“Bagus. Mari kita pulang temui ibumu!” ujar Charlie penuh semangat. Dia melesat, gunung pun meletus.
***
Rumah sederhana di tengah padang rumput itu terpisah dari dusun-dusun sekitar. Berdiri sendiri dengan halaman kecil yang diisi sebuah pohon apel. Rumah itu bercat merah, sebuah rumah mungil namun rapi dan terawat.
Charlie dengan langkah lebar menghampiri pintu dan mengetuk.
“Stella, aku pulang,” katanya setelah tiga kali ketukan. Membayangkan betapa Stella akan menyambutnya penuh senyum dan peluk hangat, membuat kakinya gemetar.
Akan tetapi, setelah berulang kali mencoba, tidak ada jawaban dari sebelah dalam. Hal ini membuat Charlie dan Starla saling pandang.
“Stella, aku—eh, pintu tidak dikunci?” kaget Charlie ketika pintu dapat ia dorong dengan mudah. “Stella, aku masuk ....”
Dia melihat isi rumah itu. Bersih, rapi dan harum. Ini menjadi bukti bahwa di sini masih berpenghuni dan dia segera berpikir. Mungkin dia berbelanja di desa sekitar.
Charlie sama sekali lupa bahwa Stella-nya sama sekali tidak bisa berjalan lebih dari sepuluh langkah di bawah terik matahari.
Dia berjalan makin dalam. Melewati ruang makan, terlihat piring dan mangkuk kotor yang belum dicuci. Perasaan Charlie makin senang. Piring dan mangkuk itu untuk porsi dua orang. Berarti Stella dan Berta—pelayan Stella—masih tinggal di sini dan baru saja selesai makan. Dan baru kinilah Charlie teringat akan Berta. Haduh, cinta membuatnya lupa segala.
Menoleh ke kanan, ia menemukan sebuah pintu yang tertutup gorden merah. Mulutnya tersenyum. Jika gordennya tertutup, itu berarti ada orang di dalam. Begitu yang Stella katakan padanya, tentang peraturan di rumah ini.
Dia mengetuk pintu, hanya untuk formalitas, kemudian tanpa ragu memutar knop dan mendorongnya. Seketika matanya kehilangan sinar. Mulutnya setengah terbuka. Tubuh Charlie, juga Starla, menegang.
***
Kemarin, Berta jatuh dari pohon apel depan rumah. Terdengar suara nyaring dari punggungnya. Dia berkata umurnya berkurang setengah karena itu. Hahaha ... ada-ada saja.
Tahun pertama
Dari cintamu, Stella
Untuk cintaku, Charlie
***
Tubuhku terasa sedikit baikan mulai kemarin lusa. Tapi kini kembali demam sesaat setelah aku mencoba berjemur selama sepuluh detik. Merepotkan! Charl, apa kau tahu? Aku selalu ingin menjadi sepertimu. Memegang tongkat sihir dan menciptakan angin. Membuat angin tornado untuk menerbangkan kelelawar gila yang selalu bertamu setiap musim panen. Apel-apel penuh lubang!
Tahun kedua
Dari cintamu, Stella
Untuk cintaku, Charlie
***
Tikus sialan, mereka mencuri keju-kejuku yang sudah kusiapkan untuk ulang tahun Berta. Ke mana kucing dan ular pergi? Makanan kalian ada di sini!
Tahun ketiga
Dari cintamu, Stella
Untuk cintaku, Charlie
***
Halo, Charl. Bagaimana kabarmu di luar sana? Kau makan dan tidur teratur, kan? Jangan kebanyakan makan roti kacang di malam hari, kata Berta itu bisa membuat tubuhmu gemuk. Maaf bila tiga surat sebelumnya hanya berisi ceritaku yang tidak penting. Kau jangan marah, ya? Aku di sini masih menunggumu, masih merindukanmu. Semangat Charl!
Tahun keempat
Dari cintamu, Stella
Untuk cintaku, Charlie
***
Tak terasa sudah lima tahun kau pergi tanpa kabar. Kuharap kau baik-baik saja. Em ... hei, aku sudah berumur dua puluh enam tahun lho. Banyak sudah para pemuda datang melamarku. Charl, kau jangan main gila di belakangku, ya? Hanya ada aku di hatimu, kan? Hanya namaku yang selalu bersemayam dalam hati dan pikiranmu, kan? Kan?
Tahun kelima
Dari cintamu, Stella
Untuk cintaku, Charlie
***
Aku sudah sering bermimpi tentangmu. Kita menikah, hidup tenang di rumah mungil ini bersama anak-anak kita yang lucu. Tapi tadi malam, aku dibuat menangis karena mimpi kau menikah pula dengan Berta! Apa maksudnya itu?! Hei, Charl, apa kau juga melirik Berta? Memang dia selalu memerhatikanmu, tapi ... akhhhh, kau membuatku frustasi.
Tahun keenam
Dari cintamu, Stella
Untuk cintaku, Charlie
***
Selama ini kau merindukanku? Ingin melihat senyumku dan mencubit-cubit pipiku seperti tujuh tahun lalu? Membawakanku buah, mengupasnya sekalian menyuapiku. Apa kau merindukannya? Jika iya, maka sama denganku, Charl. Sudah tujuh tahun kau tidak kembali. Ke mana kau pergi? Hei, apa kau selalu membaca surat-suratku? Semua suratku sampai padamu, kan?
Kutinggalkan jejak ciumanku di balik kertas ini. Cium itu dan aku akan langsung dapat merasakan kehadiranmu. Kau tak percaya? Lakukanlah dan aku akan datang dalam mimpimu malam ini.
Tahun ketujuh
Dari cintamu, Stella
Untuk cintaku, Charlie
***
Tujuh surat-surat singkat dari Stella itu sudah dihafal di luar kepala oleh Charlie. Namun pemuda itu sama sekali tidak pernah bosan membacanya. Jika sehari saja dia tidak membacanya, ia merasa seperti akan kehilangan Stella.
Dan kini, di atas meja kecil dalam kamar itu, satu-satunya meja yang ada di sana, terdapat selembar kertas yang rapi dan bersih. Ditulis menggunakan tinta paling indah, tinta emas. Wadah tinta serta kuasnya masih ada di samping kertas. Seolah penulisnya baru saja pergi dari tempat duduk tepat setelah menyelesaikan surat itu.
Charlie menarik kursi itu, dengan seluruh tubuh kaku juga lemas, ia duduk di sana. Matanya sudah merah menahan tangis. Tangannya gemetar. Ia menarik napas perlahan, menghembuskannya. Ia ulang beberapa kali namun hasilnya sama saja, detak jantungnya masih berpacu dengan cepat. Starla naik ke pangkuan dan mengelus-eluskan kepalanya di perut Charlie, seolah ikut merasakan kegelisahan pemuda itu dan mencoba menenangkannya.
Pemuda ini mulai membaca surat bertinta emas itu.
Ini yang terakhir ....
Demikian tulisan paling atas yang menjadi pembukaan surat tersebut.
Hai, Charl. Kau sehat, kan? Tentu saja iya, penyakit mana yang bisa menghantuimu? Tinggal kau tiup saja dengan anginmu. Hahaha ....
Charl, kau tahu? Tepat sehari setelah kepergianmu delapan tahun lalu, tabib Joe datang kemari dan berkata bahwa umurku paling lama tinggal sebanyak jumlah jari di kedua tangan saja.
Charlie terbelalak, lalu bangkit berdiri. Namun kembali duduk ketika membaca tulisan di bawahnya.
Baca sampai selesai Charl ....
Tabib Joe bilang, umurku tinggal sebanyak jumlah jari di kedua tangan jika ada dua jari yang ditekuk. Delapan. Yap, kau benar. Jumlahnya delapan. Sejak saat itu umurku hanya tinggal delapan tahun jika tahun itu masuk hitungan. Karena hal inilah aku selalu mengirimimu surat setiap tahun. Berharap kau membacanya selalu hingga kau merasa aku benar-benar ikut dalam perjalananmu.
Kau kecewa?
Kau sedih?
Kau marah karena aku telah menyembunyikannya selama ini?
Jangan kecewa, Charl. Jangan sedih dan marah. Delapan tahun kau tak pulang, kau pikir aku menyalahkanmu? Sama sekali tidak! Yakinlah, rasa cintaku masih sebesar ketika kita pertama kali bertemu.
Lalu, kau bertanya mengapa suratku ini tidak kukirim?
Haha, aku sengaja.
Aku tahu kau menjadi begitu implusif jika mendengar orang-orang terdekatmu terkena sesuatu. Kau memang egois, ya?
Aku tak ingin kau menyerahkan jiwamu ke sekte Pahje hanya untuk memanggil roh hitam dan membuat permintaan akan kesembuhanku. Jika itu kaulakukan, akan kukutuk kau jadi batu!
Berta menjaga tempat dan surat ini, aku yang menyuruhnya. Aku ingin kau membaca surat ini setelah kepulanganmu. Jika kau mati di luar sana, jangan khawatir, aku akan segera menyusul. Tapi sepertinya itu mustahil. Siapa orangnya yang dapat mengalahkan pemuda berjuluk Pengembara di Atas Angin?
Itu sudah mencapai bagian akhir surat. Charlie membalikkan kertas dan melihat kelanjutan isi surat itu. Ia membaca dengan seksama.
Terima kasih untuk segalanya, Charl.
Kau yang selalu menemaniku sejak berumur tujuh tahun. Kau yang selalu merawatku. Menjagaku. Bahkan setelah kedua orang tuaku tiada. Sungguh, bagaimana bisa aku tidak jatuh cinta padamu?
Charl, kau orang baik.
Setelah kepergianku, carilah seorang gadis. Yang cantik. Yang anggun. Secantik dan seanggun diriku tentunya, hahaha.
Berta pilihan tepat, kan? Hanya lebih tua dari kita tiga tahun, kupikir itu bukan masalah.
Tiada yang abadi di dunia ini.
Tetapi cintaku selamanya untukmu.
Entah apa jadinya diriku di kehidupan kedua.
Aku akan selalu bersamamu.
Tahun terakhir
Dari cintamu, Stella
Untuk cintaku, Charlie
Sampai jumpa di lain waktu.
Charlie tak bisa menahan diri untuk tidak menangis, meraung, mengacak-acak rambutnya. Dengan mata merah berlinang air mata, dia turun dari kursi dan berlutut di depan batu nisan yang menjadi penghuni kamar itu. Satu-satunya batu nisan dengan ukiran yang sejatinya, Charlie berharap dia salah lihat.
Rest in Peace
Stella Ederson
“Maaf, Stella,” gumamnya lirih. “Maaf.”
Charlie tak dapat menahan dorongan hatinya untuk maju dan melingkarkan tangan di nisan tersebut. Apakah ini juga termasuk keinginan terakhir Stella? Untuk dimakamkan di dalam kamarnya tepat di sebelah surat terakhir? Jika benar, oh ... betapa jahatnya dia. Pergi delapan tahun tanpa kabar. Dia yang selalu menerima surat, mengapa tak pernah membalasnya. Ia sama sekali tidak mengerti jika selama ini Stella selalu menunggu di saat-saat terakhir hidupnya.
Delapan tahun. Delapan tahun jika kedatangan tabib Joe dihitung. Seharusnya Stella meninggal belum terlalu lama. Mengapa selama ini dia terlalu santai dalam perjalanan? Mengapa dia tidak memeras tenaga dengan terbang dari gunung berkawah hingga sampai di rumah ini? Mengapa?
Suara jatuhnya sesuatu dan ngeongan Starla mengejutkan Charlie. Perlahan, ia memutar kepala dan menemukan seorang wanita berpakaian pelayan berdiri di ambang pintu dengan muka pucat. Keranjang berisi sayur dan buah sudah tergeletak di lantai.
“Tuan ....”
“Berta ....”
“Tuan ...!” Berta berseru dan menubruk Charlie, memeluknya, ikut menangis.
Tindakan ini mengingatkan Charlie akan kehangatan pelukan Stella. Kembali dia terisak.
“Maaf tuan, aku tak pernah memberitahukan keadaan Stella. Sudah berkali-kali kucoba mengirim surat. Namun ketahuan oleh nona yang segera merobek-robeknya. Maaf ... maaf ....”
Charlie hanya diam. Ketika itu, pandangannya tanpa sadar bertemu dengan sepasang mata merah darah milik Starla. Kucing betina itu menatapnya dengan bingung. Teringat akan surat Stella, teringat akan mata Stella, mata merah darah, mata Starla. Jangan-jangan ....
“Ah, Starla ...,” Charlie melepas pelukan Berta dan mengangkat kucing itu tinggi-tinggi.
“Tuan?”
“Stella bilang, di kehidupan kedua, dia akan selalu bersamaku. Mungkinkah ... mungkinkah ... mata ini ... mata Stella. Berta, apakah Stella meninggal antara tiga sampai empat bulan lalu?”
Berta nampak bingung, juga terkejut. “Kenapa tuan tahu?”
“Ah ....” Charlie kembali menangis, lalu memeluk Starla dengan erat. “Tiga bulan lalu? Tiga bulan lalu? Bukankah itu hari di mana aku menemukan Starla? Apakah mungkin ... ah, Stella ....”
Berta menutup mulutnya, dan menangis lagi. Ia paham apa yang dimaksud Charlie.
Charlie memang egois. Mungkin apa yang dikatakan Stella benar. Setelah mengetahui semua itu, Charlie lalu merebus Rumput Vhors dan meminumkan airnya kepada Starla. Dengan patuh kucing itu menghabiskannya.
Sejak hari itu, Charlie, Berta dan Starla hidup bertiga di rumah mungil bercat merah peninggalan Stella. Mereka hidup bersama, satu atap, sebagai keluarga. Tetapi baik Charlie, Berta dan Starla, entah keajaiban dari mana, mereka tidak ada yang menikah. Lebih tepatnya tidak mau menikah.
Charlie menganggap si kucing Starla sebagai Stella. Berta tak mau melirik pria lain kecuali Charlie. Sedangkan Starla, mungkin sesuai dengan dugaan Charlie, ia tak pernah hamil. Ketika ada kucing jantan datang, ia mendesis-desis sebelum dengan galak menyerangnya.
Bertahun-tahun kemudian, rumah itu menjadi pemakaman.
Di sebelah kanan kuburan Stella, ada satu batu nisan yang bertuliskan.
Rest in Peace
Charlie Arvo
Lalu di sebelah kiri Stella, sedikit ke belakang, ada satu nisan lain yang bertuliskan.
Rest in Peace
Berta
Mungkin karena efek dari air rebusan Rumput Vhors, membuat umur kucing yang seharusnya lebih pendek dari umur manusia, menjadi setara dengan umur manusia. Bahkan lebih lama. Lima puluh tahun sudah berlalu sejak kepergian ketiganya, Starla masih dengan setia menunggui makam dengan berbaring melingkar di atas meja. Sesekali dia keluar rumah hanya untuk mencari makan.
Pada tahun terakhir, dari sepasang mata merah darah yang hampir terpejam, menitik air mata. Starla melirik makam ketiganya, lalu mata itu benar-benar tertutup.
Sejak saat itu, tidak ada yang melihat lagi rumah pintu itu terbuka. Pada malam hari, tidak ada lagi yang melihat cahaya atau asap dari perapian. Sejak saat itu, tak ada lagi yang melihat seekor kucing sakti yang mampu membuka dan menutup pintu sendiri, membuat api dengan cakaran kakinya pada kayu kering, serta memutus batang bambu dengan gigitan taringnya yang kuat.
Ketika salah satu penduduk desa datang berkunjung, merasa penasaran dengan keadaan rumah itu, juga menuruti permintaan cucunya yang ingin memelihara si kucing sakti, orang itu masuk ke dalam rumah. Selang beberapa saat, dia keluar lagi dan menutupkan pintu rapat.
Ketika sampai di rumah dan bertemu dengan cucunya, dia berkata. “Mereka sudah tidur. Jangan diganggu.”
—TAMAT—