Masukan nama pengguna
Halwa tersipu di tempat duduk yang berhiaskan bunga-bunga. Senyum merekah di balik kain selendang putih yang merangkap kain kerudungnya. Di sisinya, seorang pria berkumis tipis, berjenggot tipis, berjamban tipis tersenyum lebar.
Halwa tidak pernah mengenal atau memiliki hubungan khusus dengan pria selama menuntut ilmu, di Universitas Al-Azhar, Kairo. Nuh pun demikian, bahkan mereka tidak pernah bertemu.
“Bagaimana pendapatmu, Nuh?”
Pria berjubah hitam menyapa mahasiswa dari tempat duduknya, topik bicara bukan mengenai hukum tajwid atau nada hijaz. Menyerahkan dokumen ta'aruf berisi; biodata mahasiswi kebangsaan Indonesia, asal-usul keluarga, kriteria jodoh, dan visi, misi pernikahan.
Nuh mengumpulkan argumen dalam benaknya. Betapa tercekat Nuh, halaman kedua tersemat foto wanita si pemilik dokumen.
“Seperti yang pernah aku ceritakan padamu, Guru. Ada seorang wanita yang kerap datang dalam mimpiku."
Suara, dan tangan Nuh bergetar. Satu map dokumen ta'aruf miliknya, bersama buku sketsa dikeluarkan cepat dari ransel tipis warna hitam.
"Bagaimana pendapatmu tentang kejadian ini, Guru?"
Nuh menunjuk sketsa wajah Halwa, sudah lama Nuh menggambar itu di sana.
Pipi pria Turki, dan gadis keturunan Jawa-Cina itu bersemu merah. Fotografer meminta mereka duduk lebih dekat, Halwa terpaksa membiarkan Nuh melingkarkan tangan di pinggangnya. Mereka tak berani saling mendekat, meski sudah terjadi akad.
Duduk diapit dua pria mengenakan beskap hitam, berbahasa arab fasih. Sang guru tersenyum, bahagia membingkai wajah tuanya yang teduh. Pengantin, sang guru, dan kedua ayah mereka mengalami mimpi yang sama. Bagaimana mungkin.
"Perjodohan ini dituntun oleh Allah Sang Pencipta, mudah bagi-Nya menyatukan sepasang Bani Adam tanpa merusak ketaatan mereka." Guru menutup obrolannya.