Masukan nama pengguna
Prolog
Air matanya menetes menjatuhkan lantai saat itu. Antara doa ibu yang sedang menantang langit dengan takdir yang sudah ditetapkan oleh-Nya. Matanya penuh harapan kepada orang yang sudah pergi meninggalkan aku dan ibu itu kembali, tapi itu tidak mungkin terjadi. Tak jarang juga aku melihatnya terbangun malam hari, yang ia lakukan adalah beribadah malam dan berdoa kepada-Nya. Suasananya tenang, hanya suara hati yang bisa mendengarkannya, seolah-olah ia sedang mengadu kepada Sang Pencipta.
"Kenapa engkau mengambilnya?" ucapnya sambil tangannya terus mengadah dan tatapan matanya sudah berkaca-kaca.
"Aku hanya seorang perempuan lemah yang berusaha kuat dihadapan putriku yang juga seorang perempuan ...."
Aku yang mendengar ucapan itu hampir ikut menangis juga. Aku langsung menutup wajahku dengan selimut dan berusaha untuk memaksakan diri untuk segera tidur. Aku tidak ingin terlihat bersedih juga seperti ibu. Walaupun aku juga sedih sebenarnya. Terkadang aku sempat lupa dengan kejadian itu, tapi aku kembali teringat lagi ketika aku tidak sengaja melihat ibu yang meneteskan air matanya.
Rasanya duniaku ini ikut hancur ketika setetes air matanya membasahi bumi ini. Aku tidak dapat berbuat apa-apa, karena itu memang takdir yang sudah ditetapkan.
Bab 1 — Sebelum Ayah Pergi
29 Desember 2010
Kondisinya semakin kritis. Ia dibawa ke ruang ICU, detak jantungnya sudah semakin melemah, napasnya sudah terdengar pelan, seperti hanya tinggal menunggu waktu saja. Aku yang berada di sampingnya, hanya bisa memegang tangannya dan berusaha untuk tidak menangis. Ibu yang berada di dekatku, ia sudah tidak berdaya. Tatapan matanya kosong, seperti tidak ada harapan di dalam dirinya. Aku yang sudah semakin tidak kuat melihatnya, memutuskan untuk keluar dari ruangan itu dan mencari tempat duduk yang tidak jauh dari ruangan ayahku. Aku duduk di sana dan mulailah bercucuran air mataku dengan sendirinya. Ternyata aku sudah tak sanggup dengan kondisi yang ada di dalam ruangan sana. Saat aku sedang sesenggukan, ada seseorang dokter yang datang menghampiriku.
"dek ... Kenapa engkau menangis? Ada apa?" tanya dokter itu sambil memegang pelan pundakku.
"Iya ... Dok ... Ayahku," jawabku sambil menghapus air mataku.
"Kamu anak dari bapak itu ya?" tanya dokter itu sambil menunjuk ruangan ayahku.
Aku hanya mengangguk pelan saja menjawab pertanyaan dokter itu. Dan kemudian dokter itu kembali berucap lagi.
"Jangan terlalu tenggelam dalam kesedihanmu. Semua sudah ada takdirnya. Kita tidak tahu apa yang terjadi kedepannya, bisa jadi tuhan memberikan keajaiban kepada ayahmu," ucap dokter itu sambil menepuk-nepuk pundakku.
"Apakah dokter tahu? Berapa lama lagi ayahku dapat bertahan?" tanyaku yang menaruh harapan kepada tim medis.
"Saya tidak tahu pasti. Tetapi, perkiraan saya dan tim medis, ayahmu masih bisa bertahan sampai dua hari kedepan," jawab dokter itu yang mengucapkan apa adanya kepadaku tanpa menutup-nutupi sesuatu.
Saat aku sedang berbicara dengan dokter itu mengenai ayah, tiba-tiba ada suara jeritan yang histeris dari ruangan ICU. Aku sangat mengenali suara itu, ya itu adalah suara ibuku. Tanpa pikir apapun, aku dan dokter langsung berlari ke ruangan ayahku untuk mengecek kondisi di dalam ruangan tersebut. Aku membuka pintu itu, dan ketika dibuka, aku terkejut melihat kondisi di dalam ruangan itu. Kepalanya tertunduk, air matanya sudah menetes sedari tadi membasahi wajah ayahku. elektrokardiograf , alat yang digunakan untuk merekam aktivitas listrik jantung itu sudah bergaris lurus, yang artinya ayahku sudah pergi meninggalkan dunia ini. Duniaku terasa sangat hancur, badanku sama sekali tidak berdaya, seakan-akan tulang di tubuhku hilang semua.
"Ayah ... Kenapa harus secepat ini?" tanyaku yang masih tidak menyangka kepergian ayah hari itu juga.
Badanku semakin lemas, aku terduduk bersimpuh. Ini kali pertamanya aku ditinggalkan oleh orang yang telah merawatku dari kecil. Sedih, marah, kecewa, semuanya bercampur aduk dalam pikiranku. Pandanganku mulai tidak jelas, tiba-tiba aku terkapar di lantai dan aku tidak sadarkan diri.
Bab 2 — Awal Tahun Tanpa Ayah
1 Januari 2011
Suara meriah petasan mewarnai langit-langit malam. Sorakan anak-anak yang penuh rasa bahagia di balik sorakannya. Namun, berbeda dengan ibuku. Ia hanya terdiam sambil duduk menatap langit. Tatapannya kosong, sepertinya masih sangat terpukul dan belum rela akan kepergian ayah.Sebenarnya akupun belum rela kehilangan ayah, tapi ibu seperti jauh lebih sedih dibandingkan diriku. Aku mencoba untuk menghiburnya kala itu.
"Sudah bu ... Jangan terlalu berlarut-larut dalam kesedihan, tidak baik. Mending kita lihat langit malam yang sedang berbahagia," ucapku.
Ibu yang mendengar ucapanku langsung tersentak, ternyata ia tak sadar bahwa aku betada di dekatnya.
"Enggak ... Siapa yang sedih? Ini ibu lagi lihat petasan yang ada di langit itu," jawab ibu
Meskipun begitu, aku bisa melihat dari tatapan matanya tidak dapat menyembunyikan kesedihannya itu. Dari dulu ibu memang selalu begitu, tidak ingin kesedihannya diketahui oleh anaknya. Hari itu aku dan ibu duduk di teras rumah sambil menatap keindahan langit malam saat itu. Tak berlangsung lama, kami berdua pun masuk ke dalam rumah untuk tidur. Entah mengapa saat itu padahal masih meriah sekali. Tapi di saat itu, kami berdua malah mengantuk sekali.
Bab 3 — berkunjung Ke Makam Ayah
1 Tahun Berlalu Tanpa Ayah
"Ke makam ayahmu yo, nak," ajak ibuku.
"Ayo, bu. Aku udah kangen juga udah beberapa bulan tidak ke sana," jawabku.
Pada sebelumnya, memang kami setiap bulan selalu berkunjung ke makam ayah untuk membersihkan tempat persinggahan terakhirnya dan mendoakannya. Namun, memang akhir-akhir ini, kami tidak sempat datang berkunjung ke sana. Karena memang ibu sedang sakit, dan pas hari ini adalah tepat 1 tahun ayah meninggalkan kami.
Setibanya di makam
Tepat di makam ayah, terlihat lumayan banyak daun-daun yang berserakan di atas makamnya, dan juga tanaman liar yang mulai tumbuh di sekitarnya. Tanpa pikir lama, kamu pun langsung membersihkannya. Cukup lama kami membersihkannya, sekitar setengah jam berlalu, akhirnya semuanya sudah bersih. Kami pun langsung mengambil posisi sedikit berjongkok untuk mendoakannya.
"Maafkan aku dan ibu ya, ayah. Maaf baru sempat berkunjung ke sini," ucapku sambil memegang papan nisan milik ayahku.
Setelah kami mendoakan ayah, ibu mengambil plastik yang berisi dua botol air dan kembang untuk ditaburkan ke makam ayah. Tampak wajah ibu lebih tenang dan sedikit tersenyum saat menaburkan kembang, seperti yang sudah mengikhlaskan kepergian ayah. Sangat berbeda perilaku ibu saat awal ditinggal dengan sikapnya sekarang. Setelah selesai semua, kami memutuskan untuk pulang ke rumah dan meninggalkan makam ayah.
Epilog
Pada akhirnya semua itu hanya menjadi angan-angan saja. Yang sudah kembali pada-Nya, tidak akan mungkin kembali. Mau sampai apapun dan dan bagaimanapun kamu berusaha, tetap saja itu tidak mungkin. Kini, selesaikan perjalanan hidupmu, hingga nantinya kamu yang akan kembali dipanggil oleh-Nya. Jodoh, kematian itu misteri, tidak ada seseorang manusia yang dapat mengetahuinya. Yang terpenting adalah segala sesuatu yang sudah kamu siapkan sebelum waktu itu yang menjemput kamu. Tidak ada yang abadi di dunia ini, baik itu manusia yang pergi meninggalkan manusia (cinta) atau manusia yang meninggalkan seluruh dunia (kematian). Jadi, belajarlah untuk mengikhlaskan segala sesuatu yang nantinya tidak akan menemani dirimu lagi. Setiap orang ada masanya, tapi setiap masa beda rasanya jika tidak bersama orang yang selalu membuat kita bahagia. Cintai orang yang kamu cintai selagi ia masih ada di sisimu. Kini aku sudah menikah dengan orang yang aku cintai. Namun, setelah sekian lama, air matanya kembali menetes. Namun, bukan kesedihan yang membuatnya menjadi sedih, namun kebahagiaan karena putrinya yang menikah yang membuatnya terharu.