Masukan nama pengguna
Amara menatap selembar formulir pendaftaran kampus di kota lain. Tangannya gemetar, tapi bukan karena gugup akan masa depan—melainkan karena hatinya tak lagi sanggup tinggal di rumah yang dulu disebutnya tempat paling nyaman di dunia.
Usianya 21 tahun, mahasiswi tingkat akhir yang sejak kecil tinggal bersama keluarga sederhana nan hangat. Ayah, ibu, dan kakaknya, Dita, selalu menjadi tempat bernaung dari segala penat. Tapi semua berubah sejak Najwa datang.
Najwa adalah sepupu mereka—anak dari adik ayah—yang menjadi yatim piatu setelah kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan dua tahun lalu. Ayah memutuskan untuk mengangkatnya sebagai anak, membawa Najwa tinggal bersama mereka agar tidak kesepian.
Awalnya Amara menyambut Najwa dengan tulus. Ia tahu bagaimana rasanya kehilangan. Najwa juga terlihat begitu sopan, perhatian, dan cepat akrab dengan keluarga. Ia bahkan seperti menambal kekosongan yang sempat ada di rumah.
Tapi hari demi hari, Amara mulai merasakan perubahan. Semuanya terasa... janggal.
Najwa mulai sering duduk bersama ayah dan Dita, ikut dalam obrolan pribadi mereka. Ia bicara tentang keuangan keluarga, pendidikan, bahkan masa depan rumah ini seolah-olah ia adalah anak sulung. Ia perlahan-lahan mengambil posisi yang dulu ditempati Amara: tempat bercerita, tempat mendengar, dan tempat dianggap penting.
Amara tak langsung menuduh. Ia mencoba menyesuaikan diri, menahan diri dari prasangka. Tapi ketika pendapatnya mulai tak didengar, dan senyum manis Najwa selalu diiringi sorot mata yang menusuk diam-diam, Amara tahu ada sesuatu yang salah.
Yang paling menyakitkan adalah saat ayah berkata,
"Amara, coba kamu lebih terbuka seperti Najwa. Dia cepat beradaptasi, kamu jangan terlalu tertutup begitu."
Sejak saat itu, Amara mulai berpikir untuk pergi.
"Mar, serius kamu mau pindah kuliah ke luar kota?" tanya Dita suatu malam.
Amara mengangguk pelan. "Iya, Kak. Aku butuh suasana baru. Aku rasa di sana aku bisa fokus belajar dan nyiapin skripsi."
Padahal hatinya menjerit. Ia ingin berkata, “Aku ingin pergi karena aku merasa asing di rumah sendiri.” Tapi lidahnya kelu. Ia tahu tidak akan ada yang mengerti, terlebih Dita yang kini begitu dekat dengan Najwa.
Najwa hanya tertawa kecil saat mendengar keputusan Amara. "Wah, cepat juga kamu ambil keputusan ya. Tapi ya, baguslah. Biar suasana di rumah nggak terlalu penuh juga," katanya sambil tersenyum.
Senyum yang begitu lembut di hadapan keluarga, tapi terasa menghina di mata Amara.
Hari-hari berikutnya dipenuhi diam dan pura-pura. Ayah dan ibu mencoba mengerti, Dita menganggap Amara hanya butuh penyegaran. Tak satu pun dari mereka tahu bahwa hatinya sudah hancur, bahwa ia hanya ingin pergi sebelum benar-benar pecah.
Hari keberangkatan tiba. Ibu mengantar Amara ke stasiun sambil terus memberi bekal makanan dan nasihat. Ayah hanya menatap singkat dan memberi doa. Dita tidak bisa ikut karena kerja, dan Najwa berdiri di belakang dengan senyum formal.
Di dalam kereta, Amara duduk sendiri. Melihat peron menjauh, ia merasa lega dan kosong bersamaan.
Ia membuka ponsel, membaca pesan dari Dita:
"Jaga diri baik-baik di sana, ya. Jangan sungkan pulang kalau kangen rumah."
Amara menangis pelan.
Rumah. Kata itu terasa asing sekarang. Ia tak pergi hanya untuk kuliah, tapi untuk menyelamatkan dirinya dari luka yang tak bisa ia lawan dengan kata-kata. Ia tahu Najwa tidak punya siapa-siapa, tapi Amara juga merasa kehilangan semua orang karena Najwa.
Bukan karena Najwa jahat secara terang-terangan. Tapi karena ia memegang topeng yang terlalu sempurna, dan berhasil merobek ruang yang dulu penuh kehangatan.
Amara tidak tahu apakah ia akan kembali. Tapi ia yakin satu hal: merantau bukan lari. Ini adalah caranya untuk bertahan, untuk tetap utuh di tengah dunia yang diam-diam merenggutnya.
Dan siapa tahu, di kota baru itu, ia akan menemukan tempat di mana ia kembali merasa menjadi dirinya sendiri—tanpa harus bersaing dengan senyum palsu yang terus menyingkirkan.