Masukan nama pengguna
Aku menatap rintik hujan dari balik jendela kamar. Suara dentingnya menenangkan, tapi tidak dengan hatiku. Di meja kayu tua, selembar kertas berserakan dengan tinta yang belum mengering sepenuhnya. Surat itu belum selesai, seperti perasaanku padanya, masih terjebak di tengah-tengah antara harapan dan kenyataan.
Dear Hujan,
Katamu, kau adalah pengantar pesan. Kau membawa rindu dari yang jauh, dan menumbuhkan harapan di hati yang tandus. Tapi mengapa, saat aku menitipkan namanya di setiap tetesanmu, dia tetap tak mengerti?
Aku belum menulis, menarik napas panjang. Surat ini bukan untuk dikirim. Hanya sekadar ruang untuk mengadu, karena menyebut namanya saja sudah cukup menyakitkan.
Hujan semakin deras, seakan ikut menangisi kegamanganku. Aku memejamkan mata, membiarkan kenangan tentang dia menyeruak seperti aroma tanah basah yang menyapa setelah rintik pertama.
Kami pernah berjalan bersama di bawah payung yang sama, tapi aku selalu merasa basah. Aku terlindung dari hujan, tapi tidak dari perasaan yang menjelma badai di dadaku.
"Aku tidak bisa mencintaimu," katanya kala itu, suaranya lembut namun menusuk. "Kau adalah teman terbaikku. Dan hanya itu."
Kalimat itu sudah berulang kali kudengar, tapi setiap kali hujan turun, aku tetap berharap dia mengubah pikirannya. Bodoh, bukan?
Aku meraih kertas itu lagi, melanjutkan tulisan.
Jika suatu hari kau berubah pikiran, aku akan selalu ada di sini. Tapi jika tidak, aku akan belajar mencintai hujan, karena di situlah aku pernah menggandeng lenganmu, walau hanya sebentar.
Tertanda,
Dia yang tak pernah lelah mencintai.
Aku melipat surat itu, menyimpannya dalam toples kaca bersama surat-surat lainnya. Aku tahu, dia tak akan pernah membaca ini. Tapi setidaknya, hujan sudah mendengarnya.
Dan kali ini, aku merasa sedikit lebih ringan.