Masukan nama pengguna
Dion sampai Kota Ternate siang hari dengan penerbangan Lion dari Jakarta, cuaca cukup panas, kota yang dikenal dengan julukannya sebagai Kota Rempah. Sudah hampir sepuluh tahun ia meninggalkan kota di lereng gunung Gamalama itu, tempat segala cerita masa remajanya tersimpan. Jalanan yang dulu ramai oleh anak-anak sekolah kini semakin ramai dipenuhi lalu-lalang kendaraan dan suara riuh warga sekitar. Bangunan-bangunan tua sudah direnovasi, berdiri lebih megah namun tetap mempertahankan nuansa sejarahnya. Dion menarik napas panjang, aroma laut bercampur rempah khas Kota Ternate memenuhi paru-parunya. Sejenak, ia menutup mata. Rasanya seperti pulang ke masa lalu.
Saat mobil taksi online yang ia naiki melaju perlahan, matanya menangkap setiap sudut kota dengan lebih seksama. Pepohonan trembesi besar masih berdiri di tepi jalan, rindangnya seperti dulu kala, seakan ikut menjadi saksi bisu kenangan masa remajanya. Ada keriuhan kecil dari anak-anak sekolah yang berjalan bergerombol, tertawa sambil mendorong bahu satu sama lain. Pemandangan itu membuat sudut bibir Dion terangkat samar. Betapa mudahnya kebahagiaan hadir saat itu, hanya dengan seragam lusuh, buku catatan penuh coretan, dan janji-janji kecil tentang masa depan yang terasa jauh.
Dion melewati pasar kecil yang dulu sering ia dan Dina kunjungi sepulang sekolah. Penjual gorengan dengan gerobak berwarna biru masih ada di sana, meski orangnya mungkin sudah berganti. Dulu, Dina selalu memaksanya berhenti untuk membeli pisang goreng hangat yang sering habis menjelang sore.
“Nggak ada yang bisa ngalahin pisang goreng di sini, Dion! Besok kalau kita udah gede, kamu harus balik buat makan ini lagi,” kenang Dion dalam hati, mengingat suara ceria Dina sambil menggigit pisang goreng dengan puas. Ia dulu hanya tertawa, tidak pernah membayangkan betapa berharganya kata-kata sederhana itu sekarang.
Mobil berhenti di depan kedai kopi tua di pojok jalan. Dion turun sebentar. Kedai itu masih sama: pintunya kayu dengan cat yang mulai pudar, dan kursi-kursi plastik di bagian depan yang kini kosong. Dulu, ia dan Dina duduk di sini sambil menikmati kopi susu murah. Mereka berbicara tentang segalanya, mimpi mereka, sekolah, dan masa depan.
“Dion, ngana (kamu) pengen jadi apa nanti?” “Nggak tahu, Din. Jadi orang sukses aja, deh.” “Sukses? Kayak gimana? Kayak di TV gitu?” Dina tertawa lebar, suaranya seakan membekas di udara. “Mungkin. Kalau ngana?” Dion balik bertanya. “Kita mau keliling dunia. Tapi pertama-tama, kita pengen lihat ngana sukses dulu.”
Kata-kata itu kini bergema di kepalanya, membuat tenggorokan Dion tercekat. Ia menatap kursi plastik kosong itu lebih lama, seolah-olah Dina masih ada di sana, tersenyum padanya.
Perjalanan berlanjut ke SMA Negeri xy, sekolah yang menjadi tujuan akhirnya. Pagar tembok sekolah itu terlihat kokoh namun tertutup lumut samar, memberikan kesan tua yang tak bisa disembunyikan waktu. Halaman sekolah masih dihiasi pohon-pohon besar, meski kini rerumputan lebih terawat. Dion berdiri di depan gerbang yang terbuka, membiarkan kenangan-kenangan lama menyelinap masuk ke dalam hatinya.
Bel sekolah dulu terdengar nyaring dari ruang pengeras suara, memanggil anak-anak untuk segera masuk ke kelas. Di sinilah ia pertama kali mengenal Dina, gadis dengan rambut dikuncir dua yang selalu membawa senyum di wajahnya. Setiap sudut sekolah ini seperti memiliki cerita mereka. Lorong-lorong panjang penuh suara langkah tergesa, bangku kayu yang penuh coretan nama dan tanda hati, serta taman kecil di belakang sekolah tempat mereka biasa berbagi cerita. Semua itu kini hanya tinggal bayangan samar.
Dion melangkah masuk dengan perlahan. Bunyi derit gerbang terdengar nyaring di telinganya, seakan menyambut kepulangan seorang teman lama. Hatinya berdebar, bukan karena gugup bertemu teman-teman lamanya, melainkan karena ingatan tentang Dina semakin nyata seiring langkahnya. Ia sadar, tempat ini menyimpan bagian penting dari hidupnya, kenangan yang tak pernah benar-benar hilang.
“Din, aku pulang,” gumamnya pelan, seolah berharap angin akan menyampaikan pesan itu pada seseorang di masa lalu.
****
Reuni SMA diadakan di aula kecil yang sudah lama tak direnovasi. Begitu Dion tiba, ia disambut oleh wajah-wajah familiar yang kini menua seiring waktu. Ada tawa riuh, tepukan bahu, dan cerita nostalgia. Namun, di tengah keramaian itu, Dion merasa asing.
“Hei, Dion! Lama banget nggak ketemu! Masih inget taman di belakang sekolah? Tempat lo sama Dina dulu nongkrong?” tanya seorang teman sambil tertawa kecil.
Nama itu kembali mengguncang hatinya. Dina. Sosok sahabat, cinta pertama, sekaligus kenangan yang paling ia takuti.
Saat tawa teman-teman menggema di aula, Dion merasa suaranya tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia memandang ke sekeliling ruangan itu. Di sudut aula, tempat Dina dulu berdiri saat acara pensi sekolah, ingatan itu muncul kembali dengan jelas. Dina, dengan senyum lebarnya, menarik tangan Dion naik ke panggung kecil, memaksanya ikut menari saat musik dimainkan.
“Dina, gue malu!” protes Dion kala itu.
“Siapa suruh jadi temen gue! Kalau malu, kita malu bareng, dong!” jawab Dina sambil tertawa keras.
Saat itu, dunia terasa begitu kecil. Dion ingat tawa Dina yang membahana memenuhi ruangan, hingga semua orang ikut tertawa bersama. Dina selalu punya caranya sendiri untuk membuat momen terasa sempurna, bahkan bagi Dion yang seringkali terlalu kaku.
Kini, suara tawa itu hanya menjadi gema samar dalam ingatannya. Ruangan yang dulu penuh warna terasa lebih sepi meski dipenuhi orang. Dion berjalan keluar aula, menarik napas berat. Hatinya bergemuruh; ia tidak ingin ingatan itu pudar, tetapi juga tak tahu bagaimana caranya menghadapi kehilangan.
Langkahnya membawanya menuju taman belakang sekolah. Ia tahu di sinilah semuanya bermula, semua tawa, cerita, dan janji kecil yang tak pernah sempat ditepati.
****
Dion tiba di taman belakang sekolah, tempat yang kini sunyi namun penuh kenangan. Di bawah pohon besar itu, ia menemukan coretan nama mereka berdua yang masih samar. Tangannya menyentuh ukiran itu dengan gemetar. Dalam diam, ia membayangkan suara Dina masih memanggil namanya.
Dion merogoh saku jaketnya, menemukan buku kecil yang dulu ditinggalkan Dina. Ia membuka halaman terakhir, di sana terdapat pesan tulisan tangan Dina:
“Kalau nanti kita nggak bisa ketemu lagi, jangan sedih, Dion. Hidup itu nggak selamanya. Tapi tawa kita? Itu nggak akan pernah mati.”
Air mata Dion jatuh tanpa suara. Ia memandang langit yang mulai temaram. Cahaya senja menembus dedaunan, menciptakan semburat emas yang lembut. Dalam hatinya, ia membayangkan Dina berdiri di antara cahaya itu, tersenyum seperti dulu.
“Dion, kamu harus hidup bahagia ya. Kalau suatu saat kamu ingat aku, ingat aja tawaku. Aku nggak pernah benar-benar pergi,” seolah suara itu datang dari bayangan dalam pikirannya.
Dion memejamkan mata sejenak, membiarkan angin menyapu wajahnya. Tiba-tiba, suara tawa anak-anak sekolah terdengar dari jauh. Tawa mereka terdengar ceria, sama seperti tawa Dina dulu. Dion tersenyum kecil, menyadari satu hal: Kenangan itu bukanlah akhir. Kenangan adalah bagian dari dirinya yang akan selalu hidup.
“Din,” bisiknya pelan, “Aku janji, aku akan terus melangkah.”
Angin sore berhembus pelan, membawa serta harapan dan janji baru. Dion merasa lebih tenang. Di bawah pohon itu, ia tidak lagi merasa sendirian. Ia tahu, Dina akan selalu ada di sana, dalam setiap tawa dan dalam setiap langkahnya ke depan.
****
Dion bangkit dengan langkah lebih ringan. Ia menatap pohon itu sekali lagi, mengusap ukiran nama mereka sambil tersenyum.
“Terima kasih, Din. Aku nggak akan lupa.”
Dalam perjalanan keluar sekolah, suara anak-anak berlarian terdengar lagi. Tawa mereka terasa seperti gema suara Dina, tetapi kali ini tidak lagi menyakitkan. Tawa itu seperti musik yang menyertai langkahnya, seakan Dina ikut berjalan bersamanya.
Dion berhenti sejenak di gerbang sekolah, menatap matahari yang perlahan turun di balik bukit. Langit berwarna oranye keemasan, seperti menyimpan kehangatan kenangan itu untuknya.
Di tepi jalan, ia menatap langit senja dan berbisik:
“Selamat tinggal, Din. Sampai jumpa dalam cerita kita yang lain.”
Saat langkahnya menjauh dari sekolah, Dion merasa dunia yang selama ini terasa kosong perlahan kembali utuh. Kenangan itu telah menemukan tempatnya, bukan sebagai beban, melainkan sebagai pengingat bahwa cinta dan tawa tak pernah benar-benar hilang. Hari ini, Dion belajar bahwa kepergian tidak selalu berarti kehilangan; kadang, itu adalah cara orang yang kita cintai mengajari kita untuk melanjutkan hidup.
Dengan senyum kecil di wajahnya, Dion berjalan menyusuri jalanan Kota Ternate menuju pinggiran pantai yang semakin ramai, siap memulai babak baru dalam hidupnya. Kini, ia membawa Dina bersamanya, bukan sebagai luka, tapi sebagai cahaya yang akan selalu menyinari jalannya.