Cerpen
Disukai
1
Dilihat
2,662
Seperti Inikah Harusnya Cinta?
Romantis

Apa setelah aku tiada di dunia ini, kau akan menangis? Ataukah kau kan menertawakan kepergianku. Aku bodoh telah menganggap cintamu tulus padaku, aku bodoh aku terlalu menyayangimu sementara kau begitu cepatnya pergi meninggalkanku. Aku ingin semua kembali normal seperti semula. Batin ini terasa tertekan,sungguh. Aku ingin waktu berhenti sampai di sini, hingga kau kembali padaku. “Kalau memang harus kita akhiri, silahkan kita akhiri” ucapku padanya sambil menahan kekecewaan yang menyeruak di dalam hatiku. “Aku nggak tahu mesti bagaimana lagi menghadapi kamu, kamu terlalu egois dan keras kepala” ucapnya, meluruhkan seluruh tulangku. Aku hancur, namun lebih hancur lagi ketika mendengar lanjutan kalimatnya. “Oke, kita akhiri semuanya, dan sekarang kamu tinggalkan aku dan hapus semua tentang aku” Akhirnya air mataku tumpah seketika, aku lemah, aku sama sekali tak menyangka ia akan mengatakan hal seperti ini. Sungguh aku masih mencintainya, bahkan sangat mencintainya.

“Aku benci kamu, aku nggak akan maafin kamu” isakku pasrah.

“Kamu nggak akan bisa lagi menghubungi aku sekarang” ucapnya penuh keangkuhan. Aku terus terisak, aku tak dapat menahan emosi yang terus berkecambuk dalam dadaku. “Aku sayang kamu, hanya dan selalu akan sayang kamu” bisik batinku kuat.

“Silahkan kamu pergi, aku juga akan pergi” balasku dengan sorot mata tajam, aku berusaha menyembunyikan kerapuhanku di depannya. Aku tak ingin menangis, aku tak ingin terlihat lemah. Namun dia yang membuka luka ini dan menjadikanku seperti ini lagi.

“Oke aku nggak kan menghubungi kamu lagi” ucapnya lalu pergi meninggalkanku.

Aku hancur,sungguh aku hancur. Semua harapanku telah sirna kini, semua janji indah telah musnah. Ia melupakan semuanya, aku tak menyangka ia akan semudah itu melepaskanku. Bukankah ia pernah berkata sayang dan cinta padaku, namun apakah terlalu mudah melepasku jika semua rasa itu telah tertancap di hatinya. Ia sama sekali tak melarang ku pergi, bahkan ia yang menyuruhku pergi dan tidak mengganggunya lagi. Kurasa setahun waktu yang cukup untuk menyatukan dua hati yang mencinta. Namun jika ia benar mencintaiku, mengapa ia begitu mudah melepasku. Segala pikiran berkelebat di kepalaku, aku merasa lemah hingga terhuyung ke lantai.

Di saatku membuka mataku, perlahan aku merasakan sesuatu yang berat mendiami kantung mataku. Aku juga merasa masih memikul beban berat di pundak dan kepala ku. Aku mencoba membuka kembali mataku sambil memegang kepalaku dengan sebelah tangan. Aku terkejut ketika mengetahui diriku tengah berada di ruangan serba putih.

“Aku kenapa?” ucapku penuh tanya.

“Tadi kamu jatuh La, untung ada nak Aldi dan Meli yang membawa kamu ke rumah sakit, dan merekalah yang memberitahu Ibu untuk segera ke sini” jelas Ibu masih terlihat cemas dengan keadaanku sekarang ini.

“jadi mereka berdua yang mengantar aku ke sini Bu?” tanyaku lagi pada Ibu.

“Ya La” jawab Ibu singkat sambil membelai lembut rambutku. Aldi dan Meli hanya senyum menatapku, mereka kelihatan khawatir dan agak takut bertemu pandang denganku.

“Terima kasih ya Di, Mel” ucapku sambil tersenyum sumbang pada keduanya.

Aku tahu aku terlalu egois masih menyimpan dendam pada orang yang telah menolongku, namun sungguh aku begitu berat memaafkan mereka berdua. Musuh dalam selimut. Aku masih tak habis pikir, mengapa mereka begitu tega menyakitiku. Mereka bilang akan seiya sekata bersamaku, namun apa kenyataanya? Mereka menyembunyikan hubungan mereka berdua dariku, orang yang mereka anggap sahabat. Mereka telah menyakiti hatiku. Aku menyukai Aldi dulu, sebab mereka bilang tidak memiliki hubungan apapun. Hingga aku memberanikan diri untuk menyatakan perasaanku pada Aldi. Menjatuhkan gengsi dan harga diriku.

Namun saat itu Meli datang dan “Di, kalau yang ini nggak apa-apa kan aku makan?” Meli datang dengan sekantong roti di sebelah tangannya yang ingin ia tunjukkan pada Aldi.

“Meli, kamu ngapain di sini, di rumah Aldi?” tanyaku tak percaya dengan apa yang kulihat, mereka mengenakan kaus yang sama dengan motif yang sama. Aku tidak mungkin buta dengan apa yang ku lihat.

“A_aku, Cuma itu, a_ku Cuma udah belanja tadi sama Aldi, soalnya Ibunya Aldi kan lagi ada kerjaan di luar pulau, jadi Aldi ngajak aku buat nemenin belanja” jawab Meli terbata.

Aku menatap Meli dan Aldi bergantian dengan sorot mata penuh luka.

“Kalian” telunjukku terhenti di udara lalu ku hempaskan kuat dan akupun berlari keluar rumah Aldi.

Sejak saat itu, aku tak lagi dekat dengan mereka, bahkan saat bertemupun kami sudah tidak pernah lagi bertegur sapa, aku terlalu kecewa dengan apa yang mereka telah lakukan terhadapku, Aldi itu cinta pertamaku, dan akhirnya dia di rebut sahabatku sebelum aku sempat memilikinya. Sejak saat itu aku sudah tidak mau lagi berkomunikasi dengan mereka, bukannya aku membenci mereka, namun aku terlalu naif untuk mengatakan aku butuh mereka, dan aku takut akan menjatuhkan hatiku kembali pada Aldi. Dan sekarang, mereka datang menolongku di saat aku tengah hancur.

“Kamu udah baikan La?” tanya Meli hati-hati.

“Ya, lumayan baik kok” ucapku datar.

“Syukur deh La, kamu udah sadarkan diri. Kamu harus istirahat yang banyak ya biar cepat sembuh” sambung Aldi sambil tersenyum padaku.

Aku tahu aku dulu sangat menyukai Aldi, dan perhatian Aldi yang seperti ini yang membuatku sulit tuk lepas dari perasaanku terhadap Aldi. Dan setelah aku menjatuhkan hatiku pada Gilang, Gilang membuatku bisa melupakan Aldi sepenuhnya. Hubungan yang ku jalani bersama Gilang yang sudah mencapai satu tahun pacaran, sudah cukup membuatku yakin Gilang adalah yang terakhir bagiku. Aku tahu Gilang sedikit keras dan sama sensitif dan keras kepalanya spertiku, namun aku begitu menyayanginya. Aku mencintai Gilang, sungguh saat aku mengucapkan ingin berpisah dengannya pun aku sungguh masih sayang pada Gilang. Gilang yang apa adanya, Gilang yang dewasa, Gilang yang selalu mengajariku di saat aku tak bisa dan Gilang yang selalu memberi kebahagiian serta mewarnai hidupku. Aku teringat kembali pada kejadian tadi sebelum aku pingsan, hubunganku telah usai bersama Gilang. Mengingat itu, hatiku perih, pandanganku mulai buram, kelopak mataku terasa penuh dan kepalaku terasa berat, tak kalah hatiku yang bergeming dan terpecah.

“Gilang Bu” ucapku sambil memandangi Ibu penuh kepedihan.

“Kenapa La?” Ibu khawatir padaku.

“Gilang itu siapa La dan dia kenapa?” tanya Meli dan Aldi bersamaan.

“Peduli apa kalian padaku, kalian hanya merasa iba kan sama aku? Makanya kalian membawa aku ke sini. Puas kalian sekarang Gilang pergi?” rengekku kalap kala menatap kedua sahabatku yang kini menjadi penghianat.

“Astagfirullahhaladzim Lala, kamu kenapa bicara seperti itu?” Ucap Meli sambil menepuk pelan dadanya.

Matanya mulai berkaca-kaca memandangiku yang tangah hancur.

“Aku ini sahabat kamu La, dan sampai kapanpun aku akan tetap jadi sahabat kamu” Jujur Meli mengeluarkan uneg-unegnya padaku.

“Segimana pun kamu benci sama aku, tapi aku tahu kamu juga sayang sama aku, aku tahu itu La. Dan aku tetap sahabat yang akan selalu sayang sama kamu” sambung Meli, tangis Melipun pecah, lalu ia membenamkan wajahnya di balik punggung Aldi.

Aku tahu saat ini Meli pasti sedih melihatku seperti ini, aku juga tahu ia tulus menyayangiku. Namun rasa kecewaku dulu mengalahkan indahnya persahabatan yang ku jalani bersama Meli sebelum Aldi hadir. Ibu dan Aldi hanya menggeleng geleng melihat apa yang terjadi.

“La, kamu tidak boleh bersikap seperti itu” bisik Ibu yang melihatku sudah keterlaluan. Ibu akhirnya berdiri dan menghampiri Meli yang yang sama terlukanya denganku.

“Mel, sudah kamu jangan terlalu pikirin ya, mungkin Lala saat ini sedang kalut. Makanya bersikap seperti itu. Sebaiknya sekarang kalian istirahat di rumah dulu ya , ya Aldi” tukas Ibu pada mereka berdua.

Aku yakin Ibu sangat mengerti keadaanku saat ini, aku yakin Ibu sengaja melakukan hal ini untuk kebaikan semua. Aku hanya terisak lemah.

“Ya Bu, kami pulang dulu ya” ucap Meli kemudian langsung mencium tangan Ibu sambil menahan cegukannya akibat menangis terisak tadi.

Kemudian mereka memandangku sekilas.

“Cepat baikan ya La, aku pulang dulu” ucap Meli padaku, smentara Aldi hanya memegang kedua bahu Meli seperti memberi kekuatan agar Meli bisa merasa lebih membaik dari perasaan bersalahnya. Sementara aku hanya terdiam memandangi keduanya yang berlalu meninggalkan kami.

Setelah seminggu merasa sudah membaik, dokter mengizinkan aku pulang ke rumah. Ternyata setelah hari itu saat Meli dan Aldi pulang dari rumah sakit, aku mulai sadar dan mau menerima kembali untuk membuka hati bersahabat dengan Meli. Aku banyak merenung dan berfikir tentang keegoisanku selama ini. Aku benar-benar sudah tidak punya perasaan sejak setahun yang lalu pada Aldi, semenjak kehadiran Gilang dan saat inipun begitu, aku tak punya perasaan lebih pada Aldi, hanya menganggap dia pacar sahabatku. Namun aku masih sedih, bahkan masih terluka. Orang yang ku cintai, sama sekali belum pernah menemuiku ketika aku terbaring lemah di rumah sakit selama seminggu ini. Namun perasaanku padanya masih sama, tak kan berubah. Aku mencintainya. Aku mencintai “Anandhapratama Sagilang Hartamijaya”. Aku terduduk diam di atas sofa, ketika Ibu, adikku Dendi, Meli dan Aldi tengah sibuk membereskanruang kamar rumah sakit yang akan aku tinggalkan ini. Seminggi ini, Ibu hanya mengguiku di rumah sakit, sementara Dendi Ibu titip pada Bi Lilis sebab harus sekolah dan hari ini Dendi baru menjengukku, saat libur sekolah. “Daaarrrrrrr” Dendi mengagetkan aku yang tengah merenung.

“Dendi... jail ih” gerutuku sambil cemberut memandang ke arah Dendi yang tengah membuyarkan lamunanku tentang Gilang. “Ibu, Dendi nakal ni” laporku pada Ibu yang tengah melipat-lipat baju kotor yang sudah aku gunakan selama berada di rumah sakit.

“Hei Dendi, sudah jangan ganggu kakakmu. Kakak mu kan belum sembuh betul” tutur Ibu pada Dendi yang bagiku nakalnya sudah tidak ketulungan.

“Ya Den, kakakmu kan sedang gelamunin kak Gilang. Masak di ganggu-ganggu?” timpal Meli setengah menggodaku.

“Oh ya bener, kok aku nggak pernah dikenalin sama Gilang-gilangmu itu?” tanya Aldi penasaran.

Terang saja dia bilang seperti itu, sebab panggilan Gilang yang sebenarnya kan Nanda, jadi hanya aku yang memanggilnya Gilang. “Ng,itu aku kan udah bilang dari seminggu yang lalu dia lagi sibuk” bohongku pada keduanya. Aku tak ingin berbagi masalah ini pada kedua sahabatku, sebab aku rasa aku tidak akan sanggup jika mengingat aku sudah berpisah dengan Gilang dan ia sama sekali tidak mengunjungiku ketika aku di rumah sakit. Ibu melirik ke arahku, karenahanya Ibu yang aku beritahu hal yang sebenarnya telah terjadi, ketika Meli dan Aldi pulang dari Rumah Sakit seminggu yang lalu. Sementara Aldi dan Meli masih memandangku dengan tatapan kurang puas, Ibu segeramengambil alih dan mencairkan suasana. “Ayo kita pulang, Ibu sudah selesai beberesnya” kata Ibu mengingatkan. “Syukur-syukur”.Batinku.

Sesampai kami di rumah aku terkejut, seseorang duduk di depan gerbang rumah kami. Seorang lelaki, yang mengenakan jaket putih motif sketsa diriku yang tengah memegang hati. Aku begitu mengenali sosok itu. Ia duduk membelakangi kami. Akupun memberi isyarat pada Ibu, Dendi, Meli dan Aldi untuk menungguku di seberang jalan. Dan ketikaaku mendekat, ia berucap lirih.

“La, maafin aku. Aku nggak serius ingin mengakhiri semuanya, aku sayang sama kamu Rimarsya Larasati. Kenapa kamu menghilang sih, apa kamu pindah rumah, tapi kenapa kamu tidak memberitahuku. Kenapa setiap ku datangi rumah ini selalu kosong. Kamu di mana La” Ucapnya pasrah.

“Aku di sini, aku nggak pindah rumah, hanya butuh terapy khusus agar dapat sedikit menentramkan hatiku” kataku mengagetkanya.

“Lala” Langsung saja ia berbalik badan, berdiri lalu spontan memelukku.

“Lala, kamu ke mana aja, udah seminggu ini aku bolak balik ke sini nungguin kamu. Aku pasrah La, aku pikir tidak akan bertemu lagi sama kamu” Serbunya padaku.

Aku dapat melihat jelas, matanya yang membengkak. Wajahnya yang sudah mulai lesu dan kondisi Gilang benar-benar tak seperti biasanya

“Maafin aku Lang, aku nggak bermaksud buat kamu cemas”. Ucapku sambil melepaskan pelukannya dan menatap gilang tajam.

“Terus kenapa kamu duduk di depan gerbang seperti itu?” Tanyaku heran pada Gilang yang tadi ku temukan sedang terduduk lesu saat aku sampai di rumah. “Aku nungguin kamu pulang semalam, tapi nggak ada tanda-tandanya kamu pulang. Jadi aku duduk di situ berharap dapat menemui kamu jika terus menunggu di sini. Aku ingin memberikan ini sama kamu.” Gilang mengeluarkan sebuah gelang emas putih dari tangannya yang berinisialkan “ASHRL” lalu mengaitkannya di tanganku. Aku tercengang tak dapat berkata apa-apa lagi, hingga aku tersadar.

”Tunggu-tunggu, jadi kamu duduk di sini dari semalem, buat a-ku” ucapku tak percaya.

“Ya,aku nunggu kamu dari semalam La. Aku sayang sama kau aku nggak mau kehilangan kamu lagi. Aku ingin ngejaga kamu La, aku nggak akan ngebiarin kamu pergi begitu aja dari sisi aku, nggak akan pernah lagi La” Ucap Gilang memperjelas kalimatku.

“Jadi” aku sungguh tak percaya Gilang sampai nekat menginap seperti Satpam di depan gerbang rumahku, demi menungguku untuk memastikan aku baik-baik saja.

Sungguh, aku belum bisa percaya dengan ini semua. Aku sampai membekap mulutku sendiri saking tak percayanya. Wajahku juga merah merona begitu bahagia dengan apa yang dilakukan Gilang padaku.

“Aku sayang kamu Gilang” Ucapku sambil menatap bahagia pada Gilang.

“Aku juga sayang kamu selamanya Lala” balas Gilang sembari tak lepas memandangku.

Dari seberang jalan,

“Ciiie yang udah balikan, cuhuuuuy” komentar dari mata yang melihat pemandangan ini pun meluap begitu saja.

“Ciiiie-ciiie.... so sweet” setelah Dendi berkomentar tadi, Aldi dan Melipun ikut menimpali.

Gilang merangkul bahuku lembut, kamipun memandang ke arah mereka. Mama hanya menggeleng gelengkan kepala sambil tersenyum bahagia melihatku juga bahagia. “Ayo kita masuk” ujarku mengingatkan untuk masuk ke dalam rumah, sebelum kami semua terhanyut dalam kedamaian ini dan lupa untuk masuk ke dalam rumah. Sesampainya di dalam, Meli dan Aldi mengintrogasi kami berdua.

“Ternyata, kamu pacaran sama Nanda La?” Tanya Aldi seakan tak percaya. Aku hanya tersenyum.

“Nanda itukan anaknya pendiem banget dulu La, kalian kan beda sekolah juga sekarang? Bukannya dulu pas satu sekolah aja, satu kelas lagi. Kalian kan nggak pernah saling tegur sapa.”

Melipun mulai menyerangku dengan pertanyaan.Sementara dia hanya tersenyum lebar pada Nanda, curang.

“Itulah cinta, datangnya sulit diduga dan terkadang sulit dicerna akal dan pikiran” ucapku mencoba menjelaskan pada keduanya.

“Buktinya kita bisa sampe setahunan” tambah Gilang membuat keduanya sontak terkejut. Mereka memandang kami bergiliran.

”Ya dong, ASHRL gitu” sambungku sambil tertawa dan memamerkan gelang tanda cinta kami pada keduanya.

“Ha, setahun? Serius kamu Da, La”. Tanya mereka berbarengan.

Akhirnya Aku dan Gilang menjelaskan tentang proses jadian kami pada Meli dan Aldi, mulai dari proses penembakan hingga sekarang ini. Keduanya mengerti dan menggangguk berbarengan.

“Yah kisah cinta kita ternyata kalah seru” komentar Aldi sambil memandang pada Meli seraya mengedipkan sebelah matanya, membuat Meli tersipu hingga menepuk pelan sebelah pundak Aldi.

“Yang penting kan kita saling sayang” ujar Meli malu-malu.

“Ciieee-ciiie” godaku dan Gilang pada pasangan itu.

“Emang kalian jadiannya dulu kayak gi mna?” Tanyaku penasaran.

Aldipun mulai bercerita bergebu-gemu, sementara Meli hanya tersipu-sipu sementara sesekali menanggapi ucapan Aldi yang membuatnya merona. Sungguh aku sangat senang dengan kehangatan ini. Bersama Gilang dan sahabat-sahabatku. Apalagi keakraban kami tak berakhir sampai di hari itu. Hari-hari selanjutnya kami berempat selalu menghabiskan waktu bersama penuh dengan keceriaan dan kebersamaan yang indah.”Apakah seperti ini seharusnya cinta?”Entahlah, namun cintaku kepada Gilang akan terus dalam dan kuat seperti ini. Begitu pula cinta Gilang padaku dan itu yang aku yakini dalam lubuk hati yang terdalam.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)