Masukan nama pengguna
Senja merona di ufuk barat, memulas kanvas langit dengan gradasi jingga dan ungu yang melenakan. Di bawah naungan pohon maple raksasa di tepi taman kota, tempat aroma tanah basah bertemu semilir angin sore, Lila menemukan dirinya tenggelam dalam babak baru kehidupannya. Ia, seorang pemalu dengan sepasang mata yang selalu berbinar membayangkan kisah-kisah fantasi dari lembaran novel, kini sedang menulis dongengnya sendiri. Dongeng tentang Rizky.
Rizky, kapten tim basket sekolah, dengan senyum yang mampu meluluhkan tembok es dan mata sehangat matahari pagi, adalah perwujudan pangeran impiannya. Hubungan mereka baru saja mekar, selembut kelopak mawar di awal musim semi. Setiap tatapan, setiap sentuhan singkat di koridor sekolah, mengirimkan getaran aneh yang menari-nari di nadinya. Ini adalah cinta pertama, murni dan tak tercela, persis seperti yang selalu ia idamkan.
Pada kencan kedua mereka di kafe ‘Senja’, tempat kopi beraroma karamel menari-nari di udara, tawa Rizky adalah melodi termanis yang pernah Lila dengar. Ia menceritakan tentang ambisinya di lapangan basket, tentang mimpi-mimpi yang ingin ia raih. Lila mendengarkan, hati kecilnya berdegup tak beraturan, sesekali menyela dengan pertanyaan imajinatifnya.
“Jadi, kalau kamu superhero, kekuatanmu apa?” tanya Lila, menopang dagu, matanya mengerling jenaka.
Rizky tertawa, suaranya renyah seperti keripik kentang kesukaan Lila. “Mungkin… bisa melompat lebih tinggi dari tiang basket? Atau… melihat peluang di masa depan?” ia balik bertanya, dengan seringai menggoda.
Lila tersipu. “Kalau aku, mungkin bisa mengendalikan waktu. Biar momen-momen indah tidak pernah berakhir.”
Rizky menatapnya dalam, senyumnya melunak. “Itu kekuatan yang indah, Lila.” Lalu, perlahan, ia meraih tangan Lila yang tergenggam di atas meja. Jemari hangatnya menyelimuti tangan Lila.
Saat itulah, dunia Lila seolah berputar. Detik-detik memuai, warna-warna memudar, dan suara di sekitarnya meredup. Ia melihat kilasan, secepat embusan angin, namun begitu nyata. Ada tawa mereka, riang dan lepas, di sebuah taman yang sama. Lalu, mendadak, bayangan berubah.
Siluet mereka berdebat sengit, suara-suara meninggi, wajah Rizky tampak lelah. Dan akhirnya, ia melihat dirinya sendiri, duduk sendirian di bangku taman di bawah pohon maple yang sama, air mata membasahi pipi. Rizky berjalan menjauh, punggungnya menghilang di balik kerimbunan dedaunan.
Napas Lila tercekat. Tangannya gemetar di dalam genggaman Rizky. Kilasan itu hanya berlangsung sepersekian detik, namun meninggalkan jejak dingin di hatinya. Kafe yang semula hangat terasa membeku.
“Lila? Kamu baik-baik saja?” tanya Rizky, nada suaranya penuh kekhawatiran, genggamannya mengerat.
Lila mengangguk cepat, menarik tangannya perlahan. “Ya… ya, aku baik-baik saja. Hanya… sedikit pusing, mungkin karena kopi terlalu manis.” Ia tersenyum paksa, jantungnya masih berdentam tak karuan. Pikirannya kalut. Apa itu tadi? Hanya imajinasinya yang terlalu liar, hasil dari novel-novel fantasi yang ia lahap setiap hari? Pasti begitu.
Namun, bibit kecemasan telah tertanam. Sebuah bisikan kecil, dingin, mulai menggema di relung hatinya. Bisikan tentang masa depan yang mungkin tidak seindah dongeng.
***
Kilasan-kilasan itu tidak berhenti. Mereka datang lagi dan lagi, setiap kali kulit Lila bersentuhan dengan Rizky. Sentuhan ringan saat menyerahkan buku di perpustakaan, gesekan lengan di koridor ramai, atau bahkan tepukan hangat di bahu. Setiap kali, dunia berputar, dan secuil kepingan masa depan terbentang di hadapan matanya.
Adegan-adegan itu semakin jelas, semakin mendetail, seperti film pendek yang diputar berulang-ulang di benaknya. Ia melihat Rizky, dengan tas ransel di punggung, berdiri di depan sebuah gedung bertuliskan universitas ternama di luar kota. Ia mendengar suara perdebatan mereka yang kian memanas, kata-kata tajam menusuk udara, tentang jarak, tentang prioritas, tentang janji-janji yang takkan bisa ditepati.
Paling menyakitkan, ia selalu melihat adegan terakhir: perpisahan yang pedih di bawah pohon maple favorit mereka, daun-daun emas berguguran mengiringi tangisnya yang pecah.
Teror perlahan menyelimuti Lila. Ini bukan lagi imajinasi. Ini adalah ramalan. Sebuah kutukan yang melekat pada setiap sentuhan cinta pertamanya. Panik melanda. Bagaimana mungkin ia bisa menerima takdir seperti itu? Bagaimana ia bisa membiarkan kisah seindah ini berakhir dengan kepedihan yang sudah ia saksikan berulang kali?
Lila mulai secara sadar mencoba mengubah setiap detail kecil. Ia menghindari sentuhan fisik sebisa mungkin. Jika Rizky berusaha menggenggam tangannya, ia akan berpura-pura sibuk merapikan rambut atau mengambil ponsel. Jika mereka duduk berdekatan, ia akan sedikit bergeser, menciptakan jarak yang tak terlihat.
“Lila, kamu kenapa?” tanya Rizky suatu kali, saat Lila secara refleks menarik diri ketika ia mencoba merangkul bahunya di bioskop. “Dari tadi kayak menghindariku.”
Lila segera tersenyum, terlalu lebar, terlalu cepat. “Ah, tidak! Aku hanya… uhm, sedikit canggung di tempat ramai seperti ini.” Alasan yang terdengar lemah, bahkan untuk telinganya sendiri.
Ia mengubah rencana kencan. Bioskop yang selalu berakhir dengan ia melihat perpisahan, ia ganti dengan museum seni. Kafe ‘Senja’ ia hindari, beralih ke kedai es krim. Ia bahkan menjauhi topik-topik sensitif tentang masa depan, tentang kuliah di luar kota, tentang janji. Setiap kali Rizky menyebutkan mimpinya untuk beasiswa ke luar negeri, perut Lila terasa mual, dan ia akan segera mengalihkan pembicaraan, kadang-kadang dengan alasan yang kurang masuk akal.
“Rizky, coba lihat awan itu, bentuknya mirip naga!” serunya suatu kali, memotong pembicaraan Rizky tentang tes TOEFL.
Rizky menatapnya, ada kerutan samar di dahinya. Ia tersenyum tipis, namun senyum itu tidak mencapai matanya. “Iya, mirip naga. Lila, kamu akhir-akhir ini aneh, lho.”
Lila memaksakan tawa. “Aneh apanya? Aku kan memang begini!”
Di dalam hati, ia menjerit. Setiap usahanya untuk mengubah takdir, setiap sentuhan yang ia hindari, setiap pembicaraan yang ia alihkan, terasa seperti perjuangan melawan ombak raksasa yang takkan pernah bisa ia kalahkan. Ia merasa lelah, gelisah, dan paranoid. Kebahagiaan murni yang semula ia rasakan kini terkikis oleh rasa takut yang konstan. Senyumnya terasa hambar, tawanya terdengar kosong. Cinta pertama yang seharusnya menjadi puncak kebahagiaan, kini berubah menjadi medan perang, tempat ia berjuang sendirian melawan musuh tak kasat mata: masa depan.
***
Retakan-retakan kecil mulai muncul di dinding hubungan mereka. Rizky, yang selalu penuh perhatian dan ceria, kini sering terlihat bingung dan murung. Ia merasakan jarak yang sengaja Lila ciptakan, namun tidak mengerti alasannya. Keheningan canggung mulai menghiasi kencan-kencan mereka, menggantikan tawa dan obrolan tanpa henti.
Suatu sore, mereka duduk di bangku taman yang dikelilingi bunga-bunga mawar. Matahari terbenam, mewarnai langit dengan spektrum oranye dan merah. Harusnya menjadi momen romantis, namun ketegangan terasa begitu pekat di udara. Lila terus-menerus melirik arloji, menghindari kontak mata.
“Lila, ada apa?” Suara Rizky rendah, penuh kelelahan. “Kamu berubah. Kamu menjauh.”
Lila menelan ludah. Ia tidak bisa menjawab. Bagaimana ia harus menjelaskan? Tentang kilasan-kilasan yang terus menghantuinya? Tentang ketakutannya pada perpisahan yang tak terhindarkan? Ia takut Rizky akan menganggapnya gila, atau lebih parah, meninggalkannya karena ia terlalu rumit.
“Aku… tidak menjauh,” bisik Lila, suaranya nyaris tak terdengar. “Aku hanya… banyak pikiran.”
“Pikiran apa?” Rizky mendesak, suaranya sedikit meninggi. “Tentang kita? Tentang masa depan? Aku tahu aku akan kuliah di luar kota, tapi kita bisa menjalaninya, kan? Kita bisa mencoba LDR.”
Mendengar kata-kata itu, hati Lila mencelos. LDR? Perjalanan itu akan sangat jauh, takdir itu akan sangat menyakitkan. Ia sudah melihatnya. Setiap adegan sudah terpatri di benaknya. Ia tidak bisa berpura-pura.
“Rizky, itu… itu tidak semudah yang kamu bayangkan,” jawab Lila, berusaha menjaga suaranya tetap stabil.
“Kenapa tidak? Kamu tidak percaya padaku? Atau kamu memang tidak ingin mencoba?” Ada nada terluka dalam suara Rizky.
Hati Lila serasa diremas. Ia ingin memeluknya, menjelaskan segalanya, namun ketakutannya jauh lebih besar. Ia merasa seperti berdiri di tepi jurang, tidak tahu harus melangkah ke mana.
Malam itu, setelah kencan yang dingin dan penuh keheningan, Lila tiba di rumah dengan hati remuk. Ia duduk di kamarnya yang gelap, mencoba memahami semua yang terjadi. Dan saat ia mengambil ponselnya, jarinya tak sengaja menyentuh layar yang baru saja disentuh Rizky tadi. Kilasan itu datang lagi, kali ini begitu jelas, begitu nyata, seolah ia benar-benar ada di sana.
Ia melihat Rizky, tersenyum lebar, memegang sebuah amplop besar bertuliskan nama universitas asing. Ia melihatnya menelepon, matanya berbinar penuh kebahagiaan, menceritakan berita gembira tersebut. Lalu, adegan berpindah.
Mereka berdua duduk di bawah pohon maple, daun-daun kering berguguran di sekitar mereka, udara dingin menyengat. Rizky menatapnya dengan tatapan penuh penyesalan, dan ia… ia menangis, air matanya tak terbendung.
Kilasan itu adalah yang terakhir. Sebuah konfirmasi yang menghancurkan. Rizky akan mendapatkan beasiswa itu. Ia akan pergi. Perpisahan itu *pasti* akan terjadi. Semua usahanya selama ini sia-sia, hanya merusak keindahan yang seharusnya mereka nikmati.
Dilema besar menghantam Lila, membelah jiwanya menjadi dua. Satu sisi berteriak untuk terus berjuang, mengubah setiap detail, meskipun itu berarti mengikis habis sisa-sisa kebahagiaan mereka. Sisi lain berbisik lembut, menawarkan jalan yang lebih sulit namun mungkin lebih damai: melepaskan kendali. Menerima. Merangkul setiap detik yang tersisa, meskipun ia tahu akhirnya. Pilihan antara terus merusak apa yang ia miliki demi ilusi kendali, atau merelakan dan merasakan keindahan terbatas ini sepenuhnya. Pertaruhan tertinggi dalam hidupnya.
***
Malam itu menjadi saksi bisu bagi perang batin Lila. Ia tidak bisa tidur. Bayangan-bayangan kilasan dan tatapan terluka Rizky bergantian memenuhi benaknya. Di antara selimut yang terasa membelenggu, ia akhirnya memahami sesuatu yang pahit. Usahanya untuk mengubah takdir justru telah mencuri momen-momen berharga yang seharusnya menjadi kenangan manis. Ia telah menggenggam terlalu erat, hingga pasir itu justru meluncur pergi dari sela-sela jemarinya.
Pagi menjelang, membawa serta sinar matahari yang tipis menembus tirai kamarnya. Bersamaan dengan cahaya, datang pula keputusan. Sebuah keputusan yang menyakitkan, namun terasa membebaskan. Ia memilih untuk melepaskan. Melepaskan keinginan egoisnya untuk mengendalikan masa depan. Ia akan berhenti melawan.
Lila menatap cermin, melihat pantulan dirinya yang terlihat lelah, namun ada tekad baru di matanya. Ia akan menghargai setiap momen yang tersisa bersama Rizky. Setiap tawa, setiap sentuhan, setiap tatapan mata yang penuh cinta. Bahkan dengan beban berat di hatinya, ia akan berani merasakan keindahan yang fana. Ia akan menciptakan kenangan, bukan bayangan penyesalan.
Ia mulai bersikap lebih jujur dan terbuka. Tidak tentang kilasan, tidak. Itu adalah bebannya sendiri. Namun, tentang perasaannya, tentang kebahagiaannya saat bersama Rizky, tentang betapa ia mencintai setiap detail kecil darinya. Ia berhenti menghindari sentuhan.
Saat Rizky meraih tangannya, ia membalas genggaman itu dengan erat, merasakan hangatnya. Saat Rizky merangkulnya, ia menyandarkan kepalanya di bahu pemuda itu, menghirup aroma maskulin yang menenangkan.
“Maafkan aku, Rizky,” bisiknya suatu sore di bawah rindang pohon beringin sekolah, saat Rizky meletakkan kepalanya di pangkuan Lila. “Aku mungkin sedikit aneh akhir-akhir ini. Tapi, percayalah, aku sangat bahagia bersamamu.”
Rizky menatapnya, ada kelegaan yang terpancar dari matanya. Ia tersenyum, senyum tulus yang sudah lama tidak Lila lihat. “Aku juga bahagia, Lila. Sangat bahagia.”
Meskipun setiap sentuhan masih membawa kilasan masa depan, Lila kini melihatnya dengan cara yang berbeda. Bukan lagi sebagai kutukan, melainkan sebagai pengingat. Pengingat untuk mencintai lebih dalam, untuk merasakan lebih penuh, untuk menghargai setiap detik seolah itu adalah hadiah terakhir.
Ia tahu perpisahan akan datang, namun kini ia memilih untuk mengisi hari-hari mereka dengan begitu banyak kebahagiaan, sehingga kenangan itu akan jauh lebih kuat daripada kepedihan. Hubungan mereka, meskipun singkat, mendapatkan kembali kehangatan dan keasliannya. Ada kedamaian yang aneh dalam penerimaan, seperti langit setelah badai, yang meski basah, namun tampak lebih bersih dan cerah.
Lila telah belajar bahwa keindahan terbesar terletak pada keberanian untuk mencintai tanpa syarat, bahkan dengan pengetahuan akan akhir yang tak terhindarkan.
***
Musim berganti, dedaunan hijau pohon maple mulai berubah warna menjadi kuning keemasan, lalu merah marun, sebelum akhirnya satu per satu gugur ke tanah. Momen perpisahan itu akhirnya tiba, persis seperti yang ia lihat berkali-kali dalam kilasannya.
Rizky diterima di universitas impiannya di luar kota, lengkap dengan beasiswa penuh. Sebuah impian yang menjadi kenyataan bagi Rizky, namun berarti perpisahan bagi mereka berdua. Mereka bertemu di bawah pohon maple yang kini hampir gundul, hanya menyisakan beberapa helai daun yang bertahan dari terpaan angin. Udara dingin menyengat kulit, membawa serta aroma tanah dan embun pagi.
Lila menatap Rizky, matanya berkaca-kaca, namun tidak ada kepanikan yang ia rasakan sebelumnya. Hanya ada kesedihan yang mendalam, sebuah rasa kehilangan yang menusuk, namun juga sebuah pemahaman yang aneh. Ia telah menyiapkan hatinya untuk saat ini.
“Aku… aku akan merindukanmu, Lila,” ujar Rizky, suaranya parau, matanya juga berkaca-kaca. Ia meraih kedua tangan Lila, menggenggamnya erat. Sentuhan itu masih memicu kilasan terakhir: ia melihat dirinya menangis, punggung Rizky menjauh. Tapi kali ini, kilasan itu diiringi oleh memori-memori tawa mereka, pelukan hangat, janji-janji yang tak terucapkan, dan kedamaian yang ia temukan.
“Aku juga akan merindukanmu, Rizky,” balas Lila, suaranya bergetar. Sebuah senyum tipis terukir di bibirnya. “Tapi… aku bahagia untukmu. Benar-benar bahagia. Kejarlah mimpimu. Aku akan selalu mendukungmu.”
Ia menarik napas dalam, merasakan semua emosi yang bergejolak di dadanya, membiarkan semuanya mengalir. Air mata akhirnya menetes, membasahi pipinya. Itu bukan lagi air mata kepanikan, melainkan air mata kesedihan yang murni, bercampur dengan kelegaan.
Rizky memeluknya erat, pelukan terakhir yang terasa begitu nyata, begitu hangat, dan begitu penuh makna. Lila membalas pelukan itu, merasakan detak jantung Rizky di dadanya, menghirup aroma tubuhnya untuk terakhir kali.
Ia tidak mencoba mengubah apa pun. Ia tidak menahan apa pun. Ia membiarkan semuanya terjadi, mengukir momen perpisahan ini dalam hatinya, sama berharganya dengan setiap momen indah yang telah mereka ciptakan.
Ketika Rizky akhirnya melepaskan pelukan, ia menatap mata Lila lekat-lekat. Ada permintaan maaf, ada janji, dan ada cinta yang tak terucapkan di sana. Ia mengusap pipi Lila dengan ibu jarinya, menghapus jejak air mata.
“Jaga dirimu baik-baik, Lila,” ucapnya, suaranya nyaris berbisik. Lalu, ia berbalik.
Lila melihat punggungnya yang tegap melangkah menjauh, menembus kabut tipis pagi itu, tepat seperti yang ia lihat berkali-kali dalam kilasannya. Air matanya semakin deras, namun di baliknya, ada rasa syukur yang tak terhingga. Kisah cinta pertamanya telah berakhir. Namun, ia tidak hanya kehilangan. Ia juga telah menemukan.
Lila muncul dari pengalaman ini sebagai individu yang lebih dewasa. Ia telah belajar bahwa beberapa takdir memang tidak bisa dihindari, tetapi cara kita menghadapinya, dan nilai dari kenangan yang tercipta, jauh lebih berharga daripada perjuangan sia-sia untuk mengubah apa yang sudah tertulis.
Cinta pertamanya, meski fana, telah mengajarinya pelajaran paling berharga tentang kehidupan dan penerimaan.
Duduk sendirian di bangku taman, di bawah pohon maple yang asri, Lila memejamkan mata. Ia merasakan hembusan angin dingin menyentuh kulitnya, namun di dalam hatinya, ada kehangatan yang menetap.
Kenangan tentang Rizky, tawa mereka, sentuhan mereka, kini menjadi permata berharga yang ia simpan. Ia tidak tahu apakah kelak sentuhan di ujung jarinya akan kembali membawa kilasan takdir pada cinta berikutnya. Ia juga tidak tahu apakah ia akan selamanya membawa kemampuan ini.
Namun, satu hal yang ia tahu: ia siap. Siap untuk mencintai lagi, siap untuk merasakan, dan siap untuk melepaskan, kapan pun waktu itu tiba. Karena kini, ia mengerti, keindahan sejati terletak pada perjalanan, bukan hanya pada tujuan.
Dan di antara semua pertanyaan takdir yang mungkin masih menantinya, ada satu jawaban yang ia pegang teguh: bahwa hati yang berani mencintai sepenuhnya, bahkan dengan pengetahuan akan akhir, adalah hati yang takkan pernah benar-benar kalah.
Lalu, pertanyaan yang tak pernah sepenuhnya terjawab, melayang dalam benaknya: Mungkinkah takdir memang adalah kebebasan yang memilih untuk tunduk, atau hanya sebuah ilusi yang membimbing kita pada kebenaran diri?
***