Cerpen
Disukai
1
Dilihat
9,606
Senja dan Cinta Pertama
Romantis

Dritt dritt.

Suara rel kereta api yang serak disertai hentakan yang tiba-tiba membangunkanku dari tidur pulasku.

Sudah lama aku tidak kembali ke kota ini, mungkin sudah hampir 15 tahun yang lalu, saat kedua orang tuaku memutuskan untuk bercerai dan aku ikut dengan Mama ke ibukota.

Saat itu aku masih berusia 17 tahun. Aku masih tergolong muda dan menikmati hidup yang tenang, berlari di jalan setapak kecil di dekat perbukitan kelapa sawit, bersama seorang teman.

Ah, saat memori itu kembali, itu benar-benar menyakitkan. Aku sudah lama melupakannya, seorang teman itu.

Aku turun dari kereta dan berjalan keluar dari stasiun. Kota, memang tempat ini dinamakan kota, tetapi sejujurnya tempat ini tidak lebih luas dari tiga buah desa yang disatukan.

Di tempat ini pula jalanan masih belum banyak yang diaspal, hanya jalan-jalan utama saja yang menghubungkan ke tempat-tempat tertentu seperti stasiun ini.

Aku tidak pernah berpikir bahwa aku akan kembali ke sini, tidak sampai beberapa minggu yang lalu, ketika aku menerima kabar bahwa Papa sudah tiada. Sepucuk surat lain dikirimkan dengan berita itu, yakni surat wasiat Papa yang meninggalkan rumah di kota ini sebagai warisanku. Rumah yang dulunya kutinggali dengan bahagia bersama Mama dan Papa sampai perceraian itu terjadi. Apakah rumah ini benar-benar tempat yang bahagia? Ataukah hanya tempat yang membawa kenangan buruk?

Aku kembali berjalan, melewati beberapa hektare sawah, di mana padi sudah mulai menguning, disertai dengan cahaya langit senja yang keoranyean, persis seperti hari itu, disaat aku dan seorang teman berbicara tentang hal yang tidak pernah kami bahas sebelumnya.

Aku masih tidak mau memikirkan tentang hal itu. Itu sudah 15 tahun yang lalu. Sudah waktunya untuk dilupakan, bukan?

Beberapa warga berjalan melewatiku dengan ekspresi bertanya-tanya, mungkin mereka sudah tidak ingat siapa aku. Ya, itu sangat wajar. Bukan salah mereka, waktu memang berjalan tanpa mengenal rasa iba. Aku pun tidak menyapa mereka, aku sudah tidak ingat banyak nama warga di sini.

Saat akhirnya aku tiba di depan rumah yang diwariskan untukku, aku hanya berdiri di sana, diam dan hanya memperhatikan. Rumah ini sudah banyak yang berbeda. Dahulu rumah ini tembok kayunya berwarna krem, dengan atap berwarna oranye. Sekarang temboknya diganti dengan batu bata dicat warna putih gading dan atapnya berwarna biru tua. Pagar kayu yang dulunya ada untuk membatasi area rumah sudah diganti dengan pagar besi yang diselimuti dengan tanaman merambat.

Terlihat mewah dengan dibangunnya lantai dua yang sebelumnya tidak ada, namun rumah ini juga terlihat mati.

Setelah merogoh ke dalam salah satu tas, tanganku membawa kunci yang sudah diikut sertakan bersama surat wasiat itu. Kunci yang bewarna hitam pekat ini menambah kesan kelamnya rumah ini. Pintu terbuka, lalu aku melangkah masuk dan mengintari seluruh sudut rumah. Matahari telah terbenam saat aku selesai memindahkan barang bawaanku dari dalam tas ke dalam almari.

Tidak banyak yang kulakukan hari kemarin, hanya berkeliling beberapa menit dan sisanya mengunci diri di dalam rumah.

Aku menemukan buku catatan Papa, buku ini tidak disembunyikan ataupun dikunci di tempat yang tersembunyi, jadi aku asumsikan bahwa Papa tidak keberatan kalau saja aku akhirnya datang dan membaca buku catatannya.

Kuambil buku itu lalu berjalan ke dalam dapur, menuang kopi hitam pahit ke dalam cangkir tanpa gula lalu menyeduhnya dengan air panas. Kubawa cangkir kopi itu ke meja dekat jendela, dan kubiarkan diam di sana hingga airnya lebih dingin. Berganti dengan berjalan menuju kulkas dan menyiapkan sarapan pagiku.

Aku kembali duduk di meja dekat jendela dengan sarapanku yang sudah siap. Dua lembar roti gandum dan sebotol selai kacang. Aku mulai membuka buku catatan papa dengan satu suapan roti. Membaca dengan saksama setiap tulisan Papa dan membayangkan setiap momen yang sedang ditulisnya.

Ternyata Papa tidak membenci Mama, meskipun Mama pergi demi kehidupan yang didambakannya dan meninggalkan Papa di belakang.

Sebenarnya Papa bukan pria yang tidak berada, penghasilan Papa cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dengan makan tiga kali sehari beserta lauk-pauk yang sehat dan seimbang. Namun Mama khawatir dengan pertumbuhanku jika kami tetap menetap di kota terpencil ini.

Pembangunan rumah ini menggunakan uang yang Papa simpan setelah kepergian kami, uang yang sama jumlahnya dengan yang kami gunakan untuk makan sehari-hari itu terkumpul dengan cepat. Hanya lima tahun dan Papa memulai pembangunan rumah ini. Tulis Papa, rumah ini akan menjadi milikku nantinya, jadi Papa mengusahakan yang terbaik demi keuntunganku dan kebahagiaanku pada masa mendatang.

Aku hanya bisa menatap kosong.

Seandainya saja aku menyempatkan diri untuk berkunjung dalam 15 tahun ini.

Sekelebat rambut berwarna cokelat tua berjalan melintas di balik pagar besiku. Tak lama kemudian, bel berbunyi.

Tamu? Aku bahkan belum berkenalan dengan siapa pun semenjak aku tiba kemarin sore.

Aku berjalan keluar menuju pintu pagar, dan ketika kubuka, disitulah dia berada. Seorang teman.

Bertahun-tahun berlalu tetapi entah mengapa paras wajahnya tetap sama seperti 15 tahun yang lalu.

"Dian," ucapku memanggil nama yang sudah lama tak terucap di mulutku.

Perempuan itu menatapku lekat-lekat, rasa terkejut juga tersirat di wajahnya.

"Hans, sudah lama kita tidak bertemu," balasannya menatapku sambil sedikit tersenyum.

Aku menawarkannya masuk ke dalam rumah tetapi Dian menolak, dia lebih memilih membawaku berjalan-jalan di kebun kelapa sawit, seperti dahulu kala.

Di setiap tanjakan, Dian akan menoleh dan memperhatikanku, memastikan apakah aku masih mengikutinya atau tidak.

"Berhentilah menatapku seperti itu, seperti aku tidak akan sanggup berjalan atau apalah yang kau pikirkan," ucapku padanya.

Mata Dian kembali turun ke kakiku, kaki artifisial yang kudapatkan setelah perang beberapa tahun yang lalu.

12 tahun yang lalu, ketika sebuah virus merajalela di dunia, dan semua negara berlomba-lomba berusaha mempertahankan perekonomiannya. Salah satu sektor usaha sebuah negara hancur, dan menjajah ke sektor negara tetangga yang masih berjalan dengan baik. Perebutan dimulai dan perang pun tak terhindarkan. Semua anak laki-laki di atas usia 15 tahun diwajibkan untuk mengikuti perang, jika menolak akan dieksekusi di tempat.

Aku yang berusia tepat 20 tahun saat itu tidak punya alasan untuk menolak, meskipun Mama meronta-ronta meminta agar aku tidak berangkat ke medan perang. Setelah 5 tahun berada di medan perang aku keluar dalam keadaan baik-baik saja, dalam keadaan utuh. Namun saat perang kembali mencuat 2 tahun kemudian, aku kehilangan kaki kananku dari betis ke bawah berkat bom yang diluncurkan oleh pihak musuh. Pendengaranku juga terpengaruhi, namun seiring berjalannya waktu pendengaranku lebih membaik daripada bulan-bulan setelah kejadian itu.

"Sudah kubilang, berhenti menatapku seperti itu."

Kami berhenti di samping batu besar yang dahulu sering kami jadikan tempat makan siang.

Dian kebetulan memang membawa bungkusan makan siang bersamanya saat mengunjungiku tadi. Kami pun duduk di atas batu itu sembari menyantap makan siang yang dibuat oleh Dian.

"Makanan buatanmu makin enak dari yang dahulu," komentarku setelah mengambil satu suapan.

"Kau sedang memuji atau mengejek?" tanyanya marah.

Aku terkekeh mendengar reaksinya. Ya, memang makan siang yang dahulu kami santap adalah buatan ibu kami masing-masing. Tetapi pernah satu waktu Dian mencoba memasakkan kami bekal makan siang dan hasilnya sangat asin.

"Suamimu pasti senang karena bisa makan makanan yang layak dimakan," aku menggodanya lagi.

Dian terdiam mendengarnya, jadi kepalaku mendongak untuk melihat matanya terpaku kepadaku.

"Jangan bilang kau belum ...," ucapanku terpotong, tidak mampu meneruskan kata apa yang kupikirkan.

"Memang belum, Hans. Aku menunggumu pulang. Sejujurnya aku terkejut bahwa kau benar-benar pulang setelah bertahun-tahun ini."

"Mengapa kau dengan bodoh menungguku? Seharusnya kau sudah sadar, dengan aku pergi itu sudah mustahil bagi kita. Kau bisa mendapatkan lelaki lain di kota ini yang lebih mapan dan lebih utuh daripada aku," sahutku merasa marah.

Dian tersenyum sebelum menjawab, "Tetapi cuma kamu Hans yang aku mau."

15 tahun yang lalu, di bawah sinar langit senja sehari sebelum kepergianku ke ibukota. Aku menyatakan perasaanku kepada Dian, yang tak kusangka Dian juga memiliki perasaan yang sama selama ini. Dian adalah cinta pertamaku, begitu pula aku cinta pertamanya. Aku berjanji kepadanya bahwa aku akan kembali untuk meminangnya. Janji yang tak kusangka akan Dian jaga selama 15 tahun ini, yang aku sendiri tak yakin akan terjadi.

Mungkinkah sebegitu suramnya aku setelah perang-perang yang kulalui?

Dengan tubuh yang tak utuh lagi ini, Dian masih menerimaku.

Aku berakhir tinggal di kota ini, dengan Dian yang menjadi istriku. Dengan cat tembok yang ku ubah menjadi warna krem lagi, seperti dahulu kala, rumah ini tidak terlihat mati lagi.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)