Cerpen
Disukai
0
Dilihat
6,753
Selamat Tinggal, Vania
Romantis

“Sejak kapan?”

“Sejak pertama kali aku mengenalmu.”

“Kau sanggup menahannya selama itu?”

“….”

“Tapi kita hanya teman, Van … aku tidak ingin merusak pertemanan kita.”

“Apa teman tidak bisa menjadi kekasih? Apa kamu tidak ingin mencobanya, membuka hati kepadaku?”

Morgan meraih tangan Vania dan menggenggamnya dengan lembut.

“Van, saat ini aku hanya ingin fokus pada karirku. Terima kasih atas perasaannya selama ini. Jika memang berjodoh, pada akhirnya kamu pasti akan menjadi milikku.”

Terpancar jelas pada raut Vania, betapa sedih dan kecewanya dia karena mendapat penolakan dari Morgan, pria yang sudah dicintainya selama tiga tahun.

“Van … maafkan aku ….”


***


Morgan, pria muda yang baru saja naik pangkat di tempatnya bekerja, disalah satu perusahaan milik negara. Morgan masih saja memikirkan perkataannya pada Vania, meski sudah berlalu dua tahun silam. Dia menolak Vania bukan karena tidak mencintainya, namun ada hal lain yang saat ini lebih menjadi prioritasnya.

“Maaf, Van … aku harus bekerja lebih giat lagi, agar kelak bisa menjadi pendamping hidupmu yang layak dan bisa membawa hidupmu lebih baik lagi,” gumamnya sembari melihat foto Vania, yang dijadikan sebagai wallpaper pada layar ponselnya.

Meski kini hubungannya dengan Vania tidak sebaik dulu, namun Morgan tetap menyimpan Vania di dalam hatinya dan masih menganggap Vania sebagai teman baiknya.

Bukan hanya itu, bahkan kini mereka terpisah oleh jarak dan waktu yang cukup jauh karena Morgan harus dimutasi ke kota lain. Morgan dan Vania pun pada akhirnya menjalani hidup masing-masing tanpa komunikasi sama sekali.


***


Sudah dua tahun berlalu sejak Morgan dimutasi ke kota lain, dia sudah memiliki bekal dan keberanian untuk pulang ke kota asalnya dengan niat ingin menemui wanita yang sangat dirindukannya.


Morgan

[Van, bagaimana kabarnya?]


Setelah sekian lama putus komunikasi, Morgan pun akhirnya memilih untuk menghubungi Vania lebih dulu. Namun pesan yang dikirim sebelum Morgan melakukan penerbangan, hingga dia tiba di rumah orangtuanya, pesan tersebut tidak mendapat balasan dari Vania.

“Morgan, mau kemana? Kamu baru saja sampai. Istirahatlah dulu!” pinta sang ibu, ketika melihat anaknya yang hanya meletakkan koper di kamar dan hendak pergi lagi.

“Ke rumah Vania, Bu. Sebentar saja, ya …,” jawab Morgan dengan senyuman, meyakinkan ibunya agar tidak melarangnya untuk pergi.


***


Motor Morgan berhenti di depan sebuah rumah yang sudah tidak asing lagi baginya. Rumah yang pernah didatangi olehnya setiap hari, sepulang kuliah.

“Van, aku sangat rindu,” batinnya bergumam.

Rumah Vania terlihat sepi, bahkan tidak ada motor maupun mobil milik orangtua Vania yang terparkir di depan rumahnya.

“Mas, cari siapa?” tanya salah seorang tetangganya yang menghampiri Morgan.

“Eu … maaf, apa Vania dan keluarganya masih tinggal disini?” Morgan tidak segan menanyakan perihal Vania.

“Masih kok. Tapi sudah dua hari ini Vania masuk rumah sakit, jadi keluarganya tidak ada di rumah untuk menjaga Vania,” jawab seroang ibu yang tak lain adalah tetangga Vania.

“Masuk rumah sakit? A—ada apa?!” tanya Morgan panik mendengarnya.

“Katanya sakit, tapi kami tetangga disini yang ingin menjenguk diminta untuk menjenguk saat Vania sudah pulang saja. Kalau Mas ingin menjenguknya, sebaiknya hubungi dulu Vania atau orangtuanya.”

Tetangga itu berlalu usai Morgan berterimakasih. Morgan yang sudah tidak memiliki komunikasi yang baik dengan Vania dan orangtuanya pun bingung, bagaimana dia bisa tahu di rumah sakit mana Vania dirawat.

Saat Morgan menyerah dan hendak pergi, dia melihat ada seorang pria yang datang ke rumah Vania, dengan membawa bucket bunga. Karena penasaran, akhirnya Morgan menghampirinya.

“Permisi,” sapa Morgan dengan sopan.

Pria itu hanya menoleh dan terdiam, memperlihatkan wajahnya yang begitu sendu.

“Apa kamu ingin bertamu?”

“Tidak. Aku tidak bisa menjenguk Vania di rumah sakit, jadi aku ingin meletakkan bunga ini di depan rumahnya. Jika Vania pulang nanti, dia bisa menerima bunga ini,” ujar pria tersebut.

“Kamu tahu dimana Vania dirawat?”

“Rumah sakit Harapan Medika, kamar 310. Aku tidak bisa menjenguknya, hanya dengan cara ini aku bisa memberikan bunga ini untuknya.”

Pria itu berlalu dengan meninggalkan bucket bunga mawar di depan pintu pagar rumah Vania. Morgan bertanya-tanya sebenarnya apa yang terjadi pada Vania.

Tanpa berpikir panjang, Morgan segera bergegas menuju ke rumah sakit yang dimaksud. Walau dengan tangan kosong, setidaknya dia bisa mengetahi apa yang terjadi pada Vania dan bagaimana kondisinya.


***


Morgan berdiri di depan kamar inap yang tertutup, bahkan dia tidak bisa melihat bagaimana kondisi di kamar tersebut. Morgan hanya bisa menunggu siapapun yang hendak masuk atau yang keluar agar dia bisa bertanya.


Cklek

Pintu kamar inap 310 terbuka, Morgan menarik napas panjang, mempersiapkan diri untuk siapapun yang hendak keluar dari kamar inap tersebut.

“Morgan? Kamu Morgan kan?”

“Tante ….” Morgan menyalami kedua tangan orang itu yang tak lain adalah Mama Vania. “Tante, Morgan dengar tentang Vania ….”

“Dia baru sadar tadi pagi. Kita tunggu sampai dokter selesai memeriksanya ya,” ucap Mama Vania.

“Setelah dua hari di rumah sakit, Vania baru sadar?” tanya Morgan.

“Iya, dua hari kemarin dia berada di ICU. Baru saja siang ini dipindahkan ke kamar inap,” jawab Mama Vania. “Kamu tahu Vania dirawat di rumah sakit dan tahu kamar inap Vania dari siapa?”

“Hmmm, tadi saat Morgan datang ke rumah … ada pria yang datang membawa bucket bunga. Dia memberitahu rumah sakit beserta kamar inap Vania. Tante, kalau boleh tahu … Vania sakit apa?”

“Vania tidak sakit. Dia hanya berusaha mempertahankan harga dirinya, tapi caranya salah. Sejak awal Tante sudah tidak menyetujuinya, tetapi sepertinya Vania ingin melupakanmu dengan memaksakan diri mencintai Marchel, pria yang kamu temui di depan rumah.”

“Melupakan Morgan? Maksud Tante bagaimana?”

“Tante tahu kalau kamu sudah menolak Vania dan menjauh dari Vania dua tahun lalu. Vania ditemukan pingsan di kamarnya dengan buku diary nya. Vania stress sampai lupa makan dan istiarhat, kita juga tahu kalau dirinya penderita Gerd kronis. Akhirnya Vania opname selama beberapa hari dan recovery di rumah sampai satu minggu lebih, hingga Vania pulih dari gerd dan stress nya.”

Tangan Morgan bergetar, merasa bersalah atas sikapnya kepada Vania saat itu.

“Vania begitu mencintaimu. Tapi tidak tahu bagaimana dengan sekarang, kamu bisa berbicara langsung kepadanya. Tapi Tante tidak menjamin Vania akan baik-baik saja. Dia baru saja putus dari Marchel disaat hari lamarannya yang sudah tinggal 2 bulan lagi.”


***


Morgan masuk ke dalam kamar inap Vania, melihat Vania terbaring lemah di atas tempat tidur sembari menonton televisi yang ada di kamar inapnya. Mata Vania tertuju pada Morgan, rautnya sangat datar menyambut kedatangan Morgan.

Morgan menghampiri Vania dan duduk di kursi yang ada di samping tempat tidur Vania. Tanpa mengatakan sepatah kata, Morgan menitikkan air mata, seolah tak kuasa melihat penderitaan wanita yang dia cintai. Tangan Vania meraih pipi Morgan dan menghapus air matanya.

“Jangan nangis. Aku baik-baik saja,” ucap Vania.

Morgan memeluk Vania dan menciumi kening wanita kesayangannya itu.

“Maafkan aku … maafkan aku karena sudah membuatmu menunggu lama dan harus mengalami hal pelik seperti ini. Maafkan aku, Vania …,” ujar Morgan, mengungkapkan perasaan bersalahnya atas kebohongan hatinya selama ini.

“Terima kasih sudah datang, tapi aku ingin istirahat. Sebaiknya kamu pulang,” pinta Vania yang kemudian berbalik badan memunggungi Morgan, tidak ingin diganggu oleh siapapun saat ini.


***


Keesokan harinya, Morgan kembali datang ke rumah sakit. Namun kali ini dia datang tidak sendiri, Morgan datang bersama orangtuanya dengan maksud bukan hanya sekadar menjenguk saja.

“Maaf Tante, Morgan tahu ini sangat mendadak dan waktunya tidak tepat. Tapi Morgan hanya tidak ingin kehilangan kesempatan untuk mengatakan ini. Kedatangan Morgan hari ini bersama Ibu dan Ayah, yaitu untuk melamar Vania,” ujar Morgan sembari menunduk, merasa malu karena datang disaat sudah tidak diharapkan lagi.

“Morgan, Tante sama sekali tidak menolak niat baikmu untuk melamar Vania. Tapi kenapa harus hari ini? Tante sudah bilang kemarin, kalau Vania baru saja putus dengan Marchel disaat lamarannya yang akan diadakan dua bulan lagi,” ujar Mama Vania.

“Justru itu, biarkan pernikahan itu tetap terjadi, Morgan yang akan melamarnya hari ini.”

“Tidak semudah itu, Morgan … Vania baru saja mengalami kecelakaan saat dia mengejar Marchel di jalan. Tapi kamu tahu apa, Marchel meninggalkannya tanpa menolongnya walau hanya sekadar memanggil ambulans. Vania menjadi korban tabrak lari dan tidak ada yang menolongnya selama beberapa jam, karena orang-orang mengira dia adalah orang gila yang tidur di jalanan! Tanpa alasan yang jelas Marchel meminta putus dan membatalkan pernikahan mereka, bahkan Marchel juga meminta sebagian uangnya yang sudah keluar untuk biaya pernikahan.”

Morgan mendekati kursi Mama Vania dan berlutut di hadapannya.

“Tante … izinkan Morgan bertanggung jawab atas semua yang terjadi. Ini semua salah Morgan sejak awal. Andai saja Morgan tidak menolak Vania saat itu, Vania tidak akan pernah kenal dan menjalani hubungan dengan Marchel. Izinkan Morgan berbicara dengan Vania ….”

Mama Vania masih menangis, namun dia meraih kepala Morgan dan mengusapnya dengan lembut seraya mengangguk, memberikan isyarat kepada Morgan.

“Pergilah temui Vania dan bicara dengannya. Tante sudah memberikan restu penuh kepadamu.”

Ayah dan Ibu Morgan merasa lega, anaknya telah mendapatkan restu dari Mama Vania. Namun tetap saja Morgan masih memiliki tugas besar untuk meyakinkan Vania kalau dia adalah pilihan hatinya.


***


“Menikah? Setelah kamu menolakku dua tahun lalu, sekarang kamu datang untuk menikahiku? Kamu tidak lihat apa yang terjadi padaku? Aku harus percaya pada pria seperti apalagi setelah kamu meninggalkanku dan juga Marchel yang—”

“Vania, aku tidak memaksamu untuk menjawabnya sekarang. Namun … izinkan aku menjaga dan merawatmu sebagai teman saat ini, boleh?”

Vania tidak menjawabnya, namun dia juga tidak menolaknya. Hati Vania masih terluka atas apa yang terjadi padanya dan juga Marchel, namun tak dapat dipungkiri olehnya kalau jauh dilubuk hatinya juga masih memiliki harapan untuk berjodoh dengan Morgan.


***


Vania melihat Morgan yang sedang tekun di depan laptopnya, seperti sedang melakukan pekerjaan. Dia merasa tidak nyaman karena sudah mengganggu waktu Morgan untuk menjaganya di rumah sakit.

“Sudah dua hari kamu tidak pulang, bagaimana dengan pekerjaanmu?” tanya Vania.

“Aku bisa remote, Van. Ini juga sedang kukerjakan,” jawab Morgan.

“Kamu tidak perlu merasa iba padaku, Morgan. Aku hanya perlu mengistirahatkan diri, juga hatiku agar pulih sepenuhnya.”

Morgan menghentikan pekerjaannya dan menutup laptopnya. Dia mendekat pada Vania dan menatapnya penuh arti.


“Siapa yang merasa iba? Aku justru malu karena Mama mu menerimaku seperti ini karena merasa iba kepadaku.”

“Bagaimana mungkin ….”

“Aku juga menyukaimu, Vania. Bahkan jauh sebelum kamu menyukaiku. Kita tidak mungkin berteman jika aku tidak menyukaimu dan jika aku tidak dengan sengaja menukar buku kita di perpus saat itu. Aku sangat ingin berkenalan denganmu dan berada di dekatmu dalam jangka waktu yang lama, hingga diri ini siap untuk menyatakannya kepadamu. Tapi kamu malah menyatakannya lebih dulu, disaat aku sama sekali belum memilki persiapan apa-apa untuk menjadi pendamping hidupmu,” tutur Morgan, mengatakan yang sesungguhnya terjadi diantara mereka sejak awal.

“Aku hanya meminta kita berpacaran saat itu, bukan memintamu untuk menikahiku.”

“Aku tidak ingin kita berpacaran, Vania. Pacaran hanya akan membawa pertemanan kita menjadi tidak sehat, bahkan tidak ada jaminan kita bisa bertahan hingga ke jenjang pernikahan. Aku tidak mau itu ….”

“Tapi aku sudah melupakanmu dengan berpacaran dengan Marchel. Aku hanya ingin berisitrahat saja untuk saat ini Morgan.”

“Vania, apa kamu menolakku?” tanya Morgan cemas, cintanya akan bertepuk sebelah tangan.

“Aku tidak menolakmu. Tapi sekarang, aku tidak ingin melihatmu.”

“Aku harus bagaimana Van—”

“Tolong pergi Morgan … aku tidak ingin melihatmu … tolong pergi …,” rintih Vania mengusir Morgan.

Tidak ingin terjadi keributan karena sedang berada di rumah sakit, Morgan pun lebih menuruti permintaan Vania untuk pergi.


***


Morgan menatap langit melalui jendela kantornya. Gelap, awan telah mengabu dengan menitikkan air langit ke bumi secara bersamaan dan terus menerus. Sudah satu bulan sejak Morgan kembali ke perantauan, dia masih belum mendapat kabar apapun tentang Vania.

“Sepertinya sudah seharusnya aku melupakannya,” gumam Morgan kemudian mengambil ponselnya dan mengubah wallpaper layar ponselnya yang semula adalah foto Vania, menjadi hitam polos. “Selamat tinggal, Vania ….”


***


Satu tahun kemudian, Morgan kembali pulang ke kota asalnya untuk menemui orangtuanya. Morgan juga berencana ingin datang ke rumah Vania, hanya untuk memastikan kalau Vania sudah baik-baik saja. Dia juga ingin memberikan beberapa hadiah ulang tahun Vania yang selalu Morgan siapkan setiap tahunnya.

Sebelum Morgan berkunjung ke rumah Vania, dia singgah di sebuah toko bunga untuk membeli bunga untuk Vania. Tanpa sengaja dia bertemu dengan Marchel yang ternyata tidak mengenali dirinya. Marchel membeli bunga yang sama dengan Morgan, bahkan dia meminta dibuatkan kartu ucapan atas nama Vania. Morgan tersenyum tipis, mengira kalau Marchel dan Vania telah memperbaiki hubungan mereka.

“Dia pasti senang karena pacarnya masih setia untuk datang dan membawakan bunga kesukaannya,” ujar si penjual bunga kepada Marchel.

“Selama saya masih mencintainya, saya akan terus seperti ini,” balas Marchel.

‘Masih datang? Apa maksudnya Vania …,’ batin Morgan menduga yang tidak-tidak.

Morgan pun bergegas mengikuti kemana Marchel pergi, ternyata sepeda motor Marchel mengarah ke tempat pemakaman umum. Morgan merinding, tubuhnya sangat lemas, tidak ingin menerima kenyataan kalau Vania telah tiada.

Tidak bisa menerima kenyataan, Morgan pun memutar balik mobilnya menuju ke rumah Vania.


***


Rumah Vania tampak sepi, namun kendaraannya lengkap terparkir di depan rumah. Morgan yang sudah meneteskan air mata sepanjang perjalanan dari tempat pemakaman umum sampai ke rumah Vania pun mencoba memperbaiki dirinya dengan mengusap air matanya dan menahannya agar tidak menitik lagi.

Tiba-tiba saja pintu pagar rumah Vania terbuka dan terlihat seorang wanita yang mustahil ada di hadapannya, sedang berdiri di tengah pintu, seperti sedang menunggu.

“V—Vania …,” panggil Morgan dari dalam mobil, kemudian dia keluar dengan membawa bucket bunganya dan menghampiri Vania.

“Morgan?”

“Kamu benar Vania? Vania Melodina?” tanya Morgan berulang kali, memastikan kalau itu benar-benar Vania.

“Ada apa denganmu, Morgan?”

“A—aku bertemu dengan Marchel di took bunga, dia membeli bunga atas nama Vania dan membawanya ke sebuah pemakaman,” ujar Morgan.

“Lalu, kenapa kamu datang dengan air mata berlinang seperti ini?” tanya Vania mengusap air mata Morgan.

“Aku pikir kamu sudah—”

“Kenapa lama sekali?” tanya Vania menyela ucapan Morgan.

“Hm?!”

“Aku menunggu lamaran darimu, tapi sampai satu tahun kemudian kamu baru datang,” ucap Vania.

“Van, kamu ….”

“Aku sudah bilang kalau aku tidak menolakmu. Aku hanya ingin beristirahat setelah dikecewakan oleh Marchel. Wanita bernama Vania yang dimaksud itu memang benar aku. Tapi … jiwa Marchel saat ini tidak baik-baik saja. Dia mengira kalau aku sudah meninggal. Sesekali dia datang ke makam secara random, sesekali dia datang ke rumah dan meletakkan bucket bunga di depan rumah. Aku kira yang datang Marchel, makanya aku keluar rumah untuk memberikannya makanan,” jelas Vania.

“Mengapa demikian?” tanya Morgan.

“Aku tidak tahu, saat aku keluar dari rumah sakit dia datang ke rumah dan memintaku untuk menerimanya lagi. Tapi aku tidak ingin jatuh dikesalahan yang sama. Hatiku juga sudah kembali untuk mencintai pria yang semestinya aku tunggu,” jelas Vania.

“Aku sudah mengikhlaskan perasaan ini sejak lama, bahkan aku sudah melupakanmu, Vania,” tutur Morgan.

“M—maksudmu?”

“Niatku datang untuk mengatakan selamat tinggal kepadamu.”

Vania melangkah mundur, seolah tidak siap menerima kalau lagi-lagi hatinya akan terluka.

“Dengan melihatmu seperti ini, aku semakin sadar, Van … kalau memang seharusnya aku mengatakan selamat tinggal kepadamu, untuk persahabatan kita,” ujar Morgan.

“No Morgan …,” rintih Vania.

“Selamat tinggal untuk persahabatan kita, Vania … dan marilah kita menua bersama sebagai teman hidup.”

“Morgan?”

Morgan berlutut di hadapan Vania dan mengangkat bucket bunganya mengarah pada Vania.

“Vania … will you marry me?”

Vania melakukan hal yang sama, berlutut berhadapan dengan Morgan. Dia menerima bucket bunga tersebut dan memeluk Morgan dengan sangat erat. Tangisnya pecah bercampur dengan perasaan haru.

“Jawab dulu, Van …,” pinta Morgan, yang masih belum lega karna belum mendengar jawaban dari Vania.

“Aku harus menjawab apa lagi? Bukankah aku menunggumu sudah sejak sangat lama? Tanpa aku mengatakan ‘Yes’, seharusnya kamu tahu!” balas Vania.


***


“Terima kasih Tuhan … meski dengan cara yang rumit, akhirnya Kau persatukan kami di dalam ikatan pernikahan.”  -Vania-


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)