Cerpen
Disukai
3
Dilihat
16,357
Sekar Kumbara
Drama

Cinta tak bermata, tapi gemulai seni ketoprak berpenglihatan tajam. Rona dramanya mampu menjodohkan, walau jodoh itu hanya sebatas waktu terperi. Menghindar bukan jalan mulus, namun kebudayaan adalah hal abadi tanpa cacat. Jodoh boleh pupus, tapi seni tak kan pernah hangus.

Alunan gamelan nan syahdu memulai gelaran seni Ketoprak malam itu. Dalam Joglo tak berdinding apalagi bersekat yang tak juga dipenuhi penonton. Sepi. Separuh kursi kosong melompong. Saat angin enggan berhembus, saat itu pula bulan tak ranum. Walau hanya satu-satu bintang menghias langit diatasnya, pagelaran tetap berjalan.

Memang, pentas drama tradisional Jawa dianggap tontonan membosankan, walau pelaku seninya tak lelah berinovasi. Gamelan yang telah termodernkan dengan paduan drum dan harpa, mulai memukau segelintir penonton. Gemulai penari ditingkahi lakon komedi, sebenarnya membuat pertunjukan luar biasa menarik.

Gundah hati Sekar, mekar seiring tepuk tangan penonton. “Ini pentasmu yang terakhir” begitu maklumat si Mbok tadi. “Menarilah dengan baik, karena diantara penonton calon suamimu mengamati.” Sedih membersamai gemulai jari diatas kekakuan tradisi. Perjodohan yang tak dinanti.

Anggah-ungguh anak pada orang tua mewajibkan Sekar tak mengeluarkan bantahan. Cinta diam-diam yang dijalinnya bersama Kumbara terancam kandas. Pilihan orangtua adalah pemenang yang tak diharapkan. Jodoh kadang tak mengenali cinta.

Berkaca mata Sekar, menyatakan kenyataan pahit yang harus dijalani. “Mas Kumbara, aku pamit dari hidupmu, bukan berarti aku tak mencintaimu.”

“Cinta terkalahkan oleh bakti pada orang tua. Turuti kemauan mbok mu, itu lebih mulia dari pada mendurhakainya dengan mencitai ku” kata-kata Kumbara begitu terdengar sejuk, namun hati Sekar bagai tertusuk. Pentas Ketoprak Arjuna Mencari Cinta malam ini adalah saksi berpisahnya dua hati.

Sementara wanita setengah baya berpenampilan menor terburu-buru menuju pintu keluar bandara Adi Sucipto. “Cepatlah, Ji. Nanti kita telat. Jalanmu itu seperti perempuan saja!”

“Untuk apa kita kemari, Mami?”

“Untuk apa? Tadi mami sudah katakan untuk menonton Ketoprak!” Aji menghela nafas sambil memasang wajah yang terlipat dua belas. Ketoprak??? Sungguh mengherankan, Mami yang perlente rela terbang dari Jakarta ke Yogyakarta hanya untuk menonton Ketoprak. Bukankah lebih asik menonton di bioskop bertaraf internasional atau berkaraoke ditemani dengan Popcorn, Pizza dan Mocacino? Ini kelakuan panik teraneh mami semenjak papi berangkat ke surga.

Mini van sewaan melaju dari bandara Adi Sucipto menuju kota Yogjakarta. Roda bersapa dengan aspal yang tak perduli akan omelan penumpang tentang lubang dan jalan tak rata. Sang Mami terus saja berkomentar tentang supir yang dirasa kasar mambawa mobil. Harus bagaimana, jalan rusak sedang supir tak tahu tentang proyek perbaikan jalan. Tugasnya hanya mengantar penumpang sampai tepat waktu dengan selamat, itu saja.

“Sudahlah Mam, jangan bicara terus. Aji mau tidur.”

“Jangan tidur Ji, nanti mukamu kusut!”

“Tak apalah sedikit kusut, Tak perlu berpenampilan ganteng. Hanya akan menonton Ketoprak.”

“Mami kan sudah bilang, akan mempertemukanmu dengan Sekar! Calon istrimu! Bagaimana Sekar akan tertarik padamu jika tampangmu njelimet.”

“Mami urus saja bisnis, calon istriku biar aku cari,” bantah Aji.

“Tidak! Tidak bisa! Calon istrimu haruslah dari kalangan keluarga. Mami tidak rela jika kekayaan kita jatuh ke tangan orang lain! Kau tahu?! Sekar itu masih terbilang keponakan almarhum Papamu. Kita harus menghormati Papa yang telah susah payah membangun bisnis. Kau harus menikah dengannya!” Suara mami meninggi.

“Aku tidak tahu!” Aji menguap menyembunyikan senyum mengejek. Akan bertambahlah koleksi pacarnya yang telah lebih dari tiga itu. Bagaimana tidak, dengan kekayaan melimpah walau wajah terbilang pas-pasan, ada saja wanita yang bersedia menemaninya.

Suara Gamelan menyusupi telinga supir dan penumpang kala mesin mini van itu mati dihalaman. “Sampai, Nyonya,” kata sang supir.

“Kau masuk ke Joglo,” titah seorang mami Aji bak perintah inspektur pada prajuritnya.

Namun cemerlang mata Aji menghempas rasa kantuk sesampainya di dalam. Tangannya menepuk-nepuk pipi. Berharap tepukan itu membuat mukanya beranjak dari kusut menjadi segar nan tampan.

Terkaget saat penari, sinden dan pemain Ketoprak itu semua terlihat cantik. Paduan kebaya dan kain batik membalut anggun para pelakon. Kemayu putri Jogja yang tak ditemukan pada diri pacar-pacarnya. Menerka-nerka mana yang bernama Sekar, Aji tak memperhatikan jalan cerita. Hatinya yang riang gembira pongah berkata “Pastilah perempuan bernama Sekar bertekuk lutut dihadapannya, paling tidak dihadapan hartanya.” Dan setelah bosan, dia akan meninggalkan perempuan itu.


Meriah tepukan mengakhiri pertunjukan. Kesepakatan terucap dibalik senyum tak ikhlas. Tunduk menggulung, Sekar mengikuti kehendak orang tua. Dibalik panggung, menggema suara si Mbok “Ketoprak mulai tak laku, menikah dengannya bisa memperbaiki jalan hidupmu. Dia masih kerabat almarhum Bapak yang berarti hartanya adalah hartamu juga.”

Terdengar seperti ungkapan sayang ibu yang gundah akan masa depan anaknya. Miris. Sekar sangat mencintai seni Ketoprak. Dan Kumbara menjadi pilihan yang sejalan dengannya. Haruskah ia tinggalkan?!

Tersenyum Aji memuji nasib akan istri nan cantik. Gadis kemayu lemah lembut, perawan mempesona yang akan menjadi abdinya. Aji membawanya ke dalam mimpi indah tak berujung suka.

Lalu sekerat janji terucap dibalut busana mewah. Senyum para tuan dan nyonya membersamai puja puji pada mempelai. Hati Sekar kelelahan diantara prosesi basa-basi nan panjang. Inilah penyelamatan aset keluarga yang melipat rasa cinta sampai lipatan terkecil. Pernikahan.

“Cepatlah memberiku cucu ya Nduk. Cucu bagus ganteng, pinter. Laki-laki pewaris keluarga.” Mertua yang selalu berdandan tebal mendikte kata-kata nasib. Membawa Sekar ke dokter kandungan agar cucu yang lahir berkelamin laki-laki. Memaksa Sekar melawan rasanya sendiri.

Entah seberapa hancur hati Kumbara. Membayangkannya Sekar dihantui rasa bersalah. Cinta sejati tak pernah saling memiliki. Pikiran bertambah kacau saat dia tak bisa lagi menari. Tak berketoprak, tak berlakon sahaja. Tubuh pun mulai berat, ngilu merindu.

Sementara Kumbara dengan gagah berlakon. Berperan sebagai Anusapati, Kumbara menjadi bintang dalam pentas ketoprak malam itu. Pertunjukan tetap berjalan tanpa Sekar. Kursi mulai penuh terisi. Joglo kembali berseri bersama pentas Ketoprak yang masih saja abadi.

Sampai hari itu Sekar benar-benar limbung. Isi perutnya senantiasa keluar dan kepalanya seperti berbenturan dengan kayu.

Di tempat lain, perut Aji kenyang dengan tangan melingkar di pinggang si rambut panjang. Tertawa cekikikan diantara kilauan lampu memabukkan.

Tersungging senyum sang Mami, terburu-buru menanggapi muntahan Sekar. Pagi-pagi menyodorkan dengan bahagia sekeping alat tes kehamilan. Dengan berat hati Sekar menerima nasib. Memandang nanar tanda strip dua garis. Lama ditunggunya namun tak juga berganti jadi satu garis. Positif!.

Berseri semu merah jambu sang Mami meletakkan telepon di telinganya. “Aji, kau menginap di kantor? Jangan bekerja terlalu keras, siapkan dirimu. Kau akan menjadi bapak, cepatlah pulang,” teriak mami.

Pura-pura senang Aji menanggapi antusias sang Mami sembari tangannya sibuk menutup mulut si rambut panjang yang tak berbusana lengkap. Kehamilan istri tak seindah memiliki selingkuh.

Terkungkung dibalik mitos modern. Sekar menenggak susu, vitamin dan produk herbal. Temannya hanya sekotak layar yang bisa diajaknya bermain. Itulah yang Aji berikan padanya untuk menjaga kehamilan dan menjaga rumahnya yang telah bersatpam. Perangkat canggih yang dia sebut ‘game’.

Mempercayakan pada dokter ahli, semua dirasa baik-baik saja. Sampai Sekar mempertaruhkan nyawanya di meja persalinan. Normal

Bahana tangisan bayi laki-laki menyeruak malam. Menghempas Sekar ke dalam kebersyukuran karena telah melaksanakan tugas dengan sempurna. Walau di palung hatinya ada ceruk dalam yang menyimpan selaksa siksa cinta. Terlalui sudah. Mengamankan harta keluarga agar tak jatuh ketangan orang lain, lewat anak dari rahimnya. Suka-cita bahagia keluarga itu mencapai puncaknya.

Putih, mancung, mata bulat, ganteng. Tak bosan sang Mami menggendong dan mengajaknya ngobrol akan beberapa perusahaan dan tanah. Di ruang lain Sekar berseteru dengan Aji. Sekar bersikukuh memberi nama buah hatinya dengan nama Bagong. Bagong seorang bijak tokoh Ketoprak yang ia kagumi.

“Aku yang mengandung dan melahirkannya. Aku yang memberinya nama! Namanya Bagong!”

“Aku Bapaknya, karena aku dia ada! Aku yang memberinya nama. Namanya Alexander!”

Sementara sang Mami bersenandung lagu Elvis Presley mengantar sang bayi tidur. Setelah itu dia membuat janji untuk mengurus warisan beberapa aset yang akan dipindahtangankan ke Elvis. Nama yang dia pilih untuk sang cucu sesuai dengan nama idolanya.

Sekar terdiam. Dia tetap akan memanggil buah hatinya dengan Bagong bukan Elvis. Dan Aji tak bisa berkutik.

Bermacam permainan yang disebut game itu akrab dengan Elvis. Matanya berbinar saat memandang layar dimana ada gambar bergerak didalamnya. Jarinya menekan-nekan tombol dengan lincah. Tanpa teman sebaya yang bisa diajak bicara berbagi rasa. Tak ada permainan kuno yang mengasikkan seperti yang Sekar rasakan dulu.

Sampai lembayung jingga memerah dilangit senja. Elvis menangis keras dengan tubuh memanas.

Begitulah keserakahan akan berakhir keburukan. Harta yang tak lari kemana memakan korban yang tak disangka. Elvis berkembang normal hanya dua tahun saja. Setelah itu dokter memvonisnya mengidap Down Syndrom. Penyakit genetik yang muncul akibat pernikahan sedarah. Kedekatan keturunan yang dinikahkan ternyata membawa gen buruk.

Sesal yang tak bisa disesali.


Sang Mami terpukul. Kesalahan yang dia kira tak bisa disalahkan padanya. Dia bertindak atas nama kebenaran demi aset keluarga. Harus ada kambing hitam. Siapa lagi kalau bukan Sekar. “Perempuan pembawa sial!” umpatnya. Namun serapahnya pada Sekar tak kan menghasilkan apa-apa.

Dan sekali lagi dia bertindak. Mengusir Sekar dan Elvis dari rumah bertembok tinggi yang penuh dengan Game. Sekar kembali kepekarangannya yang tak berpagar.

Bola bekel memantul diantara gemercik suara keong yang beradu dengan lantai teras. Derai tawa seraya tepuk tangan ejekan meriuh tatkala permainan temannya berakhir dengan bola menggelinding jauh. Bagongnya mengejar bola dengan riang, lalu dengan senyum bangga mengambilnya di sela rumput halaman. Riang berceloteh kehidupan. Dan permainan berlanjut senang.

Sekar melipat sedih dalam kain tawa yang kusut. Menghibur diri dengan berketoprak kembali. Menelusuri pasar Bringharjo untuk mencari jarik batik. Membeli blangkon anak-anak untuk dikenakan Bagong. Ramai suasana pasar mencerahakan suasana. Hiruk pikuk celoteh pedagang dengan logat Jogja yang kental mampu mengobati luka hati Sekar. Gembira lagi.

Sekar memenuhi kebutuhan hidupnya. Mengabaikan sang mami yang datang dengan melempar keras yang berisi jatah warisan untuk Elvis. Sekar masih punya harga diri, dia akan mendidik Bagong menjadi pemain ketoprak sejati. Walau Bagong adalah anak berkebutuhan khusus, itu bukan penghalang. Ilmu Ketoprak akan lebih berharga dari selembar kertas perjanjian waris yang pasti kan usang. Bagong butuh hidup yang berlimpah makna.

Joglo itu kan menjadi saksi. Akan keberhasilan memberi kehidupan berarti pada buah hati. Bagong pasti kan mengerti, jika setiap hari panggung menjadi tempat bermain yang suci. Ini dekapan kasih sayang ibu pada anak.

Disudut panggung, selesai pementasan lakon bertajuk Tresno Sam Pek Eng Tai, Kumbara menatap paras jelita Sekar. Menggandeng hatinya untuk berjuang bersama melestarikan seni Ketoprak. Sekaligus mengutarakan maksud untuk menjadi bapak bijak untuk Bagong.

“Wahai Eng Tai, izinkan aku melamarmu”, Kumbara meletakkan lututnya dilantai sambil memperlihatkan kotak perhiasan berisi cincin indah. Dibalik tatarias wajah yang masih tebal, pipi Sekar merona ranum.

“Wahai Sam Pek, selawase aku urip, aku mong tresno karo kowe. Tapi sekarang aku janda beranak Bagong. Yang bergelimang suka duka perjuangan”. Mata Sekar memerah, menahan butiran air yang ingin menerjuni kelopaknya. Haru membiru dihitamnya langit tak berbulan malam itu.

Kumbara kembali berdiri “Selawase aku urip, Bagong anakku dewe”.

Cincin pun melingkar dijari kehidupan yang menggenggam harapan mereka berdua.

Lalu rasa cinta pun bertaut dipelaminan diiringi alunan tembang sinden Jogja. Bahagia.

Disana, diluar pagar bisu. Si Rambut panjang berdiri mematung. Wajah pias dengan sesekali tangan mengusap pusar. Perutnya yang mulai membesar itu menuntut pertanggungjawaban.

***Tamat***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (2)