Masukan nama pengguna
"Aku ada di mana?"
Sebuah suara menggema. Menyuruh seluruh manusia yang masih ada di luar untuk segera masuk. Aku melihat sekeliling. Ada banyak perempuan sebaya denganku bergerak mengikuti arahan dari suara misterius itu. Aku sama sekali tidak mengenali mereka.
Bingung. Tak ada pilihan lain. Aku pun ikut rombongan perempuan yang sebaya denganku itu dengan langkah ragu-ragu. Begitu masuk gerbang, aku terbelalak. Belum pernah aku melihat tempat semacam ini sebelumnya. Namun, aku merasa tempat ini sekilas mirip pasar malam dengan berbagai macam jenis permainan ada di dalamnya. Ada bianglala, komidi putar, lompat trampolin, tong setan, lempar gelang, ombak banyu, kora-kora, dan masih banyak lagi.
Dari semua permainan itu, aku menangkap ada sebuah kejanggalan. Siapa pun yang ikut di permainan-permainan itu akan mendapatkan uang. Semakin banyak permainan yang kita ikuti maka akan semakin banyak uang yang kita dapatkan. Aku ragu. Namun, seorang perempuan manis dengan mata yang bulat bersinar dan senyum yang khas menarik tanganku. "Ayo jangan banyak pikir, kita nikmati semua permainan yang ada di sini sepuasnya. Jangan buang-buang kesempatan ini," katanya.
Aku tak bisa mengelak. Meskipun ragu tetapi rasa penasaranku jauh lebih tinggi. Aku sama sekali tidak berambisi mendapatkan banyak uang, hanya sekadar ingin tahu saja.
Permainan pertama yang aku ikuti adalah komidi putar. Permainan ini berada di tengah-tengah kawasan itu. Seorang penjaga laki-laki menyambut kami. Ia mengenakan pakaian serba hitam, mulai dari sepatu, kaus kaki, celana, kaus, hingga topi. Namun, aneh. Topi yang dikenakannya macam topi tukang sihir. Panjang dan meruncing ke atas dengan tepian lebar dan bulat. Atau mungkin memang ia seorang penyihir? "Selamat pagi Nona-Nona Muda. Silakan naik permainan ini dengan hati-hati. Jika kalian bisa bertahan di sini sampai batas waktu yang kami tentukan maka kalian akan mendapatkan uang sebanyak ini," ujar sang Penjaga sambil mengipas-ipas uang di genggaman tangannya. "Namun, jika sudah tidak sanggup maka kalian tinggal bilang 'berhenti' maka otomatis komidi putar ini akan berhenti dan kalian boleh turun." Siapapun yang melihat pasti akan tergoda. Apalagi kita hanya tinggal duduk dan menunggu instruksi dari sang Penjaga. Hanya butuh kesabaran.
Sebenarnya ada satu hal yang ingin sekali aku tanyakan kepada sang Penjaga tetapi tangan perempuan itu kembali menarikku dan langsung mendudukkan aku di salah satu kuda-kudaan. Aku tak sempat bertanya. "Kenapa kamu menarik tanganku dengan paksa?"
"Sudah jangan berlama-lama. Memang kamu tidak mau dengan uang sebanyak itu. Lagian kita cuma duduk di sini, menunggu, terus dapat uang. Gampang sekali bukan? Dengan uang sebanyak itu nanti kalau kita pulang, kita bisa membeli iPhone keluaran terbaru," cerocos perempuan itu tiada henti. Sementara aku hanya pura-pura mendengarkannya. Aku sama sekali tidak tertarik dengan semua yang dikatakannya. Justru aku tertarik dengaan satu kata darinya. "pulang". Kenapa aku jadi sangat kangen dengan rumah? Dan sebenarnya ada di mana aku ini? Lalu dimanakah jalan pulangnya? Aku sangat ingin pulang.
Dan satu pertanyaan yang belum sempat aku tanyakan ke penjaga masih menjadi misteri hingga saat ini. "Berapa lama waktu yang harus kita habiskan di komidi putar ini? karena penumpang yang sedari tadi duduk tak juga turun saat aku menaikinya.
Rasanya kepalaku pening. Bukan karena putaran dari komidi putar ini, karena sejatinya permainan ini melaju dengan sangat pelan. Kupikir semakin lama permainan ini akan semakin cepat tetapi nyatanya tidak. Satu jam permainan ini berputar. Sama sekali tidak ada perubahan kecepatan, dan sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa permainan ini akan selesai. Jika dibandingkan dengan hadiah yang didapatkan maka ini lebih dari kata sebanding. Sangat ampang. Kepalaku pening karena memikirkan keganjilan itu.
Wanita yang tadi menarikku tampak kelelahan. Ia tertidur pulas di atas kuda-kudaannya. Akhirnya, dengan segala pertimbangan aku memutuskan untuk bilang "berhenti". Dan benar saja, komidi putar ini berhenti. Aku segera melangkah turun. Membiarkan wanita yang menarik tanganku tadi menikmati kembang tidurnya.
Aku berlari mencoba menemukan jalan keluar tetapi tidak berhasil. Rasanya aku hanya berputar-putar saja, tersesat dalam kawasan yang penuh dengan permaianan ini. Aku sudah tidak memikirkan untuk mengikuti permainan lainnya. Tidak peduli dengan uang yang bias kudapatkan andai mengikuti permainan-permainan di sini.
Perutku tiba-tiba berteriak meminta diisi. Pas sekali. Di depanku sekarang ada orang-orang berkumpul sedang makan. Itu seperti sebuah kantin. Pikiranku tak dapat bekerja, aku hanya bisa melangkah mengikuti irama dari cacing yang terus bergerak dari dalam perut. Duduk di sebuah kursi panjang. Berhadapan dengan sebuah meja kayu panjang. Seorang pelayan datang menghampiri kedatanganku. Ada hal yang ganjil lagi. Pelayan itu juga mengenakan pakaian serba hitam dengan topi seperti penyihir. Persis seperti penjaga komidi putar tadi.
"Selamat datang, Nona Muda. Mau pesan apa? Silakan pesan sepuasnya karena di sini Nona tidak perlu membayar."
"Hah tidak perlu membayar?" tanyaku spontan.
"Iya benar, Nona Muda."
Semakin aneh. Namun, aku tak punya pilihan lain. Tetap makan atau aku akan mati kelaparan. "Saya pesan menu terbaik di sini yang mengenyangkan."
"Baik, pesanan Nona Muda saya catat. Tunggu sebentar."
Aku memperhatikan sekeliling. Meskipun ada beragam permainan dengan hadiah yang tidak aku bayangkan sebelumnya, tetapi banyak di antara mereka yang berwajah suram. Mereka seperti sudah merasa jenuh dengan segala yang ada. Begitupun mereka yang sedang makan di sebelahku. Namun, aku tak berani untuk bertanya, bahkan hanya sebatas menyapa pun lidah ini sudah kelu.
Itulah yang ingin membuatku pulang. Di saat pikiran itu menyerang, pelayan itu membawa sebuah nampan dengan membawa makanan pesananku. "Silakan, Nona Muda."
"Terima kasih, eh sebentar boleh saya bertanya."
"Silakan, Nona Muda."
"Di manakah gerbang keluar tempat ini?"
Wajah pelayan itu tampak gusar. "Nona Muda benar-benar ingin keluar dari tempat ini?"
"Tentu. Aku ingin pulang."
"Baiklah. Nona Muda dapat berjalan menyusuri area pemukiman di sana," ujarnya sambil menunjuk tempat yang ia maksud. "Tapi, saya rasa Nona Muda tetap di sini saja. Bahaya. Nona Muda dapat bermain dan makan sepuasnya di sini. Enak bukan?" ujarnya.
Aneh. Semakin aneh. Mendengar jawaban dari sang Pelayan, justru nafsu makanku menghilang. Namun, untuk menghormati apa yang telah dibuatnya, aku tetap makan makanan tersebut sampai habis. Lagi pula jika tidak makan, mungkin aku tidak akan kuat untuk melanjutkan perjalanan mencari gerbang keluar dari tempat ini. Selepas makan, aku segera menuju tempat yang ditunjuk oleh si Pelayan tadi. Sebuah perumahan yang tak jauh dari area permainan. Bangunan rumah-rumah itu seperti rumah gadang, rumah adat Minangkabau. Memiliki atap yang melengkung dan meruncing di kedua sisinya, menyerupai tanduk kerbau.
Ketika aku berjalan di deretan rumah itu, para penghuninya keluar dari rumah. Mereka berdiri di depan rumah masing-masing sambil melakukan gerakan menunduk seperti gerakan ojigi, budaya dari Jepang. Pakaian yang dikenakan pun sama dengan penjaga serta pelayan makanan tadi. Tiba-tiba salah seorang penduduk itu datang menghampiriku. Seorang lelaki tinggi, berkulit putih, dengan bola mata biru, serta pakaian serba hitam. Ia melakukan gerakan ojigi di hadapanku. "Halo Nona Muda. Maukah Anda menjadi istri saya?" tanyanya dengan mimik wajah datar seakan itu sama seperti pertanyaan "siapa namamu?"
Seganteng apapun ia, sekaya apapun ia, tetap aku tak bisa membuat keputusan untuk menerimanya dalam satu tarikan napas. Itu bukan sembarang pertanyaan. Jika salah menjawab aku bisa terkungkung seumur hidup. Aku menarik napas perlahan. Membuangnya. Menarik lagi. "Kenapa Tuan bertanya demikian? Bahkan Tuan belum mengenal saya."
"Karena hanya ada dua pilihan ketika Nona Muda sudah sampai di sini. Mau menjadi pasangan salah satu penduduk di sini atau pulang. Itu pun jika Nona Muda bisa melewati rumah hantu di ujung sana. Jika gagal Nona Muda mungkin tidak akan dapat kembali ke tempat ini, juga tidak dapat kembali pulang."
Glek! Aku menelan ludah. Apakah yang dikatakan lelaki itu benar? Atau sebuah canda. Namun, jika melihat ekspresi wajah, sepertinya ia tak pernah tak serius. Aku hanya punya dua pilihan. Menjadi istri lelaki itu dan tinggal di pemukiman ini untuk selamanya, atau aku berusaha untuk pulang. Namun, aku tak tahu apakah aku masih akan bernyawa lagi setelah melewati rumah hantu itu, Glek!
Aku harus pulang. Aku tidak mau menjadi istri lelaki itu. Aku tidak mengenalnya. Bahkan sampai detik ini namanya pun aku tak tahu. "Namaku, James," ujarnya sembari mengulurkan tangannya minta berjabat tangan seolah-olah ia mengetahui apa yang ada di pikiranku. "Maaf aku harus segera pulang," ucapku sambil berjalan lurus menuju rumah hantu di ujung sana. Lelaki itu berbalik badan lalu masuk ke dalam rumahnya, diikuti seluruh penduduk yang keluar menyaksikan kedatanganku tadi.
"RUMAH HANTU". Begitu tulisan yang terpampang di gerbang masuk permainan ini, sekaligus gerbang keluar dari tempat ini. Meskipun namanya "RUMAH HANTU" tetapi aku merasa di hadapanku ini adalah sebuah gua. Jaring-jaring laba-laba menggantung di atap gua. Batu-batu besar tersusun rapi di mulut gua. Gelap. Namun, aku menangkap ada setitik cahaya di dalam.
Dengan langkah sedikit takut, aku berjalan masuk. Menyusuri liang gua yang di bau tahi kelelawar. Menyengat tajam ke dalam hidung. Lantai dan dinding gua itu basah oleh air yang menetes dari atap gua. Stalagmit dan stalaktit menghiasi dalam gua. Sementara setitik cahaya itu menempel pada salah satu stalagmit. Aku berjalan menghampirinya. Walaupun namanya "RUMAH HANTU", tetapi sejauh kaki ini melangkah belum ada hantu yang menakutiku. Tidak ada tuyul, genderuwo, pocong, kuntilanak, atau bahkan vampir. Dan ini adalah satu-satunya permainan yang tidak ada iming-iming uang jika berhasil menyelesaikannya.
Sampai di ujung gua, aku mendapati ada sebuah jembatan gantung yang bergoyang. Tidak ada pagar pengaman di setiap sisinya. Jika salah langkah bisa terpeleset dan masuk ke dalam jurang yang mengalir sungai di bawahnya.
Tidak ada pilihan lain. Aku ingin segera pulang. Ingin segera keluar dari tempat yang aenh ini. Aku melangkah pelan. Jembatan itu bergoyang pelan. Lima langkah berhasil aku lewati dengan tenang, tetapi masuk ke langkah keenam, jembatan itu bergoyang semakin kencang. Aku terlempar ke kanan dan kiri, hingga akhirnya aku sudah tidak sanggup lagi untuk bertahan. Aku terlempar dari jembatan. Meluncur menuju sungai di bawahnya.
Byuuurrr!
"Aarrggghhh! "
Gedubrak!
"Aduuh!"
***