Cerpen
Disukai
0
Dilihat
2,178
Sebuah Perlawanan
Aksi

SEBUAH PERLAWANAN

 

Seperti biasa, Emak menyuruhku mencari kayu bakar di hutan sore ini. Meskipun pekerjaan sekolah masih menumpuk, tapi sebaiknya aku kerjakan nanti malam saja.

“Mak, aku berangkat dulu sudah ditunggu Rio dan Denis di seberang hutan.” Kataku membuyarkan konsentrasi Emak yang sedang menjahit.

“Oh iya, nak. Hati-hati di hutan, usahakan agar kamu Kembali sebelum gelap” Balas Emak seadanya.

Sore itu, awan nampak menutupi sebagian matahari, hanya sedikit cahaya yang nampak di antara rerimbunan pohon di jalan yang kutelusuri. Tak lama kemudian aku sampai di seberang hutan, Rio dan Denis terlihat lelah menungguku. Dalam hati aku membatin, Rio dan Denis pasti mengomeliku lagi gara-gara tidak tepat waktu sampai ke hutan. Aku berjalan menuju mereka, mempercepat langkah kaki.

“Sudah dua jam aku menunggu kamu di sini, sejak sepulang sekolah aku dan Denis berkutat dengan mata pancing ini persiapan besok lusa, apa pula yang kau sibukkan di rumah kau?” Rio mulai mengomeliku sambil menggulung sisa tali pancing yang berserakan.

“Iya maaf, sebaiknya kita mulai mencari kayu bakar saja, sudah sore nanti kemalaman.”Balasku mengalihkan pembicaraan. Aku sedikit merasa bersalah membiarkan mereka cukup menunggu lama sementara hari sudah mulai sore.

“Kau ini sudah terlambat, minta buru-buru. Hei.., bantu kami dululah membereskan sisa tali pancing ini.” Denis mulai ikut panjang lebar.

“Iya, aku bereskan.”

Dengan terburu-buru aku segera membereskan dan menyudahi tali pancing itu, memasukkannya dalam tas anyaman bamb kumalku. Rio dan Denis mulai beranjak dari pekerjaannya sambil mengeluarkan dua helai karung untuk kayu bakar yang akan dikumpulkan.

Hari mulai larut sore, senja pun mulai nampak di antara celah dedaunan pohon yang sangat rimbun. Enam helai karung hampir terisi penuh. Sementara Rio dan Denis mulai jengah dan beristirahat di bawah pohon asam. Aku terus mengumpulkan kayu bakar dan memasukkannya di dalam karung, lima menit kemudian semua karung terlihat gemuk oleh tumpukan kayu. Parang segera kuraih dan menyelipkannya di seutas tali yang kulingkarkan di perutku.

“Rio, Denis semuanya sudah beres sebaiknya kita bergegas pulang, sebelum matahari tenggelam. Perjalanan juga membutuhkan waktu satu setengah jam, kemungkinan di seberang hutan nanti sudah mulai malam.”kataku membuka pembicaraan dengan nada sedikit cemas.

“Kenapa pula kau tampak cemas, Andi?” Sambung Denis dengan mata menyelidik.

“Hei, sudah… ayo kita jalan saja, keburu malam!” Rio nampaknya tahu membaca perasaan cemasku, ia memandangku penuh tafsir dan di saat bersamaan ia seperti mencegah agar obrolan tak mengarah pada topik yang sama-sama kita pahami.

Karung-karung yang tadi tersusun rapi berisi kayu bakar segera kunaikkan di atas pundakku, begitu pun dengan Rio dan Denis.

Kami bertiga mulai berjalan dan meninggalkan lokasi pencarian kayu bakar di tengah hutan. Sambil sesekali canda dan tawa menghiasi perjalanan pulang kami, membunuh waktu perjalanan agar tak membosankan.  

Tiba-tiba aku mulai merasa ada yang aneh di balik pohon besar yang kami lewati tadi. Angin berdesir riuh dan semakin membuat perasaanku khawatir. Aku berbalik, memastikan Rio dan Denis masih mengikut di belakang, ternyata mereka berdua sibuk dengan gurauan dan lelucon yang mereka ceritakan. Sesekali mereka berdua cekikikan menghabiskan ceritanya. Sementara aku mulai kalang kabut dengan perasaan gamang dan cemas melihat pohon besar itu. Aku semakin hanyut, dan mulai mempercepat langkahku.

“Hei, kau ini mau meninggalkan kami berdua di hutan, kenapa kau sangat terburu-buru? Lagian kita sudah dekat dengan seberang hutan.” Denis kembali membuat perasaanku semakin takut, ia terus menceracau panjang lebar dengan langkah kakiku yang semakin cepat.

“Sudah, jangan banyak bicara jalannya cepat saja, ini sudah mulai senja, takut Emak khawatir sendirian di rumah.” Tukasku dengan sedikit kesal.

Tiba-tiba Denis terhuyung kaget melihat sesosok makhluk terbang di salah satu pohon besar dekat jalan yang kami telusuri. Sontak aku dan Rio kaget dan berteriak. Keringat dingin mulai mengucur di seluruh badanku, aku berbalik dan menyeret Denis yang mulai menangis hebat akan sosok yang barusan ia lihat. Sosok hitam itu terlihat sangat besar menghadang kami, berbulu lebat, bermata merah mencolok dan bertaring tajam.  Aku semakin ketakutan melihat tubuh besar itu, kakiku seperti tak bertumpu di atas tanah. Sosok itu meraung, semakin mendekati kami. Segera kuberanikan jiwaku untuk menghadangnya. Tetapi tak sempat aku memberikan perlawanan dengan sebilah parangku, ia langsung cepat dan sigap menyambar, hingga membuat baju yang kukenakan sobek. Aku mengaduh kesakitan sambil meremas bahuku yang bersimbah darah. Sementara itu, Rio dan Denis menggigil ketakutan, memalingkan pandangan mereka dari sosok tubuh besar itu. Makhluk itu semakin dekat dengan kedua temanku, dia meraung keras bersiap menyambar Rio dan Denis. WUSSSSSHHH…. Makhluk itu melancarkan serangannya dengan kuku tajam yang ia miliki. Rio kesakitan memegang tubuhnya di bagian paha kanan. Ia berteriak meminta tolong. Berusaha menghindari ayunan tangan makhluk besar itu. Sementara Denis terus mundur menghindar. Ia memanggilku dan meminta tolong. Aku segera beranjak, mengambil kembali parang dan berlari  ke arah sosok besar itu. Dan…

WUUUUUSSSSSHHHH, SRETTT SRETTT… Aku membuat tubuh besar itu terhuyung dan terjerembab keras, sontak ia membalas seranganku. Untung aku berhasil menghindar dan bersiap melanjutkan serangan balik, makhluk itu semakin memberontak, aku semakin berani dan membuat bagian tubuhnya sobek dan berdarah. Ia mulai lepas kendali, tersungkur dalam luka hasil seranganku. Makhluk itu goyah. Segera aku kembali kepada teman-temanku yang terkesima melihat perlawanan hebat itu. Aku memutar arah dan berlari secepat mungkin bersama Rio dan Denis. Semua karung berisi kayu bakar tertinggal dan tak sempat diselamatkan. Aku yang terus mengeluarkan kecepatan dalam berlari mulai sedikit lega melihat pemukiman penduduk semakin nampak. Rio dan Denis terlihat sangat pucat dan memperlambat langkahnya. Aku mulai memastikan semuanya, tak ada yang terlihat aneh lagi, tak ada yang menakutkan lagi di sekeliling kami bertiga. Akhirnya aku dan kedua temanku mulai memperlambat langkah kaki, memastikan keadaan baik-baik saja.

Kami berhenti, berusaha mengatur napas. Memeriksa semua luka serangan makhluk itu. Rio mendapati lukanya di bagian paha, berusaha terlihat baik-baik saja dan penuh syukur bisa menghindar pada serangan yang semakin brutal. Wajah Denis masih terlihat pucat, tak mengerluarkan sepatah kata pun karena masih trauma. Sementara aku meremas bahuku agar darah tak mengucur. Semua yang terjadi tadi seperti mengantarkan kami pada kematian.

Sesampainya di rumah, Emak langsung menyambut kami dengan perasaan haru dan cemas, ia melihat Rio bersimbah darah di bagian paha kanannya. Sementara aku dan Denis menenangkan diri, melepaskan peluh kecemasan sesaat setelah berlari. Emak mulai membersihkan luka pada tubuh Rio, mengobati dan menenangkan Rio.

Sejenak aku mulai merasa lega, mengungkit kejadian heroik yang sempat aku lakukan di perjalanan pulang tadi, meskipun bahuku terluka terkena serangan makhluk besar itu. Akhirnya dengan sekuat tenaga semuanya berakhir dengan perlawanan.

Aku sangat bersyukur, bisa pulang dalam keadaan selamat, meski temanku Rio terluka.

-Selesai-


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)