Cerpen
Disukai
0
Dilihat
3,610
Sastranala ☆
Romantis


Jarum jam yang menunjukkan pukul 07.02 pagi sudah cukup untuk membuat seorang Jevano Anargya menelan roti lapis buatan bunda Tamara bulat-bulat. Ah, ini semua karena sang adik, Sanjaya Mahesa yang minta ditemani bermain game semalaman. Jevano kan jadi ikut begadang!


Barisan siswa baru yang sedang menjalankan masa MPLS nya adalah tujuan Jevano sekarang. Namun langkahnya terhenti ketika seseorang tiba-tiba berteriak dengan kencang kepadanya,


"Berhenti. Diam di sana." ucapnya.

"Kamu, berbaris di sana." lanjut orang tersebut.


Bukan, Jevano bukannya takut. Ia terpana. "R. R. Aruna Sastranala." Jevano baca dengan jelas karena terpampang di tanda pengenal milik kakak tingkatnya itu. Ah, apa ini yang dinamakan love at first sight? Jevano tidak terlalu mempercayai cinta, namun sepertinya kali ini Tuhan benar-benar memberikan Jevano kesempatan untuk mengenal hal picisan seperti itu.

Masih dengan masa MPLS yang sebenarnya sangat Jevano benci ini, namun menurutnya tak apa. Raut muka kemerahan akibat kepanasan kakak tingkatnya yang bernama Aruna Sastranala itu membuat Jevano sangat gemas. Cantik sekali, pikirnya.


"Hadap ke bendera dengan benar, masih murid baru sudah membuat masalah. Hah, apalagi jika sudah mulai menjadi murid tetap?" oh suara ini. Malik Jauzi, ketua osis dari SMA Harapan Bangsa ini membuat Jevano jengkel setengah mati. Padahal murid telat yang lain sudah boleh kembali ke barisannya. Mengapa hanya dia yang dibiarkan berdiri tegak untuk hormat ke bendera merah putih di tengah hari seperti ini? Jevano tidak habis pikir.


Setelah sekian lama menjalani hukumannya akibat telat, Jevano akhirnya bisa beristirahat sekarang. Dia sangat haus sekarang, namun di perjalanan menuju kantin ia mendengar perkataan salah satu murid baru sama seperti dirinya.


"R. R. Aruna Sastranala? Aku tahu kakak itu orangnya seperti apa. Kami tetangga." ucap seseorang yang memiliki rambut pendek sebahu itu, seingat Jevano anak ini satu kelompok dengannya. "Orangnya bagaimana?" tanya Jevano tiba-tiba memotong pembicaraan dua orang itu.


"Jevano? Hmm, kak Aru itu wakil ketua osis di sekolah ini. Orangnya sangat tegas, ambis parah. Intinya dia selalu ingin selangkah lebih depan dari orang-orang yang menurutnya mengancam prestasinya, tapi mengapa kau bertanya tentang kak Aru? Kau suka?" tanya seseorang bername tag Heresa Sasoengko tersebut. Jevano menggeleng ribut lalu segera berlalu dari sana.

Jam pulang sudah tiba. Ah nama panggilannya Aru ya? Pikir Jevano sembari tersenyum sendiri sepanjang perjalanan menuju rumahnya.


Tak terasa masa MPLS sudah berakhir, para pengurus osis kini sedang membaca surat-surat yang diberikan oleh adik-adik yang sudah mereka bimbing. Aruna yang menjadi kakak pembimbing kelompok 1, dimana Jevano Anargya berada kini sedang membaca surat yang ia terima, terlalu banyak menurutnya. Sampai ada satu surat yang menurutnya sangat menarik.


To : R. R. Aruna Sastranala


“Tidak perlu penasaran tentang siapa penulis surat yang indah ini. Saya yakin Nana sudah menerima banyak surat cinta dari yang lainnya bukan? Baiklah kalau begitu kini giliran saya.


Aruna Sastranala, kamu begitu indah. Bulu mata lentik yang bertengger di kedua binar cantikmu seakan menambah kadar kecantikanmu. Semua yang ada pada dirimu begitu indah. Saya tidak tahu harus mengungkapkan majas hiperbola mana lagi jika itu untuk menceritakan tentangmu. Terimakasih sudah ada, juga izinkan saya untuk terus mengirim surat seperti ini sampai saya bisa siap untuk bertemu kamu.”

Aruna mengernyitkan dahinya bingung, hei apa-apaan orang ini? Apa benar dia adik kelasnya? Mengapa menggunakan bahasa saya-kamu kepadanya? Aruna juga terkejut saat orang ini memanggilnya dengan panggilan masa kecilnya. Tapi tetap saja, Aruna juga sedikit tertarik untuk menunggu surat lainnya seperti yang sudah dijanjikan orang itu.


Benar saja, dia masih menerima surat-surat tersebut bahkan sudah 3 bulan lamanya. Suratnya selalu ada di bawah meja tempat duduknya, kadang diselipkan bersama roti lapis kesukaannya. Entah darimana adik tingkatnya ini tahu makanan kesukaannya. Surat-surat tersebut selalu ada sebelum ia datang ke sekolah. Namun hari ini tidak ada apa-apa di bawah mejanya. Aruna bingung. Orang itu sudah berhenti untuk menyukainya? Atau menyerah untuk mendekatinya? Aruna bisa kepikiran tentang hal seperti ini juga ternyata selain tentang prestasinya.

Dua hari yang lalu, tepatnya pada saat acara kelulusan kelas 12, saat para osis sedang mempersiapkan segala susunan acara yang akan berlangsung, Jevano melihat Aruna dan teman-temannya sedang berbincang ria sembari menyusun buket bunga yang akan diberikan kepada kelas 12. Tak sengaja Jevano mendengarkan perbincangan tersebut.


"Eh Ru, adik kelasmu masih saja mengirimu surat-surat bodoh itu?" tanya seseorang yang Jevano yakini sebagai Rania, yang menjabat sebagai bendahara osis tahun ini.

"Ah iya, masih." jawab Aruna. "Sungguh aku tak habis pikir dengannya, mengapa kau mau saja hanya diberi surat seperti itu? Laki-laki macam apa itu? Mengapa kau tidak melihat Malik yang jelas-jelas menunjukkan afeksi kepadamu. Aku tahu Malik benar-benar memiliki perasaan yang dalam kepadamu, Ru." jelasnya panjang lebar. Aruna hanya terdiam, sedetik kemudian menjawab. "Benarkah? Malik seperti itu? Sejujurnya aku juga sedikit tidak nyaman dengan adanya surat-surat itu, terkesan tidak sopan." jawab Aruna.


Hening. Jevano cukup tahu, dirinya memang tidak segentle itu untuk menunjukkan rasa cintanya kepada kakak tingkatnya yang bernama Aruna ini. Jevano pikir kakak tingkatnya itu akan merasa tidak nyaman jika didekati secara terang-terangan, ternyata ia salah. Selama ini ia telah melakukan hal yang membuat orang yang ia kagumi tidak nyaman. Haruskah ia berhenti?


Maka dari itulah surat-surat yang semula selalu ada di bawah meja Aruna Sastranala hari ini tidak lagi berada di sana. Jevano tak lagi mengirimi atau meminta bantuan Eca untuk menyelipkan suratnya di bawah meja Aruna. Jevano takut Aruna semakin menjauh jika ia terus melakukan hal itu.

Satu minggu sejak Jevano berhenti mengirimkan surat, ia jatuh sakit. Namun ucapan bunda Tamara membuatnya membelalakkan mata, saat katanya seorang Raden Roro Aruna Sastranala sedang menunggu di sofa ruang tamunya.

Jevano segera turun dari kamarnya dan benar saja, gadis berambut coklat gelap lurus sepunggung itu terlihat membelakanginya.


"Hei." panggil Jevano. Aruna menoleh, sedetik kemudian tersenyum menampilkan senyum karamelnya kepada Jevano. Ah dosakah Jevano jika ia berkata ia semakin jatuh hati kepada kakak tingkatnya ini? Pasalnya sehari yang lalu Jevano mendapat kabar bahwa kemarin kakak tingkatnya ini telah menerima pengakuan cinta dari si ketua osis, Malik Jauzi. Oke mungkin ini salah satu hal yang membuat Jevano demam.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Aruna pelan. Jevano tersenyum kikuk, apa kakak tingkatnya ini sudah tahu bahwa yang selama ini mengirimkannya surat adalah Jevano?

"Saya baik, kenapa bisa tahu rumah ini?" tanya Jevano. "Aku sudah tahu semuanya dari Eca." jawab Aruna sambil menatap kedua netra gelap Jevano yang begitu sayu, efek demam.


Ah, begitu rupanya. Pantas saja, pikir Jevano dalam hati.


"Maaf-" ucapan Jevano terpotong diganti dengan keterkejutannya saat tiba-tiba Aruna berkata. "Aku suka kamu, Jevano. Jujur saja aku merasa kehilangan saat surat-suratmu tak lagi mendatangiku. Anehnya aku merasa kosong, aku benar-benar bingung dengan perasaanku. Untuk semua yang kau dengar waktu acara kelulusan kemarin, ku mohon itu semua tidak benar. Aku hanya denial karena bingung akan perasaanku sendiri. Katamu kau akan menemuiku saat sudah siap nanti, aku sudah menunggu tapi itu terlalu lama hingga membuatku merasa seperti sedang berharap sendiri, hiks aku minta maaf karena tidak menyadarinya secepat itu." jelas Aruna sambil menangis pelan.


Lidah Jevano seakan terasa kelu, ia tidak tahu harus bagaimana mengekspresikan perasaannya saat ini. Ia terlalu bahagia, ia tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Menghapus air mata Aruna dengan kedua tangannya lalu tersenyum, menarik tangan Aruna untuk dibawa keluar tak peduli dengan keadaannya yang masih sakit.


Jevano membawa Aruna berkeliling kota Bandung dengan motor tuanya, Jejen. Pelukan Aruna di perutnya membuat Jevano semakin tidak percaya apa yang ia alami hari ini. "ARUNA SASTRANALA MAUKAH KAMU MENJADI PACAR SAYA?!" teriaknya kencang karena hari itu langit di bumi Pasundan sedang menangis. "YA, AKU MAU MENJADI PACAR JEVANO ANARGYA." jawab Aruna tak kalah kencang. Kemudian mereka tertawa bersama, tak memedulikan air hujan yang terus membasahi keduanya. Hei, momen mana lagi yang akan menjadi seindah ini, berkeliling Bandung dengan orang tercinta di tengah guyuran hujan. Ah, benar-benar picisan, pikir Jevano. Tapi ia bahagia, Tuhan memberinya Aruna Sastranala sebagai penyembuh di antara hari-hari beratnya.



The end.

Original story by : Zohreta Yuspiani


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)