Cerpen
Disukai
2
Dilihat
5,973
Sasa dan Koko
Romantis

Pagi itu seluruh siswa baru berbaris rapi dengan atribut MPLS yang ditentukan panitia beberapa hari sebelumnya. Berbagai macam ekspresi terpasang di wajah mereka. Ada yang takut, ada yang gelisah, bahkan ada yang jengkel ketika panitia MPLS terus saja memaksanya berjalan lebih cepat.

MPLS atau kepanjangan dari masa pengenalan lingkungan sekolah adalah hal yang paling dihindari oleh seorang Ciko Ananda, tidak pakai Jericho. Saat SMP ia berhasil lolos dari MPLS dengan dalih sakit perut berkepanjangan. Namun kini ia tak lagi bisa beralasan. Karena Mama mengetahui bahwa Ciko berbohong. Ia tak mengalami radang sakit perut sama sekali. Ciko justru bersembunyi seharian di dalam kamar sembari menonton serial India kesukaannya. Jangan salah, meski tampangnya rupawan dan mampu menjerat para wanita, bertubuh gagah bak aktor Korea, selera Ciko yakni menonton serial yang masih menyanyi sambil menari saat terkena musibah.

Berkalung name tag kreatif dari tali rapia dengan kardus bekas Indomie, tak lupa dengan topi kerucut yang Bapak buat hasil pemaksaan Ciko dengan muka sok imutnya, ia berjalan gontai menuju lapangan. Sementara peserta lainnya berlarian kalang kabut karena teguran panitia saat menyebut mereka “lelet kayak siput!” tidak dengan Ciko yang tampak santai saja. Ini bukan hari pertama, melainkan hari ketiga. Segala macam kegiatan yang menurut Ciko tak ada gunanya, meski sebenarnya akan berguna di suatu hari nanti, Ciko sialnya terpilih menjadi ketua kelompok yang dinamai Badak Bercula. Alhasil Ciko harus mengarahkan kelompoknya, mengatur, memantau, bahkan bertanggung jawab ketika salah satu anggota kelompoknya melanggar aturan. Bagus kan? Anggap saja ini karma karena saat SMP Ciko tidak ikut MPLS.

Alih-alih cemberut atau merengek minta pulang, Ciko justru bersikap profesional. Tak apa lelah menjadi ketua, yang terpenting ia dikenal banyak gadis di sana. Tampil beberapa kali memimpin kelompok di depan banyak orang, Ciko menebar pesonanya menggaet beberapa gadis untuk dijadikan mangsa. Perlu diketahui, sifat buayanya benar-benar sudah mendarah daging sejak SMP. Kelompoknya menjadi kelompok ter-asik sepanjang masa. Bagaimana tidak? Bila ketuanya adalah Ciko Ananda, pemuda paling receh dan tidak jelas itu selalu bersikap dan mengatakan hal lucu yang mengundang gelak tawa.

Seperti hari ini, ketika sesi meratapi kasih sayang orangtua serta kesalahan yang telah diperbuat pada mereka, semua peserta harus meresapi setiap kalimat tersedih yang salah satu panitia lontarkan melalui microphone. Sesekali ingusnya sampai terdengar nyaring, menunjukkan bahwa dirinya sendiri mendalami perannya. Untuk kesekian kalinya Ciko berulah seperti biasa.

Dengan wajah yang tersembunyi di antara tangannya, Ciko berdecak sebal dengan seruan panitia yang berusaha meyakinkan kata-katanya dan sedikit memaksa para peserta MPLS agar menangis dramatis. Jika ada yang bersikap biasa saja, pasti akan kena tegur panitia lain yang berkeliling. Tanpa diketahui panitia, sedari tadi Ciko tak berhenti mengejek mereka meski dengan pundak yang gemetar. Apa yang ia lakukan semata-mata untuk membuat panitia percaya bahwa ia sedang menangis.

“Kasih sayang orangtua terhadap kalian itu begitu besar. Mereka rela melakukan apa pun untuk anak-anaknya. Dan kalian pikir sendiri, sudah berapa banyak kecewa yang kalian beri untuk mereka!”

Seruan tangis dramatis dari seluruh peserta meramaikan lapangan. Hati mereka seakan tercabik-cabik mengingat kesalahan mereka sendiri. Alih-alih mendung untuk mendukung suasana, justru terik semakin menyengat. Ciko tentu tidak menyukai momen ini. Tapi apa boleh buat? Tak mungkin ia mesti berlari terbirit dan bersembunyi sampai sesi menyebalkan di hari ketiga ini usai. Nanti bisa-bisa ia kena hukuman untuk berjalan bebek seorang diri di tengah lapang yang luas.

“Bayangin pas kalian pulang ke rumah, bendera kuning tertancap di pagar rumah kalian!”

Mendengar itu senyum miring Ciko terbit. Di kepalanya muncul sebuah lampu terang memancar. Di tengah ke-dramatisan yang dibuat-buat, ia dengan entengnya berseloroh dengan nada yang lumayan tinggi ditambah tangis palsunya. “Itu bendera Golkar! Sayang banget di depan rumah malah berkibar bendera biru! Hidup Partai Demokrat!” semua orang seketika tergelak. Beberapa panitia pun ikut tergelak mendengar celetukan itu.

Ciko tak menyadari bila di sampingnya seorang gadis bernama Salma ikut terkikik geli dan menguap sudah rasa sedihnya. Keadaan mulai kacau karena celetukan Ciko yang mengundang gelak tawa. Sebagai ketua OSIS tentu Fajar tak terima dengan kondisi seperti ini.

“Di saat kita lagi bayangin orangtua, kalian masih bisa bercanda?!” suara sentakan Fajar membuat keheningan kembali mendominasi. Tetapi Ciko yang masih setia menutup wajahnya meski ia sendiri menahan gelak tawa akan kekecauan yang baru saja ia ciptakan. Pandangan Fajar yang mengedar jelas sedang mencari mangsa—si pembuat onar suasana. “Mana tadi yang bilang bendera Golkar?!” hening, tak ada yang berani bersuara. Kecuali Ciko yang dengan berani mengacungkan tangannya. “Lo?!”

Ciko menggeleng. Secara kebetulan ia sembelit. “Bukan. Saya mau ke toilet, Kak.

Udah gak tahan.”

“Emang gak bisa ditahan dulu, ya? Kita lagi serius!”

Ciko memasang wajah nelangsa, seakan dia adalah manusia paling sengsara di dunia. “Saya udah 3 hari gak boker, Kak. Nanti kalau saya kena penyakit gak bisa boker, kan repot. Kalau sakit perut nanti mesti dikeluarin lewat mana?” lagi dan lagi semua orang tergelak. Suasana yang tadinya dramatis berubah menjadi ramai karena tertawa lagi. Hingga suara tawa di sampingnya membuat atensi Ciko beralih padanya. Pada seorang gadis yang dengan anggun menutup gigi menterengnya. Untuk beberapa saat Ciko terpaku, siapakah gerangan gadis cantik ini? Dan dimana ia pernah melihat perangainya? Jujur gadis itu mengingatkannya pada seseorang yang... entahlah Ciko merasa seperti itu.

“Yaudah cepetan! Gue kasih 5 menit!”

Ciko jelas terkejut. 5 menit untuk melepaskan sisa-sisa olahan makanan dengan penuh perjuangan? Jelas tak akan cukup. Ciko biasa mengeluarkan itu minimal 30 menit. Tentu sembari menyenandungkan lagu Kuch-Kuch Hota Hai. Lantas Ciko mengancungkan tangan lagi, memohon dengan ekspresi sok imutnya. “Kasih tambahan waktu 10 menit, Kak. Soalnya ini pasti keluar banyak.” Mungkin permintaan itu biasa saja dari seorang Ciko yang merasa dianiaya. Tapi apa pun yang keluar dari mulut Ciko selalu mengundang gelak tawa.

Fajar mendengus sebal. Ingin sekali rasanya ia menendang bokong Ciko sampai menembus angkasa. “Yaudah cepetan jangan banyak omong!”

Ciko berbinar, seperti baru saja mendapatkan hadiah jutaan rupiah. Lelaki itu lantas berjalan sembari tebar pesona. Selain untuk memenuhi panggilan alam, akhirnya ia bisa melarikan diri dari sesi menyebalkan itu. Di belakangnya ada panitia bernama Gilang yang tampak menekukkan wajah karena harus mengantar peserta untuk buang air besar. Mimpi apa dia semalam?

..........

Sehari setelahnya, entah memang takdir, ia kembali dipertemukan dengan gadis bername tag "Salma Hafizah‟. Kala itu sedang istirahat. Semua peserta diperbolehkan lalu lalang untuk sekedar bersapa dengan teman baru ataupun melihat-lihat lingkungan sekolah.

“Salma?” gadis yang dipanggil namanya itu menoleh. Pada sosok jangkung yang menampilkan senyum mentereng di hadapannya.

“Ya?”

Ciko mengulurkan tangan, “Ciko. Kelompok Badak Bercula.” Tak disangka balasan pertama yang Ciko terima justru senyuman manis Salma. Membuat dadanya berdebar begitu saja. Hah? Apa? Berdebar? Ciko nyaris tak pernah merasakan ini kala berkenalan dengan gadis lain yang menjadi targetnya. Tapi kenapa dengan Salma terasa berbeda? Apa karena ia salah makan barusan?

“Gue udah tahu lo. Tanpa memperkenalkan diri pun, semua siswa udah tahu nama lo.” Jelas, Ciko terkenal meski baru beberapa hari ada di sekolah ini. Sudah dijelaskan di awal, kan?

Ciko tersenyum sumir, ya ampun kenapa ia sampai segugup ini? “Ambil jurusan apa, Sal?”

“IPA. Lo?”

“IPS lah. Mana kuat gue sama rumus-rumus yang bikin kepala puyeng. Mending baca sejarah yang mengingatkan kita dengan masa lalu.” Celetuknya, keduanya tertawa.

“Gagal move on dong?”

“Mengenang bukan berarti ingin mengulang. Mengenang juga bukan berarti gagal melupakan. Anggap aja cuman gak ada kerjaan terus memikirkan yang lalu. Perlu lo tahu, Sal,” Ciko mendekatkan diri pada Salma, tepat di telinga gadis itu. “Sebenarnya gue mau ke jurusan Bahasa. Cuman di sini gak mempelajari bahasa semut."

Salma semakin terkekeh. “Pembahasan kita diluar pertanyaan.” Yang dibalas anggukan kecil Ciko dengan kekehannya juga. Keduanya berjalan tak tentu arah, mengantarkan mereka pada pembicaraan yang lebih dalam. Entah mengapa Ciko sendiri langsung merasa nyaman dan cocok dengan Salma. Gadis itu benar-benar di luar dugaannya. Hingga satu hal tentang Salma menariknya kembali pada ingatan lalu.

“Kalung itu...”

Salma menunduk, memegang kalung yang dilihat Ciko yang menggantung di lehernya. “Dari orang spesial. Bagus ya?” Ciko mengangguk dengan ragu. Keningnya berkerut menandakan bahwa ia tengah berpikir keras. “Dulu ada seseorang yang kasih ini ke gue. Katanya hadiah ulang tahun. Lucunya ini dibeli di tukang mainan, harganya cuman 10 ribuan. Dia rela bongkar celengan yang cuman 13 ribu, sisa celengannya dia beli buat bungkus kalung ini.”

Ciko masih terhanyut dalam pikirannya sembari mendengarkan cerita Salma yang nampak berbinar. Senyum tak lekang dari wajahnya. Seakan seseorang yang memberi kalung itu sangat berharga untuknya.

“Kalau murah, kenapa lo tetep pake?” tanya Ciko.

“Bukan tentang harga, tapi tentang perjuangannya dan orangnya juga. Semurah apa pun barangnya, akan gue anggap barang yang gak bisa dibeli sama uang kalau yang kasih itu dia.” Keduanya berhenti tepat di depan pancuran air yang muncul dari bebatuan replika air terjun.

Dalam diamnya, Ciko masih berusaha mengingat. Apakah ia pernah memberi kalung yang sama? Tapi kepada siapa dan kapan? Kenapa semua tentang Salma membawanya pada ingatan masa lalu yang abu-abu? Saat hendak ia menanyakan sesuatu yang ada di dalam kepalanya, bel masuk membuat semua peserta kocar-kacir. Begitu juga dengan Salma yang langsung berlari kecil setelah mengatakan, “Gue pergi ya. See you.”

Keesokan harinya, agenda MPLS kali ini adalah berlomba-lomba menyanyikan yel- yel kelompok di lapangan utama. Semua siswa berbaris sesuai dengan kelompok masing- masing. Kelompok Badak Bercula menjadi kelompok akhir yang menyanyikan serempak yel- yel kebanggaan mereka. Sembari menanti giliran, Ciko tak berhenti merecoki mentornya yang meski berusaha galak, tetapi tak bisa menyembunyikan rasa salah tingkahnya. Terlihat jelas bagaimana merah pipi mentornya itu.

“Aduh panas banget gak kuat. Nanti kegantengan gue luntur, siapa yang bakal tanggung jawab?” Ciko mengibaskan wajahnya dengan tangan. Memasang eskpresi begitu dramatis dibuat-buat. Kala semua peserta fokus kepada kelompok yang tampil, Ciko malah berceloteh tak henti.

“Diem gak?!” sentak Tina—mentor kelompoknya dengan suara pelan.

“Gak bisa diem kalau di samping Kak Tina mah. Salah siapa diem di pinggir gue? Kayak cacing kepanasan nih gue jadinya.” Kekehnya. Tina memalingkan wajah. Dalam hati ia begitu berbunga bisa berbicara dengan si tampan rupawan gebetan siswi-siswi di sekolah ini. “Kak Tina, bayangin deh kalau kegantengan gue luntur. Bisa-bisa ilang nama gue dari list cewek-cewek di sekolah ini. Julukan gue sebagai cowok idaman nanti diganti sama si Asep, kelompok Gajah Berbulu.” Ciko menekukkan wajah. Jika memang terjadi, jelas ia tak menerima. Kegantengan yang diturunkan Bapak harus tetap menjadi nomor satu. Cha Eun Wo? Lewat dulu. Ciko permisi lewat sambil bungkuk maksudnya.

“Random pisan sih maneh? Bisa diem gak tuh mulut? Atau gue sumpel pake kaos kaki bau si Yanto?” seketika Ciko tergelak. Membuat seluruh atensi berpaling padanya. Saat itu juga Tina membatu, tidak dengan Ciko yang dengan percaya dirinya melambaikan tangan bak artis kota Bandung. Untung saja perhatian itu tak bertahan lama. Semua kembali beralih pada penampilan kelompok selanjutnya.

Tina menatap tajam Ciko, nampak greget dengan tingkah laku Ciko yang menggemaskan. Sampai rasanya ia ingin mengikatnya di pohon beringin di samping sekolah. “Jangan bikin ulah sehari aja! Gak capek jalan bebek keliling lapangan?”

“Nggak. Justru gue suka kalau jalan bebeknya bareng temen-temen, terus Kak Tina.” Mengatakan itu jelas Ciko mendapat tatapan membunuh dari teman sekelompoknya. Tatapan yang berarti, “Awas lo, Ko, kalau berulah! Nanti kami ikat kau di kandang singa!”

Setelah semua kelompok tampil, kini giliran kelompok Ciko yang menampilkan yel- yel kebanggaan mereka. Maka dengan semangat membara dan membabi buta, Ciko mengajak teman-teman berdiri dan membentuk satu barisan menghadap semua peserta yang duduk lesehan. Ciko membungkuk, memberi salam kepada seluruh peserta sebelum ia menampilkan pertunjukan. Bak penyanyi papan atas terkenal, Ciko berlagak cool meski akhirnya tetap terlihat seperti pelawak. Karena bagaimanapun rupa Ciko. Seserius apa pun dia. Ciko akan tetap menjadi objek tertawaan mengingat banyak hal darinya yang menciptakan tawa.

“Kita harus menang demi beberapa bungkus ciki lima ratusan!” seru Ciko yang membuat semua orang tergelak. Ciko berbalik, kini menghadap teman-temannya yang masih berdiri di posisi yang sama dengan serius. Ciko kemudian mengangkat tangan seperti seorang dirigen di hadapan paduan suaranya. “Eeee mama huraaa!” pekiknya dengan suara cemprengnya yang kemudian diikuti teman sekelompoknya. Ketika yel-yel kelompok lain membuat orang-orang menatap mereka serius, hanya kelompok Badak Bercula yang membuat suasana pecah dengan tawa.

“Eeee mama in de hoy!” “Eeee mama in de hoy!” “Kelompok bercula!” “Kelompok bercula!”

“Ketuanya paling ganteng!”

Teman sekelompoknya jelas melongo alih-alih mengikuti. Sungguh lirik yang dinyanyikan Ciko barusan benar-benar diluar dugaan. Ciko dengan semena-mena merubah lirik ketiga yel-yel mereka. Melihat suasana itu tentu lagi dan lagi semua orang tergelak. Ciko dengan penuh percaya diri melambaikan tangan kepada seluruh peserta. Karena terlanjur gemas, persetan dengan aturan panitia, seluruh teman kelompok Ciko menarik Ciko untuk digelitiki tubuhnya sampai Ciko berteriak minta ampun. Salah siapa bikin kesal satu kelompok. Ciko benar-benar biang kerok di kelompok mereka!

Hari itu benar-benar dihabiskan dengan tawa. Bahkan seluruh panitia dan guru yang menyaksikan dengan terpingkal-pingkal saat Ciko disiksa. Alih-alih melerai, panitia MPLS malah mengabadikan momen itu melalui ponsel mereka. Kelak Ciko akan dikenal sebagai siswa paling receh sepanjang masa!

......

“Kenapa bisa kepikiran sampe ke sana? Ketuanya paling ganteng! Hahaha.” Salma tergelak, mengingat kejadian tadi pagi, apalagi ketika Ciko tertawa sampai menangis karena digelitiki oleh 10 orang.

Keduanya berjalan seperti kemarin. Tak tentu arah dengan pembahasan yang random. Namun keduanya juga merasa nyaman. Tak ada kecanggungan meski baru dua hari saling kenal. Begitu juga dengan Ciko yang untuk pertama kalinya ia betah dengan seorang gadis. Apakah ini pertanda Ciko Ananda anak satu-satunya Bapak dan Mama taubat? Hanya Allah yang tahu.

Salma mendadak berhenti, kemudian mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sakunya. “Nih buat lo.”

“Gue? Dalam rangka apa?”

“Lo ulang tahun kan hari ini? Itu hadiahnya.” Ciko kebingungan. Bagaimana Salma bisa tahu ini hari ulang tahunnya? “Selamat ulang tahun, Ciko. Semoga lo suka.” Kemudian Salma berlalu begitu saja tanpa memberikan penjelasan pada pertanyaan yang belum sempat ia sampaikan.

Pertanyaan itu belum terjawab bahkan sampai dirinya sudah terlentang di atas kasur. Hari sudah larut, tetapi Ciko masih belum tertidur. Padahal besok ada hari terakhir MPLS. Dimana akan ada agenda baru, yakni seluruh kelompok mengirimkan dua perwakilan untuk menampilkan pertunjukan seni di aula.

Sosok Salma yang mengingatkannya pada masa lalu. Kalung di lehernya dan hari ulang tahunnya yang diketahui Salma, makin membuat Ciko penasaran terhadap gadis itu. Sebenarnya siapa Salma? Kenapa gadis itu begitu familiar baginya? Dan kenapa setiap kali berusaha mengingat hal yang berkaitan dengan Salma selalu muncul rasa sakit di kepalanya?

Ciko lantas membuka kotak kecil yang belum sempat ia buka. Setelahnya ia menemukan sebuah surat yang digulung serta dua gelang yang sama yang nampak kusam. Hal itu pula makin membuat Ciko tenggelam dalam lamunannya. Hingga ia membaca gulungan kertas yang ia kira Salma memberikan penjelasan di sana.

Selamat datang kembali, Koko. Sasa kangen. Kamu pasti lupa sama Sasa. Tapi siapa tahu Koko ingat kalau Koko ngelihat foto masa kecil kita. Selamat ulang tahun ya?

Ciko termangu kala membacanya. Tanpa pikir panjang ia mengorek lemari untuk mencari album foto semasa kecilnya. Namun ia tak kunjung menemukan. Kemudian Ciko memutuskan menanyakan kepada Mama yang konon seorang ibu pasti tahu dimana letak barang yang anak atau suaminya lupakan. Ajaib!

“Mamaku sayang!” teriak Ciko. 

“Apasih teriak-teriak! Mama ada di rumah loh! Bukan di Amsterdam.” Tegur Mama yang dicengiri Ciko.

“Mama nyimpen foto album masa kecil Ciko gak?” “Iya. Ada apa?”

“Ciko mau lihat dong, Ma. Sekalian nostalgia.” 

“Nostalgia sering ngompol di celana umur 7 tahun?” Mama terkekeh kala menemukan raut cemberut Ciko. “Sebentar mama ambil.” Mama beranjak, meninggalkan kegiatan melipat baju hanya untuk memenuhi keinginan putra tunggalnya.

Setelah dapat, Ciko kembali ke dalam kamar untuk mencari dan membuktikan perkataan Salma. Berbagai foto masa kecilnya benar-benar diabadikan di sana. Dari mulai ia baru lahir, sampai beranjak remaja. Orangtua Ciko tak meninggalkan satu momen pun untuk diabadikan. Hingga akhirnya Ciko menemukan foto lelaki dan gadis kecil yang menampilkan gigi mentereng nan ompong mereka pada layar kamera. Setelah dilihat dengan teliti, gadis yang bersamanya itu ternyata,

“Salma?” 

.......... 

Ciko terus mencari satu gadis di antara ratusan peserta MPLS yang tengah bergoyang heboh saat perwakilan kelompok Kelinci membawakan lagu dangdut. Hari ini Ciko sedang tidak menjadi sosok yang humoris. Justru berubah menjadi serius dan tatapan penuh kerinduan saat ia ingat betul siapa Salma sebenarnya. Setelah semalaman ia berperang dengan dirinya sendiri, berusaha mengingat jejak masa lalu tentang Salma.

“Salma!” panggil Ciko pada gadis yang kemudian menoleh padanya. Salma tersenyum lebar, seakan sudah tahu maksud Ciko mencarinya. “Kenapa lo gak bilang kalau lo itu Sasanya gue waktu SD?”

Seperti terguyur air es, sejuk menjalar di hati Salma. Di antara ramainya sorak sorai, mata dan telinga Salma hanya tertuju pada Ciko seorang. Cinta pertamanya yang tak pernah ia lupakan. Cinta pertamanya yang masih ia tunggu kedatangannya. “Gue pengen lo inget semuanya sendiri tanpa gue minta atau paksa.”

Ciko berjalan mendekat untuk mendekap Salma penuh kerinduan. “Maaf gue baru inget. Setelah kejadian itu, gue malah pergi, bukan berusaha mengingat semuanya.” Ungkapan Ciko kontan membuat Salma mengeratkan pelukannya. Pecah sudah kerinduan selama bertahun-tahun ia simpan seorang diri. Menunggu tentu bukanlah hal yang mudah. Pada sosok lelaki yang kehilangan ingatannya setelah mengalami kecelakaan. Kecelakaan itu membuat Ciko melupakan sebagian ingatannya akibat benturan hebat di kepalanya. Kemudian tak lama setelah Ciko siuman, Bapak dan Mama memutuskan pindah ke Jakarta, mengikuti dinas Bapak. Hingga meninggalkan Salma tanpa berpamitan sama sekali.

Ciko melerai pelukan, menatap penuh kasih wajah Salma. “Sekarang gue inget apa janji gue ke lo, Sal.”

“Apa?” 

“Lo dulu pernah tanya, saat besar nanti sama siapa lo pacaran?” Salma terkekeh dengan semburat merah di wajahnya. “Dan dulu gue bilang kalau gue yang akan jadi pacar lo. Maka daripada itu,” Ciko meraih kedua tangan Salma. Menatapnya dengan serius sekaligus penuh cinta. Mungkin hari ini akan menjadi hari patah hati bagi para siswi SMA Garuda yang menjadikan Ciko gebetan mereka. Dengan disaksikan banyak orang, beralih atensi dan mengabaikan musik dangdut yang masih berdendang, Ciko mengatakan dengan lembut kepada gadis yang selalu menjadi nomor satu di hatinya. Cinta pertamanya.

“Sasa, mau gak jadi pacar Koko?” 

Satu tetes air mata mengalir melalui pipinya. Dadanya bergemuruh haru. Penantian bertahun-tahun tak berakhir dengan sia-sia. Ciko akhirnya datang dengan membawa janjinya. Maka dengan menggenggam kalung yang masih ia pakai, Salma mengangguk pertanda setuju. Hal itu mengundang sorak sorai lebih meriah dari orang-orang yang menonton mereka. Kemudian Ciko memasangkan gelang yang sempat dihadiahkan Salma kepadanya.

“Gelang punya kita dulu. Sekarang kita jaga baik-baik bersama-sama.” Ucapnya. TAMAT.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)