Cerpen
Disukai
0
Dilihat
2,637
Sarungan Go International
Religi

"Hey, kamu anak sarungan. Apa yang bisa kamu banggakan dengan hanya sarungan?" Lontaran pertanyaan pemuda Belanda kepada salah seorang santri. Kesombongan para penjajah selalu membuat geram para santri. Mejelis-majelis keilmuan di surau-surau dianggap sebagai majelis kampungan, keilmuan yang diajarkan kolot. Itu bagi mereka. Tidak bagi kaum santri.

Zaman penjajahan, sekolah Belanda lebih menarik perhatian dari pada sebatas belajar di surau-surau kecil. Kurikulum yang digunakan oleh mereka sudah diangap modern di zaman itu, bahkan pakaian mereka identik dengan ber-jas. Ketika ada dari rakyat Indonesia didapati ber-jas, akan dianggap mengikuti gaya Belanda.

Pemuda Belanda lebih unggul, lebih dianggap memiliki kemampuan berbahasa asing lebih. Padahal hanya sebatas, Inggris dan Belanda. Tidak lebih. Tetapi, mereka sudah megakui dirinya hebat. Meledek para kaum santri yang sebatas sarungan di hari-harinya.

Ada sosok pemuda Belanda angkuh, datang ke sebuah surau kecil di sore hari. Dia bertemu dengan santri-santri sarungan di surau. Lantas, pemuda Belanda bertanya sombong dan angkuh.

"Kalian, hanya sebatas belajar di tempat-tempat kecil yang kumuh," ucapnya sekilas kemudian beranjak pergi dengan pemuda-pemuda Belanda lainnya.

Jalan mereka tegap, mendangak ke atas, seakan melangit padahal sama-sama berasal dari bumi. Tanah. Mata sinis mereka melihat sekeliling tempat belajar kaum santri menjijikan. Padahal tempat tersebut cikal bakal para pejuang Islam masa depan.

Seketika Kyai Yafie Amrullah keluar bertanya, "Ada apa anak-anak?"

"Ini kyai, ada pemuda Belanda lewat tadi menyombongkan diri," kesal salah satu santri mendengar kata-kata pemuda Belanda. Santri lainnya ikut menjawab, "Benar kyai."

"Masalah sarungan, atau masalah tempat belajar kita kumuh?" Kyai Yafie menebak spontan karena hal tersebut sudah sering dialami oleh para santri. Kyai Yafie tidak terheran-heran.

"Nak, dengar sini. Kita ini masih dalam posisi dijajah oleh Belanda. Belum dapat berbuat banyak, selagi kita harus benar-benar mempelajari agama dengan baik. Menguasai semua perkara Fardu 'Ain terlebih dahulu. Baru mempelajari ilmu-ilmu lainnya," nasihat Kyai Yafie sangat bermakna.

Senja semakin meninggalkan jejaknya, berubah menjadi gelap. Tanda sudah akan memasuki waktu magrib. Para santri sudah bergegas bersiap-siap untuk shalat magrib. Sudah tidak menghiraukan perkataan pemuda Belanda sore tadi. Anggap sebatas angin lewat berhembus pergi dengan sendirinya.

Setalah shalat magrib dilanjutkan berdzikir dan ngaji sejenak serta dilanjutkan makan malam. Para santri pun menuju dapur untuk menyantap makan malam. Tetapi, masih ada satu santri terdiam di dalam surau. Terlihat oleh Kyai Yafie, kemudian didekati dan ditanya.

"Nak, kenapa kamu masih berdiam di sini?" Tanya Kyai Yafie sangat lembut dan hati-hati.

"Pak Kyai, saya masih kesal dengan kata-kata pemuda Belanda tadi. Sangat menjatuhkan harga diri kita sebagai santri sarungan," keluh santri dengan raut sangat geram.

Teman-teman sejawatnya biasa memanggil Habib. Tubuh kecil, tatapi jiwanya sangat besar. Sangat menjaga marwah seorang santri yang hanya dikenal sarungan di mata Belanda. Jiwa patriot Habib mulai membara ketika harga diri sebagai santri diusik.

"Habib, tau apa yang harus kamu lakukan?" Tanya Kyai Yafie kepada Habib. Wajah Kyai Yafie sejuk menatap Habib. Penuh kasih sayang.

"Tidak tau pak Kyai."

"Cukup tekuni agama Allah, maka akan dibukakan jalan oleh-Nya," Kyai Yafie mengajak Habib untuk segera makan. Dan Habib pun berdiri beranjak ke dapur.

Saat seblum tidur, Habib masih teringat kata Kyai Yafie, "Cukup tekuni agama Allah." Dia berusaha mencerna dengan baik pesan itu sampai pada akhirnya tertidur pulas.

Hari-hari Habib semakin tekun untuk belajar di surau, bahkan Kyai Yafie selalu menjadikannya sebagai santri unggulan. Selalu dapat mencerna semua penjelasan ilmu fiqih, hadis, dan tafsir yang Kyai Yafie berikan. Sampai pada akhirnya, Habib mendapatkan kesempatan belajar di Haramayn yaitu Mekkah dan Madinah.

Kyai Yafie sangat bangga karena anak didiknya bisa ikut melanjutkan pendidikan di pusat pendidikan Islam yaitu Makkah dan Madinah. 10 tahun belajar di Haramayn, ilmu keislaman Habib sudah banyak dikuasai. Sampai pada saat pulang ke Indonesia, Habib bercerita pada Kyai Yafie.

"Kyai, saya baru sadar apa yang dikatakan Kyai tempo dulu," Habib mulai bercerita. Ingatannya mulai menguat ketika pemuda Belanda menghinakan kaum santri beberapa puluh tahun lalu.

"Apa itu Habib?" Kyai Yafie terlihat penasaran lantaran kejadian itu sudah terlewati 10 tahun silam.

"Saya ingat kata Kyai, cukup tekuni agama Allah." Habib terhenti bercerita, kemudian mulai meneteskan air mata.

Kyai Yafie pun medekat, dan mengangkat kepada Habib, "Lanjutkan ceritamu nak, aku ingin mendengarnya sempurna."

Habib mulai menarik nafas dan bercerita, "Kyai, saya sadar setelah belajar 10 tahun di Haramayn. Terkadang kita banyak tergiur oleh parmata dunia yang seakan menggiurkan. Saya dulu pernah kesal, lantaran diremehkan oleh pemuda Belanda. Cemoohan mereka membuat sakit hati. Tetapi..." Habib menghentikan ceritanya. Kyai Yafie terlihat serius menatap Habib.

"Tetapi, sebenarnya itu hanya godaan duniawi saja. Saya terpengaruh oleh cemoohan pemuda Belanda. Seakan kaum santri tidak mampu bersaing di ranah Internasional karena hanya sedekar belajar ngaji di tempat-tempat kecil dan kumuh di mata Belanda. Dan semua itu salah besar Kyai. Benar-benar salah besar."

Sesekali Habib menatap lamat-lamat mata Kyai Yafie dan bercerita kembali, "Saya telah membuktikannya Kyai, ternyata saya mampu bersaing dengan orang-orang alim di Haramayn meskipun latar belakang saya Nusantara. Sesekali juga diremehkan dan dideportasi dari Haramayn karena dianggap menyaingi keilmuan orang-orang alim di Haramayn. Tetapi, saya tidak ada niatan untuk bersaing dengan para ulama Haramayn."

Kyai Yafie mulai terharu mendengar cerita Habib. Kyai Yafie pun memperbaiki duduknya tidak sabar menunggu.

"Saya sekarang bisa membantah perkataan orang Belanda, bahwa kaum sarungan tidak bisa berbuat apa-apa, tidak mampu bersaing. Sungguh mereka salah Kyai. Saya ucapkan, terima kasih Kyai." Terhenti, dan memeluk Kyai Yafie.

Kyai Yafie tersendu haru mendengar cerita anak didiknya yang sudah menjadi ulama besar yang keimuannya sederajat dengan orang-orang alim Haramayn. Semenjak itu, Kyai Yafie meminta kepada Habib untuk setiap bulan Ramadan pulang ke Indonesia dan mengajarkan anak-anak tentang keilmuan Islam. Kyai Yafie sadar, umurnya sudah tidak muda lagi. Dibutuhkan generasi-generasi penerusnya seperti Habib.

Perminataan itu pun dikabulkan oleh Habib. Dan Habib di sela-sela mengajarkan keislaman di surau yang dibina oleh Kyai Yafie. Dia sering menceritakan kehebatan kaum sarungan di dunia International. Tidak lain, yaitu menceritakan dirinya bersama ulama-ulama Haramayn.

Santri ber-"Sarung" membuktikan kemampuannya di ranah International. Tradisi yang diajarkan oleh para kyai nusantara membuktikan bahwa kaum sarungan tidak sebatas melokal, tetapi mampu memberikan warna keislaman di negara-negara lain bahkan di salah satu negara yang terkenal dengan keislamannya yaitu Haramayn.

Cemoohan pemuda Belanda, tidak membuat goyah kaum santri. Justru pembuktian itu hadir dari untaian nasihat dari seorang guru.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)